Kamis, 14 Januari 2016

TEMPAYAN KOSONG MENJADI PENUH

Tempayan kosong menjadi penuh. Peristiwa ini terjadi di Kana dalam sebuah pesta perkawinan yang dilakukan oleh Yesus atas permintaan Maria, ibu-Nya. Tempayan kosong lalu kemudian berisi air anggur perjamuan tidak terjadi dengan sendirinya. Ada sebuah proses!

Yesus dan bunda-Nya ada dalam pesta perjamuan di Kana. Ini menandakan bahwa si empunya hajat adalah kerabat dekat mereka. Sebagai kerabat, Maria tentu datang tidak hanya sebagai tamu biasa. Ia membantu melayani kebutuhan pesta itu. Maka tidaklah mengherankan kalau Maria mengetahui bahwa mereka kehabisan anggur. Anggur merupakan unsur penting perjamuan pesta dalam budaya mereka. Penggunaan anggur dalam tradisi Yahudi berbeda sekali dengan penggunaannya pada zaman modern. Anggur yang mereka gunakan bukanlah anggur berkadar alcohol tinggi sehingga dapat memabukkan orang yang meminumnya. Anggur itu adalah sari buah anggur baik yang segar maupun yang disimpan. Pada umumnya mereka menyajikan anggur dicampur dengan air. Apabila sari buah anggur itu disimpan lama dan mengalami permentasi maka komposisi campuran airnya akan lebih banyak. Hal ini dimaksudkan agar si peminum terhindar dari mabuk. Anggur permentasi yang mengandung alcohol tinggi  menurut Talmud tidak boleh disajikan.

Anggur merupakan salah satu unsur utama dalam sebuah jamuan pesta. Anggur melambangkan unsur dan pembangkit sukacita, curahan berkat dan kemakmuran. Kehabisan anggur menandakan ketiadaan berkat dan hal itu pasti sangat memalukan. Sama seperti dalam budaya kita, kehabisan makanan dalam sebuah pesta perkawinan merupakan aib. Dalam pesta itu ternyata hal yang penting itu habis. Tentu ada pelbagai sebab mengapa air anggur itu tidak cukup. Bisa jadi tuan rumah tidak punya cukup uang untuk menyediakan anggur karena mereka keluarga sederhana. Sangat mungkin juga pengunjung pesta itu di luar dugaan. Atau bisa jadi para pengunjung pesta itu mengambil anggur berlebihan. Yang jelas faktanya sekarang anggur itu habis! Maria, tentu tidak ingin kerabatnya menjadi malu. Pastilah saat itu Maria juga kebingungan kepada siapa ia harus minta tolong. Yusuf, suaminya tidak disebutkan ada di sana. Kini harapannya hanya pada anaknya, Yesus!

Sang ibu bersama tuan rumah sedang kebingungan, andalan satu-satunya sekarang adalah Yesus. Ia memohon kepada-Nya, “Mereka kehabisan anggur!” Namun, dijawab, “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Terjemahan yang paling mendekati, “Hai wanita, mau apakah engkau daripada-Ku? Saat-Ku belum tiba.” Kita dapat membayangkan, “Koq kasar amat sih.” Atau “Ini anak sombong sekali!” Dalam konteks social waktu itu, sebutan “wanita” bukanlah sebutan yang kasar dan tidak hormat. Namun demikian, sebagai sebutan untuk ibu oleh seorang anak, cara ini memang tidak lazim. Ketidaklaziman bertambah lagi ketika Yesus memakai sebuah formula yang biasanya dipakai untuk dua orang yang sedang adu mulut, “Mau apa engkau?” Ungkapan ini kasar dan dalam budaya Semit menandakan penolakan. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa Yesus menolak permintaan Maria. Apa yang akan Anda lakukan kalau permintaan Anda ditolak oleh sang anak padahal Anda tahu bahwa ia sanggup melakukannya? Saya jamin kalau tidak marah Anda pasti kecewa dan ngedumel.

Berbeda dengan kebanyakan orang, Maria jauh dari marah dan kecewa. Ia memahami perkataan anak-Nya bahwa saatnya belum tiba. Saatnya belum tiba Yesus menampilkan tanda-tanda ajaib di hadapan public.  Maria harus juga turut menantikan saat –Nya itu. Tetapi ia melihat ada sebuah pengharapan dalam jawaban sang Anak. Maria yakin bahwa saat itu akan tiba. Oleh karena itu ia berpesan kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” Ternyata, entah apa alasannya, Yesus memberi perintah kepada para pelayan untuk mengisi tempayan dengan air sampai penuh. Mungkin saja para pelayan itu tidak mengerti apa yang diperintahkan Yesus. Namun, mereka menaati saja apa yang diperintahkan oleh Maria.
Tempayan air merupakan alat kelengkapan ritual pembasuhan. Orang akan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan air dari tempayan itu. Tempayan itu ada enam dan masing-masing berisi dua atau tiga gayung. Satu gayung berisi sekitar 40 liter, jadi satu tempayan diperkirakan berisi 80 – 120 liter. Sebuah jumlah yang cukup banyak. Setelah semuanya terisi, Yesus meminta sang pemimpin pesta untuk mencicipinya. “Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas meminum, barulah yang kurang baik; akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang.” Komentar sang pemimpin pesta. Di tengah-tengah kecemasan ternyata Yesus mampu memberikan anggur itu dalam kelimpahan. Baik pemimpin pesta dan mempelai tidak mengetahu asal-usul anggur yang baik itu. Hanya Maria dan para pelayan yang mengerti. Peristiwa ini disebutkan sebagai tanda yang pertama yang dilakukan Yesus.

Kita juga dapat kehabisan “anggur”. Tempayan kita kosong! Kantong kita kosong, usaha seret, kita kehilangan sukacita, ketiadaan pengharapan dan kita bisa menjadi bahan olok-olokan orang lain. Tentu ada banyak penyebab mengapa tempayan kita kosong. Bisa karena keteledoran kita. Sangat mungkin disebabkan oleh tekanan dan penindasan dari orang lain. Atau itulah salib yang harus kita pikul. Dalam kondisi seperti ini, masih adakah yang dapat kita andalkan? Tentu! Lalu bagaimana caranya?

1.  Belajar dari Maria. Maria menaruh pengharapan kepada Yesus. Ia memohon Yesus melakukan sesuatu. Di balik permohonan dan doa, kita harus sadar bahwa jawaban doa itu tidak selamanya langsung terjadi. Biasanya dalam keadaan bermasalah kita menghendaki pertolongan itu datang dengan segera. Perhatian kita pada diri sendiri. Seolah-olah kitalah yang paling bermasalah dan menderita. Yesus menjawab kepada Maria bahwa saatnya belum tiba.

Belajar dari Maria berarti belajar sabar dan menahan diri sekaligus percaya bahwa Tuhan memberikan pertolongan tepat pada waktunya. Tidak pernah terlambat tetapi juga tidak terlalu cepat. Mungkin saja jawaban Tuhan mengecewakan, tidak sesuai dengan apa yang kita maui. Kalau kita merasa kecewa dengan jawaban Tuhan, coba bandingkan dengan jawaban yang diterima oleh Maria. Bukankah lebih menyakitkan?

2.    Setia melakukan perintah-Nya. Di tengah penolakkan Yesus, Maria tetap percaya maka ia memerintahkan agar para pelayan melakukan apa saja yang diperintahkan Yesus. Mujizat itu sulit terwujud kalau saja para pelayan itu membantah dan tidak mau mengerjakan perintah Yesus. Mungkin saja kita juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Namun, membantah dan tidak mau mengerjakan kehendak Tuhan pasti akan memperburuk keadaan. Kerjakan saja apa yang dikehendaki-Nya, pasti di ujungnya kita akan mengerti bahwa Tuhan akan mengisi “tempayan” kita.

3.   Jadikan hidup Anda berkat bagi orang lain. Anggur dalam perjamuan itu telah menjadi sukacita baik bagi mempelai maupun tamu yang datang.  Ketika Tuhan memenuhi tempayan kita mestinya bukan untuk diminum sendiri – bisa mabuk! Bagikanlah kepada banyak orang agar mereka juga memulikan Dia!

Penulis Injil Yohanes menutup kisah air menjadi anggur dengan menyatakan bahwa itulah yang pertama dari tanda-tanda yang dilakukan Yesus. Tanda berfungsi untuk menunjuk legitimasi kepada si pembuat-Nya. Seperti tanda lalu-lintas, ia berfungsi mengarahkan orang sampai ke tempat tujuan. Tidak pernah orang berhenti di hadapan tanda itu, memegangi dan memeluknya. Tanda diperlukan bagi orang untuk percaya. Namun, pada akhirnya, kita harus  meninggalkan tanda itu untuk menuju kepada si pembuat tanda, Yesus. Pada akhirnya perjumpaan dengan Si Pembuat tanda merupakan tujuan sebenarnya! Ketika pengalaman ini terjadi, tempayan itu tidak lagi merupakan hal yang utama.

Kamis, 07 Januari 2016

KETIKA YESUS JUGA DIBAPTISKAN

Sejak dulu sampai sekarang baptisan selalu saja diperdebatkan entah esensi maupun syareatnya. Bahkan terkadang gereja terlalu sibuk menyusun dalil-dalil dokmatis apologet tentang baptisan tinimbang menggali dan menerjemahkan serta memberi contoh dan teladan untuk menghidupkan esensi baptisan itu sendiri dalam praktik hidup sehari-hari. Beberapa kelompok aliran Kristen tertentu lebih senang berpolemik tentang kesahihan baptisan: selam atau percik; anak boleh dibaptis atau tidak, harus belajar katekisasi atau percaya langsung baptis, ketimbang memakai momentum itu sebagai titik berangkat bertobat menuju pada hidup baru di dalam kasih karunia TUHAN.

Sejak Yohanes Pembaptis muncul, ia mengajar dan membaptis lalu Yesus ikut-ikutan dibaptis juga telah menjadi polemik. Untuk apa Yesus dibaptis? Mengingat pada waktu itu baptisan dipraktikan untuk orang-orang di luar Yahudi yang bertobat dan ingin memeluk keyakinan Yahudi (proselit). Bangsa-bangsa di luar Yahudi itukan dianggap nazis, kotor, dan berdosa jadi mereka harus bertobat dengan sibolisasi diselamkan dalam air, dibersihkan dan kemudian dinyatakan sebagai orang yang mendapat anugerah Tuhan. Nah, masalahnya Yesus kan orang Yahudi, maka tidaklah perlu baptisan proselit bagi-Nya. Apalagi baptisan sebagai bentuk pernyataan pertobatan. Bukankah Yesus tidak berdosa? Itu berarti Ia tidak memerlukan pertobatan dan kemudian dibaptiskan. Lalu apa maksudnya?

Gereja mula-mula menafsirkan bahwa Yesus dibaptis oleh Yohanes hanya untuk menyenangkan hati ibunda-Nya, Maria. Kita tahu bahwa Elisabet, sanak Maria itu adalah ibunda Yohanes, jadi dengan demikian Maria senang bahwa anaknya itu mendukung dan mau ikut dalam arus yang digerakan Yohanes. Bisa dibayangkan apakah sedangkal itu Yesus menghargai sebuah baptisan. Bayangkan kalau anak Anda mau ikut katekisasi dan setelah selesai itu ia dibaptiskan atau mengaku percaya. Belakangan Anda tahu bahwa apa yang dilakukan anak Anda itu tidak sepenuh hati melainkan hanya untuk menyenangkan Anda semata! Tentu, sebagai orang tua, kalau hal itu terjadi Anda pasti kecewa. Orang tua yang baik tentunya menginginkan anaknya menjalani baptis kudus atau sidi berdasarkan niat yang baik, tulus bahwa ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Perhatikan, ketika Yesus memutuskan diri untuk dibaptiskan oleh Yohanes, usia-Nya sekitar 30 tahun. Usia yang sudah matang – dewasa. Sejak kanak-kanak Ia telah menjalani serangkaian ritual tradisi Yahudi. Disunat pada usia delapan hari, merayakan paskah di Yerusalem pada usia 12 tahun, dan kemudian hidup dalam bimbingan orang tua yang saleh. Jangan lupa, Yesus juga manusia. Ia mengalami didikan dan pertumbuhan, sebagai pemuda Nazaret, pastilah Ia juga sama dengan pemuda lainnya dalam hal bertanggungjawab atas keluarga. Pasti juga Ia belajar bekerja sebagai tukang kayu, layaknya Yusuf sebagai orang tua-Nya. Kesadaran-Nya akan panggilan yang sesungguh-Nya berangsur tumbuh. Komitmen-Nya untuk berada dekat dengan Bapa-Nya menggugah-Nya terus menguat.

Kini, Ia sendiri menyaksikan sebuah gerakan moral yang dimotori Yohanes, sepupu-Nya itu. Tak pelak lagi Yohanes bagaikan seseorang yang menghunus pedang dan menghujamkannya tepat di jantung keyakinan Yahudi! Mereka bangga dengan keyakinan diri sebagai umat istimewa, umat pilihan Allah. Oleh karena itu mereka yakin pasti mendapat tempat atau kedudukan lebih dari orang-orang lain. Namun, kini mereka diminta untuk bertobat. Ya bertobat seperti layaknya bangsa yang tidak mengenal Allah dan kini kembali kepada-Nya! Bagi Yohanes, atribut kehayudian tidak ada korelasinya dengan keistimewaan di hadapan Allah ketika mereka melakukan perbuatan yang bertolak belakang dengan kehendak Allah. Bagaikan pohon yang siap ditembang dan dicampakkan ke dalam api jika tidak berbuah, itulah gambaran yang diberitakan Yohanes.

Rupanya dengan gaya yang eksentrik dan teguran tanpa tedeng aling-aling telah menggetarkan hati banyak orang. Mereka datang berbondong-bondong, menyatakan diri dan dibaptiskan. Lukas menggambarkan dengan lugas bahwa Yohanes telah berhasil memikat para petobat itu. Sehingga di antara mereka ada yang menyangka bahwa dialah Mesias yang dijanjikan itu (Lukas 3:15). Yohanes konsisten dengan apa yang diberitakannya. Ia tidak mau mengambil kesempatan emas ditengah keterpesonaan orang banyak itu. Ia mengatakan, “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak…” (Lukas 3:16). Seolah Yohanes berkata, “Kamu menyanjung aku sebagai Mesias, bukan…aku bukan Mesias itu! Di hadapan-Nya, aku tidak ada artinya sehingga membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak!” Yohanes seorang besar dan Yesus pun menyatakan itu, kata-Nya, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis,..”(Matius 11:11) Namun, Yohanes yang hebat ini tidak besar kepala. Ia membuka jalan buat Yesus!

Yesus ada di tengah kumpulan orang-orang berdosa yang menerima baptisan Yohanes bukan karena Dia sendiri berdosa dan membutuhkan pertobatan. Tetapi dengan sadar Ia harus menyamakan diri-Nya dengan gerakan moral yang berbalik dari dosa menuju kepada Allah yang hidup. Bagi Yesus, munculnya Yohanes adalah panggilan Allah untuk bertindak. Dan langkah pertama-Nya adalah menyamakan diri dengan umat yang sedang mencari Allah.

Drama itu terjadi di sungai Yordan. Bayangkan, Yohanes Pembaptis yang mengetahui di hadapannya adalah Mesias dan yang kepada-Nya, membuka tali kasut-Nya pun tidak layak, kini datang dan memintanya untuk membaptiskan-Nya! Dalam versi Injil Matius ada dialog singkat terjadi. Yohanes mencegah-Nya untuk dibaptis dan menyatakan bahwa dirinyalah yang seharusnya dibaptiskan Yesus. Namun, Yesus menjawabnya, “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.” (Matius 3:15). Jelas, Yesus menyadari bahwa apa yang dilakukan-Nya adalah dalam rangka memenuhi misi Bapa-Nya.

Hanya dua ayat, Lukas melukiskan peristiwa baptisan itu  (Lukas 3:21-22). Yesus terakhir dibaptiskan dan ketika peristiwa itu sedang berlangsung, “…turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengar suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Suara langit itu memberi pernyataan bagi diri Yesus sendiri. Dengan jeli, William Barclay melihat formula kalimat dari langit itu terdiri dari dua bagian: Pertama,  “Engkaulah Anak-Ku yang kukasihi” ini berasal dari Mazmur 2:7 dan biasanya difahami sebagai Mamur Raja Mesias. Kedua, “Kepada-Mulah Aku berkenan –“ adalah bagian dari Yesaya 42:1 yang merupakan rangkaian gambaran tentang “Hamba yang menderita” (bnd. Yesaya 53). Dengan demikian dalam peristiwa baptisan itu telah terjadi komfirmasi bahwa Yesus adalah Mesias, Raja yang diurapi Allah, dan kedua, bahwa dalam hal ini mencakup bukan kuasa dan kemuliaan yang akan ditonjolkan dalam pelayanan Yesus, melainkan penderitaan dan jalan salib, layaknya hamba yang menderita itu. Salib yang harus dipikul-Nya bukannya tanpa disadari sebeelumnya. Sejak semula Yesus telah menyadari hal itu harus diterima-Nya!

Sejak saat itu, peran Yohanes mulai berkurang dan Yesus tampil yang akhirnya menyelasikan tugas Bapa-Nya. Ia taat dan setia sampai akhir. Baptisan, bagi Yesus adalah sarana diri-Nya menerima penyataan dan sekaligus tugas perutusan. Baptisan bagi setiap kita yang menerimanya, mestinya menjadi titik berangkat untuk melangkah dalam menjalankan tugas panggilan kita sebagai anak-anak Allah di dalam Kristus sampai paripurna. Setiap orang percaya rasanya lebih elok untuk berpikir, berujar, melangkah, bertindak, berbuat  dan berkarya seperti apa yang Yesus lakukan ketimbang sibuk berpolemik tentang kesahihan syareat baptisan itu sendiri!