Kamis, 07 Januari 2016

KETIKA YESUS JUGA DIBAPTISKAN

Sejak dulu sampai sekarang baptisan selalu saja diperdebatkan entah esensi maupun syareatnya. Bahkan terkadang gereja terlalu sibuk menyusun dalil-dalil dokmatis apologet tentang baptisan tinimbang menggali dan menerjemahkan serta memberi contoh dan teladan untuk menghidupkan esensi baptisan itu sendiri dalam praktik hidup sehari-hari. Beberapa kelompok aliran Kristen tertentu lebih senang berpolemik tentang kesahihan baptisan: selam atau percik; anak boleh dibaptis atau tidak, harus belajar katekisasi atau percaya langsung baptis, ketimbang memakai momentum itu sebagai titik berangkat bertobat menuju pada hidup baru di dalam kasih karunia TUHAN.

Sejak Yohanes Pembaptis muncul, ia mengajar dan membaptis lalu Yesus ikut-ikutan dibaptis juga telah menjadi polemik. Untuk apa Yesus dibaptis? Mengingat pada waktu itu baptisan dipraktikan untuk orang-orang di luar Yahudi yang bertobat dan ingin memeluk keyakinan Yahudi (proselit). Bangsa-bangsa di luar Yahudi itukan dianggap nazis, kotor, dan berdosa jadi mereka harus bertobat dengan sibolisasi diselamkan dalam air, dibersihkan dan kemudian dinyatakan sebagai orang yang mendapat anugerah Tuhan. Nah, masalahnya Yesus kan orang Yahudi, maka tidaklah perlu baptisan proselit bagi-Nya. Apalagi baptisan sebagai bentuk pernyataan pertobatan. Bukankah Yesus tidak berdosa? Itu berarti Ia tidak memerlukan pertobatan dan kemudian dibaptiskan. Lalu apa maksudnya?

Gereja mula-mula menafsirkan bahwa Yesus dibaptis oleh Yohanes hanya untuk menyenangkan hati ibunda-Nya, Maria. Kita tahu bahwa Elisabet, sanak Maria itu adalah ibunda Yohanes, jadi dengan demikian Maria senang bahwa anaknya itu mendukung dan mau ikut dalam arus yang digerakan Yohanes. Bisa dibayangkan apakah sedangkal itu Yesus menghargai sebuah baptisan. Bayangkan kalau anak Anda mau ikut katekisasi dan setelah selesai itu ia dibaptiskan atau mengaku percaya. Belakangan Anda tahu bahwa apa yang dilakukan anak Anda itu tidak sepenuh hati melainkan hanya untuk menyenangkan Anda semata! Tentu, sebagai orang tua, kalau hal itu terjadi Anda pasti kecewa. Orang tua yang baik tentunya menginginkan anaknya menjalani baptis kudus atau sidi berdasarkan niat yang baik, tulus bahwa ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Perhatikan, ketika Yesus memutuskan diri untuk dibaptiskan oleh Yohanes, usia-Nya sekitar 30 tahun. Usia yang sudah matang – dewasa. Sejak kanak-kanak Ia telah menjalani serangkaian ritual tradisi Yahudi. Disunat pada usia delapan hari, merayakan paskah di Yerusalem pada usia 12 tahun, dan kemudian hidup dalam bimbingan orang tua yang saleh. Jangan lupa, Yesus juga manusia. Ia mengalami didikan dan pertumbuhan, sebagai pemuda Nazaret, pastilah Ia juga sama dengan pemuda lainnya dalam hal bertanggungjawab atas keluarga. Pasti juga Ia belajar bekerja sebagai tukang kayu, layaknya Yusuf sebagai orang tua-Nya. Kesadaran-Nya akan panggilan yang sesungguh-Nya berangsur tumbuh. Komitmen-Nya untuk berada dekat dengan Bapa-Nya menggugah-Nya terus menguat.

Kini, Ia sendiri menyaksikan sebuah gerakan moral yang dimotori Yohanes, sepupu-Nya itu. Tak pelak lagi Yohanes bagaikan seseorang yang menghunus pedang dan menghujamkannya tepat di jantung keyakinan Yahudi! Mereka bangga dengan keyakinan diri sebagai umat istimewa, umat pilihan Allah. Oleh karena itu mereka yakin pasti mendapat tempat atau kedudukan lebih dari orang-orang lain. Namun, kini mereka diminta untuk bertobat. Ya bertobat seperti layaknya bangsa yang tidak mengenal Allah dan kini kembali kepada-Nya! Bagi Yohanes, atribut kehayudian tidak ada korelasinya dengan keistimewaan di hadapan Allah ketika mereka melakukan perbuatan yang bertolak belakang dengan kehendak Allah. Bagaikan pohon yang siap ditembang dan dicampakkan ke dalam api jika tidak berbuah, itulah gambaran yang diberitakan Yohanes.

