Jumat, 17 Februari 2017

MELEPAS KEINGINAN MEMBALAS

Ada sebuah “kenikmatan” tersendiri ketika orang yang pernah menyakiti kita mendapatkan kesialan. Demi “kenikmatan” itu orang rela “membelinya”. Berupaya keras untuk membalas agar mereka yang telah merugikan kita juga dapat merasakan penderitaan. Kalau bisa lebih menderita! Karena ada unsur “kenikmatan” itulah kita menjadi sulit melepas keinginan untuk membalas. Namun apa kata Yesus?

Bacaan Injil pada hari ini merupakan bagian akhir dari perikop pandangan Yesus yang bersinggungan langsung dengan hukum Taurat. Yesus tidak bermaksud menggantikan apalagi anti terhadap Taurat,  namun, Ia sedang memberi orientasi baru pada ketaatan manusia terhadap hukum. Yesus tidak berhenti pada apa yang tertulis tetapi menggenapi dan memerjelas apa yang kurang bahkan membongkar ulang pemahaman orang-orang pada masa itu terhadap hukum Taurat. Hasilnya adalah semangat dasar atau motivasi dari orang yang menjalankan hukum itu haruslah tampil ke permukaan. Bukan memenuhi hukum yang terpenting, melainkan sikap dasar orang yang melaksanakannya yang mau hidup dalam ketetapan Allah. Bukan dengan keterpaksaan apalagi sebagai jalan melampiaskan pembalasan, tetapi karena ia benar-benar mengasihi Allah maka berdampak bahwa mereka sanggup mengasihi sesamanya, betapa pun sesamanya itu telah menyakiti dan merugikan mereka. Orang semacam inilah yang disebut orang benar. Mereka dipanggil untuk menjadi sempurna sebagaimana Bapa di sorga juga adalah sempurna!

Yesus memberi sebuah pembedaan, sekali lagi tujuannya bukan untuk meniadakan Taurat tetapi membongkar ulang pemahaman lama, (“Kamu telah mendengar….Tetapi AKu berkata….”). Yesus membahas konsep yang umum mengenai keadilan, yakni “mata ganti mata,” atau disebut juga “Hukum Resiprokal.” Hukum Resiprokal atau lex talionis, dipahami oleh para pendengar Yesus: “Siapa pun yang menyakiti orang lain harus merasakan sakit yang sama; patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi, seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya” (Im. 24:19-20). Kalau demikian, apakah hukum Taurat itu mengakomodasi pembalasan dendam? Sepintas kita menangkapnya begitu, bukankah mata ganti mata atau gigi ganti gigi adalah prilaku pembalasan? Bukankah, naluri pembalasan manusia akan selalu meminta pembalasan lebih parah dari yang diterimanya? Banyak cerita tentang itu; seseorang dirugikan, dan dia membalas lebih parah bahkan dengan menghabisi nyawa.

Lex talionis  oleh sebagian besar orang dianggap baik oleh karena konsep ini mengekang mereka untuk tidak membuat kerusakan yang lebih parah dari semestinya ketika mereka melakukan balas dendam: “seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah juga dibuat kepadanya.”

Yesus mengajarkan dan membongkar pemahaman lama itu dan menawarkan solusi bahwa dalam Kerajaan Allah ada cara yang lebih baik ketimbang lex talionis.  Ia memberi empat contoh ketidakadilan dan menunjukkan bagaimana sikapnya terhadap itu. Sikap itu antara lain ketika:

1.       Seseorang menyerang dan menghina kita
“…siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (ay.39). Pernahkah Anda ditampar? Bagaimana rasanya? Ada yang bilang, “Sakitnya sih tidak seberapa. Namun, malunya itu!” Sangat jarang pada masa kini kita melihat adegan tampar-menampar. Kalau pun ada bisa jadi berbeda konteksnya dengan apa yang dimaksudkan Yesus. Pada zaman Yesus, adalah pemandangan lumrah menyaksikan seorang tuan menampar budaknya ketika si budak tidak memenuhi kehendak hati dari tuannya. Pada umumnya, orang-orang saat itu menggunakan tangan kanan. Menampar pipi kanan, berarti orang tersebut menggunakan punggung tangan. Menampar menggunakan punggung tangan ada maksudnya. Punggung tangan hanya digunakan untuk menampar budak atau orang yang derajatnya lebih rendah. Sementara, telapak tangan, karena dapat dikendalikan, biasanya dipakai untuk maksud pengajaran terhadap anak-anak. Ketika sang tuan menampar, si budak akan menunduk pasrah. Si tuan akan terus menampar si budak itu. Bisa saja, si budak melawannya tetapi ia akan segera menghadapi resiko lebih besar lagi. Yesus mengajarkan respon yang mengejutkan: berikan juga pipi kirimu!

