Jumat, 05 Mei 2017

AKU ADALAH PINTU

Di balik “pintu” banyak misteri dan filosofi. Hampir di setiap daerah, suku, atau komunitas memandang pintu bukan sekedar selembar papan kayu, bambu, plastik, besi, atau kaca yang memisahkan sebidang ruang dengan ruang yang lainnya. Pintu mempunyai makna mendalam yang melekat padanya. Dalam masyarakat Bali misalnya, pintu memiliki peran sentral. Jika kita perhatikan arsitek bangunan Bali, yang paling menonjol pasti pintu utamanya. Pintu itu dibangun tepat di tengah-tengah dan diberi hiasan indah. Pintu gerbang utama sebuah Pura yang disebut angkul-angkul, yang mengambil simbol gunung.

Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa tempat yang tinggi memiliki energi yang lebih suci di banding dataran biasa maka gunung, khususnya Gunung Agung selalu menjadi patokan model atau arah dari angkul-angkul karena merupakan sumber kehidupan dan kemakmuran. Masih mengenai pintu utama. Pintu gerbang masuk rumah adat Bali disebut Kori. Kori melambangkan alat kelamin perempuan (vagina) yang dipahami sebagai pintu keluarnya manusia mengenal kehidupan. Jadi, bagi orang Bali, pintu adalah akses kepada kehidupan dan kemakmuran.

Akulah pintu; siapa saja yang masuk melalui AKu ia akan diselamatkan dan ia akan masuk dan keluar serta menemukan padang rumput.” (Yohanes 10:9)

Yesus menyatakan diri sebagai pintu buat domba-domba-Nya. Apa artinya? Samakah dengan filosofi budaya Bali? Mari kita telusuri apa yang dinyatakan Yesus. Ia mengambil kiasan kehidupan para gembala di Palestina pada zaman-Nya. Para gembala bersama kawanan ternak mereka biasanya mengembara jauh dari pemukiman mereka. Dalam pengembaraan yang jauh itu mereka mempunyai kandang bersama yang menjadi tempat mengumpulkan domba-domba mereka pada waktu malam. Anehnya, walaupun “kandang” itu dipakai bersama, domba-domba mereka tahu gembalanya masing-masing. Mereka seolah bisa berkomunikasi. Si gembala mengenal domba asuhannya dan terkadang memberi nama domba-domba itu. Ada yang diberi nama Si Belang, Si Telinga panjang, Si Hidung putih dan lain sebagainya. Sebaliknya, domba-domba itu memberi reaksi positif ketika gembalannya memanggil. Jangan harap orang lain dapat melakukannya walau meniru-niru suara si gembala itu.

Kandang yang dimaksud adalah sebidang tanah yang cukup luas dikelilingi dengan pagar yang terbuat dari batu-batu yang ditumpuk. Dari dinding tumpukan batu itu, mereka membuat celah dan kemudian diberi pintu. Pintu itulah merupakan akses satu-satunya para gembala dan kawanan ternak mereka keluar dan masuk. Ketika para gembala itu tidur, selalu ada orang yang ditugasi untuk menjaga pintu itu dari orang yang berniat jahat atau binatang buas yang mengincar domba-domba mereka. Kiasan pintu kandang seperti itulah yang dipakai Yesus ketika mengatakan diri-Nya adalah “Pintu”.

Pencuri dan perampok tidak akan masuk melalui pintu kandang itu, karena di sana ada penjaganya. Dasar pencuri, mereka tidak kekurangan akal. Mereka akan masuk ke kandang itu dengan cara memanjat dinding tembok batu itu. Lalu mencuri dan membawa kabur domba-domba itu. Tentu domba curian itu bukan untuk dipelihara seperti para gembala memelihara mereka. Domba curian itu akan dibunuh dan dinikmati dagingnya atau dijual ke penadah. Kecuali dengan paksa, pencuri dan perampok tidak akan berhasil menuntun domba keluar sebab domba-domba itu tidak mengenal mereka. Hanya gembala yang sesungguhnya sajalah yang dapat menuntut mereka keluar. Dalam perjalanan keluar, gembala memimpin di depan, diikuti oleh domba-dombanya. Padang rumput hijau tidak akan ditemukan oleh domba-domba itu jika tidak bersama dengan sang gembala. Dalam cerita Tuhan Yesus ini diperlihatkan kontras antara gembala yang sesungguhnya dengan pencuri tampak nyata dalam cara mereka memasuki kandang dan dalam hubungan serta perlakuan terhadap para domba itu.

Yesus menyatakan diri “Pintu” yang harus dilewati oleh setiap gembala yang sesungguhnya. Benar, pada akhirnya Yesus menyatakan diri sebagai Gembala Yang Baik. Namun, jangan lupa juga bahwa Dia menyatakan diri sebagai “Pintu”. Pintu yang menghubungkan para domba dan gembala mengenal dunia sesungguhnya dan menemukan padang rumput dengan mata air yang baik. Yesus menjelaskan bahwa Ia adalah pintu yang memasukkan domba-domba ke dalam keselamatan. Mereka tidak akan bisa masuk jika tidak melewati Pintu itu. Ia datang supaya domba-domba mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan.

Yesus tidak hanya menempatkan diri-Nya sebagai salah satu dari sekian banyak gembala yang baik dan bisa dipercaya. Namun, Ia adalah Sang Gembala Agung yang diutus oleh Allah untuk menggembalakan umat-Nya. Ia memiliki kuasa atas domba-domba itu karena Ia adalah Pintu menuju pada domba-domba dan sekaligus pintu yang harus dilalui oleh domba-domba untuk sampai pada keselamatan. Tidak ada gembala-gembala yang dapat sampai kepada domba-domba itu jika tidak melalui “pintu”, yakni Yesus sendiri. Setiap orang yang ingin menuntun atau menjadi pemimpin dari domba-domba kepada keselamatan harus diutus dan mengerjakannya bersama Yesus.

Yesus mengatakan bahwa,”Semua yang datang sebelum Aku adalah pencuri dan perampok dan domba-domba tidak mendengarkan mereka.” (Yoh.10:8). Kalau demikian, apakah seluruh tokoh dalam Perjanjian Lama merupakan pencuri dan perampok? Lalu siapakah yang dimaksudkan oleh Yesus itu? Dalam Perjanjian Lama, berulang kali para nabi diutus Allah untuk menegur dan mengeritik keras terhadap para pemimpin Israel yang membawa umat ke dalam kemerosotan moral. Lihat saja kitab-kitab para nabi. Yehezkiel 34 menggambarkan ada gembala yang baik yang berhadapan dengan para gembala yang jahat. Gembala yang jahat adalah para pemimpin dan penguasa yang sering menipu, memanipulasi dan menindas domba-domba mereka, yakni rakyat jelata. Tak segan pula mereka menggunakan kitab suci sebagai pembenaran bahkan mengabaikan dan mengajak domba-domba itu berpaling dari Gembala yang sesungguhnya dan beribadah kepada allah lain. Umat Allah mengalami kemerosotan baik moral maupun spiritual. Kemerosotan itu disebabkan oleh gembala-gembala Israel. Dalam pemikiran seperti inilah Yesus mengkritik para pemimpin Israel yang membawa mereka kepada kemerosotan akhlaq yang unjung-ujungnya merugikan dan membinasakan domba-domba itu. Mereka adalah gembala-gembala yang menyesatkan Israel maka layak disebut pencuri dan perampok! Sepertinya, Yesus juga sedang berhadapan dengan mereka, yakni para ahli Taurat dan pemimpin Yahudi.

Yesus adalah “Pintu”, pintu memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Melalui pintu, gembala dan domba itu keluar masuk menemukan pada rumput dan air yang tenang. Siapa saja yang keluar dan masuk melalui Dia, akan selamat. Pintu gerbang itu dapat befungsi menutup jalan bagi mereka yang datang dengan niat membinasakan kawanan domba (Yoh.10:7-8). Yesus jugalah pintu yang membuka jalan bagi domba-domba menuju keselamatan dan kehidupan yang kekal. Sementara pencuri hanya datang untuk mengambil dan membunuh. Yesus sebaliknya, hadir supaya orang mempunyai hidup bahkan hidup dengan kelimpahan. Bagi Yohanes, keselamatan sama dengan hidup. Maksudnya, bukanlah cuma hidup berkelimpahan secara jasmani sekarang dan di sini, juga bukan hanya hidup kekal nanti dan di sana. Namun, suatu kepenuhan hidup sekarang yang akan bertahan untuk selamanya melampaui kematian (Yoh.11:25-26). Hidup kelimpahan melalui akses Yesus itu dikontraskan dengan kematian dan kebinasaan yang dibawa oleh pencuri-pencuri yang menyusup tidak melalui “Pintu”.

