Jumat, 12 Agustus 2016

MEMELIHARA KONSISTENSI PANGGILAN JIWA

Apa yang terjadi bila tubuh kita terus-menerus bekerja, tidak cukup istirahat dan asupan gizi? Sakit! Sama seperti daya tahan tubuh, spiritualitas kita pun bisa mengalami penurunan dan sakit. Pada saat menghadapi pelbagai macam tantangan, ketahanan iman kita menjadi rapuh. Tanda-tandanya, kita mulai pesimis, menyerah, tidak lagi mau peduli dengan tugas panggilan pelayanan sebagai orang percaya.  Bisa jadi saat ini kita sedang mengalami kondisi seperti ini: Pada awalnya menggebu-gebu, merasa terpanggil untuk melayani Tuhan. Firman Tuhan begitu rupa menyentuh jiwa. Rasanya Allah begitu dekat mendekap dan menyapa. Lalu kita bertekad untuk melayani-Nya dengan sungguh-sungguh. Api-Nya berkobar dalam diri kita, itulah panggilan jiwa! Namun, Seiring berjalannya waktu, semakin nyata realita pelayanan itu. Tidak selalu indah!
Ada banyak faktor yang membuat kita tidak dapat memertahankan konsistensi panggilan pelayanan itu. Faktor-faktor itu antara lain: apa yang kita lakukan disalahmengerti oleh orang lain, hasil yang tidak kunjung terlihat, jenuh, tidak dihargai, kelelahan fisik, ekonomi, beban yang terlalu berat, ancaman dan intimidasi, ada kegiatan lain yang lebih menarik, komunitas yang tidak mendukung dan yang semacam itu. Lalu, apakah kita harus berhenti dalam mengerjakan panggilan pelayanan yang Tuhan percayakan kepada kita? Menyadari bahwa spiritualitas panggilan jiwa kita tidak luput dari kelelahan, kerapuhan dan inkonsisten, maka kita harus dengan sengaja memeliharanya. Berikut ini ada beberapa cara agar tugas panggilan kita dapat dilakukan dengan konsisten.
1.    Retret
Ibarat telepon genggam, ia membutuhkan daya untuk dapat berfungsi. Ada saatnya hand phone itu harus berhenti digunakan dan di-charger agar baterainya terisi kembali. Demikian juga dengan kita, tidak mungkin kita terus-menerus mengerjakan tugas panggilan pelayanan itu tanpa henti. Kita membutuhkan “waktu jeda” bersama dengan Tuhan, retret. Pemahaman retret yang dimaksud adalah mengambil jarak dari tugas panggilan pelayanan untuk menikmati saat-saat yang indah bersama dengan Tuhan. Tidak harus keluar kota, di rumah pun bisa. Bukankah Yesus juga melakukan itu? Sesibuk apa pun dalam menunaikan tugas pelayanan, Ia selalu mencari tempat yang sunyi dan menyisihkan waktu menyendiri untuk berdoa dan bersekutu dengan Bapa-Nya, entah itu pagi sekali (Markus 1:35) atau malam hari (Lukas 6:12). Terlebih lagi ketika akan menghadapi masa-masa yang berat dalam hidup-Nya, Yesus telah menyiapkannya dengan berdoa.

2.    Mengingat kembali panggilan yang mula-mula
Pada umumnya, kita akan mengingat kapan pertama kalinya Tuhan menyentuh hati kita. Momen itu ada yang menamakannya, “lahir baru” atau “pertobat”. Apa pun istilahnya, yang penting makna pengalaman perjumpaan dengan Tuhan di balik peristiwa itu. Ingatan itu sedikit banyak menolong kita untuk merenungkan kembali bahwa betapa sayangnya Tuhan kepada kita; Ia menebus, mengampuni dan mendekapnya dengan kasih sayang. Ia mau agar kita terus menjalani tugas panggilan bersama-Nya. Paulus pernah memberikan nasihat kepada jemaat di Korintus, agar mereka mengingat sewaktu dipanggil menjadi pengikut Kristus, “Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil…” (1 Korintus 7:17). Ingatan pada panggilan mula-mula dapat menolong kita untuk terus konsisten menjalani tugas panggilan-Nya.

3.    Berdamai dengan kenyataan
Pengalaman-pengalaman pahit dalam pelayanan tentu menimbulkan bekas yang tidak nyaman bahkan luka dan membuat kita tidak hanya malas melanjutkan tugas panggilan tetapi juga mengakhirinya. Namun, itulah kenyataan yang harus kita hadapi. Tidak mungkin kita bisa mengatur dan memilih agar semuanya menyenangkan. Berkaca pada konsistensi pelayanan Yesus, begitu banyak Ia mengalami penolakan, derita dan aniaya bahkan kematian yang mengerikan. Namun, Ia tidak pernah menyerah! Cobalah kita memandang dari sudut pandang Tuhan, bisa jadi kenyataan yang tidak menyenangkan itu dipakai-Nya untuk membentuk kita agar semakin dewasa di dalam iman. Pengalaman dan perlakuan yang mengecewakan itu tidak perlu kita sesali dan tidak perlu juga kita berusaha menghapusnya. Terimalah dan berdamailah, dengan cara pandang baru, yakni bahwa semuanya itu Tuhan izinkan terjadi untuk kebaikan kita.

4.    Fokuslah kepada yang kita layani; bukan pada diri sendiri
Sebagian besar kekecewaan yang kita rasakan disebabkan karena keinginan yang tidak terpenuhi. Biasanya keinginan-keinginan itu berpusat pada diri sendiri. Tanpa sadar mungkin saja kita menginginkan pujian atau keuntungan lainnya dari sebuah pelayanan. Banyak orang melakukan tugas panggilan pelayanan mengatakan untuk melayani Tuhan. Cobalah kita renungkan kembali, kalau benar kita melayani Tuhan maka mestinya kita selalu bertanya, “Apakah yang aku lakukan ini menyenangkan hati-Nya?” Jangan-jangan prioritas utamanya justeru diri kita sendiri. Akibatnya, ketika tidak mendapatkan apa yang diharapkan, kita menjadi kecewa dan berhenti melayani. Sekarang, marilah kita ubah fokus perhatian kita, yakni bukan pada diri sendiri, melainkan hanya untuk Tuhan. Di sini kita juga menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melayani Tuhan secara langsung. Kita hanya dapat melayani-Nya melalu sesama. Ingatlah perkataan Yesus, “…Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40) Pandanglah dalam diri sesama yang kita layani ada wajah Yesus, sehingga kita dapat melayani mereka dengan sukacita.

5.    Berusaha hidup dalam komunitas yang saling membangun
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, ia pasti membutuhkan orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan iman, pada kenyataannya kehidupan beriman bukanlah urusan pribadi semata. Kita membutuhkan orang lain, jemaat atau komunitas untuk tumbuh bersama. Paulus pernah mengatakan, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”(Galatia 6:2). Jadi, setiiap kita membutuhkan orang lain agar turus tumbuh di dalam iman. Sejak terbentuk jemaat Kristen mula-mula (Kisah Para Rasul 2:41-47), persekutuan itu dikenal sebagai komunitas yang sehati sepikir saling berbagi, peduli dan membangun. Mestinya, di mana ada jemaat kristiani di situlah terdapat komunitas yang saling membangun dan menguatkan. Ketika kita mengalami tantangan dan beban berat yang dapat menggoyahkan panggilan jiwa kita, berbagilah dengan saudara-saudara seiman kita.

Jakarta, 12 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar