Sabtu, 30 Maret 2024

KEAJAIBAN KEBANGKITAN DALAM KESEHARIAN

Apa yang dibayangkan tentang Jakarta ternyata sangat jauh berbeda.

Apa yang diimpikan, terpaksa ditanggalkan. 

Semangatnya yang membara, perlahan padam.

Kini ia tidur terlentang dipinggir jalan, 

berselimut sarung tua bekal kerabatnya yang masih tersisa.

Ingin ditulis sepucuk surat buat istrinya,

bahwa di Jakarta bukanlah tempat yang ramah dan ia ingin kembali…” 

 

Bait kedua lirik lagu karya Ebit G Ade yang berjudul “Jakarta II” berkisah tentang seorang lelaki yang bertekad mencari peruntungan di Kota Jakarta. Dekade tahun 80-an, Jakarta bagai medan magnet kuat yang menyedot banyak orang untuk mengadu nasib di sini. Nyanyian Ebit seolah mewakili situasi zamannya di mana orang menaruh harapan begitu tinggi terhadap Ibu Kota Negara ini. Benar, ada yang berhasil tetapi banyak juga yang gagal seperti lelaki yang digambarkan dalam lirik lagu itu.

 

Jakarta bukan tempat yang ramah, dan ia ingin kembali! Ia membayangkan kampung halamannya yang ramah. Ya, pulang adalah jalan terbaik untuk melipur lara karena kegagalan. Pengalaman seperti ini bisa melanda siapa saja, termasuk Kleopas dan temannya. Yerusalem bukan Jakarta, namun setidaknya di kota itu mereka mempertaruhkan harapan. Harapan untuk mengubah nasib agar lebih baik. Bukan sebagai anak bangsa yang berada di bawah penindasan bangsa kafir. Setidaknya, mereka telah melihat sosok ideal Mesias yang selama ini mereka banggakan sehingga ke mana pun Sang Mesias itu pergi, Kleopas dan temannya bersedia meninggalkan apa pun untuk melihat keajaiban demi keajaiban!

 

Kini, pupus sudah harapan itu. Ternyata, Mesias itu bukan sosok ideal, Dia mati secara terhina. Disalibkan! “Padahal kami dahulu mengharapkan bahwa Dialah yang akan membebaskan bangsa Israel…”. Tampaknya kekecewaan Kleopas dan temannya lebih parah ketimbang sang lelaki yang kecewa dengan kota Jakarta. Si lelaki dalam lirik Ebit G Ade tidak menyerah: 

 

Tetapi sebagai lelaki, ia pantang menyerah. 

Meski badai melanda, ia terus melangkah. 

Ada sepotong doa, tersimpan di saku. 

Kenangan merah jingga memaksanya bertahan!”

 

Kleopas dan temannya menyerah! Mereka tidak lagi ingat kenangan bersama Sang Guru yang mengukir cinta bersama mereka dan teman-temannya yang lain. Pemberitahuan-Nya tentang salib yang harus dipikul dan berita kebangkitan yang berulang diberitakan-Nya ternyata tidak mampu menghalau kabut duka yang kadung menutup gelapnya harapan itu. Bahkan berita dari para perempuan yang telah menyaksikan kebangkitan Sang Guru itu tidak mampu mengembalikan kepercayaan mereka kepada Sang Guru. Ya, bagaimana pun juga Klopas dan temannya adalah orang Yahudi yang dibesarkan dalam tradisi bahwa berita yang berasal dari kaum perempuan bukanlah berita yang dapat dipercaya!

 

Dalam perjalanan itu, Kelopas dan temannya ternyata tidak sendiri. Ada teman seperjalanan yang bergabung. Ia terlibat dalam percakapan itu. Bisa jadi sore itu matahari menyilaukan pandangan mereka, sebab mereka menuju arah barat sehingga Kleopas dan temannya tidak menyadari bahwa subyek yang menjadi bahan pembicaraan mereka adalah Dia yang sedang berjalan bersama mereka. Atau, ini yang paling masuk akal: bayang-bayang maut itu begitu kuat, Yesus telah mati! Tidak sedikit pun tersisa dalam benak mereka bahwa Yesus itu hidup lagi! Jadi, tidak ada sama sekali dugaan bahwa yang berjalan bersama mereka adalah Yesus sendiri meskipun kabar kebangkitan itu telah mereka dengar!

 

Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya kamu untuk mempercayai segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” (Lukas 24:26). Lalu perlahan tapi pasti Sang Mesias dengan sabar menuntun mereka untuk memahami kitab-kitab Musa dan kitab para nabi tentang Mesias. Sampai di sini, ibarat sang lelaki dalam syair Ebit yang mengingat ada sepotong doa dan kenangan merah jingga, Klopas dan temannya mulai antusias. Semangat mereka yang pudar kini kembali!

 

Di tengah semangat yang menggebu itu, kampung Emaus yang mereka tuju telah sampai dan Yesus seolah hendak terus melangkah melanjutkan perjalanan. Di sinilah mereka mendesak Yesus agar mau tinggal bersama mereka! Inilah cara unik dari Yesus. Ia tidak memaksakan agar Kleopas dan temannya menerima-Nya, alih-alih membuat peluang agar merekalah yang mengundang-Nya! Yesus memberi kesempatan mereka berupaya menyambut-Nya. Dalam keseharian kita, bukankah Dia juga sering memberi peluang untuk kita dapat menyambut-Nya? Ingatlah, bahwa Sang Mesias itu bisa hadir dalam rupa orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan tumpangan dari kita. Lalu, apakah kita tergerak untuk menyambut-Nya?

 

Akhirnya, mata mereka terbuka dan dapat melihat siapa sebenarnya sosok yang dalam perjalanan itu berbincang dengan mereka. Kleopas dan temannya menyadari bahwa orang tersebut adalah Yesus, setelah Ia memecah-mecahkan roti dalam perjamuan sederhana itu! Sayang, seketika itu Yesus menghilang dari pandangan mereka. Mengapa? Bagi Yesus sudah cukup sampai di situ! Kesadaran Kleopas dan temannya cukup untuk mengembalikan mereka dari rasa kecewa. Buktinya, mereka berdua segera bergegas kembali ke Yerusalem!

 

Kota yang dianggap tidak ramah dan kejam itu, yang semula ingin dihindari, kini kembali menjadi tujuan mereka! Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu memulihkan mereka untuk mengatasi ketakutan. Mengatasi ketakutan bukan dengan cara lari dari kenyataan, kabur. Bukan begitu! Di Yerusalem, mereka mengungkapkan segala pengalaman perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit itu! Berita yang sebelumnya tidak dipercayai, kini menjadi fokus utama pemberitaan mereka kepada teman-temannya yangmengurung diri karena ketakutan! Kebangkitan itu lebih dahsyat dari sengat maut!

 

Kebangkitan akan menjadi pesan yang ajaib bukan karena kita bisa menghadirkan sosok fisik Yesus! Keajaiban itu akan terlihat ketika Anda dan saya berani menghadapi tantangan hidup. Ketika kita tidak melarikan diri dari masalah dan persoalan hidup! Kebangkitan akan menjadi pesan ajaib, bila dalam keseharian kita tetap mempunyai pengharapan dan keberanian untuk melangkah ketika orang-orang di sekitar kita dilingkupi oleh pesimisme dan putus asa!

 

Ingatlah pada “kenangan merah jingga” bersama Yesus, ketika beban berat, kecewa dan Anda mulai putus asa!



Jakarta, 31 Maret 2024, Refleksi untuk #PaskahSore, tahun B

Kamis, 28 Maret 2024

BANGKIT UNTUK MENATA KEHIDUPAN

Dengan keranjang rempah-rempah yang telah di beli mereka di pasar, tiga orang perempuan itu hendak mencurahkan perihnya duka di hati, tetapi sekaligus juga tanda cinta mereka kepada Yesus. Pagi-pagi benar setelah Hari Sabat lewat pada hari pertama minggu itu, mereka berjalan menuju kubur Yesus. Mudah ditebak, pastilah mereka berbincang-bincang dalam perjalanan itu. Tentu saja jauh dari senda gurau. Sebaliknya, mereka berbicara tentang bengisnya penyiksaan dan penyaliban itu. Tidak hanya duka karena kehilangan orang yang mereka cintai tetapi juga perasaan yang jauh lebih dalam dari itu. Ada hati yang tersayat, perih dan ngilu! Menjelang sampai di makam itu, mereka baru menyadari bahwa sebagaimana lazimnya makam Yahudi, kubur Yesus ditutup dengan batu besar! “Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?”

