Jumat, 04 November 2016

JAMINAN KESELAMATAN DALAM PENEBUS YANG HIDUP


“Waw…!” Apakah Anda pernah mengucapkan kata itu? Apa yang mendorongnya? Ya, kata “waw” atau “wow” merupakan ungkapan kekaguman dan keheranan menakjubkan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan terjadi. Membaca kisah Shandra Woworuntu yang hari ini menghiasi rubrik Sosok (Kompas 4/10) seakan gambaran “waw” dialaminya. Ia membayangkan, setelah menyelesaikan kuliahnya, terbang ke Amerika Serikat dengan harapan untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan layak. Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ia terjebak sindikat perdagangan manusia. Selama lima belas tahun dirinya dijadikan budak seks. Ancaman, intimidasi dan siksaan menjadi makanan sehari-harinya. Ia sudah kehilangan segalanya. “Satu-satunya yang menjadi milik saya – di luar ‘seragam’ yang saya kenakan – adalah sebuah tas kecil, yang berisi kamus, sebuah Alkitab kecil, dan beberapa bolpen juga buku-buku permainan…”( www.bbc.com/ Indonesia/majalah/2016/04/160330).
Sekuat tenaga Shandra berjuang meloloskan diri dari jerat prostitusi itu. Namun, beberapa kali gagal. Polisi yang dimintai pertolongannya cenderung tidak percaya dan menolak untuk memberikan bantuan kepadanya. Perjumpaannya dengan Eddy, seorang pelaut di Grand Ferry Park di Williamsburg menemukan titik cerah. Dengan bantuan FBI, tidak saja Sandra lepas dari jerat perbudakan itu, bahkan mereka dapat meringkus para pelaku perdagangan manusia itu. Kini, Shandra menjadi seorang wakil presiden Mentari USA, lembaga nirlaba yang menyediakan bantuan Cuma-Cuma bagi para korban perbudakan manusia. Ia pun didapuk Presiden Barack Obama menjadi penasihat khususnya dalam bidang anti perdanganan manusia. Waw..!

Ada perbedaan namun juga terdapat kesamaan dari waw yang kita pahami itu dengan “waw” kata Ibrani. Berbeda arti karena “waw” dalam Ibrani biasa diartikan “tetapi”. Namun, kata ini jika ditempatkan pada konteks penderitaan Ayub misalnya, akan terasa nuansa yang sama. “Tetapi aku tahu. Penebusku hidup dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu.”(Ayub.19:25). Kalimat yang dilontarkan Ayub ini sangat kontras dengan ayat-ayat yang mendahuluinya. Di tengah penderitaan yang begitu menyakitkan, sahabat-sahabat Ayub justeru datang memvonisnya sebagai orang yang bersalah. Tentu kondisi ini semakin menjadi tekanan. Dalam keterpurukan dan tekanan itu, Ayub mengatakan “waw… (Tetapi) aku tahu Penebusku hidup! Ia melanjutkannya “…mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain..” (ay.27)

Sebuah kontras dasyat; dari keterpurukan, tekanan hidup akibat penderitaan luar biasa baik fisik maupun mentalnya, Ayub dapat melihat hal menakjubkan, mengherankan atau mencengangkan yang sebelumnyya tidak pernah dibayangkannya. Kini, ia yakin dirinya punya go’el (Penebus) yang tidak tinggal diam. Penebus itu hidup dan akan bertindak menolong dirinya. Penebus dalam konteks umat Israel menunjuk kepada saudara terdekat yang bertindak sebagai penolong kerabatnya yang bangkrut. Penebus akan membayar lunas segala milik pusaka yang terlanjur digadaikan oleh karena kebangkrtutannya itu. Penebus akan memulihkan kembali kerabatnya yang sudah terlanjur menjadi budak karena kemiskinan atau ketidakberdayaannya menghadapi penguasa. Dan Ayub yakin, penebusnya itu bukanlah manusia, melainkan Allah sendiri!

Penebusku hidup! Senada dengan itu Yesus mengatakan, “Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” (Lukas 20:38). Kalimat penutup Ini merupakan bagian dari dialog antara Yesus dengan orang-orang Saduki yang tidak percaya akan kebangkitan dan lebih mengutamakan kitab Taurat (Pentateukh) daripada kitab yang lain.  Tema perdebatan itu adalah tentang kebangkitan. Para keturunan imam besar Zadok ini menanyakan – jika memang ada kebangkitan orang mati – bagaimana jika seorang perempuan telah bersuamikan tujuh orang lalu meninggal, siapakah di antara tujuh orang itu yang akan menjadi suaminya pada hari kebangkitan itu? Dengan mengutif Taurat mengenai hukum pernikahan Levirat (menikahi ipar di mana sang suami meninggal sebelum mempunyai keturunan), orang-orang Saduki memakai ilustrasi ini sebagai ejekan. Mereka seolah mau mengatakan bahwa bukankah sudah jelas bahwa Kitab Taurat tidak memuat satu pun ayat tentang kebangkitan. Bahkan Taurat (menurut pendapat mereka) menegaskan bahwa kebangkitan itu merupakan sebuah kebodohan. Sebab cobalah berpikir, kalau dalam kitab Taurat diwajibkan perkawinan ipar tersebut, alangkah itu nantinya menyebabkan keadaan-keadaan yang menggelikan, andai kata memang terjadi kebangkitan manusia.  

Untuk menegaskan pandangan mereka, para Saduki ini juga menggunakan kisah Musa yang berjumpa dengan Allah yang menyatakan diri sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Kisah ini dipakai untuk menunjukkan bahwa meskipun TUHAN mengatakan bahwa diri-Nya adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub, toh kenyataannya mereka itu tetap mati!

Jawaban Yesus terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, Ia mengecam dan menolak bermacam-macam khayalan berhubung dengan kebangkitan, sebagaimana lazim terjadi di kalangan rakyat dan orang Farisi. Menurut mereka – khususnya kalangan Farisi – segala keinginan yang tidak dapat dipenuhi di bumi ini akan diluluskan sepenuhnya nanti setelah kebangkitan itu. Dan biasanya keinginan-keinginan itu berasal dari nafsu egoistis manusia. Yesus menolak harapan egoistis itu, kebangkitan orang mati bukan untuk meluluskan hasrat duniawi, melainkan sebuah realita kekuasaan dan kemuliaan Allah dinyatakan sepenuhnya. Kebangkitan orang mati merupakan hidup baru yang sama sekali berbeda daripada yang kita kenal di bumi. Salah satu contoh yang diungkap orang Saduki tentang perkawinan. Di bumi ini memang haruslah ada perkawinan untuk memungkinkan keturunan umat manusia tetap ada.  Tetapi dalam kebangkitan dan kehidupan kekal, perkawinan dengan maksud memertahankan keturunan (esensi yang terkandung dalam perkawinan levirat) sudah tidak diperlukan lagi. Mengapa? Karena memertahankan keturunan tidak lagi revan ketika manusia sudah dibangkitkan dan memeroleh kehidupan kekal.

Bagian kedua, dalam menjawab tentang Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Perseptif Yesus dan Saduki sangat berbeda. Yesus menegaskan Allah bukanlah hanya Allahnya Abraham, Ishak dan Yakub selama mereka hidup saja. Seolah-olah hubungan antara Allah dan mereka terputus sama sekali pada saat mereka mati! Tidak, Allah tetap merupakan Allahnya Abraham, Ishak dan Yakub; Ia tetap mengingat dan menyimpan nama-nama itu; bagi Allah mereka itu tidaklah mati tetapi hidup. Sebab Ia bukanlah Allahnya orang mati, tetapi Allahnya orang-orang yang hidup. Dengan begitu setiap kematian orang percaya berharga di hadapan-Nya. Mengapa? Karena Ia mengingatnya. Hal ini berbeda kalau manusia itu berada dalam dunia orang mati. Dalam keyakinan Yahudi, mereka yang berada dalam dunia orang mati tidak pernah ada, tidak eksis dan tidak pernah diingat!

Bagaimana kita menghayati bahwa Allah adalah Penebus kita yang hidup dan Bahwa Allah adalah Allah orang hidup? Dua contoh Shandra Woworuntu dan Ayub kiranya dapat menolong kita. Mestinya, dalam setiap keadaan sulit, penderitaan menekan berat bahkan kematian ada tepat di depan mata kita, kita dapat menemukan kata “waw”. Kita dapat mengatakan, “Walaupun kondisiku berat, tetapi aku melihat Penebusku hidup! Tuhanku bukanlah Allah orang mati!”

Sekalipun bisa saja kematian karena penderitaan tidak bisa kita elakan. Namun, dalam keyakinan iman bersama dengan Yesus Kristus, kita percaya TUHAN mengingat kita. Kita tetap eksis seperti Abraham, Ishak dan Yakub eksis di hadapan Allah sampai sekarang.

Ketika kita yakin akan kebangkitan orang mati, maka keyakinan itu bukan berdasar kepada khayalan kehidupan kekal dengan pemenuhan keinginan duniawi kita. Melainkan sebagai kesempatan di mana kita mengalami realita kekuasaan dan kemuliaan itu benar-benar dinyatakan dan dialami. Lihat contoh dari kehidupan Shandra Woworuntu ketika ia berhasil menemukan kehidupan yang baru. Ia menggunakannya sebagai kesempatan untuk menolong mereka yang tidak berdaya dan diperbudak oleh sesamanya. Andaikan saja TUHAN mengizinkan kita melewati lembah air mata, pahit getirnya kehidupan ini. Dan kemudian kita berhasil mengalami lompatan iman bersama TUHAN, melihat dan merasakan TUHAN sebagai Penebus kita yang hidup, maka sudah seharusnya sisa umur yang ada, kita gunakan untuk menjadi alat dalam tangan-Nya. Temukan pengalaman “waw..” bersama-Nya dan Berjuanglah sebagai penebus-penebus kecil…!

Jakarta, 04 November 2016

Jumat, 28 Oktober 2016

PERTOBATAN UNTUK KEADILAN

Kita sudah terbiasa melihat pesakitan-pesakitan yang menempati kursi terdakwa mengenakan pakaian gamis, baju koko dan peci di atas kepala, atau symbol-simbol keagamaan lainnya. Padahal, dalam kesehariannya jarang sekali mereka mengenakan costum seperti itu. Ya, mungkin sesekali kalau pas hari-hari raya keagamaan. Walahu’alam apa motivasi di balik pakai itu, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Namun, karena pengenaannya di ruang publik, saya kira bolehkan dong kita menduganya? Bisa jadi, dengan mengenakan pakaian seperti itu, si pesakitan mau menyampaikan pesan begini: “Lihatlah, aku ini seorang yang saleh maka tidak sepatutnya sang hakim mengganjar aku dengan hukuman berat!” Atau, “Setelah beberapa lama aku meringkuk di tahanan, kini aku telah bertobat! Lihat, setidaknya pakaianku menunjukkan itu.”

Pemandangan lain memerlihatkan beberapa terdakwa kasus korupsi menolak untuk dihadirkan dalam persidangan karena yang bersangkutkan kini harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Kalau pun hadir, mereka datang dengan dipapah, memakai kursi roda atau tempat tidur rumah sakit. Sangat memprihatinkan! Pesan, yang mau disampaikan, “Lihatlah, aku yang sekarang sudah menderita sakit parah. Masih tegakah hakim menghukum aku?”

Beberapa orang pelaku korupsi memilih kompromi dengan penegak hukum. Mereka bersedia menjadi whistleblower, memberitahu siapa saja yang terlibat dalam tindakan pidana itu. Tujuannya? Jelas supaya mendapat keringanan hukuman. Dalam beberapa kasus yang naik ke media, para pelaku bersedia mengemblikan uang hasil tindakan kejahatannya. Salah satunya oleh mantan anggota
Komisi V DPR, Budi Supriyanto, ia menyerahkan hasil korupsinya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhasil melakukan oprasi tangkap tangan (OTT) terhadap Damayanti Wisnu Putranti dan mantan Direktur Windu Tunggal Utama Abdul Khoir. Dalam kasus yang melibatkan Damayanti, disebutkan ada banyak kerugian negara, di antaranya menghentikan proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara sehingga menghambat kemajuan pembangunan (Kompas, 28/10/16). Untuk yang terakhir ini, saya penah melintasi jalan yang dimaksud, di Maluku, tepatnya Trans Seram. Jalan itu di beberapa bagian rusak parah, sempit dan perlu perbaikan segera. Rekan pendeta yang mengantar kami mengatakan, “Seharusnya jalan ini sudah mulus dan lebar. Namun, karena kasus ini (korupsi) menjadi terbengkalai dan transportasi yang menunjang perbaikan ekonomi menjadi terhambat!” Semua tahu korupsi menyengsarakan rakyat dan hanya menguntungkan – secara materi – segelintir orang.

Zakheus mengatakan, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Luk.19:8). Zakheus berniat memberikan setengah dari hartanya dan mengembalikan empat kali lipat uang hasil pemerasan terhadap rakyat Yahudi bukan karena ia tertangkap tangan oleh KPK dan sekarang menjadi pesakitan menghadapi sidang pengadilan tipikor. Bukan itu!

Hampir dipastikan, Zakheus juga melakukan tindakan yang kita namakan sekarang korupsi, gratifikasi, dan markup setoran kepada negara. Dengan kedudukannya itu, sangat mudah baginya menekan rakyat kecil untuk membayar pajak melebih ketentuan yang berlaku. Makanya ia menjadi orang kaya. Banyaknya pengawal dan tentara, memungkinkan juga baginya untuk melakukan tindakan pemerasan. Zakheus disebutkan sebagai seorang kepala pemungut cukai. Mungkin mengherankan bagi kita. Mengapa Kekaisaran Roma memilih Zakheus yang Yahudi,dan bukan orang Roma sendiri yang menjadi kepala pemungut cukai? Hal ini bisa dijelaskan karena orang Yahudi sendirilah yang mengetahui sedalam-dalamnya kehidupan ekonomi mereka. Pemerintahan Roma membutuhkan orang seperti ini, sebab ada banyak pungutan pajak yang harus disetor, mulai dari pajak kepala, pajak hasil tanah pertanian, pajak bea penjualan, pajak barang mewah dan sebagainya yang hanya diketahui oleh kalangan mereka sendiri. Tidak sembarangan orang Yahudi yang diangkat menjadi kepala pemungut cukai; ia harus bisa baca tulis, menghitung dan pandai berkomunikasi. Sebagai imbalannya, pemerintah Roma menyediakan tentara atau pengawal. Menyedihkan, secara kedudukan dalam pemerintahan dan harta benda, Zakheus termasuk orang berkuasa dan kaya. Namun, hidupnya terasing dari komunitsnya. Ia dilabeli sebagai orang berdosa, penghianat bangsanya dan dianggap seorang yang nazis, harus dijauhi!

Ternyata hukuman sosial jauh lebih berat! Jelas Zakheus mengalami kesepian dan tertolak. Di tengah kondisi ini, ia mendengar tentang Yesus. Yesus yang sudah banyak menjadi buah bibir dapat mengusir setan, menyembuhkan pelbagai macam penyakit dan masih banyak lagi mujizat yang dapat dilakukan-Nya. Tentu, ia juga mendengar ajaran-ajaran yang disampaikan Yesus tentang Injil Kerajaan Allah, pertobatan dan kasih Allah. Ada keinginan kuat untuk melihat seperti apa sih orangnya Yesus itu. Namun sayang, Yesus bak artis tenar, ke mana pun Ia pergi dikerubuti banyak orang. Sulit baginya untuk dapat melihat apalagi bertegur sapa karena kondisi badanya yang pendek. Semangat dalam jiwanyalah yang kemudian menggerakkan tubuhnya yang mungil untuk mencari cara bagaimana melihat Yesus. Ia naik ke atas sebatang pohon di tepi jalan yang bakal dilalui Yesus. Benar, Yesus lewat di jalan itu dan ternyata Ia melihat si pemungut cukai itu. “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” (Luk.19:5).

“Yesus mau menumpang di rumah orang berdosa dan penghianat bangsanya sendiri, ah…tidak! Itu tidak boleh terjadi!” Barangkali itulah suara hati orang-orang yang mendengar ucapan Yesus. Bagaimana mungkin Yesus mencederai rasa keadilan kebanyakan orang Yahudi yang telah mengalami tindakan penjajahan dan pemerasan koloni Romawi. Dan, Zakheus ini salah seorang antek penjajah itu!

Ternyata ucapan-Nya benar. Yesus bertandang ke rumah Zakheus pertanda Ia mau menerima dan diterima oleh orang berdosa. Zakheus bangkit, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (ay.6). Saya kira, siapa pun – termasuk orang-orang yang mencibir – akan terharu dan bersyukur mendengar ucapan dan komitmen seorang pendosa, Zakheus. Itulah pertobatan sejati, metanoia! Perjumpaannya dengan Yesus membuat Zakheus bertobat. Yesus tidak mengancam Zakheus dengan pelbagai hukuman yang bakal diterimanya sebagai seorang pendosa. Namun, Yesus berhasil menyentuh hatinya, Ia menawarkan pemulihan dengan kasih sayang.  

Dari buah pertobatan itu, Zakheus tidak hanya berhenti memeras dan memperkaya diri, melainkan ia bersedia membagikan apa yang ada pada dirinya untuk kepentingan banyak orang. Kini, ia tidak lagi egois, memperkaya diri di atas penderitaan orang lain, namun hati yang tersentuh itu menggerakkan dirinya untuk menjadi berkat bagi mereka yang telah diperasnya.  Pertobatannya bukan basa-basi, pemanis mulut. Pertobatannya juga bukan hanya untuk kebaikannya sendiri supaya selamat, tetapi berhasil memulihkan keadilan yang selama ini telah ia koyakkan!

Penyerahan harta benda untuk menolong si miskin dan pengembalian uang empat kali lipat bukan terjadi karena ia diseret ke meja hijau dan sedang dihakimi. Pertobatan Zakheus bukan juga terdorong oleh ngerinya hukuman yang bakal dihadapinya – karena sejatinya hukuman sosial itu sedang ia rasakan. Ia bertobat dan melakukan itu semua oleh karena telah mengalami perjumpaan dengan Yesus yang merangkul, menerima dan memulihkannya.

Setiap pelanggaran atau dosa yang kita lakukan pada umumnya terkait dengan sesama. Bisa lewat pandangan negative terhadap seseorang yang tidak kita sukai atau tutur kata kita. Terlebih tindakan dan prilaku kita yang merugikan orang lain. Ketika kita berdosa, kita pun dapat merobek, mengoyak-ngoyak keadilan. Bagaimanakah ketika kita mengalami perjumpaan dengan Yesus? Sudahkah kita mengalami sentuhan kasih-Nya dan membuahkan metanoia; tidak hanya berhenti melakukan kesalahan, dosa atau pelbagai tindakan kejahatan melainkan memulihkan keadilan yang terkoyak, menjahit kembali apa yang sudah kita robek dan hidup menjadi berkat bagi sesama? Sudahkah pertobatan kita tidak hanya memikirkan bagaimana menyelamatkan diri sendiri saja melainkan kepentingan orang lain juga. Jika itu belum terjadi mungkin kita seperti seperti para pesakitan yang duduk dikursi terdakwa dan memakai pakai gamis agar terlihat saleh…

Jakarta, 28 Oktober 2016