Rupanya dengan gaya yang eksentrik dan teguran tanpa tedeng aling-aling telah menggetarkan hati banyak orang. Mereka datang berbondong-bondong, menyatakan diri dan dibaptiskan. Lukas menggambarkan dengan lugas bahwa Yohanes telah berhasil memikat para petobat itu. Sehingga di antara mereka ada yang menyangka bahwa dialah Mesias yang dijanjikan itu (Lukas 3:15). Yohanes konsisten dengan apa yang diberitakannya. Ia tidak mau mengambil kesempatan emas ditengah keterpesonaan orang banyak itu. Ia mengatakan, “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak…” (Lukas 3:16). Seolah Yohanes berkata, “Kamu menyanjung aku sebagai Mesias, bukan…aku bukan Mesias itu! Di hadapan-Nya, aku tidak ada artinya sehingga membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak!” Yohanes seorang besar dan Yesus pun menyatakan itu, kata-Nya, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis,..”(Matius 11:11) Namun, Yohanes yang hebat ini tidak besar kepala. Ia membuka jalan buat Yesus!

Yesus ada di tengah kumpulan orang-orang berdosa yang menerima baptisan Yohanes bukan karena Dia sendiri berdosa dan membutuhkan pertobatan. Tetapi dengan sadar Ia harus menyamakan diri-Nya dengan gerakan moral yang berbalik dari dosa menuju kepada Allah yang hidup. Bagi Yesus, munculnya Yohanes adalah panggilan Allah untuk bertindak. Dan langkah pertama-Nya adalah menyamakan diri dengan umat yang sedang mencari Allah.

Drama itu terjadi di sungai Yordan. Bayangkan, Yohanes Pembaptis yang mengetahui di hadapannya adalah Mesias dan yang kepada-Nya, membuka tali kasut-Nya pun tidak layak, kini datang dan memintanya untuk membaptiskan-Nya! Dalam versi Injil Matius ada dialog singkat terjadi. Yohanes mencegah-Nya untuk dibaptis dan menyatakan bahwa dirinyalah yang seharusnya dibaptiskan Yesus. Namun, Yesus menjawabnya, “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.” (Matius 3:15). Jelas, Yesus menyadari bahwa apa yang dilakukan-Nya adalah dalam rangka memenuhi misi Bapa-Nya.

Hanya dua ayat, Lukas melukiskan peristiwa baptisan itu  (Lukas 3:21-22). Yesus terakhir dibaptiskan dan ketika peristiwa itu sedang berlangsung, “…turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengar suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Suara langit itu memberi pernyataan bagi diri Yesus sendiri. Dengan jeli, William Barclay melihat formula kalimat dari langit itu terdiri dari dua bagian: Pertama,  “Engkaulah Anak-Ku yang kukasihi” ini berasal dari Mazmur 2:7 dan biasanya difahami sebagai Mamur Raja Mesias. Kedua, “Kepada-Mulah Aku berkenan –“ adalah bagian dari Yesaya 42:1 yang merupakan rangkaian gambaran tentang “Hamba yang menderita” (bnd. Yesaya 53). Dengan demikian dalam peristiwa baptisan itu telah terjadi komfirmasi bahwa Yesus adalah Mesias, Raja yang diurapi Allah, dan kedua, bahwa dalam hal ini mencakup bukan kuasa dan kemuliaan yang akan ditonjolkan dalam pelayanan Yesus, melainkan penderitaan dan jalan salib, layaknya hamba yang menderita itu. Salib yang harus dipikul-Nya bukannya tanpa disadari sebeelumnya. Sejak semula Yesus telah menyadari hal itu harus diterima-Nya!

Sejak saat itu, peran Yohanes mulai berkurang dan Yesus tampil yang akhirnya menyelasikan tugas Bapa-Nya. Ia taat dan setia sampai akhir. Baptisan, bagi Yesus adalah sarana diri-Nya menerima penyataan dan sekaligus tugas perutusan. Baptisan bagi setiap kita yang menerimanya, mestinya menjadi titik berangkat untuk melangkah dalam menjalankan tugas panggilan kita sebagai anak-anak Allah di dalam Kristus sampai paripurna. Setiap orang percaya rasanya lebih elok untuk berpikir, berujar, melangkah, bertindak, berbuat  dan berkarya seperti apa yang Yesus lakukan ketimbang sibuk berpolemik tentang kesahihan syareat baptisan itu sendiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar