Rabu, 20 Juli 2016

BEDOA KEPADA ALLAH DALAM KERENDAHAN HATI

Tujuan dari doa bukan untuk memberi tahu Tuhan tentang kebutuhan-kebutuhan kita, tetapi mengundang-Nya agar mengatur hidup kita.”
(Clarence Bauman)

“Hore! Doa kita terkabul.” Teriak Eirene, anak kami yang kala itu berumur tiga tahun, dengan begitu gembira. Pagi-pagi benar ia bangun untuk memeriksa freezer. Ternyata, air yang dituangkannya ke cetakan es yang berbentuk bunga-bunga itu telah berhasil menjadi es! Mengapa ia begitu gembira? Doanya didengar Tuhan!

Seperti biasa ketika kami berkumpul malam menjelang tidur ada semacam ibadah kecil. Kami bernyanyi dan doa. Setiap hari kami bergilir berdoa. Malam itu, Eirene mendapat giliran berdoa. Dengan polosnya, ia berdoa, “Tuhan, malam ini saya memasukan air ke pencetakan es. Tolonglah agar besok menjadi es. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin!” Mendengar doa itu, kami menahan tawa. Logika kami berpikir, tidak usah didoakan pun air yang disimpan lebih dari 8 jam di freezer pasti akan membeku, menjadi es! Namun, ketika kami menyelami lebih dalam, bukankah kalau aliran listrik mati atau kulkasnya rusak, air itu tidak akan menjadi es? Orang dewasa cenderung mengedepankan logika, namun di atas logika ternyata manusia punya banyak keterbatasan. Di situlah perlu kerendahan hati untuk memohon pertolongan Tuhan.

Berdoa bukan perkara aneh. Konon, keistimewaan manusia ditandai oleh kepekaan batinnya terhadap kehadiran yang Ilahi. Manusia memiliki dorongan kuat untuk terhubung dengan yang Ilahi itu. Doa diyakini sebagai kegiatan manusia untuk dapat berkomunikasi dengan yang Ilahi itu. Bila doa adalah komunikasi manusia dengan Tuhan, maka mestinya terjadi dialog antara si pendoa dengan Tuhan. Namun, jika kita mengevaluasi doa-doa kita, harus diakui bahwa komunikasi sering kali timpang. Hanya dari pihak kitalah yang terus berbicara dan kita mengabaikan mendengar suara-Nya.

George Bernard Shaw, seorang penulis Irlandia mencoba mengamati doa. Ia menemukan bahwa pada umumnya manusia berdoa hanya untuk menyampaikan permohonan dan keluhan-keluhannya. “Kebanyakan orang pada dasarnya tak berdoa, mereka hanya memohon sesuatu, meminta!” katanya. Lain lagi pendapat Mahatma Gandhi, “Doa itu bukan meminta! Berdoa adalah pancaran jiwa. Lebih baik berdoa dengan hati dan tanpa kata-kata daripada berdoa dengan kata-kata namun tanpa hati.” Sedangkan Meister Eckhart, seorang teolog Jerman mengatakan, “Bila satu-satunya doa yang Anda sampaikan selama hidup Anda adalah bersyukur, itu sudah cukup.” Sementara Norman Vincent Peale mengusulkan, “Doa adalah sebuah kesempatan untuk mengucapkan apa pun. Lebih baik bila tidak memohon pelbagai hal melainkan berterima kasih sebelumnya atas apa yang Anda inginkan lalu menyerahkannya kepada Tuhan dan memvisualisasikan hasil yang baik. Silahkan terkejut melihat efektivitasnya!”

Tentu, ketika kita menggali dan membaca pelbagai sumber tentang doa, pasti ada begitu banyak definisi, kajian dan hal-hal teknis praktis tentang doa dan cara mendaraskannya. Pada masyarakat Yahudi zaman Yesus, pastilah doa dan ajaran-ajaran doa telah begitu banyak. Suatu ketika Yesus berdoa, dan memang selalu seperti itu. Ketika Ia selesai berdoa, berkatalah salah seorang murid-Nya, “Tuhan ajarlah kami berdoa!” (Lukas 11:1)

Permohonan ini terasa tidak biasa. Mengapa? Sebab semua murid Yesus itu adalah orang Yahudi yang sejak kecil diajari berdoa. Mereka tahu berdoa dan mengenal berbagai jenis doa. Umat Yahudi adalah umat pendoa. Mereka terampil mendaraskan doa-doa di sinagoge maupun di Bait Allah. Lalu mengapa mereka masih meminta untuk diajari? Bisa jadi mereka mempunyai pemahaman bahwa setiap rabbi atau guru Yahudi punya doa-doa khusus, seperti doa khas para  pengikut Yohanes Pembaptis. Atau mungkin mereka melihat ada hal yang sangat menarik yang dipraktekan Yesus dalam doa-doanya. Saya, kira yang terakhir yang lebih mendorong murid Yesus itu meminta agar Dia mengajari mereka berdoa. Ada yang unik yang dipraktekan dalam doa Yesus . Ia menyebut Allah sebagai “Bapa”. Namun, bukankah juga para nabi dalam Perjanjian Lama juga menyebut Allah sebagai Bapa. Nabi Yesaya berdoa, “Bukankah Engkau Bapa kami?...Kami tanah liat. Engkau yang membentuk kami, kami semua adalah buatan tangan-Mu. Jadi jangan murka!” (Yes 63:16; 64:8 dst). Lalu apa bedanya dengan Yesus menyapa Allah sebagai Bapa?

Benar, para nabi Perjanjian Lama juga menyapa Allah sebagai Bapa. Namun, demikian dalam doa sehari-hari bangsa Yahudi hampir tidak pernah menyapa Allah sebagai Bapa. Mengapa? Karena dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Israel menggunakan gelar “bapa” itu ditujukan kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Ketika Yesus mengajarkan para murid menyapa Allah dengan “Bapa” hal ini mau menyatakan bahwa Allah begitu dekat; seperti orang tua yang mau dan bersedia mendekap anak-anaknya dengan kasih sayang. Apabila Yesus begitu akrab dengan Allah, Ia pun ingin keintiman dengan Bapa-Nya itu dapat dirasakan juga oleh para murid-murid-Nya.

Dalam Injil Lukas 11:2-4, Yesus mengajarkan “Doa Bapa Kami” dalam versi yang lebih pendek dari Matius 6:   Isi doa yang singkat ini mengatakan bahwa sebelum memohon segala sesuatu, kita harus menyatukan keinginan diri sendiri dengan kehendak Sang Bapa. Permohonan ini berbentuk pasif, “Bapa dikuduskanlah nama-Mu.” Artinya, nama Allah hanya dapat dikuduskan oleh Allah sendiri. Ia menguduskannya dengan menegakkan kerajaan-Nya di bumi. “Datanglah Kerajaan-Mu” adalah doa supaya kuasa Allah berdaya guna di bumi ini. Kedua permohonan yang terdapat dalam ayat 2 ini seharusnya menjadi kerinduan setiap pengikut Kristus untuk mewujudkannya. Dua permohonan ini jelas ditujukan demi kemuliaan Bapa. Dalam bagian ini manusia diajak untuk terlibat dalam karya kasih Allah bagi dunia dan bukan mendahulukan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginannya. Barulah setelah itu Yesus  mengajar untuk meminta. Apa yang diminta? Ada tiga hal, yakni: makanan yang secukupnya, pengampunan dosa dan untuk tidak terbawa dalam pencobaan.

Permintaan dalam doa bukanlah sesuatu yang tabu. Namun, lihatlah apa yang diajarkan Yesus. Meminta makanan yang secukupnya. Yesus tidak mengajarkan para murid-Nya untuk hidup berlebihan. Cukup secukupnya! Siapa yang tahu persis kebutuhan kita secukupnya itu? Bahkan kita sendiri pun kadang tidak bisa membedakan antara mana kebutuhan dan keinginan. Jelas yang tahu kecukupan buat kita hanyalah Bapa. Maka dengan segala kerendahan hati kita memohon dan menyerahkan kepada Bapa untuk berkarya memberikan secukupnya. Tidak kurang dan tidak juga berlebih!

Mengapa Yesus mengajar supaya kita memohon pengampunan dosa? Karena tidak ada seorang pun yang luput dari dosa (1 Yoh.1:8) dan dosa itulah yang menghalangi relasi kita dengan Allah Bapa (Yes 59:1-2). Tidak ada cara lain agar pengampunan itu benar-benar terjadi, kecuali dengan merendahkan diri di hadapan-Nya sambil berharap anugerah-Nya. Sebab, tidak mungkin pengampunan itu terjadi ketika doa itu hanya berhenti dalam ucapan saja!

Sebagai penutup permohonan, Yesus mengajarkan, “…janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.” Doa ini jangan disalah mengerti bahwa kita meminta Allah untuk membebaskan dari pelbagai pencobaan ,namun lebih dekat kepada: supaya Bapa menolong kita untuk mengatasi pelbagai pencobaan itu. Rabindranath Tagore mengingatkan, “Jangan berdoa untuk berlindung dari bahaya, tetapi berdoalah untuk terbebas dari rasa takut saat menghadapinya.” Semua permohonan ini akan menjadi basa-basi dalam doa apabila tidak disertai dengan sikap hati yang mau merendah di hadapat Allah. Lalu, seperti apakah sikap rendah hati di hadapan Allah? Kita dapat meminjam perkataan Clarence Bauman, “Tujuan dari doa bukan untuk memberi tahu Tuhan tentang kebutuhan-kebutuhan kita, tetapi mengundang-Nya agar mengatur hidup kita.”

20 Juli 2016

Kamis, 14 Juli 2016

BERJUMPA DENGAN ALLAH YANG HIDUP

Sebelum meninggal, seorang petani tua mewariskan tanahnya untuk tiga orang putranya. Tanah itu dibagi rata menjadi tiga bagian. Setiap anak mendapat satu petak tanah dengan ukuran yang sama. Tampaknya, si sulung tidak gembira dengan warisan yang diterimanya. Sebab tradisi di daerah itu mengharuskan warisan itu sepenuhnya diberikan kepada anak sulung. Akibatnya, hubungan si sulung dengan kedua adiknya menjadi tidak baik. Mereka bekerja menggarap tanahnya masing-masing tanpa mau peduli dengan nasib saudaranya.

Ketika si bungsu sedang menabur benih di petak tanahnya, lewatlah seorang pengembara tua. “Anda tampak kehausan dan kelaparan,” kata si bungsu. Kemudian ia pergi ke sumur dan mengambil air untuk pengembara asing itu. Tidak hanya itu, ia juga membuka bekal makanannya dan memberikan isinya kepada pengembara itu. Sebelum melanjutkan perjalanannya, orang asing itu mengucapkan terima kasih dan bertanya, “Apa yang sedang engkau tanam?”
“Gandum, Tuan.” Kata pemuda itu dengan sopan.
“Maka,” kata orang asing tersebut, “gandumlah yang akan engkau panen.”

Belum lama melanjutkan perjalanannya, pengembara itu berjumpa dengan putra kedua yang juga sedang menyebarkan benih di ladangnya. “Anda kelihatan lelah dan capai,” kata anak nomor dua ini. “Singgahlah di rumah saya malam ini. Anda perlu beristirahat.” Pemuda tersebut memperlakukan tamunya dengan penuh perhatian di gubuk sederhananya yang dia bangun di atas petak tanahnya. Pengembara tua itu dijamu dengan makanan hangat dan dipersilahkan tidur di tempat tidurnya. Pada pagi harinya, orang asing itu mengucapkan terima kasih dan bertanya kepada anak nomor dua ini, “Apa yang engkau tanam?”

“Gandum, Tuan,” jawab pemuda tersebut.
“Maka,” kata orang asing tersebut, “Gandumlah yang akan engkau panen!”

Pengembara tua itu segera pergi. Ketika melewati ladang putra tertua, tidak ada sapa yang menyambutnya. Si Sulung ini sedang sibuk mencangkuli tanah sambil marah-marah hingga dia tidak sadar ada orang asing yang sedang lewat. Meskipun begitu, penggembara tua itu bertanya dengan sopan, “Apa yang engkau tanam, anak muda?”

“Tidakkah kau lihat, orang tua bodoh,” teriak pemuda yang mudah marah dan ketus ini, “Aku sedang menabur batu!”
“Maka,” kata orang asing tersebut dengan pelan dan tenang, “batulah yang akan kaupanen.”

Mudah ditebak, karena ini sebuah dongeng, akhirnya terjadilah apa yang diucapkan masing-masing anak petani itu. Si Sulung tidak mendapatkan hasil apa-apa karena ia selalu kecewa, tidak puas dan mengerjakan segala-sesuatu dengan marah-marah. Semua yang dikerjakannya gagal total. Sebaliknya, kedua adiknya mengolah tanah, menabur benih dan merawat tanaman gandumnya dengan sukacita, maka hasilnya melimpah.

Ada pelbagai sikap orang menyambut tamu. Ada yang ramah, sebaliknya ada juga yang kurang bersahabat. Abraham dan Sara berbeda dalam menyambut tamu. Tamu itu sebenarnya TUHAN sendiri (Kejadian 18:1-10). Abraham begitu antusias, ia berlari menyongsong mereka, lalu sujud menyembah. Tidak hanya itu, ia mengadakan perjamuan untuk para tamunya itu. Jamuan istimewa, anak lembu yang empuk, roti bundar, dadih dan susu! Kepada Abraham Sang Tamu itu kembali mengulangi janji Allah bahwa tahun depan ia dan Sara akan mempunyai anak! Apa reaksi Sara? Sara tertawa! Tawa bahagiakah? Bukan! Melainkan tawa hambar, mungkin juga kecewa karena Abraham dan Sara sudah tua. “Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” demikian gumam Sara. Atas tindakan Sara, TUHAN menegur bahwa di hadapan TUHAN tidak ada yang mustahil! Kita pun bisa dan sangat mungkin seperti Sara, bila merasa janji tak kunjung terwujud dan usia semakin renta kemudian melupakan bahkan menertawakan janji TUHAN.

Marta dan Maria juga berbeda dalam menyambut tamu. Yesus, yang pada waktu itu dalam perjalanan menuju ke Yerusalem singgah di sebuah desa. Seorang perempuan bernama Marta menerima Dia di rumahnya (Lukas 10:38). Marta sibuk menyediakan pelbagai hidangan untuk tamu agungnya. Sedangkan Maria duduk di kaki Yesus mendengarkan ajaran Yesus. Marta menjadi jengkel dengan sikap adiknya yang tidak membantu dirinya dalam menyediakan hidangan. Lalu dengan kemarahannya, Marta meminta Yesus untuk menyuruh Maria membantunya. Di luar dugaan, Yesus mengapresiasi tindakan Maria dan sebaliknya menyebut Marta sebagai orang yang menyusahkan diri dengan banyak hal.

Di sepanjang masa kisah ini kisah ini diartikan dengan berbagai cara. Di antaranya, ada dua tipe manusia Kristen. Pertama, manusia yang aktif, sibuk ke sana – ke mari dengan mengatasnamakan pelayanan. Kedua, manusia yang menyibukkan diri dengan kontemplatif yang sibuk dengan sabda dan doa. Ada juga sejumlah ahli yang berpendapat bahwa Yesus menegur Marta. Sebab, sebagai tamu Ia tidak mengharapkan dari Marta bermacam-macam hidangan. Cukuplah bila Marta hanya menyediakan satu hidangan saja. Dengan begitu, Marta masih punya banyak waktu untuk mendengar ajaran-Nya.

Jika saja Marta tidak protes dengan cara Maria “melayani” Yesus, maka sudah tentu tidak akan terjadi polemik mengenai bagaimana seharusnya melayani Yesus. Tidak ada pertentangan dari pilihan Marta dan Maria dalam melayani Yesus, sebab keduanya saling melengkapi. Namun, perlu kita melihat dalam konteks kehidupan pada masa itu. Pelaku-pelaku utama dalam kisah ini adalah perempuan. Jadi, masalahnya bukan antara laki-laki dan perempuan. Kedua perempuan ini memilih tindakkannya sendiri untuk menyambut dan berhadapan dengan Yesus, Sang Tamu itu. Marta memilih melayani dalam bentuk yang pastinya tidak pernah dipersoalkan oleh kaum Hawa pada umumnya, yakni “menyambut dan melayani Yesus di meja makan”. Setiap perempuan Yahudi tahu diri dan pasti akan melakukan itu manakala ada tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Namun, Maria justeru memilih apa yang tidak lazim dilakukan oleh kaumnya, yaitu mendengarkan sabda Yesus. Ini adalah tindakan seorang murid. Agama Yahudi tidak melarang perempuan mempelajari Kitab Suci. Namun, rasanya tidak ada seorang rabi pun yang mau mengajari dan menjadikan perempuan sebagai murid. Yesus dianggap biasa “menerobos” adat istiadat Yahudi. Ia makan bersama dengan para pendosa dan menyembuhkan banyak orang yang sama sekati tidak dipedulikan oleh masyarakat, banyak di antaranya penyembuhan itu dilakukan pada Hari Sabat. Rombongan Yesus juga terdiri dari sejumlah perempuan, dan beberapa di antaranya juga pasti bukan perempuan terhormat (Luk.8:1-3). Menurut catatan Lukas, tugas utama seorang murid Yesus adalah mendengarkan sabda (Luk. 6:47; 8:13, 15, 21). Maria menunjukkan sikap seorang murid!

Stefan Leks menengarai bahwa di masa Lukas menyusun Injilnya,  sudah timbul permasalahan mengenai peran perempuan dalam Jemaat Tuhan. Bagaimanakah situasi perempuan pada masa itu? Mereka tampaknya boleh saja mendengarkan sabda Tuhan tanpa pembatasan. Lidia menyediakan rumahnya bagi kepentingan pekabaran Injil (Kis. 16:14-dst). Keempat putri Filipus ternyata berkarya sebagai nabiah (Kis.21:9). Priskila bersama suaminya menimba pengetahuan teologis pada Apollo (Kis.18:26). Febe melayani Jemaat di Kengkrea (Roma 16:1). Gereja pada masa awal ternyata terbuka terhadap keterlibatan perempuan dalam karya kerasulan.

Namun, tetap ada perdebatan, sejauh manakah perempuan boleh dibiarkan menjadi pemberita sabda Tuhan juga. Mereka cukup hanya diberi peran sebagai daikon saja, sehingga Lukas merasa wajib mengemukakan pendapatnya, bahwa menurut Yesus, mereka harus diberi peran lebih besar. Yang diungkapkan oleh Lukas bukanlah tentang kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, melainkan kebebasan untuk memilih cara melayani Jemaat Tuhan. Peranan-peranan dalam Gereja jangan dilihat dari sudut jenis kelamin atau rasa tau status sosial. Yang dikehendaki Yesus: Jadilah pelayan (Luk. 22:24-27).

Allah dapat menjumpai kita melalui pelbagai cara. Banyak di antara kita mengabaikan begitu saja perjumpaan itu. Mengapa? Karena kita tidak menyadarinya. Dengan mengasah kepekaan diri kita dapat merasakan perjumpaan itu. Perjumpaan-Nya akan selalu mengajak dan menggugah kita untuk terlibat dalam karya-Nya. Bagaimanakah kita menanggapinya? Menyambutnya dengan antusias atau mengabaikan dan menolaknya?

14 Juli 2016