Jumat, 22 September 2017

BERSYUKUR DAN BERBUAH DALAM KEMURAHAN ALLAH



Petrus pernah berkata kepada Yesus, "Kami telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi, apakah yang akan kami peroleh?" Petrus adalah sosok murid yang jujur. Ia berterus terang bertanya tentang upah yang akan didapatnya ketika mengikut Yesus. Sementara banyak orang Kristen yang malu-malu kucing. Membungkus motivasi mendapat upah dengan kalimat "Melayani sampai akhir walau tidak digaji", atau seperti syair nyanyian "Kerja buat Tuhan selalu manise...membuang diri ke ladang Tuhan saudara serta Tuhan selalu manise." Kenyataannya? Benar ada yang terus setia sampai akhir karena ia merasakan sentuhan cinta kasih Allah. Namun, tidak sedikit yang menjadi kecewa karena apa yang diingini ketika melayani tidak tercapai.

Atas pertanyaan Petrus, Yesus menjawab, "Pada waktu penghakiman, mereka akan duduk di atas takhta sebagai pendamping Anak Manusia" (Mat. 19:28). Kendati demikian Yesus menepis tuntutan upah. Melalui perumpamaan tentang pemilik kebun anggur dan orang-orang yang dipanggil bekerja di dalamnya (Matius 20:1-16)

Cerita perumpamaan ini bukanlah tentang hitung-hitungan ekonomi masyarakat. Kebun anggur biasanya dipakai sebagai kiasan; melambangkan umat Allah. Perlakuan pemilik kebun anggur terhadap orang-orang upahannya memberi gambaran tentang salah satu aspek dari Kerajaan Allah, tetang cara Allah memberi anugerah kepada setiap orang yang dari waktu ke waktu dipanggil oleh-Nya ke dalam Kerajaan Allah. Ada beberapa kelompok pekerja yang dipanggil menggarap kebun anggur itu: kelompok yang dipanggil pagi-pagi sekali, kelompok pukul sembilan, kelompok pukul dua belas, kelompok pukul tiga dan kelompok pukul lima. Kepada kelompok pertama, sang tuan sepakat mengupah mereka dengan satu dinar sehari dan itu adalah upah yang wajar. Upah yang disepakati itu dinilai adil. Kepada kelompok yang lain, sang tuan hanya mengatakan akan memberi upah yang pantas. Sedangkan kelompok terakhir tidak dijanjikan apa-apa.

Cerita ini menarik karena sang tuan sedikit iseng. Ia memanggil terlebih dahulu kelompok yang datang terakhir. Mungkin hal ini untuk menegaskan perkataan Yesus bahwa mereka yang terdahulu akan menjadi yang terkemudian. Mau tidak mau mereka yang datang terdahulu melihat berapa upah yang diterima oleh orang-orang yang hanya bekerja satu jam saja. Sampailah kepada kelompok pertama yang bekerja seharian penuh. Mereka mengira sang tuan akan memberi lebih. Eh, ternyata sama saja. Satu dinar! Coba bayangkan, Anda ada pada kelompok pertama yang bekerja dua belas jam menerima upah yang sama dengan teman Anda yang hanya bekerja satu jam saja. Anda akan diam dan bersyukur? Sangat sulit untuk menerima kondisi seperti ini. Kemungkinan besar kita akan protes mengingat jasa yang diberikan kita jauh lebih besar ketimbang orang yang hanya bekerja satu jam saja. Dalam cerita ini pun, kelompok pertama bersungut-sungut. Mereka protes dan merasa diperlakukan tidak adil! "Engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari!" Mereka berkeyakinan bahwa dengan bekerja lebih lama, mereka punya hak untuk mendapatkan upah lebih besar. Mereka berpikir kalau kelompok pekerja terakhir mendapat upah yang sama dengan mereka, maka hak mereka dirampas.

Nada protes yang sama terdengar dalam kisah perumpamaan anak yang hilang. Si Sulung berbicara, "Baru saja datang 'anak bapa' yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu yang gemuk itu untuk dia" (Lukas 15:30). Nada yang sama kita dengar dalam doa-doa orang Farisi, "Ya, Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti orang lain..., bukan seperti pemungut cukai ini." Dalam Perjanjian Lama kita menangkap protes yang sama, Yunus protes karena murka Allah tidak jadi terhadap Niniwe.
Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendaku? Atau iri hatikah engkau karena aku murah hati?" (Matius 6:23). Sang pemilik kebun anggur tahu dengan pasti akar masalah mengapa mereka bersungut-sungut. Bukannya ia bertindak tidak adil terhadap mereka. Bukankah dari awal sudah ada kesepakatan satu dinar sehari? Namun, masalahnya mereka tidak tahan ketika sang tuan bermurah hati. Bukankah kita juga sering seperti itu, tidak tahan dan bersungut-sungut melihat kasih dan anugerah Allah diberikan kepada orang lain?

Cerita tentang kemurahan hati sang tuan pemilik kebun anggur ini mengumpamakan kemurahan hati Allah dan Kerajaan-Nya yang melampaui hitung-hitungan matematis manusia. Pertama-tama tergambar dari komitmen Allah yang tanpa batas mengundang manusia yang mencari, untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Lebih menakjubkan lagi dalam tata cara Kerajaan Allah ialah kemurahan-Nya yang menawarkan keselamatan yang sama penuh kepada semua orang kapan pun mau datang. Orang berdosa yang belakangan datang pun diberi anugerah Kerajaan Allah yang sama penuh dengan mereka yang  menjadi abdi Tuhan sejak kecil.

Murid Tuhan yang kawakan menghitung waktu dan jasa, sudah pasti tidak akan turut bergembira atas kelimpahan berkat Tuhan kepada para pendatang baru. Perhitungan mereka justeru membalikkan rangking mereka. Murid yang telah lama meninggalkan segalanya untuk Kristus, telah menerima upah berlipat dari Tuhan (mengalami persekutuan yang indah lebih lama dengan Tuhan) dan dijanjikan hidup yang kekal. Tetapi ketika memandang dirinya lebih berjasa dan berhak - hal ini sama seperti kebanyakan ahli Taurat dan orang-orang Farisi - berlaku peringatan Tuhan bahwa pada hari pengadilan Tuhan ia akan menjadi yang paling akhir.

Satu dinar sehari! Itu sudah cukup. Itu yang ada pada kita. Tidak harus kita iri hati ketika Tuhan memberi yang sama kepada orang lain yang kita anggap tidak banyak kontribusinya buat pelayanan Tuhan. Dale Carnegie pernah mengatakan, "Wanting what we get" (menghendaki yang kita dapatkan) adalah jauh lebih bisa bersyukur ketimbang "having what we want" (mendapatkan yang kita inginkan). Kita akan bisa bersyukur ketika mencoba menghitung berkat dan anugerah-Nya untuk kita dari pada menghitung-hitung berkat orang lain!

Pongki Pamungkas dalam bukunya, All You Need is Love mengatakan, "Sudah kodratnya, barangkali, kepandaian bersyukur yang sejati tak dimiliki hingga suatu kejadian tak diharapkan timbul. "Aku menangis karena tidak punya sepatu, sampai aku melihat orang yang tak punya kaki, kata pepatah Persia kuno." Atau kata pepatah Mesir, "Kesehatan adalah mahkota yang bertengger di atas kepala orang yang sejahtera. Tetapi orang yang paling menghargainya adalah orang yang sedang sakit!"

Kebiasaan untuk pandai bersyukur adalah kunci untuk meraih kesuksesan. Pembuka hidup yang berbuah. Bersyukur ibarat kunci pembuka kebahagiaan; sukses bukan kunci kebahagiaan" kata Gobhind Vashdev. Kebahagiaan adalah kunci sukses! Jika kita pandai mensyukuri apa pun yang ada pada kita maka segala sesuatu akan ditambahkan. "Orang yang berhasil besyukur, bahkan terhadap hal-hal yang masih dalam pikirannya, ia akan betul-betul menjadi kaya," kata Wallace D. Wattles. Artinya, dengan mensyukuri sesuatu, kita benar-benar mendapatkan sesuatu itu. "Kaya" yang dimaksud adalah dalam arti luas bukan semata-mata uang dan harta benda.

Jakarta, 21 September 2017

Kamis, 14 September 2017

MELEPAS MAAF



Sebelas September 2001 bagi sebagain besar korban dan keluarga dari empat serangan mematikan tidak mungkin dapat dilupakan begitu saja. Empat serangan bunuh diri yang ditujukan ke New York dan Washington D.C. telah merenggut 2.977 nyawa dan melukai lebih dari 6000 orang.

Salah seorang yang menjadi korban adalah Bobby seorang bocah SD. Steven, sang ayah tentu sangat berduka atas kepergian Bobby. Marah, sudah pasti. Namun, ia menyadari dendam tidak akan membuat suasana dan kehidupan lebih baik. Hari itu Steven berpidato dengan mengenakan topi baseball Bobby. Dia menceritakan kepedihan dan kemarahan yang menyebabkan dirinya kehilangan Bobby. Tetapi kemudian Steven berkata, "Setiap detik saya percaya bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Saya tidak ingin ada seorang ayah yang merasakan apa yang saya rasakan saat ini." Steven kemudian membentuk sebuah kelompok bernama "Ikatan keluarga untuk hari esok yang penuh kedamaian," dengan slogan "Kesedihan kami bukan sebuah panggilan untuk perang!"

Steven menyadari bahwa  ketika ia membalas sakit hati dan kemarahannya atas terbunuhnya Bobby dan kemudian mencoba melakukan hal yang sama - balas dendam - tentu akan ada ayah seperti dirinya! Dan lingkaran setan ini akan terus berputar. Steven berani memutus lingkaran itu dengan mencoba berdamai dan memaafkan.

Melepas maaf, gampang diucapkan namun mengerjakannya punya segudang kesulitan. Mengapa? Konon manusia mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Petrus, mungkin mewakili keterbatasan kita, tujuh kali pemberian maaf terhadap orang yang sama ketika melakukan kesalahan itu sudah teramat cukup. Tujuh kali itu pun bagi sebagian besar orang merupakan hal luar biasa. Coba renungkan, apakah ada di antara kita ketika diperlakukan tidak baik, berulang-ulang sampai tujuh kali, adakah yang bisa melakukannya? Hebat, jika Anda bisa! Namun ternyata, yang sudah luar biasa dalam anggapan manusia, menurut Yesus belumlah cukup. Ia mengatakan, "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." (Matius 18:22).

Apa maksudnya dengan angka-angka tujuh dan tujuh puluh kali tujuh kali? Dalam tradisi Perjanjian Lama angka-angka ini rupanya bukan hal asing. Petrus berpendapat bahwa angka tujuh adalah tujuh kali batas tertinggi atau maksimal manusia dapat mengampuni sesamanya yang bersalah. Dalam Kitab Kejadian dikenal hukum balas dendam yang amat kejam. Rumusannya dikutip sehubungan dengan Lamekh yang telah membunuh orang yang melukainya. Ia berkata, "Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat" (Kej.4:24) Allah tidak menerima sikap Lamekh dan semua orang yang melakukan praktik balas dendam di zaman dulu. Maka kemudian kita dapat mengerti kalau Allah memberi batasan dalam perkara balas dendam. "Mata ganti mata, gigi ganti gigi." (Imamat 24:20). Itulah batasannya. Jangan sampai orang yang dilukai mata atau tanggal giginya melakukan balas dendam dengan menghilangkan nyawa lawannya itu.

Namun, kalau kita telusuri hukum Allah itu terus menuju kepada hukum positip: semula balas dendam itu dipandang wajar dan tampaknya dibolehkan, kemudian balas dendam itu dibatasi. Selanjutnya, dalam ajaran Yesus progres itu semakin tajam: Orang benar tidak boleh membalas dendam! Semasa pemberitaan Injil, Yesus dengan tegas menolak hukum balas dendam. Ia mengajarkan agar para musuh dan orang-orang yang telah melakukan penganiayaan itu pun harus dikasihi (Matius 5;44). Selebihnya, pengampunan harus diberikan sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali. Dengan demikian Yesus menutup kemungkinan seseorang untuk melakukan tindakan balas dendam. Hukum balas dendam itu telah diubah menjadi hukum pengampunan yang tanpa batas, sebab kalau pengampunan itu berbatas maka sesungguhnya manusia itu tidak mengampuni!

Untuk menjelaskan peralihan dari hukum balas dendam kepada hukum pengampunan, Yesus menggunakan cerita perumpamaan. Dikisahkan ada seorang hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta kepada raja. Itu berarti 60 juta dinar, karena 1 talenta bernilai 6000 dinar. Jika saja upah bekerja buruh satu hari 1 dinar, maka hamba itu harus menghabiskan 60 juta hari agar hutangnya lunas! Suatu jumlah yang tidak mungkin terbayar. Hamba itu kemudian memelas. Ia mengemis belas kasihan dari sang raja. Tergeraklah raja oleh belas kasihan, maka dihapusnya seluruh hutang hambanya itu.

Namun apa yang terjadi kemudian. Hamba itu melupakan kebaikan tuannya. Ia menangkap dan mencekik dan menjebloskan ke dalam penjara temannya yang berhutang 100 dinar itu - padahal apalah artinya 100 dinar dibandingkan dengan 60 juta dinar? Atas kejadian itu, teman-teman yang lain melaporkannya kepada sang raja. Tentu raja yang baik hati itu sangat kecewa. Ia memerintahkan prajuritnya untuk menangkap hamba yang jahat itu dan menyerahkan kepada algojo-algojonya sampai. Sang raja itu berkata, "Bukankah engkau pun harus mengasihi kawanmu seperti aku mengasihi engkau?" Inilah alasan mengapa kita harus mengampuni. Tidak lain karena kita sudah lebih dahulu diampuni. Utang-utang kita sudah dibayar lunas oleh Yesus Kristus dan kita diminta-Nya untuk hidup dalam damai dan pengampunan satu terhadap yang lain.

Benar, memaafkan atau mengampuni mempunyai segudang kesulitan. Namun, bukan berarti tidak bisa. Masalahnya mau atau tidak kita berjuang melakukannya. Pasti bisa, kita sudah diberi modal "60 juta dinar" untuk menyelesaikan masalah "100 dinar", lebih dari cukup! Pengampunan yang Tuhan berikan kepada kita adalah pengampunan yang tidak terbatas oleh karena itu kita pun dipanggil untuk tidak membatasi pengampunan yang diberikan oleh Allah. Walau menyakitkan, percayalah bahwa ujung dari sebuah pengampunan itu pasti manis!

Pada bulan Mei 1981, Paus Yohanes Paulus II ditembak oleh Mohammad Agca. Dua tahun kemudian, Lance Morrow menceritakan bahwa di balik tembok putih polos Penjara Rebbiba di Roma, Yohanes Paulus menggenggam tangan orang yang hampir membunuhnya, selama 21 menit! Paus duduk dengan orang yang hampir melenyapkan nyawanya. Keduanya bercakap dengan lembut. Sekali dua kali Agca tertawa. Sang Paus mengampuninya. Pada akhir pertemuan, tidak jelas apakah Agca mencium cincin Paus ataukah ia cium tangan Paus sebagai sebuah penghormatan! Sebuah akhir yang manis, bukan?

Anda pun dapat mengakhiri segala kepahitan yang berasal dari luka batin mendendam dengan hal yang indah dan manis. Resepnya sangat mudah, bukalah pintu maaf dan pengampunan. Ingat Anda sudah diberi modal yang begitu besar oleh Tuhan!

Jakarta, 14 September 2017