Apa yang terjadi ketika seseorang ditampar dengan punggung tangan kanan dan kemudian ia memberikan pipi kirinya? Ya, tepat! Kalau si penampar masih menggunakan tangan kanan maka ia akan menampar dengan menggunakan telapak tangan. Bukan lagi dengan punggung tangan. Hal ini berarti – dalam budaya Yahudi – orang yang ditampar itu punya sikap bahwa dirinya tidak lebih rendah (budak) dari si penampar.

Jika ada seseorang yang ditampar oleh seorang yang derajatnya sama (bukan tuan terhadap budak), maka ia dapat melaporkan si penampar ke pengadilan. Pada zaman Yesus, menampar seseorang dengan derajat sama adalah tindakan yang bisa dihukum di pengadilan. Dan tindakannya menawarkan pipi kanan akan membuat si tuan berpikir ulang karena dapat saja tindakannya diadukan ke pengadilan.

Yesus mengajarkan para murid-Nya untuk mempunyai solusi alternatif selain membalas dendam atau pergi ke pengadilan. Respons itu adalah sebuah peringatan tanpa kekerasan! Tentu saja kita tidak boleh terjebak pada legalisme (seperti yang sedang dikritik Yesus mengenai legalisme Taurat) bahwa di mana pun kita harus bersikap seperti itu. Ada waktu di mana kita harus melindungi diri sendiri. Yesus tidak sedang memberikan hukum universal, melainkan sebuah prinsip Kerajaan Allah yang menunjukkan cara yang berbeda dari bagaimana kita semestinya bereaksi terhadap dunia ini.

2.       Seseorang menuntut kita atas hak miliknya
dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu” (ay. 40). Pada zaman Yesus, nasib orang miskin sangat tergantung pada belaskasihan orang kaya. Banyak orang miskin tidak memiliki apa-apa selain baju yang melekat pada tubuh mereka. Jika terpaksa mereka meminjam uang dari si kaya, maka mereka akan menggunakan pakaian mereka sebagai jaminan, seperti misalnya jubah, yakni pakaian yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh. Si kaya dapat meminta uangnya dikembalikan kapan pun. Dan jika si miskin tidak dapat membayar, maka si kaya dapat merampas jubah si miskin. Jelas, tindakan ini tidaklah adil bagi si miskin karena ia akan mengalami kedinginan!

Yesus memberi solusi, “Serahkan juga jubahmu!” Sikap ini mungkin terasa berlebihan. Jubah dipakai berlapis sebagai selimut, dan ada pula larangan (Kel. 22:25-27) untuk mengambil jubah milik orang lain. Mengapa Yesus menyuruh untuk memberikan jubah padahal ada larangan? Karena di sinilah Yesus sedang berbicara tentang prinsip Kerajaan Allah, yang intinya adalah kasih. Jika seseorang merampas sesuatu, maka reaksi yang wajar adalah memertahankan apa yang menjadi miliknya. Tetapi mereka yang mengerti dan memahami perlindungan Allah yang adalah sumber kasih akan bereaksi berbeda, “Ini bajuku, jika tuan mau, ambilah juga jubahku. Tidak mengapa, sebab Allah pasti melindungiku dari kedinginan!” Mestinya, si kaya itu akan merasa “tertampar”, bagaimana mungkin si miskin begitu kaya dengan sikapnya yang hendak memberikan juga jubahnya!

3.       Seseorang memaksa kita
dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (ay. 41). Pada zaman Yesus, jika seorang prajurit Roma meminta seorang Yahudi untuk membawakan barangnya, maka seorang Yahudi itu diharuskan untuk membawa barang tersebut sejauh satu mil. Perhatikan kalimat “memaksa engkau berjalan sejauh satu mil.” Tidak ada satu pun orang Yahudi yang sudi melayani orang Roma yang mereka benci. Orang Roma membuat peraturan satu mil agar prajurit tidak semena-mena terhadap orang Yahudi membawakan barang mereka. Mereka membatasi jarak hanya satu mil.”

Bagaimana sikap Yesus? Sekali lagi Yesus menyuruh sikap yang tidak logis, “berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.” Tentu sikap ini tidak sama dengan memberi tumpangan kepada orang lain atau menolong seorang teman pindah rumah. Kalau itu, mungkin kita lakukan dengan senang hati . tetapi ini, orang Roma yang adalah penjajah! Orang yang kita tolong bukan orang yang meminta pertolongan kita, tetapi sedang memaksa kita! Tentu perintah harus berjalan dua mil dengan orang yang memaksa kita adalah mengejutkan. Mengejutkan dan mengandung amarah apabila dilakukan dengan hati yang dongkol, benci dan perasaan terjajah. Namun, dalam prinsip Kerajaan Allah: kasih akan berbicara lain. Yang hendak Yesus katakan, “Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri dan kebebasanmu untuk melakukan apa saja yang engkau sukai, tetapi pikirkanlah untuk selalu dapat membantu orang lain. Kalau engkau diberi tugas, meskipun tugas itu Anda benci dan tidak masuk akal, janganlah  tugas jahat janganlah ada dendam pada diri Anda; kerjakanlah tugas itu sebagai pelayanan dengan gembira! Anda dapat memaknai dan memilihnya sebagai bentuk pelayanan yang menyenangkan. William Barclay mengatakan, “Orang Kristen sejati bukan pertama-tama menonjolkan kesukaan dan kemauannya. Sebaliknya, ia harus mengutamakan kesediaannya untuk menolong, meskipun pihak yang memerlukan pertolongannya itu bersikap tidak sopan, mengada-ada dan mendikte.

4.       Seseorang meminta kepada kita
“Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu” (ay.42). Pada zaman Yesus, masyarakat umum hanya akan memberi uang kepada sanak saudara mereka sendiri dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Menurut hukum Taurat, pemberian hanya diberikan kepada orang dalam komunitas lokal, dan hanya sebanyak yang diperlukan (Ul. 15:7-8). Namun, Yesus melangkah lebih jauh. Yesus menyatakan bahwa pemberian itu tidak harus dibatasi hanya kepada sanak keluarga dan orang yang kita kenal.

Sikap meminta dan memberi menjadi rentan dalam relasi. Mereka yang butuh harus merendahkan diri untuk meminta, dan mereka yang diminta harus melepas apa yang menjadi milik mereka. Untuk meminta perlu kerendahan hati dan untuk memberi perlu kepercayaan. Pemberian mestinya tidak boleh menjadikan orang yang membutuhkan itu kemudian menjadi rendah diri terhadap si pemberi. Melainkan, semata-mata untuk memberdayakannya, karena pemberian itu bersifat pribadi maka sebaiknya dilakukan bukan dengan pamer. Ingatlah semua yang kita berikan kepada orang lain pada hakekatnya bukan berasal dari diri kita sendiri. Ketika kita mampu memberi, itu berarti kita dipakai sebagai alat bagi saluran berkat-Nya.

Selanjutnya, Yesus menutup perikop ini dengan perintah untuk mengasihi musuh. Ia mengatakan, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu….” Batasan kasih dan hak membalas dipelajari oleh orang Yahudi dari kitab Imamat: Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im.19:18).

Jakarta, 17 Februari 2017

Jumat, 10 Februari 2017

MEMILIH KEHIDUPAN

Alkitab memperkenalkan Allah sebagai Pencipta dan Pemilik kehidupan, Allah yang perkasa, berdaulat, rahmani dan rahimi. Meskipun demikian, Dia bukalah sosok otoriter dan pemaksa. Sejak awal pencitaan Adam dan Hawa, mereka diberi kebebasan untuk menaati perintah-Nya atau abai. Tentu masing-masing pilihan mempunyai konsekuensinya sendiri.

Menjelang akhir hidupnya, sebelum tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Yosua dan bangsa itu setahap lagi akan memasuki negeri perjanjian, Musa memperhadapkan umat Israel kepada pilihan yang akan menentukan masa depan mereka, “Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan,..” (Ulangan 30:15). Rupanya pengalaman empat puluh tahun di padang gurun mengajarkan kepada Musa bahwa kehidupan dan keberuntungan bukanlah sebuah pemberian kodrati dengan alasan bahwa mereka adalah umat pilihan. Sebaliknya, kematian dan kecelakaan bukan pula takdir garis tangan yang sudah ditentukan dari sananya. Ada peran dan tanggungjawab umat yang tidak bisa dikesampingkan: pilihan!

Pilihan bukan sekedar jawaban “ya” atau “tidak”. Memilih kehidupan dan keberuntungan berarti memilih taat, setia dan mengasihi Allah. Berlawanan dengan itu berati kematian dan kecelakaan. Pengalaman padang gurun merupakan modal bagi mereka untuk menapaki kehidupan selanjutnya. Menaati dan melakukan perintah-Nya sebagai wujud dari cinta kasih umat kepada Allah mestinya bukan perkara yang sulit dan mustahil. “Sebab perintah ini…tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh. Tidak di langit tempatnya...juga tidak di seberang laut..Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu,…” (Ulangan 30:11-14). Dengan demikian, Musa mau menegaskan bahwa mengasihi Allah itu sangat mungkin dan mudah, tidak perlu mencari-cari alasan: Ini tergantung pada pilihan hati mau atau tidak!

Apakah untungnya hidup taat dan setia kepada Allah? Tidak kurang dari seratus tujuh puluh enam ayat (Mazmur 119), pemazmur menggubah syair untuk mengungkapkan kehidupan yang penuh bahagia ketika seseorang memilih taat, setia dan mengasihi Allah dengan melakukan perintah-Nya. Benar, kehidupan bahagia bukan berarti bebas dari pergumulan dan kesulitan. Namun, pada saat-saat itulah kehadiran Tuhan bukanlah sebuah ilusi atau harapan kosong.

Namun, rupanya perkembangan selanjutnya hukum-hukum TUHAN itu dipahami sebatas legal-formal yang dipakai sebagai penanda sebuah ciri atau identitas umat Allah. Alih-alih mereka menggunakan Hukum sebagai sarana mengungkapan kecintaan kepada Allah, yang terjadi justeru sebagai alat untuk pemuasan kebanggaan diri atau pencitraan dan cambuk untuk menghukum orang yang melanggarnya. Jelas jauh dari maksud semula ketika hukum itu diberikan.

Yesus tampil berhadapan dengan hukum yang selama ini telah begitu baku dan kaku diberlakukan dalam tatanan sosial Yahudi. Terang saja  ada kelompok-kelompok yang merasa terusik bahkan terancam dengan apa yang diajarkan Yesus, maka Yesus perlu menegaskan, “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17). Secara prinsip, Yesus bersikap positif terhadap warisan keagamaan Yahudi. Namun, benarkah Yesus seolah mempersulit syarat untuk menjalankan Hukum TUHAN? Apakah Yesus melampaui Musa?

Aku datang…untuk menggenapinya.”
Dalam bahasa Yunani kata menggenapi mengandung pengertian “mengisi”. Serupa dengan mengisi tempayan air atau alat takaran gandum agar menjadi penuh. Hal ini menandakan bahwa ada “kekosongan” ketika umat melakukan hukum TUHAN. Kata menggenapi yang dipergunakan Yesus mengandung kiasan: yang belum lengkap. L. Deiss menjelaskan bahwa ketika Yesus mengatakan untuk dirinya sendiri, itu berarti bahwa kedatangan-Nya membawa kepenuhan takaran yang dikehendaki oleh Allah, sedangkan kepenuhan itu adalah “kasih”. Kasih adalah puncak dari segala hukum. Maka, hukum menjadi genap, bila puncaknya ditempati oleh kasih. Tetapi karena kasih bercokol dalam hati dan tidak selalu tampil terlihat jelas dalam tindakan nyata, maka hal-hal lahiriah (apalagi sekedar formalitas) bukanlah yang paling menentukan di hadapan Allah.

Yesus sangat mengerti isi hati manusia – inilah yang menjadi perhatian serius dari Yesus: isi hati manusia! Hati yang penuh dengan kemarahan, penuh kebencian, adalah hati yang tidak jauh dari keinginan untuk melenyapkan, membunuh dan membinasakan. Pembunuhan hanyalah akibat atau buah dari dendam kesumat kebencian yang tidak dapat diatasi oleh pelakunya. Seorang yang marah akan menyakiti orang lain jika ada kesempatan baginya. Ketika Yesus memerintahkan agar para murid-Nya tidak dipenuhi oleh kemarahan, Yesus sedang menunjukkan kepada kita jalan untuk menuju kepada kehidupan yang baik dan indah. Perintah-Nya itu menunjukkan bahwa kita bisa melakukannya. Banyak orang berpikir bahwa mustahil manusia hidup tanpa kemarahan. Ya, marah adalah bagian dari emosi. Tuhan menciptakan kita dengan emosi, bayangkan manusia hidup tanpa emosi? Hambar! Saya kira Yesus bukan melarang kita untuk hidup tanpa kemarahan, melainkan kendalikanlah kemarahan itu agar tidak membuahkan kebencian. Perhatikanlah bahwa seringkali penyebab kemarahan kita adalah ketika kita merasa tidak dihargai dan kenyamanan kita terusik. Berpikirlah bahwa Anda dan saya begitu berharga di hadapan Tuhan, masakan karena tersinggung dengan perlakuan yang merendahkan kita kemudian amarah kita terbakar? Atau tidakah kita berpikir bahwa Yesus Sang Anak Allah rela meninggalkan segala kehormatan dan kenyamanannya sehingga mengambil rupa sama seperti manusia, menghamba, mati dan disalibkan; tidakkah ini memotivasi kita untuk tidak marah apalagi dendam ketika kenyamanan kita terusik?

Begitu pula tentang seksualitas. Apakah Yesus sedang mengatakan bahwa seorang pria ketika memandang seorang wanita dan timbul keinginan nafsu seksual itu sama dengan berzinah? Apakah menurut Yesus nafsu seksual itu buruk? Mungkin kita perlu melihat kata kunci mengingini. Kata Yunani yang dipakai adalah ephitumia. Ephitumia dalam konteks ajaran Yesus ini tidak mengacu kepada ketertarikan seksual secara umum, melainkan sikap yang dengan sengaja menjadikan orang lain sebagai obyek untuk kesenangan pribadinya. Yesus sedang menjelaskan ephitumia kepada para pria yang sebagian besar ada di hadapan-Nya. Ephitumia adalah perzinahan, di situlah gairah seksual mengalahkan komitmen kecintaan yang tulus karena semua perzinahan selalu, “Memuaskan nafsuku lebih penting ketimbang memenuhi komitmenku. Aku tidak peduli jika aku menyakiti orang lain atau tidak; saat ini yang paling kupedulikan adalah diriku sendiri!” Jadi, siapa pun – termasuk kaum hawa – yang menjadikan sesamanya sebagai obyek pemuasan diri di situlah ia tidak memilih kehidupan yang benar dan indah. Ia sedang merancang masa depan suram dan kematian!

Sepintas apa yang diajarkan Yesus begitu ekstrim. Namun, sebenarnya Ia ingin agar inti dari permasalahan yang selama ini belum tergenapi, belum tersentuh dan terisi yakni hati manusia dapat digenapi, disentuh dan terisi penuh! Yesus tidak bermaksud harfiah, tetapi Ia sedang menggunakan teknik retorika yang disebut reductio ad absurdum, yakni menelaah sebuah argumen sehingga pijakan logika yang salah menjadi terlihat (James Bryan Smith). Selama ini orang hanya menilai dari prilaku atau perbuatan sehingga kedalaman hati tetap tenggelam dan tidak muncul ke permukaan. Yesus sedang membantah konsep umum dalam kehidupan masyarakat bahwa dosa itu tinggal diam dalam bagian-bagian tubuh tertentu, misalnya tangan yang mencuri, alat kelamin yang melakukan perzinahan, mata yang mengingini dan kaki yang membawa ke dalam pencobaan, jadi bagian tubuh itulah yang paling bertanggungjawab dalam melakukan dosa. Inilah juga mengapa ada komunitas yang memberikan penghukuman potong tangan pada si pencuri. Alasannya: potong bagian yang paling berdosa, maka orang tersebut tidak lagi berdosa! “Jika matamu yang kanan menyesatkan engkau,” kata Yesus, “cungkilah dan buanglah itu!”

Dallas Willard dalam candaannya berkata, “Yesus tidak sedang mendorong kita untuk memotong tiap anggota tubuh yang melakukan dosa sehingga kita masuk sorga seperti puntung penuh darah!” Yesus justeru sedang memutarbalikan logika umum yang tampaknya benar. Yesus mau mengatakan bahwa masalahnya bukan pada tangan, kaki, atau mata kita – yang bermasalah adalah hati kita! Tubuh kita memang terlibat dalam tindakan dosa, tetapi pelaku kejahatan yang sebenarnya ada adalah di dalam diri dan imajinasi kita, di dalam hati kita. Itulah yang sedang digenapi oleh Yesus. Dia datang untuk mengisi, membuat penuh hukum TUHAN dengan cinta kasih yang benar. Pertanyaannya kita, “Apakah hati kita sudah berupaya dipenuhi oleh cinta kasih kepada-Nya?” Kalau itu sudah terjadi maka, tepatlah bahwa kita memilih kehidupan dan keberuntungan!

Jakarta, 10 Ferbruari 2017