Rabu, 10 April 2024

SAKSI KEBANGKITAN TUHAN

Catatan Luios M. Bermejo, dalam karyanya Misteri dan Makna Kebangkitan Yesus, Makam Kosong, Petrus merupakan murid Yesus yang imannya tumbuh pelan dan menyakitkan. Hal ini kontras dengan Tomas yang disebut Didimus itu. Iman Tomas, yang semula tidak percaya menjadi beriman secara mendadak setelah berjumpa dengan Yesus yang bangkit.

 

Koq bisa Petrus diberi label imannya tumbuh pelan dan menyakitkan? Mari kita mengingat lagi peristiwanya sebelum penyaliban Yesus. Peristiwa dua setengah hari terakhir masih segar dalam ingatan Petrus. Pada perjamuan malam terakhir itu, Yesus telah meramalkan dengan tepat penyangkalan Petrus, termasuk peristiwa kecil yang akan mengiringinya, yakni ayam berkokok. Petrus membantahnya. Sekali-kali ia tidak akan menyangkal! Dengan diam Yesus menerima pernyataan kesetiaan Petrus. Meskipun nyatanya benar Petrus tiga kali menyangkal-Nya!

 

Masih segar dalam ingatan Petrus, tiga kali ia menyangkal di halaman imam besar. Tatapan mata Yesus yang tajam dan penuh pemahaman bertemu tanpa bicara di halaman imam besar yang redup sebelum Yesus sepenuhnya ditelan oleh kegelapan. Sekarang, Petrus merasa amat hina karena pengecut. Imannya yang ada di kakinya runtuh berkeping-keping!

 

Semua kenangan menyedihkan itu berkecamuk dalam pikirannya ketika Petrus berada tepat di depan Yesus. Yesus melangkah maju dan tanpa mengatakan apa-apa – kata-kata apa yang dibutuhkan apabila kedua-duanya telah mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh keduanya? – memeluk Petrus yang gemetar dalam dekapan yang penuh pengertian, tanpa satu teguran apa pun, dan tanpa menyebut sedikit pun peristiwa-peristiwa yang memalukan di masa lampau itu. Sama sekali tidak! Pelukan yang erat tanpa kata-kata antara dua orang yang hampir seusia. Yesus tersenyum, tetapi Petrus menangis lagi! Dua hari sebelumnya, sesudah mendengar ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya dan tiba-tiba menyadari besarnya perbuatannya, ia luluh dan menangis. Sekarang, ia menangis lagi! Masih terbayang akan pembualannya yang sia-sia dan kelemahan-kelemahannya yang merendahkannya sekarang menyerangnya dengan kekuatan hebat. Petrus tidak berani mengangkat matanya – yang penuh dengan air mata – untuk menangkap pandangan Yesus. Petrus penuh dengan seonggok perasaan-perasaan yang berlawanan : malu, bingung, menyesal, direndahkan, tidak pantas – dan di bawah itu semua, cinta sejati terhadap Yesus.

 

Pelukan Yesus tidak disertai kata-kata tetapi merupakan kesaksian pengampunan yang kuat atas apa yang pernah dilakukan oleh Petrus. Tetapi Petrus tidak akan pernah melupakan bahwa, sementara murid-murid lain telah bersalah karena meninggalkan Yesus di taman Getsemani, ia menjadi satu-satunya orang yang bersalah karena menyangkal-Nya dengan jelas. Dan di atas kehancuran kegagalan yang mendatangkan kendala dan merendahkan itulah, Petrus menerima anugerah iman Paskah yang gemilang sekaligus sebuah mandat untuk menggembalakan domba-domba-Nya!

 

Pemulihan itu begitu ajaib, tidak hanya Petrus, semua murid-murid mengalami pemulihan. Yesus memulihkan para murid melalui kehadiran-Nya. Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Tidak hanya itu, Yesus mempersilahkan mereka untuk meraba luka-luka itu! Kini, iman itu masuk melalui rasa, yakni dengan melihat dan meraba. Namun, maksud penulis Injil Lukas bukan hanya menggambarkan sifat-sifat fisik Yesus yang sudah bangkit, tetapi menekankan kesamaan pribadi Yesus yang sudah bangkit. Yang ada di depan mereka adalah orang yang sama yang mati pada hari Jumat itu, dan kini menampakkan diri pada hari Minggu. Bukan hantu! Ada unsur kelanjutan tubuh antara Yesus yang melayani orang banyak dan Yesus yang bangkit! Dia yang bangkit itu memberi pesan, “Kamu adalah saksi dari semuanya ini!” (Lukas 24:48).

 

Mari kita kembali kepada Petrus. Suatu ketika Petrus dan Yohanes hendak pergi ke Bait Suci. Di pintu gerbang indah, mereka berjumpa dengan seorang yang lumpuh sejak lahir. Orang lumpuh itu meminta sedekah. Petrus menjawab, “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!” (Kisah Para Rasul 3:6). Seketika itu, orang lumpuh itu berjalan dan melompat-lompat! Peristiwa itu menggemparkan lantaran orang lumpuh itu terus mengikuti Petrus dan Yohanes, lalu orang banyak yang terheran-heran mengerumuni mereka di Serambi Salomo. Melihat orang banyak itu, lalu bangkitlah Petrus memberi kesaksian.

 

Peristiwa di Serambi Salomo ini adalah hal penting bagi kehidupan jemaat perdana. Yesus ketika masih bersama-sama dengan mereka pernah menyampaikan pengajaran-Nya di tempat ini (Yohanes 10:23). Para murid di kemudian hari juga menjadikan tempat ini semacam tempat pertemuan mereka untuk mengenang kembali apa yang pernah mereka lakukan bersama dengan Yesus (Kisah Para Rasul 5:2). Tempat itu bukan hanya untuk menunjukkan kaitan para murid dengan tradisi Yahudi, melainkan untuk mengenang kembali mereka dengan karya Yesus. Pada kesempatan itu Petrus bersaksi. Apa yang disampaikannya?

 

Pertama, Petrus menegaskan bahwa peristiwa itu, yakni penyembuhan orang yang lumpuh sejak lahir, bukanlah karena kekuatan dan kesaktiannya. Apa yang disaksikan oleh banyak orang secara kasat mata perlu dikaji dengan cermat. Petrus tidak menganggap diri memiliki kekuatan seperti Simon Magus (Kisah Para Rasul 8:9). Ia juga menolak bahwa peristiwa itu merupakan buah dari kesalehan dirinya bersama Yohanes. Mengapa Petrus menyatakan demikian? Apakah ia lupa akan janji Yesus: Mintalah, maka engkau akan diberi? Petrus pasti menyadari akan kekuatan iman. Ia sadar bahwa dalam peristiwa itu kekuatan iman turut bekerja dan erat hubungannya dengan doa. Namun, dalam kesempatan ini yang menjadi arah pemikiran Petrus adalah kesaksian! Petrus sadar, ia hanya menjadi saksi, bukan pelaku utama mukjizat itu. Petrus menjadi saksi karya Allah yang menyembuhkan! Mukjizat itu terjadi karena Allah sendiri, Petrus adalah alat di tangan-Nya, maka bukan kekuatan Petrus sendiri yang tampak, melainkan Allah yang mengerjakan hal-hal besar itu.

 

Petrus menegaskan bahwa peristiwa tersebut erat kaitannya dengan peristiwa dan karya Yesus Kristus yang kini bangkit mulia, dan pada kesempatan itu menunjukkan kuasa kebangkitan-Nya yang dapat membangkitkan orang lumpuh meskipun kelumpuhan itu dialami sejak lahir. Sebagaimana dirinya yang tidak disalahkan oleh Yesus, Petrus tidak menyalahkan para pendengarnya dalam hal kematian Yesus, tetapi ia mau menegaskan bahwa karya Allah tidak bisa gagal. Karya itu bagaimana pun juga terlaksana sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya! 

 

Peristiwa Yesus kemudian menjadi peristiwa karya Allah yang menyelamatkan siapa saja yang mau percaya kepada-Nya. Pada kesempatan ini Petrus mau menunjukkan makna kebangkitan Yesus sebagai pemenuhan karya Allah yang menyelamatkan tersebut. Inilah yang menjadi fokus utama kesaksian Petrus. Petrus mengimani sabda Yesus yang membangkitkan tersebut, maka ia juga berani mengucapkannya atas nama Yesus. Inilah yang seharusnya menjadi pusat kesaksian umat Kristiani.

 

Hari ini kita telah belajar bagaimana seorang Petrus dengan masa lalunya yang telah dipulihkan. Kesaksiannya merupakan buah dari pemulihan itu. Tuhan Yesus tahu dengan baik masa lalumu. Mungkin dulu engkau pernah menyangkal dan menghianatinya, atau engkau telah bertindak memalukan, memuakkan, dan menjijikan. Seperti Dia berdiri di hadapan Petrus dan menatap wajahnya. Hal yang sama Ia lakukan, bukan untuk menghakimimu, bukan untuk mempermalukanmu. Namun, Ia ingin memulihkanmu! Mari, sambutlah Dia! Tidak usah banyak kata, Ia tahu isi hatimu. Yang perlu engkau lakukan, pegang tangan yang terluka itu, peluk tubuh-Nya dan rasakan bekas luka lambung-Nya. Itulah yang memulihkanmu!

 

Sekarang, sama seperti Ia meminta Petrus dan murid-murid yang lain untuk menjadi saksi-Nya. Ia juga ingin kamu menjadi saksi-Nya. Ya, saksi kebangkitan-Nya. Kesaksian bukadengan memamerkan prestasi dan kesalehanmu, tetapi bahwa di dalam nama-Nya ada kebangkitan dan hidup. Di dalam nama-Nya kasih Allah terus mengalir sampai sekarang!

 

Jakarta, 10 April 2024. Minggu Paskah ke-3 tahun B.

Kamis, 04 April 2024

PERSEKUTUAN YANG DIPULIHKAN

Otak tidak berfungsi tanpa ekspektasi, demikian ujar Rolf Dobelli ketika ia mengupas Bab tentang “Mengelola Harapan”. Pada dasarnya, otak adalah pemberi harapan yang andal. Ketika memutar gagang pintu, kita berharap pintu terbuka. Ketika memutar keran, kita berharap air keluar. Ketika memasuki pesawat, hukum aerodinamika membuat kita tetap terbang. Kita berharap matahari terbit pada pagi hari dan terbenam sore hari. Semua harapan ini meluncur begitu saja, tanpa kita sadari. Kebiasaan hidup sangat terpatri di otak, sehingga kita tidak perlu memikirkan secara aktif.

 

Dengan pola yang sama kita bisa meneruskan daftar ini. Ketika berbuat baik, kita berharap kebaikan itu diperhatikan Tuhan dan kembali kepada kita. Ketika pergi ke gereja, melakukan pelayanan ini dan itu, doa dan permintaan terkabul. Ketika mengikut Tuhan, segalanya akan baik dan berhasil. Barang kali itu juga yang ada dalam benak para murid ketika mereka mengikut Yesus. Ada segudang harapan atau tepatnya keinginan yang diletakkan pada pundak Yesus. Setidaknya, Yesus adalah sosok mesias yang akan mengangkat harkat dan derajat mereka.

 

Di sinilah kita dapat memahami, mengapa Maria dari Magdalena dan para murid Yesus yang lainnya tidak langsung mengenali-Nya ketika Ia bangkit dari kematian. Maria baru mengenali-Nya ketika Yesus memanggil dengan namanya. Para murid yang lain baru mengenali-Nya pada waktu Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Mengapa mereka tidak langsung mengenali orang yang begitu dekat dengan mereka? Ya, kita dapat menduganya karena mereka menjadi buta oleh keinginan-keinginan mereka yang tidak terpenuhi, alih-alih Guru mereka mati! Akibatnya, perasaan mereka menjadi dingin, kehilangan, tidak berdaya dan putus asa. Ruangan yang terkunci mewakili dengan tepat gambaran hati mereka!

 

Percis, dengan pola yang sama kita pun dapat menjadi buta. Buta oleh keinginan yang tidak terpenuhi, lalu kita menjadi takut dan lebih parah dari itu menjadi orang yang paling malang di dunia ini. Kondisi seperti ini lebih parah dari kematian itu sendiri!

 

Dalam kondisi tidak berdaya, dicekam oleh ketakutan dan putus asa, kabar baik dari Maria tentang perjumpaannya dengan Yesus tidak ditanggapi. Mereka asyik dengan duka nestapa. Di tengah ruangan yang semua pintunya terkunci itu, Yesus berdiri di tengah-tengah mereka, “Damai sejahtera bagi kamu!” Banyak orang tergoda untuk menelisik bagaimana caranya Yesus bisa menembus ruangan yang semua pintunya terkunci itu? Dengan tubuh supra natural seperti apakah Yesus mampu menerobosnya? Padahal itu tidak penting! Bukan cara dan tubuh yang seperti apa Ia ada di situ. Yang penting untuk disimak ialah bahwa Yesus datang kepada mereka di tengah-tengah kondisi manusiawi mereka. Ya, kondisi titik nadir bahwa sekarang mereka bukan siapa-siapa, hati mereka hancur, kecewa dan dikuasai oleh ketakutan!

 

Dalam kondisi itu Yesus memberikan tepat apa yang dibutuhkan oleh mereka: Damai sejahtera! Meskipun salam itu (eirene / syalom) adalah hal lazim diucapkan dalam kalangan Yahudi, namun damai sejahtera yang diberikan Yesus bukanlah seperti yang diberikan oleh dunia. Damai sejahtera yang diberikan Yesus berbeda dari harapan atau keinginan yang semula ada dalam benak para murid. Damai sejahtera yang disertai dengan kehadiran-Nya itu mengalir. Damai sejahtera itu bukan omong kosong, ia menjadi nyata dengan mengampuni setiap pribadi yang rapuh itu.

 

Sama seperti pada perjamuan malam terakhir itu. Sambil berlutut, Ia membasuh satu demi satu para murid-Nya. Ia tahu di antara mereka akan ada yang menyangkal dan berkhianat. Namun, Ia tetap membasuh! Kini, dengan kehadiran-Nya di tengah-tengah hati yang membeku dan terkunci, Ia menatap mereka satu per satu, bukan dengan tatapan mencela dan menghakimi oleh karena ketidakpercayaan dan ketidaksetiaan mereka. Bukan tatapan sinis! Tetapi, sejalan dengan ucapan-Nya, tatapan penuh kedamaian, sorot mata yang penuh belas kasihan!

 

Ya, walaupun nantinya secara khusus Yesus akan memulihkan Petrus. Namun, pada malam itu Yesus tidak mempermalukannya, Ia tidak menyampaikan celaan apa pun atas penyangkalan Petrus. Damai sejahtra itu nyata: kehadiran-Nya tidak membuat seorang pun merasa bersalah, alih-alih Yesus menegaskan dan meneguhkan kembali bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang Ia cintai. Dan, Ia di situ bukan untuk pamer bahwa diri-Nya telah mengalahkan kuasa maut. Ia tidak mengatakan, “Nih, lihat… bukankah Aku sudah mengatakan-Nya bahwa Aku akan bangkit lagi?” Yesus berada di tengah-tengah ruang terkunci itu adalah sepenuhnya untuk memulihkan mereka. Untuk membuka tidak hanya pintu ruangan yang terkunci, melainkan hati yang terkunci!

 

Percis sama dengan kita! Bukankah bila kita kecewa, keinginan tidak terpenuhi, kita pun bersembunyi? Kita menutup diri dan asyik meratapi nasib sebagai orang yang paling malang! Sebagaimana cara Yesus hadir di tengah-tengah para murid pada malam itu, bukan caranya yang penting. Tetapi diri-Nya ada bersama-sama mereka. Demikian juga, bukan caranya saat ini yang penting, tetapi Ia hadir untuk kita pada saat kondisi kemanusiaan kita berada pada titik nadir. Ia sangat tahu dan mengerti kegagalan dan kekecewaan kita. Di tempat yang lebih dalam ketimbang tempat di mana luka-luka dan ketakutan itu kita sembunyikan, Yesus menyatakan bahwa Ia mencintai kita dan mengampuni segala kesalahan kita. Bagi Dia, kita adalah sosok yang berharga dan istimewa. Kita adalah anak-anak Allah yang terkasih. Ia ingin kita membuka hati untuk menerima damai sejahtera itu. Ia ingin kita pulih dan menyampaikan kabar serupa bagi mereka yang belum pulih!

 

Meskipun singkat, namun penuh makna. Yesus mengubah persekutuan orang-orang yang ketakutan menjadi komunitas yang dipulihkan. Ya, mereka pulih! Mereka bangkit seperti Yesus yang bangkit. Seperti alam maut tidak lagi menguasai Yesus, demikian juga ketakutan dan kebingungan tidak lagi menguasai mereka. Perlahan tapi pasti, komunitas yang telah dipulihkan ini membawa dampak bagi kehidupan manusia yang baru. Sama seperti Yesus, komunitas ini menjadikan cinta kasih sebagai dasar hidup bersama. Mereka dipulihkan untuk menjadi sama seperti Yesus dan bersama-sama melanjutkan tugas panggilan yang dulu diberikan Bapa kepada Yesus. Mereka bersekutu, sehati sepikir untuk menyatakan wajah Bapa yang penuh cinta dan belas kasih.

 

Yesus yang telah memberikan damai sejahtera itu menunjukkan tanggung jawab kepada mereka. Mereka harus diubah oleh kuasa Roh Kudus dan diutus ke dalam dunia untuk mencintai orang seperti Yesus mencintai mereka. Dan untuk memberikan hidup mereka bagi orang banyak karena setiap pribadi di dunia ini adalah berharga, istimewa dan indah di hadapan Allah. Para murid dipanggil menjadi seperti Yesus dan tinggal dalam Dia, mereka akan membebaskan orang dari kekerasan bukan dengan kekerasan, mereka akan membebaskan orang dari kebencian bukan dengan kebencian, tetapi dengan cinta kasih. Sebagaimana Yesus tidak melekatkan diri pada kekayaan, kuasa dan popularitas duniawi, mereka akan merelakan apa yang ada pada diri mereka: harta kekayaan, tenaga, waktu, dan pikiran mereka untuk kebaikan bersama.

 

Pada akhirnya kita akan melihat, mereka yang dipulihkan menjadi sebuah komunitas tubuh Kristus yang nyata. Ya, tubuh fisik Kristus tidak lagi ada di dunia ini. Namun, komunitas yang telah dipulihkan itu sanggup menghadirkan Yesus, mereka berbagi kasih satu dengan yang lain. Mereka menanggalkan keegoisan diri dan mengubah potensi itu untuk merangkul, memberdayakan dan menguatkan satu dengan yang lain. Dampaknya? Hidup mereka penuh dengan sukacita dan menjadi berkat! Bagaimana dengan persekutuan kita, dengan gereja kita? Apakah sudah dipulihkan? Atau, masih sibuk dengan harapan, keinginan dan ambisi diri? Jangan heran kalau ini yang terjadi, gereja bukan tempat yang nyaman untuk hidup persekutuan!

 

Jakarta, 4 April 2024 Minggu ke-2 setelah Paskah, tahun B