 

Walaupun ketiga perempuan itu menyaksikan pemakaman Yesus dan tahu tempat di mana Ia dibaringkan (Markus 15:47), namun tampaknya mereka sama sekali tidak menyadari bahwa kubur Yesus telah dimeteraikan atau disegel secara resmi oleh petugas Mahkamah Agama lalu dijaga. Pihak Mahkamah Agama sangat serius menjaga kubur Yesus tersebut. Sebab, mereka takut jasad Yesus ada yang memindahkan atau dicuri, lalu menimbulkan berita spekulan bahwa tidak ada mayat Yesus di kubur itu membuktikan Dia telah bangkit seperti yang pernah dikatakan Yesus sendiri. 

 

Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, dan Salome sama sekali tidak punya pikiran dan niat merekayasa kubur kosong. Dibelinya rempah-rempah untuk meminyaki jasad Yesus adalah pertanda keyakinan kuat bahwa Yesus ada di dalam kubur itu. Kesedihan dan duka yang mendalam yang membuat mereka pagi-pagi buta membulatkan niat mereka untuk berkunjung ke kubur Yesus menegaskan bahwa Yesus mati dan terbaring di sana! Meskipun ketika Yesus bersama-sama mereka pernah beberapa kali mengatakan tentang kematian-Nya secara mengerikan itu dan pada hari ketiga Ia akan bangkit, mereka tidak percaya. Kematian itu telah membungkam harapan dan kini arah hidup mereka tidak menentu!

 

“Siapa yang akan menggulingkan batu itu?” Menutup kubur dengan batu bukan perkara sulit. Tetapi, ketika batu itu telah terguling dan masuk ke dalam lekukan, batu itu seolah terkunci. Jangankan membuka, menggesernya pun bukan perkara mudah! 

 

Matahari baru saja terbit ketika ketiga perempuan itu tepat berada di hadapan makam Yesus. Kini, ketiga perempuan itu menjadi sadar bahwa masalah yang mereka perbincangkan di tengah jalan, tidak lagi relevan. Batu yang sangat besar itu sudah terguling! Ya, batu itu telah terguling, batu yang menghalangi langkah mereka sudah terbuka. Terbukalah jalan bagi mereka untuk melangkah. Di sini saya membayangkan mereka saling menatap satu dengan yang lain dalam raut wajah penuh tanda tanya. Seharusnya ketika jalan itu telah terbuka dan andai saja mereka mengingat perkataan Yesus bahwa setelah tiga hari Ia akan bangkit, niscaya mereka akan segera masuk ke kubur itu dengan sukacita. Lagi-lagi mendung kelabu masih menggelayuti mata mereka, sengat maut begitu kuat membelenggu mereka! 

 

Walau masih penuh tanya, mereka masuk ke kubur itu. Kubur Yahudi terdiri dari dua ruangan. Ruangan pertama berfungsi semacam ruang tunggu, di sini sering dijumpai botol-botol wewangian. Sedangkan ruangan kedua adalah kubur yang sebenarnya. Kedua ruang itu terpisah dengan sekat pintu-lubang berukuran kecil. Setelah masuk ke ruang kedua, mereka melihat seorang muda yang memakai jubah putih duduk di sebelah kanan. Anda bisa membayangkan ketika sampai di kuburan lalu tiba-tiba ada sosok putih berdiri di depan Anda!

Mereka sangat terkejut. Namun, melihat kata yang dipakai ekthambeisthai dapat kita pahami keterkejutan mereka mengacu pada keguncangan bathiniah manusia yang sungguh kaget, ketakutan dan sekaligus perasaan tidak berdaya karena sadar dengan siapa mereka berhadapan. Mereka berhadapan dengan sosok ilahi yang menyerupai seorang muda. 

 

Pemuda berpakaian putih itu seolah tahu isi hati para perempuan itu, ia berkata, “Jangan terkejut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah dibangkitkan. Ia tidak ada di sini. Lihat! Inilah tempat mereka membaringkan Dia.” (Markus 16:6). Si Pemuda itu mengundang mereka untuk memeriksa sendiri setiap sudut makam itu. Manusia dengan akal budinya dapat memeriksa dan mengamati. Namun, pesan kebangkitan melampaui nalar manusia yang terbatas. Pesan kebangkitan mengantarkan manusia kepada suatu dunia yang melampaui pengertiannya. Maka tujuan para perempuan datang ke kubur itu menjadi tidak relevan lagi. Mereka seharusnya mengarahkan perhatiannya kepada sesuatu yang baru. 

 

Kubur kosong bukan menjadi legitimasi kebangkitan, meski itu mendukung fakta. Para perempuan itu datang ke kubur Yesus dan melihat sendiri bahwa kubur itu kosong. Namun, kenyataan itu tidak bernilai apa-apa, paling-paling membangkitkan pertanyaan, “Apa yang terjadi dengan jenazah Yesus? Siapa yang mengambil atau memindahkan-Nya?” Pertanyaan ini bukan pusat perhatian Allah. Setiap kali Allah memberi pernyataan, Ia tidak mau memuaskan rasa ingin tahu manusia, melainkan membawa manusia pada suatu titik yang bernama “iman”. Para perempuan yang ingin meminyaki jenazah Yesus, mereka kecele sebab Yesus sudah bangkit!

 

Simak ini, sosok pemuda yang membawa pesan ilahi itu berbicara tentang Yesus, orang Nazaret yang disalibkan itu. Dengan cara ini, ia menegaskan identitas orang yang ingin dibicarakannya. Orang itu, Yesus, telah mati disalibkan, dan dengan sendirinya dikuburkan. Tetapi kini, Ia tidak ada di sini, yaitu di kubur ini. Sebab, Ia telah bangkit! Jadi, yang terpenting bukan kubur-Nya yang kosong, melainkan kenyataan bahwa orang yang dikuburkan di tempat ini, walaupun dulu disalibkan dan dimakamkan, kini sudah bangkit!

 

Hal menarik lainnya dari peristiwa kebangkitan Yesus adalah bahwa saksi atau orang pertama yang menerima pesan ilahi tentang kebangkitan itu adalah kaum perempuan. Menurut hukum Yahudi, kesaksian para perempuan tidak sah. Oleh sebab itulah, maka tidak mengherankan kalau para rasul itu tidak mudah percaya terhadap apa yang disampaikan oleh para saksi kebangkitan itu.

 

Para perempuan itu diminta segera meninggalkan kubur itu untuk membawa amanat kepada para murid yang lain, khususnya Petrus. Nama Petrus disebut secara khusus sebab dialah yang menyangkal Yesus. Petrus telah menghianati gurunya, mestinya dia harus disingkirkan dari kelompok para rasul! Namun, dosa bukan menjadi penghalang bagi Allah, selama manusia mau bertobat. Sementara para perempuan itu menuju Galilea, Yesus sudah mendahului mereka. Dengan mendahului, Yesus meneruskan karya-Nya sebagai pemimpin untuk meneguhkan dan menata kembali kehidupan dan kesaksian para murid yang akan melanjutkan karya-Nya di bumi ini.

Maria Magdalena, Maria Ibu Yakobus, dan Salome dengan tepat menggambarkan diri kita. Kegagalan, duka, dan penolakan membuat kita hanya terpaku pada nestapa dan duka lara serta sakit hati. Ketiga perempuan dan keseluruhan para murid lupa bahwa Tuhan mereka telah tiga kali memberitahu apa yang akan terjadi pada diri-Nya: ditangkap, dihina, diludahi, dibunuh tetapi pada hari ketiga akan bangkit lagi. Kita, lupa pesan-Nya, bahwa dalam situasi sekacau apa pun, Ia adalah Tuhan yang setia. Imanuel, Allah yang akan terus menyertai kita!

 

Bersyukur, di tengah situasi kacau, Allah hadir dalam rupa seorang muda yang mengingatkan kembali ketiga perempuan itu. Mereka dipulihkan, ditata kembali kehidupan imannya dan selanjutnya kepada mereka dipercayakan tugas mewartakan Yesus yang bangkit! Tentu saja kesaksian utama mereka bukanlah berbicara tentang kubur kosong itu, melainkan sikap hidup mereka yang berbeda. Ya, berbeda! Dulu mereka dicengkeram ketakutan, dukacita dan kehilangan pengharapan. Kini, melalui perempuan-perempuan yang semula diragukan kesaksiannya, sekarang mereka yang meneguhkan para murid yang lain.

 

Kesaksian Anda yang paling penting bukanlah berbicara memaparkan arkeologi kebangkitan Yesus dengan kubur kosong itu. Tetapi bagaimana sekarang Anda menata hidup. Apakah iman kebangkitan itu menolong Anda menata diri menjadi pribadi tangguh yang tidak tenggelam oleh kegagalan, kehilangan dan penolakan. Iman kebangkitan akan tercermin di sana. Di mana tidak ada lagi pengharapan, justru Anda masih punya pengharapan. Di mana tidak lagi ada alasan untuk percaya dan mempercayakan diri kepada Tuhan, Anda masih teguh berdiri!

 

 

Jakarta, 28 Maret 2024, Perenungan Paskah Pagi, Tahun B