Bagaimana kita memahami Yesus sebagai “Pintu”? Ada sebuah Universitas menyatakan dirinya sebagai “pintu gerbang kesuksesan”. Kesuksesan itu sudah dapat dipastikan tidak akan kunjung tiba tanpa Anda dengan sungguh-sungguh tekun belajar. Setelah tamat ilmu yang didapat itu harus dipergunakan dengan sungguh-sungguh. Yesus adalah “Pintu” kepada hidup dan kehidupan yang berkelimpahan. Namun, tanpa mengalami persekutuan, menerapkan ajaran dan mengikut-Nya dengan setia, mustahil hidup dan kehidupan yang berkelimpahan itu dapat Anda nikmati. Yesus adalah “Pintu” berarti Ia juga memberikan koridor mana yang harus dilakukan dan mana yang mestinya dihindari. Ia adalah ukuran utama kualitas iman maupun moral. Anda akan menikmati kebahagiaan yang sepenuhnya ketika berada dalam koridor “Pintu” itu. Anda akan menemukan “padang rumput” dan “air tenang” yang sesungguhnya hanya ketika melalui “Pintu” itu dan mengikuti jejak-Nya. Meskipun tampaknya sulit dan terjal, berliku dan penuh penderitaan, namun percayalah justeru di situlah letak kehidupan yang sesungguhnya!


Paskah IV 2017

Kamis, 27 April 2017

BERELASI DENGAN TUHAN YESUS KRISTUS


Relasi secara umum diartikan sebagai hubungan timbal-balik atau pertalian ikatan antara sesama manusia. Manusia dikodratkan bukan sebagai makhluk soliter, melainkan insan sosial. Ciri dari makhluk sosial adalah berkomunikasi, menjalin hubungan, hidup dalam ikatan komunitas, dengan cara itulah manusia berelasi! Dalam komunikasi dan relasi kita tidak dapat menghindari adanya transaksi. Meski tidak melulu negatif, transaksi mensyaratkan imabal-balik: saya melakukan atau memberi sesuatu – sebagai kewajiban - maka saya mendapatkan sesuatu sebagai hak saya. Hubungan suami – isteri idealnya adalah relasi saling melayani. Namun, banyak kita saksikan – atau bahkan kita sendiri mengalaminya – sudah berubah menjadi transaksi. Suami atau isteri melakukan ini dan ikut dengan harapan pasangannya memberi perlakuan yang setimpal bahkan lebih. Jika tidak, ceritanya menjadi lain! Denikin juga kegiatan di gereja yang mengatasnamakan pelayanan pun sebenarnya tidak luput dari “transaksi”, yakni : saya melakukan ini dan itu, agar saya mendapatkan ini dan itu, jika tidak, selamat tinggal pelayanan!

Sedari awal murid-murid Yesus rupanya punya angan-angan tersendiri dalam mengikut Sang Guru! Mari kita telusuri melalui dua murid yang sedang menuju Emaus (Lukas 24:13-35). Penulis Lukas mengatakan Emaus adalah sebuah kampung yang letaknya 11 kilometer dari Yerusalem. Emaus sering dihubungkan dengan daerah di Tanah Rendah (1 Makabe 3:40). Tempat ini sempat populer lantaran di situ Yudas Makabeus dapat memenangkan pertempuran melawan kekuasan asing pada tahun 166 SM. Peristiwa kemenangan Makabeus menjadi inspirasi, motivasi dan menyuburkan pengharapan akan datangnya sosok Mesias seperti Yudas Makabeus itu: pemimpin pergerakan yang mengangkat senjata, memerangi kekuasaan asing dan menaklukannya. Sesudah itu sang mesias akan mengembalikan takhta Daud! Harapan ini terus bergelorah bahkan ketika gerakan Makabeus telah ditumpas. Angan-angan itu sedikit terobati ketika mereka melihat sosok Yesus. Betapa tidak, Yesus telah banyak membuat mukjizat. Ia begitu mencengangkan banyak orang. Banyangkan, ucapan-Nya penuh kuasa: taufan dan badai takluk kepada-Nya, begitu pula setan-setan. Ah, apalah artinya kaisar Roma dibanding dengan kuasa-kuasa yang telah ditaklukan Yesus. Tidaklah mengherankan jika kemudian banyak orang mengira Yesus akan tampil memenuhi pengharapan mesias mereka. Bahkan pengharapan seperti ini berkembang dalam diri murid-murid Yesus.

Masalahnya, Emaus yang dibicarakan dalam Kitab Makabe itu letaknya 30 kilometer sebelah barat laut Yerusalem. Terlalu jauh bagi perjalanan pulang balik dalam satu sore dan malam. Tampaknya Lukas bukan mau bercerita tentang letak geografis dari Emaus, namun lebih ke arah semangat dan pengharapan Emaus, ya pengharapan mesias politik! Dengan demikian kita bisa memahami perjalanan dua orang murid menuju Emaus sebagai perjalanan batin para murid yang penuh pengharapan terhadap Yesus. Namun, pengharapan Mesias yang terdistorsi dalam benak masing-masing mengenai siapa Yesus.

Yesus tidak membiarkan mereka dengan angan dan harapan mereka sendiri. Yesus yang telah bangkit itu menjumpai mereka. Yesus menyertai mereka berdua menuju Emaus. Siapa mereka? Hanya satu dari kedua orang murid itu yang disebut namanya, yakni Kleopas (Lukas 24:18). Mengapa? Bisa jadi Lukas tidak cukup informasi tentang nama dari teman Kleopas itu. Namun mungkin saja inilah cara Lukas untuk membuat pembacanya – termasuk kita – untuk ikut serta dalam kisah ini. Dengan begitu kita merasa ikut disapa oleh Sang Musafir yang tiba-tiba menyertai perjalanan dua murid menuju Emaus itu (Luk.24:17), “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Tanya Sang Musafir itu. Kedua murid itu terhenyak. Inilah pertanyaan yang menusuk angan dan jantung pengharapan mereka, sekaligus juga kekecewaan mereka. Dan mereka pun menjadi muram, baper! Kleopas balik bertanya, “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari belakangan ini?” Sang Musafir seolah tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Ia terus bertanya, Apakah itu?”  Mulailah mereka bercerita tentang Yesus dari Nazaret itu.

Sang Musafir seolah membiarkan dua murid itu berbicara tentang diri-Nya. Jika murid anonim itu adalah kita, maka kita pun akan bercerita tentang siapa Yesus bukan Yesus yang sebenarnya. Tetapi Yesus yang telah bias menurut versi, harapan dan angan kita. Yesus tidak jemu, Ia terus menemani perjalanan dan mendengar cerita kita. Ia terus mendengar keluh-kesah dan macam-macam kekecewaan batin yang sebenarnya berasal dari gambaran keliru kita mengenai apa dan siapa tumpuan harapan hidup kita. Ia terus mendengar cerita kurang percaya dan kecurigaan kita terhadap kesaksian para perempuan mengenai diri-Nya (Luk.24:22-24).

Setelah puas dengan cerita tentang Yesus dari Nazaret menurut versi dan harapan dua murid ini – termasuk kita di dalamnya – kini giliran Sang Musafir memberi tanggapan, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi.” (Luk.24:25). Seringkali para murid dan kita tidak bisa memahami; tidak dapat mencerna mengapa Sang Mesias harus menderita dan bahkan dibunuh. 

Perjalanan dari Yerusalem ke Emaus sepertinya ditampilkan sebagai penjernihan gagasan para murid dan juga gagasan kita masing-masing mengenai Yesus. Caranya sederhana, Ia meminta kedua murid itu mengingat-ingat kembali semua yang sudah pernah didengar tentang diri-Nya. Tetapi kali ini mereka diajak membaca kembali pengalaman itu dengan pikiran yang tidak dikuasai oleh agenda mereka yang tersembunyi, oleh harapan dan ambisi penaklukan. Kini, Sang Musafir itu memperhadapkan mereka kepada sumber-sumber kepercayaan sejati (ay.27: “mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi”). Seolah Sang Musafir itu mengajak mereka meninggalkan harapan dan ambisi mereka menuju kepada apa yang hakiki. Seperti itulah, kita juga diajak-Nya untuk bersedia berdialog dengan sabda Tuhan sendiri dan membiarkan diri kita diperkaya oleh-Nya. Sabda-Nya membungkam suara kedagingan kita.

