Kamis, 16 Oktober 2014

TANGANKU DIPEGANG TEGUH

John McNeil, seorang pendeta Skotlandia terkenal, pernah bercerita tentang pengalamannya di masa kecil. Ketika masih kanak-kanak, John kecil bekerja di suatu tempat yang jauh dari rumah tempat tinggalnya. Setiap hari, ia mesti berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan menyeberangi ngarai yang sepi untuk pulang ke rumahnya. Kata orang, banyak binatang liar dan penjahat yang berkeliaran di ngarai itu. Dalam cengkeraman rasa takut, John kecil harus melintasi ngarai itu setiap hari.

Suatu hari, ia terlambat pulang sampai larut malam. Cahaya bulan tersuruk di balik gumpalan awan hitam. Ngarai yang sepi itu gelap-gulita, dan saat anak kecil itu melangkahkan kakinya melintas ngarai, ketakutan yang amat sangat menghimpit jantungnya hingga berdegup kencang. Malam yang dingin tidak dapat membendung butiran peluh yang terus keluar dari dalam tubuhnya. Telinganya menjadi sangat peka. Ada langkah kaki yang seolah membuntutinya, dan sayup terdengar suara dari kejauhan.

John McNeil berhenti. Lututnya menjadi begitu lemas dan kini kakinya sulit untuk diajak melangkah lebih jauh lagi. Ketakutan begitu memuncak, nafasnya menjadi tersengal-sengal. Ya, kini ketakutan itu telah menguasainya! Tidak lama kemudian bunyi langkah kaki itu semakin jelas dan pada saat-saat ia tidak dapat bernafas lagi, terdengar teriakan, “John...! John...!

John kecil terperanjat. Ia mengenal suara itu. Tepat, itu suara ayahnya!

Menyadari bahwa anaknya terlambat pulang, sang ayah memahami rasa takut anaknya ketika ia melintas nyarai yang seram itu. Maka sang ayah memutuskan untuk pergi menjemput John kecil. Menyeruak dari kegelapan, sosok penuh kasih itu muncul, dan merengkuh John. Anak kecil itu merasa dekapan ayahnya – itulah perasaan paling nyaman, aman dan indah dalam hidupnya! Kemudian dengan tangannya yang kokoh, sang ayah memengang John kecil melintasi ngarai yang seram pulang menuju rumah mereka.

“Kedatangan ayah mengubah seluruh pengalaman saya.” Kenang John McNeil kemudian. Tuhan adalah Ayah Anda dan Ayah saya. Dalam masa penuh keputusasaan dan kegelapan, kita bisa mendengar suara-Nya, karena Dia pasti akan mencari kita. Dia akan selalu ada, saat kita membutuhkan-Nya. Yang menjadi bagian dan harus kita lakukan adalah benar-benar memercayainya sepenuh hati.

Tidak mudah untuk memercayai Tuhan terlebih ketika melewati lembah kekelaman. Dalam kisah pengembaraan Israel di padang gurun menuju tanah perjanjian, berulang kali Allah meyakinkan kepada umat-Nya bahwa Dia sendirilah yang menuntun bangsa itu. Satu hal yang diminta-Nya adalah mempercayakan diri kepada-Nya. Peristiwa pembuatan dan penyembahan anak lembu emas hanyalah salah satu dari sekian banyak perilaku ketikadakpercayaan umat akan pimpinan tangan Tuhan. Peristiwa penyembahan patung anak lembu emas ini membuat Allah murka dan menghukum umat Israel dengan menulahi mereka (Keluaran 32:35).

Musa merasa kecewa dan sedih, sebab Harun, kakaknya yang menjadi tumpuan dan teman pergumulan ternyata telah melakukan dosa dengan menuruti keinginan umat Israel membuat berhala. Dengan tugas berat memimpin bangsa israel menuju tanah perjanjian, Musa menginginkan sahabat lain yang akan menolong dia. Ia meminta Tuhan mengutus “teman” untuk menemaninya dalam memimpin uamat. Untuk kerinduan itu, Tuhan menjawab bahwa Ia sendiri, bukan malaikat-Nya yang akan membimbing dan memberikan ketentraman kepada Musa (Keluaran 33:14). Namun, tampaknya Musa terus meminta bukti bahwa Tuhan benar-benar menyertai dia dan bangsanya.

Musa meminta ditunjukkan jalan Tuhan sampai meminta Tuhan memperlihatkan kemuliaan-Nya. Musa tidak berhenti pada janji Tuhan yang akan membimbing dirinya. Ia mau Tuhan juga membimbing umat-Nya. Musa sadar bahwa perjalanan yang masih terbentang di hadapannya tidaklah mudah. Karenanya, ia mau agar Tuhan menyertai mereka. Tampaknya, Tuhan memenuhi apa yang diminta Musa. Ia tetap melimpahkan kasih karunia-Nya kepada Musa dan akan menyertai perjalanan umat-Nya. Untuk membuktikan janji Tuhan itu, Musa kembali mengajukan permintaan sebagai konfirmasi atau penegasan, yaitu supaya ia bisa melihat kemuliaan Tuhan, seperti yang ia kenal di masa lalu. Ketika itu kemuliaan Tuhan menyertai dan menaungi umat-Nya dari Mesir samapi Sinai. Dengan melihat kemuliaan Tuhan, Musa diyakinkan bahwa Tuhan tetap ada di antara umat-Nya dan tidak meninggalkan umat-Nya.

Terkadang Tuhan mengijinkan pengembaraan hidup kita melewati ngarai yang kelam dan seram seperti John McNeil atau seperti Musa dan bangsanya di padang gurun. Sendirian, takut, getir, sakit dan terasing. Keadaan seperti ini memaksa kita bertanya, “Apakah Tuhan masih menyertaiku?” Atau “Apakah benar tangan Tuhan itu ada?” Seperti Musa, kita pun sibuk meminta bukti. Suara-Nya mungkin saja tidak kita dengar karena dosa dan pelanggaran kita. Seperti refleksi Yesaya 59:1-2, “Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.” Dalam kisah keluaran, jelaslah bukan TUHAN yang menjauhi umat-Nya, melainkan umat itulah yang sering membelakangi TUHAN. Bisa saja, kita tidak merasakan tuntunan tangan-Nya oleh karena tangan kita sibuk melakukan dan mengenggam dosa. Lepaskanlah dosa-dosa itu, betapa pun menyenangkannya. Mengapa? Karena tidak mungkin kita mengapai tangan-Nya yang kudus sementara tangan kita kotor!

Bisa saja TUHAN mengijinkan kita melewati lembah air mata dengan maksud kita sedang “dilatih-Nya” menjadi anak-anak yang matang. Anak-anak yang tidak cengeng melainkan anak-anak yang tangguh. Iberani 12 : 7-8 mengajarkan, “Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.” Jadi, lembah air mata, gurun gersang dan ganas bisa saja menjadi “kawah candradimuka” Allah mengembleng kita. Bagaimana setelah seseorang digembleng dengan ujian berat? Ia akan keluar menjadi anak yang tangguh dan tahan uji!

John McNeil setelah melewati ketakutan luar biasa dan sang ayah datang pada waktu yang tepat. Ayahnya menuntunnya dalam kegelapan dan kengerian. Toh, ketika sang ayah menuntunnya, gelap tidak berubah menjadi terang. Suara-suara mengerikan tidak lenyap. Namun, ia berani melangkah oleh karena sang ayah ada di dekatnya. Ayah memegang tangannya. Kini, setelah peristiwa itu usai, John bisa bercerita, ia bersaksi bahwa ia dapat melewati lembah kengerian itu bersama dengan ayahnya.

Penderitaan dan kesulitan hidup sebenarnya dapat menjadi sebuah kesaksian yang indah. Paulus memuji jemaat di kota Tesalonika (1 Tes.1:5-10). Paulus mengungkapkan bahwa di tengah kesukaran dan penderitaan yang mereka alami, selain tetap menjadi penurut Tuhan, sikap hidup mereka kemudian menjadi kesaksian yang dapat diteladani oleh orang-orang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya. Sikap mereka yang hanya percaya kepada Tuhan, berbalik dari berhala-berhala, dan melayani Tuhan dengan apa yang bisa mereka lakukan, rupanya menjadi kesaksian hidup yang bergema ke mana-mana.

Mungkin saja, saat ini kita sedang berada dalam lembah kekelaman itu. Percayalah bahwa tangan Tuhan selalu ada. Ia tidak jauh, bahkan Ia menantikan kita mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan-Nya. Jangan buru-buru marah dan kecewa. Siapa tahu di balik semua itu ada pelangi kasih yang sedang menanti. Ada kemuliaan-Nya yang begitu dasyat!

Jumat, 10 Oktober 2014

JANGAN BERIMAN KEPADA ILAH PALSU

Manusia sering tergoda dengan apa yang dilihatnya secara kasat mata. Yang tampak itulah diyakini sebagai realita sebenarnya. Kemewahan, kecantikan, keindahan dan kedasyatan yang menakjubkan selalu dihubungkan dengan penglihatan seseorang terhadap subyek tertentu dan dari sana kemudian manusia menyimpulkan serta memercaiyainya. Namun, tahukah Anda bahwa tidak selamanya yang kasat mata itu menampilkan realita dan kekuatan yang sesungguhnya? Bahkan sebaliknya, apa yang tidak terlihat itu memegang peranan yang maha penting untuk eksistensi apa yang dapat dilihat kasat mata. Ada hal-hal yang tidak kasat mata namun memiliki kekuatan dasyat.

Energi listrik adalah kekuatan yang tidak kasat mata. Paling banter kita hanya melihat kabel-kabel, tiang dan rangkaian dalam travo, bentuk energinya seperti apa kita tidak pernah tahu. Namun, jangan coba-coba kita memegangnya dengan tangan telanjang jika tidak ingin tubuh kita hangus atau meledak seketika. Bagi masyarakat modern, energi listrik adalah salah satu kebutuhan primer. Listrik mati, terhentilah aktifitas pekerjaan.

Hal kedua yang tidak tampak namun mempunyai kekuatan luar biasa adalah pikiran. Yang tampak, kalau pun itu dibedah adalah gumpalan otak, tetapi tidak seorang pun dapat melihat dan memvisualisasikan pikiran. Pikiran Anda yang sedang membaca renungan ini tidak dapat dilihat, seperti apa wujud dan warnanya. Namun, apabila pikiran itu error, semisal karena stroke, hubungan antara neuron terganggu dan menjadikan otak tidak dapat berfungsi, diri kita bisa menjadi mummi alias mayat hidup. Secara fisik masih hidup tetapi pikiran sudah mati.

Ketiga, nyawa kita tidak tampak. Tidak seorang pun dapat melihat “nyawa”, tetapi kita sepakat bahwa kita mempunyai nyawa atau roh. Bila Allah menghendakinya, saatnya diambil oleh Sang Pemilik, tubuh kita yang mempunyai unsur-unsur sama dengan tanah akan kembali menjadi tanah. Secara hakekat, tubuh kita adalah tanah yang kebetulan berwujud manusia dan diberi nyawa serta pikiran. Tanpa nyawa, manusia sama dengan tanah!

Selanjutnya, semua yang tidak tampak pada umumnya berupa nonfisik. Dalam ilmu fisika, kalau dianalisis sampai mendalam, materi (benda kasat mata) sesungguhnya terdiri dari struktur susunan fisik ke nonfisik. Benda tersusun dari molekul, molekul tersusun dari atom, atom tersusun dari partikel yang tidak tampak: energi kuanta dan virtual. Jadi, semua benda (termasuk tubuh kita) terbuat dari yang tidak tampak, yakni energi kuanta (quantum). Yang tidak tampak – listrik, pikiran, nyawa, energi quanta- menduduki peran maha penting bagi eksistensi nonfisik.

Dalam perjalanan menuju tanah perjanjian, suatu ketika Musa naik ke gunung Sinai untuk menerima dua loh batu yang berisi Taurat Tuhan (Keluaran 32). Kepergian Musa ke gunung itu membuat bangsa Israel resah. Mereka berpikir Musa sedang mengulur-ngulur waktu turun dari gunung itu. Maka bangsa itu mendesak kepada Harun, abangnya Musa untuk segera membuat sesembahan bagi mereka. Mereka melihat bangsa-bangsa di sekitarnya mempunyai sesembahan yang dapat dilihat kasat mata. Ada medianya, ada wujud patungnya. Mereka menginginkan yang kasat mata ketimbang yang tidak kelihatan. Atas desakan itu, Harun berinisiatif mengumpulkan semua perhiasan emas yang ada pada bangsa itu lalu kemudian dibentuk menjadi anak lembu emas. Mengapa berbentuk anak lembu emas dan bukan babi hutan, singa, gajah, banteng, atau binatang lainnya?

