Jumat, 28 Oktober 2016

PERTOBATAN UNTUK KEADILAN

Kita sudah terbiasa melihat pesakitan-pesakitan yang menempati kursi terdakwa mengenakan pakaian gamis, baju koko dan peci di atas kepala, atau symbol-simbol keagamaan lainnya. Padahal, dalam kesehariannya jarang sekali mereka mengenakan costum seperti itu. Ya, mungkin sesekali kalau pas hari-hari raya keagamaan. Walahu’alam apa motivasi di balik pakai itu, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Namun, karena pengenaannya di ruang publik, saya kira bolehkan dong kita menduganya? Bisa jadi, dengan mengenakan pakaian seperti itu, si pesakitan mau menyampaikan pesan begini: “Lihatlah, aku ini seorang yang saleh maka tidak sepatutnya sang hakim mengganjar aku dengan hukuman berat!” Atau, “Setelah beberapa lama aku meringkuk di tahanan, kini aku telah bertobat! Lihat, setidaknya pakaianku menunjukkan itu.”

Pemandangan lain memerlihatkan beberapa terdakwa kasus korupsi menolak untuk dihadirkan dalam persidangan karena yang bersangkutkan kini harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Kalau pun hadir, mereka datang dengan dipapah, memakai kursi roda atau tempat tidur rumah sakit. Sangat memprihatinkan! Pesan, yang mau disampaikan, “Lihatlah, aku yang sekarang sudah menderita sakit parah. Masih tegakah hakim menghukum aku?”

Beberapa orang pelaku korupsi memilih kompromi dengan penegak hukum. Mereka bersedia menjadi whistleblower, memberitahu siapa saja yang terlibat dalam tindakan pidana itu. Tujuannya? Jelas supaya mendapat keringanan hukuman. Dalam beberapa kasus yang naik ke media, para pelaku bersedia mengemblikan uang hasil tindakan kejahatannya. Salah satunya oleh mantan anggota
Komisi V DPR, Budi Supriyanto, ia menyerahkan hasil korupsinya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhasil melakukan oprasi tangkap tangan (OTT) terhadap Damayanti Wisnu Putranti dan mantan Direktur Windu Tunggal Utama Abdul Khoir. Dalam kasus yang melibatkan Damayanti, disebutkan ada banyak kerugian negara, di antaranya menghentikan proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara sehingga menghambat kemajuan pembangunan (Kompas, 28/10/16). Untuk yang terakhir ini, saya penah melintasi jalan yang dimaksud, di Maluku, tepatnya Trans Seram. Jalan itu di beberapa bagian rusak parah, sempit dan perlu perbaikan segera. Rekan pendeta yang mengantar kami mengatakan, “Seharusnya jalan ini sudah mulus dan lebar. Namun, karena kasus ini (korupsi) menjadi terbengkalai dan transportasi yang menunjang perbaikan ekonomi menjadi terhambat!” Semua tahu korupsi menyengsarakan rakyat dan hanya menguntungkan – secara materi – segelintir orang.

Zakheus mengatakan, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Luk.19:8). Zakheus berniat memberikan setengah dari hartanya dan mengembalikan empat kali lipat uang hasil pemerasan terhadap rakyat Yahudi bukan karena ia tertangkap tangan oleh KPK dan sekarang menjadi pesakitan menghadapi sidang pengadilan tipikor. Bukan itu!

Hampir dipastikan, Zakheus juga melakukan tindakan yang kita namakan sekarang korupsi, gratifikasi, dan markup setoran kepada negara. Dengan kedudukannya itu, sangat mudah baginya menekan rakyat kecil untuk membayar pajak melebih ketentuan yang berlaku. Makanya ia menjadi orang kaya. Banyaknya pengawal dan tentara, memungkinkan juga baginya untuk melakukan tindakan pemerasan. Zakheus disebutkan sebagai seorang kepala pemungut cukai. Mungkin mengherankan bagi kita. Mengapa Kekaisaran Roma memilih Zakheus yang Yahudi,dan bukan orang Roma sendiri yang menjadi kepala pemungut cukai? Hal ini bisa dijelaskan karena orang Yahudi sendirilah yang mengetahui sedalam-dalamnya kehidupan ekonomi mereka. Pemerintahan Roma membutuhkan orang seperti ini, sebab ada banyak pungutan pajak yang harus disetor, mulai dari pajak kepala, pajak hasil tanah pertanian, pajak bea penjualan, pajak barang mewah dan sebagainya yang hanya diketahui oleh kalangan mereka sendiri. Tidak sembarangan orang Yahudi yang diangkat menjadi kepala pemungut cukai; ia harus bisa baca tulis, menghitung dan pandai berkomunikasi. Sebagai imbalannya, pemerintah Roma menyediakan tentara atau pengawal. Menyedihkan, secara kedudukan dalam pemerintahan dan harta benda, Zakheus termasuk orang berkuasa dan kaya. Namun, hidupnya terasing dari komunitsnya. Ia dilabeli sebagai orang berdosa, penghianat bangsanya dan dianggap seorang yang nazis, harus dijauhi!