Apa yang terjadi ketika kita diajak-Nya bertamasya ke kedalaman sabda-Nya? Seperti disebutkan nanti dalam ayat 32, mereka berkata satu dengan yang lainnya, “hati kita berkobar-kobar”. Yang berkobar-kobar biasanya api. Api punya daya menerangi dan memurnikan logam campuran. Jadi, pikiran (hati) mereka yang tadinya gelap kini, setelah berjumpa dengan Sabda menjadi terang menyala-nyala dan yang tadinya bercampur-baur dengan ambisi dan idealisme mereka, kini dimurnikan. Kedua murid itu “terbuka matanya” dan sekarang mengerti tentang Yesus dari Nazaret itu. Di Emaus “ketika Ia memecah-mecahkan roti” barulah kedua murid itu mengenali sesungguhnya orang yang menyertai mereka tadi. Baru pada saat itulah mereka menyadari sepenuhnya bahwa orang itu sama dengan Dia yang dalam Perjamuan Malam (Lukas 22:16, 18) mengatakan tidak akan makan dan minum lagi sampai Kerajaan Allah betul-betul datang. Kini, mereka berdua mengalami bahwa yang Ilahi itu benar-benar hadir di tengah-tengah manusia. Dan kehadiran-Nya inilah yang memberi harapan baru dan wajah baru bagi kemanusiaan. Yang diminta dari mereka dan kita ialah membiarkan kehadiran-Nya makin tampak dan makin biasa dirasakan orang banyak, serta makin memberi pengharapan. Ia tidak meminta kita melakukan hal-hal spektakuler luar biasa. Ia mengharapkan kita mempunyai pengharapan; wajah ceria yang mengenyahkan kekecewaan pertanda kebangkitan itu bukan hanya kepercayaan doktrinal, melainkan eksis dalam kehidupan kita. Ia ingin kita menyaksikan kebangkitan-Nya melalui tindakan nyata: melayani dan mengasihi seperti yang pernah Dia ajarkan dan contohkan dengan sepenuh hati dengan begitu dunia percaya sampai saat ini Yesus Hidup, Ia  tidak mati! Buktinya pekerjaan-pekerjaan dan karya-karya-Nya terus ada sampai saat ini!

Pada saat kedua murid tadi menyadari siapa orang yang mereka ajak datang ke rumah mereka di Emaus – ke dalam keseharian hidup mereka – pada saat itu juga Yesus lenyap. Kehadiran-Nya bukan milik mereka sendiri. Namun demikian, ada yang tinggal, yakni kebijaksanaan serta kekuatan baru untuk meniti jalan kembali ke Yerusalem. Perjumpaan itu kini membuat mereka segera berangkat kembali ke Yerusalem dan membagikan pengalaman mereka kepada murid-murid yang lain yang belum mengalami kebangkitan. Yerusalem yang sebelumnya merupakan sumber kekecewaan dan trauma hebat mereka, kini setelah perjumpaan itu, menjadi sebuah tantangan dan pengharapan!

Kisah ini cerminan relasi kita dengan Yesus Kristus, ada banyak cerita, angan dan harapan yang selalu ingin didengarkan. Namun, sebaliknya kita sulit untuk mendengar dan menyimak Yesus yang menyatakan diri-Nya. Dalam doa-doa, selalu kata-kata kita yang tak henti-hentinya memohon ini dan itu bahkan tidak segan mengatur dan menyuruh Tuhan bertindak sesuai dengan keinginan kita. Saatnya, kita mencoba beridam, biarkan Dia yang menyatakan diri berbicara dan mengoreksi semua keinginan kita yang tidak pada tempatnya sampai kita mengalami sendiri apa yang disebut kebangkitan itu. Itulah relasi yang baik antara kita dengan Tuhan Yesus Kristus,


Paskah III 2017