Barang kali inspirasi anak lembu emas diperoleh dari praktek-praktek penyembahan bangsa Israel pada waktu itu. Ada beberapa bukti arkeologi yang berkaitan dengan pemujaan terhadap hewan. Di sekitar Mesir ada bukti-bukti sejaman dengan kisah keluaran, yakni penyembahan terhadap Horus dan anak lembu yang menjadi lambang kesuburan dan kedigdayaan. Di daerah Kanaan ada praktek pemujaan terhadap lembu jantan atau anak lembu sebagai Baal yang berkuasa atas alam dan juga melambangkan kesuburan dan kekuatan. Pembuatan anak lembu emas oleh Harun rupanya menjadi praktek yang umum di sana. Kehadiran yang tidak kasat mata dipersonalisasikan dengan yang kelihatan. Kehadiran yang ilahi disimbolkan dengan patung. Celakanya, Harun menyatakan bahwa anak lembu emas itu adalah TUHAN (YHWH). Lalu Harun mengadakan upacara peresmian penyembahan anak lembu emas. Berserulah Harun, katanya: “Besok hari raya bagi TUHAN!” (Keluaran 32:5).

Kita mungkin terheran-heran, koq bisa seorang Harun, imam besar dan kakak kandung dari Musa memakai nama TUHAN dan menerapkannya terhadap anak lembu emas? Di mana kejernihan berpikir dan spiritualitasnya? Ada banyak jawaban. Mungkin saja bisa kita kaitkan dengan desakan orang banyak yang disertai ancaman agar Harun segera membuat allah yang kelihatan. Bisa juga Harun terinspirasi kepercayaan bangsa lain dan ikut-ikutan membuat patung.

Apa yang terjadi dengan bangsa Israel dan Harun dapat pula menimpa setiap kita. Kita sering tergoda dengan yang kasat mata, terlihat dan logis dapat membantu mewujudkan keinginan kita. Kita sering tertarik dengan orang-orang di sekitar kita yang tampaknya mudah dalam menyelesaikan persoalan hidup: materi, kekayaan, kesehatan, keberuntungan, pendeknya kesuksesan dalam hidup. Sehingga kita mudah beralih, meninggalkan iman kita kepada TUHAN dan mengalihkannya kepada ilah-ilah yang tampaknya kasat mata dapat membantu. Banyak cerita di mana orang rela meninggalkan imannya hanya untuk menggapai kekuasaan dan kekayaan materi karena hal itu dapat dianggap sebagai jaminan dalam hidupnya.

Kita telah banyak belajar tentang kata “iman”. Iman, sederhananya adalah menyandarkan diri kepada apa yang diyakini tidak dapat tergoyahkan kemudian mengamininya sehingga hidup menjadi aman. Dalam iman kita diajarkan bahwa kita bersandar pada TUHAN yang tidak kelihatan kasat mata namun diyakini mempunyai kekuatan yang Mahadasyat. Jika alam raya ciptaan-Nya ini mempunyai energi-energi dasyat, contohnya energi listrik yang tidak terlihat, maka sudah pastilah Sang Pencipta itu jauh lebih dasyat! Namun, sayangnya manusia sering menukar dan menggadaikan yang Mahadasyat itu dengan yang sementara. Tentu, ada alasan untuk itu. Dan alasannya terkesan rasional, masuk akal: kuatir misalanya. Kuatir akan ancaman tidak bisa hidup layak, tidak dihormati, tidak tersembuhkan dan lain sebagainya.

Mengenai kekuatiran, Paulus menasehati Euodia dan Sintikhe supaya tetap sehati sepikir. “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”(Filipi 4:6). Allah tahu dan mengerti apa yang menjadi kekuatiran setiap kita. Sejarah Israel keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian bukankah juga mengajarkan kepada kita akan pahit-getirnya padang gurun yang harus mereka tempuh. Namun, di sana Allah selalu ada, Ia hadir dan menolong tepat waktu.

Dalam dunia yang kita geluti sekarang ada banyak ilah palsu. Kalau dulu bentuknya anak lembu emas, kini bisa berbentuk uang, kekayaan, kekuasaan, hobby, orang-orang “pintar”, kekuasaan, dan semacamnya yang bisa menggantikan kedudukan Allah. Itu semua kelihatannya dapat menyelesaikan kekuatiran dan memenuhi keinginan kita. Namun, janganlah silau, semua itu bagaikan anak lembu emas yang tidak akan pernah bisa menggantikan kedudukan TUHAN yang sebenarnya. Mintalah kepada TUHAN agar kita dapat membedakan mana ilah palsu dan mana yang sejati. Beranikanlah diri kita untuk tetap beribadah kepada Allah yang sejati meski sulit jalan yang kita tempuh. Namun, kelak kita akan masuk ke “negeri perjanjian” itu!