Ternyata hukuman sosial jauh lebih berat! Jelas Zakheus mengalami kesepian dan tertolak. Di tengah kondisi ini, ia mendengar tentang Yesus. Yesus yang sudah banyak menjadi buah bibir dapat mengusir setan, menyembuhkan pelbagai macam penyakit dan masih banyak lagi mujizat yang dapat dilakukan-Nya. Tentu, ia juga mendengar ajaran-ajaran yang disampaikan Yesus tentang Injil Kerajaan Allah, pertobatan dan kasih Allah. Ada keinginan kuat untuk melihat seperti apa sih orangnya Yesus itu. Namun sayang, Yesus bak artis tenar, ke mana pun Ia pergi dikerubuti banyak orang. Sulit baginya untuk dapat melihat apalagi bertegur sapa karena kondisi badanya yang pendek. Semangat dalam jiwanyalah yang kemudian menggerakkan tubuhnya yang mungil untuk mencari cara bagaimana melihat Yesus. Ia naik ke atas sebatang pohon di tepi jalan yang bakal dilalui Yesus. Benar, Yesus lewat di jalan itu dan ternyata Ia melihat si pemungut cukai itu. “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” (Luk.19:5).

“Yesus mau menumpang di rumah orang berdosa dan penghianat bangsanya sendiri, ah…tidak! Itu tidak boleh terjadi!” Barangkali itulah suara hati orang-orang yang mendengar ucapan Yesus. Bagaimana mungkin Yesus mencederai rasa keadilan kebanyakan orang Yahudi yang telah mengalami tindakan penjajahan dan pemerasan koloni Romawi. Dan, Zakheus ini salah seorang antek penjajah itu!

Ternyata ucapan-Nya benar. Yesus bertandang ke rumah Zakheus pertanda Ia mau menerima dan diterima oleh orang berdosa. Zakheus bangkit, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (ay.6). Saya kira, siapa pun – termasuk orang-orang yang mencibir – akan terharu dan bersyukur mendengar ucapan dan komitmen seorang pendosa, Zakheus. Itulah pertobatan sejati, metanoia! Perjumpaannya dengan Yesus membuat Zakheus bertobat. Yesus tidak mengancam Zakheus dengan pelbagai hukuman yang bakal diterimanya sebagai seorang pendosa. Namun, Yesus berhasil menyentuh hatinya, Ia menawarkan pemulihan dengan kasih sayang.  

Dari buah pertobatan itu, Zakheus tidak hanya berhenti memeras dan memperkaya diri, melainkan ia bersedia membagikan apa yang ada pada dirinya untuk kepentingan banyak orang. Kini, ia tidak lagi egois, memperkaya diri di atas penderitaan orang lain, namun hati yang tersentuh itu menggerakkan dirinya untuk menjadi berkat bagi mereka yang telah diperasnya.  Pertobatannya bukan basa-basi, pemanis mulut. Pertobatannya juga bukan hanya untuk kebaikannya sendiri supaya selamat, tetapi berhasil memulihkan keadilan yang selama ini telah ia koyakkan!

Penyerahan harta benda untuk menolong si miskin dan pengembalian uang empat kali lipat bukan terjadi karena ia diseret ke meja hijau dan sedang dihakimi. Pertobatan Zakheus bukan juga terdorong oleh ngerinya hukuman yang bakal dihadapinya – karena sejatinya hukuman sosial itu sedang ia rasakan. Ia bertobat dan melakukan itu semua oleh karena telah mengalami perjumpaan dengan Yesus yang merangkul, menerima dan memulihkannya.

Setiap pelanggaran atau dosa yang kita lakukan pada umumnya terkait dengan sesama. Bisa lewat pandangan negative terhadap seseorang yang tidak kita sukai atau tutur kata kita. Terlebih tindakan dan prilaku kita yang merugikan orang lain. Ketika kita berdosa, kita pun dapat merobek, mengoyak-ngoyak keadilan. Bagaimanakah ketika kita mengalami perjumpaan dengan Yesus? Sudahkah kita mengalami sentuhan kasih-Nya dan membuahkan metanoia; tidak hanya berhenti melakukan kesalahan, dosa atau pelbagai tindakan kejahatan melainkan memulihkan keadilan yang terkoyak, menjahit kembali apa yang sudah kita robek dan hidup menjadi berkat bagi sesama? Sudahkah pertobatan kita tidak hanya memikirkan bagaimana menyelamatkan diri sendiri saja melainkan kepentingan orang lain juga. Jika itu belum terjadi mungkin kita seperti seperti para pesakitan yang duduk dikursi terdakwa dan memakai pakai gamis agar terlihat saleh…

Jakarta, 28 Oktober 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar