Jumat, 20 Januari 2017

MEMBERITAKAN INJIL DENGAN KEKUATAN ALLAH

Setelah peristiwa baptisan di sungai Yordan, beberapa hari Yesus bergabung dengan Yohanes. Selama berada dalam takerakat Yohanes, pastilah Ia menyaksikan apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh Yohanes. Namun, tibalah saatnya Yesus pergi. “Pada keesokan harinya Yesus memutuskan untuk berangkat ke Galilea.” (Yohanes 1 :43). Mengapa Yesus harus meninggalkan komunitas Yohanes lalu memilih pergi? Dan mengapa harus  ke Galilea, tidak ke Samaria atau Yerusalem? Injil Yohanes tidak menyajikan alasan yang jelas. Kita dapat menemukan alasan kepergian Yesus dalam Injil Matius. “Tetapi waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea.” (Matius 4:12).

Mengapa Yohanes Pembaptis ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara? Penyebabnya, Yohanes terlalu lantang menegur raja Herodes Antipas di depan umum. Herodes telah mengusir isterinya dan menjadikan Herodias, isteri Filipus yang adalah saudaranya sendiri menjadi isterinya. Bagi Yohanes, apa yang dilakukan oleh Herodes Antipas ini bukan sekedar pelanggaran hukum atau etika moral, tetapi juga merupakan kekejian di mata Tuhan. Namun, sialnya setiap orang yang menegur raja, apalagi di muka umum dipandang sebagai orang yang menghina raja. Dan setiap orang yang menghina raja tidak ada yang selamat. Keberanian Yohanes harus dibayar dengan mendekap dipenjara bawah tanah dan pada gilirannya harus dibayar dengan kepalanya sendiri (Matius 14:3-12).

Bisa dibayangkan, kemarahan Herodes yang merasa telah dipermalukan ditambah pula  hasutan dari sang isteri baru. Pastilah ia akan menumpas setiap orang yang mengecam dan mengeritiknya. Yesus berada dalam pusaran arus Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan moral bagi bangsanya tentu saja Ia bersama para murid Yohanes dalam kondisi terancam. Bukankah pada masa awal kiprah-Nya, hampir  tidak ada bedanya, apa yang diserukan Yesus dan apa yang dikerjakan oleh Yohanes Pembatis? “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Matius 4:17).

Yesus menyingkir (anakhoreo). Mengapa Ia menyingkir? Salah satu alasannya agar terluput dari amarah Herodes. Ia memilih Galilea, tepatnya Kapernaum sebuah wilayah paling ujung Utara dari kekuasaan Herodes. Bila sewaktu-waktu terjadi ancaman semakin seirus, Yesus dengan mudah dapat menyingkir ke wilayah kekuasaan Filipus, seorang raja yang baik hati. Jarak dari Kapernaum ke perbatasan wilayah kekuasaan Filipus hanya empat kilometer saja!

Ditinjau dari sisi pengamatan sosio politik bisa sangat masuk akal kalau Yesus menyingkir dari Nazaret dan memilih Galilea demi strategi keamanan. Namun, apakah hanya itu alasan satu-satunya? Dalam kerangka pemikiran Matius, awal pelayanan Yesus di Galilea bukanlah sebuah kebetulan atau strategi pelarian diri dari Herodes. Kutipan dari nabi Yesaya pada Matius 4: 15-16 setidaknya menjadi alasan utama Yesus pergi ke Galilea. Nubuat Yesaya 8 ini menegaskan bahwa orang-orang asing pun semenjak awal masuk dalam rencana penyelamatan Allah melalui Yesus. Kehadiran Yesus merupakan Terang bagi bangsa-bangsa yang diam dalam kegelapan dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut!

Galilea pada zaman Yesus diberi label sebagai wilayah orang-orang yang tidak mengenal TUHAN. Daerah 75 km x 40 km yang terdiri dari 204 desa itu dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Di sebelah Barat tinggal orang-orang Funisia, di seblah Utara dan Timur, didiami oleh orang-orang Syria di wilayah Selatan berbatasan dengan orang Samaria. Galilea merupakan wilayah Israel yang selalu berhubungan dengan unsur-unsur dan pengaruh non-Yahudi oleh karenanya, orang Israel menyebut wilayah itu sebagai daerah “kafir” (Galil: sebuah lingkaran, Galilea: milik orang-orang kafir). Meskipun demikian, Yosepus seorang sejarawan sekaligus orang yang pernah menjadi gubernur wilayah Galilea punya catatan tersendiri tentang penduduk Galilea. Ia mencatat: Mereka sangat senang terhadap hal-hal baru. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang cepat naik darah dan gemar bertengkar. Dan sebagai tambahan, mereka adalah orang-orang yang mempunyai sifat ksatria. Orang-orang Galilea dikenal sebagai orang pemberani. Mereka lebih sukamenerima kehormatan dari pada menerima keuntungan-keuntungan yang lain. (W Barclay)

Yesus Kristus memilih Galilea dan bukan Yerusalem merupakan batu sandungan bagi orang Yahudi (Yoh.7:25) sebab merakalah yang terlebih dahulu menerima Terang itu. Di sinilah juga Yesus memanggil murid-murid yang pertama. Di tepi danau Galilea pula Yesus melihat Simon dan Andreas yang bekerja sebagai nelayan di danau itu. Mereka sedang menebarkan jala lalu Yesus memanggil mereka untuk menjadi murid-Nya. Kemudian Yesus melihat dua orang bersaudara lagi, Yakobus dan Yohanes keduanya juga sebagai penjala ikan. Apa yang menarik dari kisah pemanggilan ini? Mereka semua meninggalkan pekerjaannya dan kemudian mengikut Yesus! Ketertarikannya terhadap Yesus bukan semata-mata karena keterbukaan orang-orang Galilea dalam menyerap hal-hal baru. Melainkan karena yang memanggil itu: Yesus yang memberikan kepercayaan kepada mereka untuk sebuah misi dan pekerjaan baru: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” (Matius 4:19)

Tidak hanya meneruskan gerakan pertobatan yang telah disuarakan dengan lantang oleh pendahulunya, yakni Yohanes. Tetapi Yesus melampaui Yohanes. Yesus tidak hanya menyerukan pertobatan, berkhotbah dan mengajar, tetapi Ia juga menyembuhkan orang-orang sakit, menyingkirkan penderitaan manusia. Yesus seakan tidak puas hanya memberitakan tentang kebenaran melalui kata-kata saja. Ia datang untuk merubah kebenaran itu menjadi perbuatan dan tindakan. Dalam Yesus orang melihat kebenaran yang dinyatakan dan tindakan nyata yang menyapa pergumulan manusia. Itulah Injil; itulah Kabar Baik!

Apa yang dikerjakan Yesus menarik banyak orang. Cerita dari mulut ke mulut terus beredar. Semakin banyak orang yang ingin tahu Yesus dan semakin banyak orang bermasalah datang kepada-Nya. Mereka membawa yang sakit dan lemah. Nama Yesus semakin tersiar bahkan samapai Yerusalem dan semakin banyak orang datang berbondong-bondong datang kepada-Nya.

Kini, sebagaimana Yesus telah memilih dan menetapkan murid-murid pertama dari penjala ikan menjadi penjala manusia, Ia pun tentu mengutus setiap orang yang telah mengenal-Nya untuk memberitakan Kabar Baik itu kepada semua makhluk. Tugas itu akan dapat dilakukan dengan baik apabila kita belajar dari Yesus Kristus sendiri. Kisah penyingkiran-Nya ke Galilea – Kapernaum bukan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan keamanan dan kenyamanan diri-Nya yang terancam amarah Herodes. Di balik itu ternyata Ia sedang menggenapi perintah Bapa-Nya: agar Terang itu bercahaya di tempat yang gelap! Banyak orang Kristen justeru enggan meninggalkan kenyamanannya. Hanya mau bersinar di gereja dan pada saat-saat seremonial ibadah saja. Bagaimana di lingkungan kita sehari-hari, apakah terang Kristus itu bersinar melalui sikap dan tutur kata kita?

Yesus berkarya di tengah-tengah pengaruh dasyat ajaran dan pandangan hidup dari orang-orang yang tidak mengenal Allah. Namun, Ia tetap setia menjalankan misi Bapa-Nya. Bisa saja hari ini Tuhan menempatkan kita di lingkungan yang sama sekali berbeda dari nilai-nilai Kristiani: Apakah di sana kita memberi pengaruh atau justeru kita tergoda untuk melakukan apa yang mereka lakukan? Menganggap wajar dan lumrah atas apa yang mereka kerjakan walau itu bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran? Mestinya tidak, di situlah kita harus menunjukkan integritas sebagai penjala manusia dan bukan penjala ikan. Sebab, penjala ikan hanya memikirkan keuntungan bagi diri sendiri dengan pelbagai macam cara. Namun, penjala manusia akan memikirkan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Ingatlah apa yang dilakukan Yesus. Ia tidak sekedar berbicara, mengajar dan berkhotbah tetapi juga melakukan apa yang diucapkan-Nya. Ia memberi pelayanan nyata untuk mengatasi pergumulan dan penderitaan manusia. Setiap murid Yesus pastinya terpanggil untuk melakukan hal yang sama. Memberitakan Kabar Baik tidak cukup dengan perkataan; melainkan juga dengan perbuatan. Kita dapat melakukan tugas dan panggilan itu bukan dengan mengandalkan kekuatan sendiri, melainkan – seperti Yesus melakukannya – mengandalkan kuasa dari Allah.

Jakarta 20 Januari 2017

Selasa, 10 Januari 2017

MELANGKAH DALAM INTEGRITAS

Bergulirnya sang waktu dapat membuktikan kebenaran dari tutur kata kita. Minggu ketiga dari hitungan tahun yang baru segera bergulir. Banyak orang – mungkin di antaranya kita – melakukan refleksi pada malam tahun baru. Hasil refleksi itu membuahkan resolusi, tekad, niat atau komitmen untuk melangkah lebih baik lagi di tahun yang baru ini. Kita bertekad untuk meninggalkan kekurarang, kegagalah, kesalahan, dosa bahkan segala kepahitan, gantinya adalah prilaku hidup yang lebih baik dengan kerja keras dalam ketaatan dan integritas yang lebih baik agar berkenan kepada-Nya. Pertanyaanya sekarang, setelah menjalani beberapa minggu di tahun yang baru, adakah resolusi, komitmen, tekad, atau niatan itu masih bergetar di hati kita? Ataukah sudah mulai memudar? Benar, tidak selalu mudah menjaga “nyala api” dalam jiwa. Kita membutuhkan penyemangat dan pandu yang dapat menolong agar fokus pada niatan yang baik itu.

Mari kita belajar dari Yohanes Pembaptis. Tampaknya ia benar-benar menghayati tugas panggilannya sebagai pandu bagi orang-orang di zamannya untuk berjumpa dengan Sang Mesias. Setidaknya, dua hari setelah peristiwa pembaptisan Yesus, ia masih berada di sekitar sungai Yordan. Injil Yohanes 1:29 mencatat, “Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus..”. Saya membyangkan kegembiraan luar biasa tidak bisa disembunyikan dari raut muka Yohanes. Kini, berdasarkan apa yang ia saksikan sendiri dari peristiwa pembaptisan, yakni bahwa Roh Allah turun ke atas Yesus dalam bentuk merpati dan tinggal di atas-Nya, tak pelak lagi: inilah dia, “Sang Ank domba Allah, yang menghapus dosa dunia.”

Besoknya lagi terjadi hal yang sama. Yohanes masih berdiri di tempat yang sama, ia melihat Yesus lewat dan ia berkata, “Lihatlah Anak domba Allah!” (Yoh.1:35-36). Kini, ucapannya didengar oleh kedua muridnya. Lalu kedua murid Yohanes itu meninggalkan dirinya dan pergi mengikuti Yesus.

Coba bayangkan, bagaimana kalau kita berada pada posisi Yohanes? Bukankah sebuah kebanggaan ketika ada banyak orang menjadi pengikut, mau belajar dan berguru. Bukankah selama ini berbagai cara dilakukan orang untuk dapat menarik simpati dan menjaring orang menjadi pengikutnya? Apa yang terjadi ketika pengikut beralih ke lain hati dan meninggalkan sang guru begitu saja? Pada umumnya orang menjadi kecewa atau marah! Namun, itu tidak terjadi pada Yohanes. Mengapa? Karena ia tahu benar apa yang menjadi tugas panggilannya: mempersiapakan jalan bagi Tuhan, menolong orang lain berjumpa dengan Sang Mesias.

Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dalam pernyataan Yohanes tentang Yesus? Atau konsep manakah yang melatarbelakangi pernyataan tentang Anak domba Allah? Ada beberapa pandangan tentang Anak domba Allah. Bisa saja Anak domba Allah menjadi figur eskatologi yang akan datang pada akhir zaman seperti yang ditulis dalam Kitab Wahyu. Atau dalam Kitab Deutero Yesaya yang digambarkan sebagai Anak domba yang menanggung dosa manusia. Kita tahu bahwa domba dalam Perjanjian Lama kerap dipergunakan sebagai korban bagi penebusan dosa. Namun, Yohanes dengan jelas mengatakan bahwa Yesus bukanlah korban. Yohanes tidak menyebutkan bahwa, “Anak domba Allah itu yang menanggung dosa dunia.” Melainkan, “Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia!” Oleh karena itu gelar Anak domba Allah ini menunjukkan pada kuasa yang dimiliki Yesus untuk menghapus dosa dunia! Dalam pemahaman inilah, Yohanes mewartakan bahwa Yesus itulah yang akan membawa dunia dalam rekonsiliasi dengan Allah.

Yohanes menyadari bahwa Yesus datang dengan kuasa menghapus dosa dunia, sedangkan dia datang tidak dengan kuasa itu. Pelayanannya tidak lebih dari membersihkan dengan air terhadap mereka yang datang kepadanya untuk bertobat, tetapi ia tidak berkuasa untuk menghapus dosa mereka. Yohanes yang membaptis dengan air sekarang mewartakan Dia yang akan membaptis dengan Roh Kudus karena Roh itu telah turun ke atas-Nya. Yohanes memberi kesaksian tentang siapa Yesus: Dia adalah Anak Allah.

Tak pelak lagi, Yohanes Pembaptis adalah seorang altruis. Altruisme dikemukakan oleh pendiri sosiologi dan filsuf pengetahuan asal Perancis pada abad 18-19 Auguste Comte. Pada hakekatnya, menurut Comte, ada dua motivasi seseorang dalam prilaku menolong: pertama, prilaku menolong untuk mendapatkan manfaat bagi penolong, atau mengambil manfaat dari orang yang ditolong. Dalam kalimat sederhana: menolong dengan pamrih. Misalnya, seorang pengusaha menolong anak seorang pejabat dalam urusan sekolah, dengan harapan si pejabat dapat memuluskan perizinan bagi urusan bisnisnya. Yang kedua, perilaku menolong altruis yaitu menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong. Misalnya, seorang pemuda menolong menyeberangkan seorang nenek tua, semata-mata agar si nenek sampai di seberang jalan.

Walstren dan Piliavin (Deaux, 1976), menyatakan perilaku altruistik adalah perilaku menolong yang timbul bukan karena tekanan atau kewajiban. Melainkan sebuah tindakan sukarela dan tidak berdasarkan norma-norma tertentu. Tindakan tersebut sejatinya merugikan penolong, dari soal waktu, tenaga dan materi tanpa ada suatu imbal balik apa pun. Altuisme adalah lawan dari egoisme.

Altruis berasal dari kata “alter” yang berarti “orang lain”. Penekanan pada kepentingan “orang lain”, itulah esensi dari altruisme. Yohanes Pembaptis melakukan itu! Ia tidak mengambil keuntungan sama sekali untuk dirinya ketika ia menolong orang lain berjumpa dengan Sang Mesias. Tidak ada perasaan “terganggu” ketika para muridnya meninggalkan dirinya untuk tinggal bersama-sama dengan Yesus. Bisa jadi, ia melepas para muridnya itu dengan senyuman, karena mereka kini dapat berjumpa dengan Sang penghapus dosa itu!

Mumpung belum pudar resolusi, niat, tekad atau apa pun namanya di tahun yang baru ini: apakah langkah kehidupan kita masih dapat disebut punya integritas, satunya kata dan perbuatan? Pemimpin spiritual Dalai Lama pernah memberi nasehat, “Tujuan hidup yang utama dalam kehidupan kita adalah menolong sesama. Dan bila Anda tidak dapat melakukannya, sekurang-kurangnya, jangan sakiti orang lain.” Les Brown, seorang motivator tahun 50-an pernah mengatakan, “Tolonglah orang lain untuk meraih mimpi mereka; dan Anda akan meraih mimpi Anda.” Sedangkan motivator Ruth Smeltzer memberi saran, “Anda belum menjalani hari sempurna, walaupun telah mendapatkan uang, kecuali Anda telah melakukan sesuatu untuk orang lain yang takkan pernah dapat membalasnya.”

Hal mendasar dalam kehidupan iman kristiani adalah tentang komitmen melakukan tindakan kasih. Dan belajar dari Yohanes Pembaptis, mestinya kita tidak hanya sibuk membahas dan membicarakannya, melainkan melakukannya dengan tulus untuk kebaikan orang lain dan sama sekali tidak mencanangkan sedikit pun keuntungan bagi diri sendiri. Berbekal wacana, resolusi, tekad dan niat, marilah kita melangkah dengan penuh integritas: Mengasihi Allah melalui sesama tanpa pamrih!

Jakarta, 10 Januari 2017