Kamis, 03 Desember 2015

TUGAS KENABIAN MASA KINI

Ketika renungan ini ditulis, ada peristiwa yang sangat menyita perhatian publik. Digelarnya Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menghadirkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said yang mengadukan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua DPR, Setya Novanto. Sudirman mempunyai bukti rekaman yang berisi percakapan Setya Novanto, Maroef Sjamsuddin (Presdir PT Freeport Indonesia), dan Muhammad Reza Chalid (Pengusaha/ raja minyak). Isi rekaman itu, oleh Presiden Joko Widodo dipopulerkan dengan “Papa minta saham”. Meskipun berkali-kali Sudirman Said menyatakan bahwa pengungkapan skandal papa minta saham tidak berbau politik, rasanya permainan politik itu terendus juga. Sebagian masyarakat yang kristis mempertanyakan, mengapa kasus yang terjadi beberapa bulan lalu baru diungkap ke publik sekarang ini, justeru di tengah-tengah tersudutnya Sudirman lantaran berbeda pendapat dengan Rizal Ramli, Menko Kemaritiman. Belum lagi MKD yang gencar menyecar Sudirman tentang kewenangannya merekam dan mengadukan skandal tersebut kepada MKD.

Tampaknya desakan publik yang muak dengan prilaku kongkalikong pejabat tidak dapat dibendung. Akhirnya, awal Desember sidang MKD itu digelar, salah satu agenda persidangan adalah memperdengarkan bukti rekaman. Dari sinilah mata dan telinga kita terbuka bagaimana kebusukan-kebusukan itu nyata. Selama ini mereka membungkus rapat-rapat dengan kedok ideologi partai yang begitu keren, bahasa-bahasa agama yang santun dan masih banyak lagi propoganda tentang nasinalisme. Kenyataannya, sulit terbantahkan bahwa kebusukan itu telah lama mengerogoti bangsa ini. Inilah mungkin penyebabnya negara yang dianugerahi kekayaan alam luar biasa tetap menjadi negara miskin dan bahkan mengemis untuk mendapatkan utang dari luar negeri! Bagaimana mungkin, yang kata Presiden Jokowi, hanya dengan satu kabupaten saja di Papua sudah dapat membiayai seluruh negeri. Nyatanya tetap miskin dan banyak hutang!

Rupanya, tabiat manusia yang menyembunyikan kebusukan dengan prilaku saleh, santun dan terlihat agamis bukanlah barang baru. Lima ratus tahun sebelum kelahiran Yesus, atau dua ribu lima ratus tahun yang lalu Nabi Maleakhi mengungkap skandal kebobrokan bangsanya, Israel ang nota bene umat pilihan Allah. Sang nabi mengeluhkan kehidupan umat Allah yang jahat dan mereka menyangka bahwa kejahatan yang dilakukan itu berkenan di hadapan TUHAN. Ia berkata, “Kamu menyusahi TUHAN dengan perkataanmu. Tetapi kamu berkata: ‘Dengan cara bagaimanakah kami menyusahi Dia?’ Dengan cara kamu menyangka: ‘Setiap orang yang berbuat jahat adalah baik di mata TUHAN; kepada orang-orang yang demikian Ia berkenan –atau jika tidak, di manakah Allah yang menghukum?’.”(Maleakhi 2:17). Nyaris sama dan sebangun, sebagian besar penjahat kemanusiaan juga mengatakan begitu? Setya Novanto, dan para kroninya mengatakan begitu bahwa yang sedang mereka diskusikan adalah demi kepentingan rakyat! Para penegak syareat yang memberangus, melukai bahkan membunuh minoritas yang berbeda aliran juga berteriak bahwa mereka melakukan itu atas nama Tuhan!

Apakah TUHAN, yang namanya sering dicatut lantas berdiam diri saja dan melihat dari singgasana-Nya keadilan diinjak-injak? Marah! Ya, Jokowi dan JK saja ketika namanya dicatut mereka geram. Perilaku dan pemahaman buruk Israel itu kemudian dijawab secara tegas dalam Maleakhi 3:5, “Aku akan mendekati kamu untuk menghakimi dan akan segera menjadi saksi terhadap tukang-tukan sihir, orang-orang berzinah dan orang-orang yang bersumpah dusta dan terhadap orang-orang yang menindas orang upahan, janda dan anak piatu, dan yang mendesak ke samping orang asing, dengan tidak takut kepada-Ku, firman TUHAN semesta alam.” (Maleakhi 3:5). Jadi, sangat jelas, TUHAN bukanlah Allah yang membiarkan kebenaran dikelabuhi, keadilan diinjak-injak, dilecehkan lalu dibungkus dengan pelbagai kesalehan! Sang nabi dengan berani dan tegas menunjukkan borok-borok Israel dan mengingatkan mereka bahwa hukuman TUHAN itu tidak main-main.

Inilah yang disebut suara kenabian. Memperdengarkan suara TUHAN di tengah-tengah ketidakbenar yang sedang terjadi walau beresiko. Kita beruntung, di tengah-tengah ketidakbenaran, kedegilan, kerakusan dan pelbagai tindak kejahatan yang begitu masif, masih ada orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran dan keadilan. Kita beruntung punya orang seperti Munir dan Yap Thiam Hien. Namun, sangat disayangkan sering kita memilah-milah dengan tolok ukur: apakah yang menyampaikan dan menyuarakan itu adalah orang yang satu aliran atau satu agama? TUHAN bisa memakai siapa saja dan dari kalangan mana pun untuk menyuarakan suara-Nya. Terbukti dalam kehidupan umat Allah sekali pun banyak sekali dari kalangan mereka sendiri yang tampil menjadi nabi-nabi palsu. Yang setuju saja dengan kelaliman yang sedang terjadi. Mereka seakan menina-bobokan bangsa itu. Bukankah hal serupa bermunculan di negeri kita. Para ustazd, pendeta, kyai, apa pun namanya yang memilih bungkam atau setuju saja bahkan terus mendoakan para pemimpin yang lalim?

Mengapa kejahatan terus bergulir? Anis Baswedan dalam kampanye pemilihan presiden 2009 yang lalu pernah menjawabnya, “karena orang benar memilih diam!” Negeri ini sebenarnya tidak kurang dengan orang yang baik, orang benar. Namun, mengapa seolah kejahatan yang terus merajai? Mengapa satu orang melakukan pelecehan seksual di bus kota atau kereta api yang begitu ramai, pelakunya tidak diketahui? Jawabannya karena orang-orang baik dan benar tidak mau mengambil resiko. Mereka, mungkin termasuk kita memilih bungkam dengan pemikiran jangan-jangan usaha dan kepentingan kita diganggu. Dalam Minggu Advent kedua ini kita diingatkan bahwa TUHAN tidak menginginkan umat-Nya diam ketika menyaksikan kelaliman terjadi, kejahatan merajalela dan kebenaran ditunggangbalikan. Apa jadinya ketika pembiaran itu terus terjadi dan dibiarkan. Kita sudah dapat menduganya; selesailah peradaban manusia yang dulu dikatakan sebagai makhluk mulia nan bermoral. Ketika itu selesai, bencana besar terjadi, selesai pula seluruh peradaban. Kalaupun TUHAN tidak menghumnya, maka hukuman itu terjadi, manusia memangsa sesamanya!

Pembiaran mempunyai konsekuensi berakhirnya peradaban damai sejahtera. Apakah kita puas hanyut dalam arus ini? Ataukah kita adalah kelompok orang-orang yang masih mempunyai pengharapan bahwa masa depan akan indah, damai sejahtera dan keadilan akan bergulung-gulung seperti air di samudera? Hal ini tentu tidak akan menjadi harapan utopia. Janji TUHAN seperti itu akan terjadi ketika manusia mengupayakannya. Hari ini saya membaca surat Zuckerberg untuk Max, bunyinya, “Max, kami mencintaimu dan merasakan sebuah tanggung jawab besar untuk meninggalkan dunia sebuah tempat yang lebih baik bagimu dan semua anak-anak. Kami mengharapkan bagimu sebuah hidup yang penuh dengan cinta, harapan dan sukacita yang sama yang kau berikan kepada kami. Kami tak sabar menanti untuk melihat apa yang kau berikan kepada dunia ini.” (Kompas 3/12)

Zuckerberg akan “menghadiahkan atau menunjukkan” hampir semua saham Facebook-nya, atau hasil penjualan sahamnya setelah pajak, untuk melanjutkan sebuah misi “memajukan potensi manusia dan mempromosikan kesetaraan”. Hari Rabu (2/12) ayah baru ini mengumumkan bahwa dirinya akan menghibahkan 99% yang diperkirakan senilai 45 miliar dollar AS (585 triliun rupiah) dari saham Facebook-nya untuk membuat dunia “sebuah tempat yang lebih baik” bagi puterinya, Max dan bagi anak-anak yang lain. Sebuah nilai uang fantastis, yang sedang dinegosiasikan oleh Setya Novanto dan para pejabat lainnya!

Mengapa ada orang seperti Mark Zuckerberg? Mengapa ada orang seperti nabi Maleakhi? Mengapa ada orang seperti Yohanes pembaptis? Mereka tahu persis resiko yang dapat terjadi akibat tindakan yang mereka jalani. Zuckerberg tidak menyayangkan uangnya, Maleakhi tidak takut popularitasnya redup karena tidak diakui oleh elit bangsawan dan pengusaha. Dan Yohanes tidak takut mati demi menyuarakan kebenaran karena mereka melihat dan bermimpi tentang masa depan dengan peradaban yang indah. Sebuah keadamaian, sebuah Firdaus, sebuah Sorga! Apakah Anda melihat itu? Jika ya, apa pun resikonya akan Anda hadapi. Bukan nekad dan konyol, tapi jelas bahwa sebuah peradaban baru sedang terjadi kini, saat ini dan melalui Anda!

Kamis, 26 November 2015

CERMAT MEMBACA TANDA-TANDA ZAMAN

Tanpa terasa kita memasuki masa Advent. Tidak banyak kemeriahan terjadi pada hari ini, berbeda dengan pergantian tahun. Ditutup dengan gemerlapnya pesta kembang api dan kemudian dibuka dengan pelbagai ucapan selamat tahun baru! Tidak ada di antara kita yang saling menyapa dengan ucapan selamat tahun baru gerejawi. Padahal hari ini merupakan awal tahun liturgi gerejawi kita! Tahun gerejawi dimulai pada Advent pertama. Sebagai umat Tuhan kita mengawali perjalanan tahun gerejawi ini dengan sebuah kesadaran akan penantian kedatangan Yesus Kristus kembali. Kesadaran yang seharusnya membimbing kita dalam seluruh ziarah kehidupan ini untuk tetap eling lan waspada. Sadar dan berjaga-jaga.

Advent mengajar kita untuk selalu siap dan berjaga-jaga. Sebagai umat Tuhan, kita hidup berada di antara “dua Advent”. Pada awalnya, Advent adalah masa penantian akan lahirnya Sang Juruselamat. Dan kini, Advent menjadi relevan bukan lagi untuk persiapan menyambut Sang Juruselamat atau Natal. Mengapa? Karena masa itu sudah lewat. Yesus Kristus, