Jumat, 10 Oktober 2014

JANGAN BERIMAN KEPADA ILAH PALSU

Manusia sering tergoda dengan apa yang dilihatnya secara kasat mata. Yang tampak itulah diyakini sebagai realita sebenarnya. Kemewahan, kecantikan, keindahan dan kedasyatan yang menakjubkan selalu dihubungkan dengan penglihatan seseorang terhadap subyek tertentu dan dari sana kemudian manusia menyimpulkan serta memercaiyainya. Namun, tahukah Anda bahwa tidak selamanya yang kasat mata itu menampilkan realita dan kekuatan yang sesungguhnya? Bahkan sebaliknya, apa yang tidak terlihat itu memegang peranan yang maha penting untuk eksistensi apa yang dapat dilihat kasat mata. Ada hal-hal yang tidak kasat mata namun memiliki kekuatan dasyat.

Energi listrik adalah kekuatan yang tidak kasat mata. Paling banter kita hanya melihat kabel-kabel, tiang dan rangkaian dalam travo, bentuk energinya seperti apa kita tidak pernah tahu. Namun, jangan coba-coba kita memegangnya dengan tangan telanjang jika tidak ingin tubuh kita hangus atau meledak seketika. Bagi masyarakat modern, energi listrik adalah salah satu kebutuhan primer. Listrik mati, terhentilah aktifitas pekerjaan.

Hal kedua yang tidak tampak namun mempunyai kekuatan luar biasa adalah pikiran. Yang tampak, kalau pun itu dibedah adalah gumpalan otak, tetapi tidak seorang pun dapat melihat dan memvisualisasikan pikiran. Pikiran Anda yang sedang membaca renungan ini tidak dapat dilihat, seperti apa wujud dan warnanya. Namun, apabila pikiran itu error, semisal karena stroke, hubungan antara neuron terganggu dan menjadikan otak tidak dapat berfungsi, diri kita bisa menjadi mummi alias mayat hidup. Secara fisik masih hidup tetapi pikiran sudah mati.

Ketiga, nyawa kita tidak tampak. Tidak seorang pun dapat melihat “nyawa”, tetapi kita sepakat bahwa kita mempunyai nyawa atau roh. Bila Allah menghendakinya, saatnya diambil oleh Sang Pemilik, tubuh kita yang mempunyai unsur-unsur sama dengan tanah akan kembali menjadi tanah. Secara hakekat, tubuh kita adalah tanah yang kebetulan berwujud manusia dan diberi nyawa serta pikiran. Tanpa nyawa, manusia sama dengan tanah!

Selanjutnya, semua yang tidak tampak pada umumnya berupa nonfisik. Dalam ilmu fisika, kalau dianalisis sampai mendalam, materi (benda kasat mata) sesungguhnya terdiri dari struktur susunan fisik ke nonfisik. Benda tersusun dari molekul, molekul tersusun dari atom, atom tersusun dari partikel yang tidak tampak: energi kuanta dan virtual. Jadi, semua benda (termasuk tubuh kita) terbuat dari yang tidak tampak, yakni energi kuanta (quantum). Yang tidak tampak – listrik, pikiran, nyawa, energi quanta- menduduki peran maha penting bagi eksistensi nonfisik.

Dalam perjalanan menuju tanah perjanjian, suatu ketika Musa naik ke gunung Sinai untuk menerima dua loh batu yang berisi Taurat Tuhan (Keluaran 32). Kepergian Musa ke gunung itu membuat bangsa Israel resah. Mereka berpikir Musa sedang mengulur-ngulur waktu turun dari gunung itu. Maka bangsa itu mendesak kepada Harun, abangnya Musa untuk segera membuat sesembahan bagi mereka. Mereka melihat bangsa-bangsa di sekitarnya mempunyai sesembahan yang dapat dilihat kasat mata. Ada medianya, ada wujud patungnya. Mereka menginginkan yang kasat mata ketimbang yang tidak kelihatan. Atas desakan itu, Harun berinisiatif mengumpulkan semua perhiasan emas yang ada pada bangsa itu lalu kemudian dibentuk menjadi anak lembu emas. Mengapa berbentuk anak lembu emas dan bukan babi hutan, singa, gajah, banteng, atau binatang lainnya?

Barang kali inspirasi anak lembu emas diperoleh dari praktek-praktek penyembahan bangsa Israel pada waktu itu. Ada beberapa bukti arkeologi yang berkaitan dengan pemujaan terhadap hewan. Di sekitar Mesir ada bukti-bukti sejaman dengan kisah keluaran, yakni penyembahan terhadap Horus dan anak lembu yang menjadi lambang kesuburan dan kedigdayaan. Di daerah Kanaan ada praktek pemujaan terhadap lembu jantan atau anak lembu sebagai Baal yang berkuasa atas alam dan juga melambangkan kesuburan dan kekuatan. Pembuatan anak lembu emas oleh Harun rupanya menjadi praktek yang umum di sana. Kehadiran yang tidak kasat mata dipersonalisasikan dengan yang kelihatan. Kehadiran yang ilahi disimbolkan dengan patung. Celakanya, Harun menyatakan bahwa anak lembu emas itu adalah TUHAN (YHWH). Lalu Harun mengadakan upacara peresmian penyembahan anak lembu emas. Berserulah Harun, katanya: “Besok hari raya bagi TUHAN!” (Keluaran 32:5).

Kita mungkin terheran-heran, koq bisa seorang Harun, imam besar dan kakak kandung dari Musa memakai nama TUHAN dan menerapkannya terhadap anak lembu emas? Di mana kejernihan berpikir dan spiritualitasnya? Ada banyak jawaban. Mungkin saja bisa kita kaitkan dengan desakan orang banyak yang disertai ancaman agar Harun segera membuat allah yang kelihatan. Bisa juga Harun terinspirasi kepercayaan bangsa lain dan ikut-ikutan membuat patung.

Apa yang terjadi dengan bangsa Israel dan Harun dapat pula menimpa setiap kita. Kita sering tergoda dengan yang kasat mata, terlihat dan logis dapat membantu mewujudkan keinginan kita. Kita sering tertarik dengan orang-orang di sekitar kita yang tampaknya mudah dalam menyelesaikan persoalan hidup: materi, kekayaan, kesehatan, keberuntungan, pendeknya kesuksesan dalam hidup. Sehingga kita mudah beralih, meninggalkan iman kita kepada TUHAN dan mengalihkannya kepada ilah-ilah yang tampaknya kasat mata dapat membantu. Banyak cerita di mana orang rela meninggalkan imannya hanya untuk menggapai kekuasaan dan kekayaan materi karena hal itu dapat dianggap sebagai jaminan dalam hidupnya.

Kita telah banyak belajar tentang kata “iman”. Iman, sederhananya adalah menyandarkan diri kepada apa yang diyakini tidak dapat tergoyahkan kemudian mengamininya sehingga hidup menjadi aman. Dalam iman kita diajarkan bahwa kita bersandar pada TUHAN yang tidak kelihatan kasat mata namun diyakini mempunyai kekuatan yang Mahadasyat. Jika alam raya ciptaan-Nya ini mempunyai energi-energi dasyat, contohnya energi listrik yang tidak terlihat, maka sudah pastilah Sang Pencipta itu jauh lebih dasyat! Namun, sayangnya manusia sering menukar dan menggadaikan yang Mahadasyat itu dengan yang sementara. Tentu, ada alasan untuk itu. Dan alasannya terkesan rasional, masuk akal: kuatir misalanya. Kuatir akan ancaman tidak bisa hidup layak, tidak dihormati, tidak tersembuhkan dan lain sebagainya.

Mengenai kekuatiran, Paulus menasehati Euodia dan Sintikhe supaya tetap sehati sepikir. “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”(Filipi 4:6). Allah tahu dan mengerti apa yang menjadi kekuatiran setiap kita. Sejarah Israel keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian bukankah juga mengajarkan kepada kita akan pahit-getirnya padang gurun yang harus mereka tempuh. Namun, di sana Allah selalu ada, Ia hadir dan menolong tepat waktu.

Dalam dunia yang kita geluti sekarang ada banyak ilah palsu. Kalau dulu bentuknya anak lembu emas, kini bisa berbentuk uang, kekayaan, kekuasaan, hobby, orang-orang “pintar”, kekuasaan, dan semacamnya yang bisa menggantikan kedudukan Allah. Itu semua kelihatannya dapat menyelesaikan kekuatiran dan memenuhi keinginan kita. Namun, janganlah silau, semua itu bagaikan anak lembu emas yang tidak akan pernah bisa menggantikan kedudukan TUHAN yang sebenarnya. Mintalah kepada TUHAN agar kita dapat membedakan mana ilah palsu dan mana yang sejati. Beranikanlah diri kita untuk tetap beribadah kepada Allah yang sejati meski sulit jalan yang kita tempuh. Namun, kelak kita akan masuk ke “negeri perjanjian” itu!

Kamis, 02 Oktober 2014

SABDA ALLAH LEBIH MANIS DARIPADA MADU

“...dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah.”(Mazmur 19:11b). Sepenggal kalimat refleksi Daud terhadap Taurat TUHAN dalam rangkaian bait yang dimulai dengan “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa;...”(Mazmur 19:8). Banyak orang, baik secara tradisional maupun ilmu pengetahuan moderen meneliti madu. Hasilnya, menakjubkan! Kasiat madu telah dimanfaatkan manusia dari jaman prasejarah sampai hari ini. Dari manfaat kecantikan sampai keperkasaan. Madu kaya akan nutrisi gizi yang diperlukan tubuh manusia. Namun demikian pengelolaan madu agar maksimal dalam memberikan mafaatnya bukan perkara sederhana.

Sabda Allah lebih manis dari pada madu! Artinya, bagi Daud, jika saja madu begitu manis dan bermanfaat bagi tubuh manusia, betapa lebihnya manfaat firman TUHAN bagi kehidupan manusia. Salah satu manfaat yang diucapakan Daud, “Lagi pula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar.”(Mazmur 19:12). Mungkin saja ada orang yang tidak dapat mengecap manisnya Firman TUHAN malah baginya sabda TUHAN itu menjadi penghalang untuk memuluskan keinginannya. Atau Sabda itu diputarbalikkan demi kepentingannya. Orang Farisi begitu karib bergaul dengan Taurat. Mereka adalah ahlinya. Namun, mereka menggunakannya untuk kepentingan dan kebanggaan sendiri.  Ketika ada yang mengingatkan, alih-alih sadar dan berbaik dari langkah yang salah justeru mereka memberangus orang yang mengingatkannya. Kisah perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 21:33-46) terasa tepat bagi orang-orang yang merasa pandai mengetahui kitab suci namun tidak dalam menerapkannya. Bagi Daud, firman TUHAN atau Taurat itu bagaikan pandu dalam langkah hidupnya. Kalau buat kita, Taurat atau Firman TUHAN itu mempunyai fungsi apa?

Beberapa minggu ini kita belajar dari perjalanan pengembaraan bangsa Israel di padang gurun sebelum memasuki negeri perjanjian. Perjalanan hidup kita juga adalah sebuah pengembaraan di dunia ini. Ada orang yang sudah sangat jelas tujuan arah hidupnya, ada yang masih samar-samar untuk apa hidup ini dan banyak yang tidak tau ke mana arah tujuan hidupnya. Hidup bagai sebuah perjalanan dan kita membutuhkan banyak hal agar perjalanan yang hanya sekali ini saja tidak menjadi sia-sia.

Marilah kita andaikan bahwa kita sekarang ada di Bandung dan merencanakan sebuah perjalanan pulang ke Jakarta. Tidak ada alat transpotasi yang akan membawa kita sampai di rumah. Anda harus berjalan kaki, sama seperti halnya tidaka ada alat transfortasi menuju ke sorga. Pertanyaan pertama: jalan mana yang akan kita ambil? Jalan melalui pegunungan, puncak lalu ke Bogor atau melalui Ciater, Subang lalu Cikampek dan Bekasi? Anda sendirilah yang memilih jalan dan mengatur kecepatannya, seperti halnya perjalanan ke sorga. Dalam perjalanan itu ada satu syarat: Anda hanya bisa berjalan ke depan, Anda tidak bisa kembali menyusuri lagi jalan yang sudah Anda lewati. Itu adalah sekali jalan untuk selamanya. Jalan satu arah yang sangat ketat!

Tentu, Anda harus mencari makanan di sepanjang jalan yang Anda tempuh itu, mungkin di pasar kecil, di sebuah kedai makanan atau di rumah-rumah pedesaan yang Anda lalui.

Refleksikan: Dalam ziarah kita menuju surga, di gereja kita memiliki sakramen. Salah satunya Perjamuan Kudus (hari ini umumnya gereja-gereja mereyakan Perjamuan Kudus se-dunia), kita merayakannya dengan makan roti dan minum air anggur. Sebuah simbol rohani yang dapat dikecap untuk menyegarkan dan mengenyangkan serta memperkuat langkah para pejalan kaki di sepanjang jalan kehidupan. Perjamuan itu mengingatkan akan cinta kasih Allah melalui Kristus yang mengorbankan tubuh dan darah-Nya.

Perjalanan dilanjutkan. Anda pun mungkin tergores dan memar di sepanjang jalan dan bengkak-bengkak di kaki. Anda perlu memeriksakannya di klinik terdekat. Di gereja kita menyebutnya dengan persekutuan orang-orang yang peduli, siap melayani dan saling menguatkan-memulihkan. Apakah kini gereja menjadi tempat yang ramah dengan menunjukkan karakter hospitalitasnya? Ataukah semakin menutup diri dan menjadi tempat yang tidak lagi nyaman untuk para “pejalan kaki” yang terluka dan membutuhkan pemulihan?

Hal lain yang dibutuhkan dalam perjalanan adalah sejenis penerangan lampu atau obor untuk menunjukkan jalan jika Anda berjalan di malam yang dingin dan gelap. Penerangan itu adalah Sabda Ilahi, firman TUHAN. Kitab Suci, ia juga merupakan peta, yang bisa menunjukkan kepada kita beberapa jalan pintas dan konsekuensi-konsekuensinya ketika memilih salah satu jalan itu. Sepuluh perintah TUHAN (Taurat) adalah peraturan-peraturan atau marka yang menjamin bahwa kita akan tiba dengan selamat di tempat tujuan. Ingat Taurat itu bermanfaat sebagai rambu dan marka, oleh karena itu sebenarnya ia bukan tujuan perjalanan Anda. Benar, rambu, marka dan petujuk sangat penting. Mengapa? Tanpa itu kita tidak tahu ke mana melangkah, tetapi tidak boleh ia menggantikan peran sebagai tujuan. Tidak boleh juga kita terus memegangi rambu itu di tempatnya dan ogah meneruskan perjalanan. Dulu Rasul Paulus pun menganggap Taurat itu adalah tujuan hidup, setidaknya kebanggaannya, hal ini terungkap dalam Filipi 3:4-6. Tetapi ketika ia berjumpa dengan Kristus, pandangannya terhadap Taurat berubah drastis. Kini ia mengenal tujuan hidupnya adalah Kristus! Tujuan kita pulang ke Jakarta dan petunjuk, marka atau rambu pada gilirannya akan tetap tinggal di tempatnya. Ia harus terus bertugas menuntun orang agar sampai ke tempat tujuan.

Sementara kita bergerak, kita bisa berjalan atau berlari atau sekedar berjalan-jalan santai. Kita bisa berhenti sejenak untuk mengagumi hal-hal yang ada di sepanjang jalan. Namun, jangan terlalu lama apalagi terlena kemudian enggan meneruskan perjalanan. Ada banyak orang terlena di tengah perjalanan malah kemudian membangun rumah dan tinggal di tengah perjalanan itu. Kenyamanan, kenikmatan hidup telah membuai banyak orang tidak lagi mengingat Firman-Nya. Ia lupa tujuan perjalanan hidup itu.

Kita mungkin tergelincir, terjatuh, terantuk batu, terluka dan berdarah-darah bahkan mungkin bisa dirampok orang. Tetapi percayalah Anda tidak ditinggalkan-Nya sendirian. Pelbagai cara ajaib yang mungkin tidak pernah Anda duga dapat dipergunakan-Nya untuk menopang perjalanan Anda. Ia dapat mengolesi luka Anda dengan “madu itu” bahkan mengenyangkannya hingga sampai di tujuan akhir perjalanan Anda. Sekarang yang dibutuhkan adalah kesediaan Anda hidup dalam ketaatan pada firman-Nya, bukan sekedar ucapan dan pengetahuan belaka melainkan totalitas hidup kita. Nah, ketika sampai di tujuan, pulang ke rumah, semua letih lesu itu akan segera sirna. Di sana Sang Bapa menyambut kita dengan senyuman, “Baik sekali anak-Ku, engkau telah setia selama perjalanan hidupmu. Kini, masuklah bersama-sama dengan Aku di dalam kemuliaan-Ku. Semoga!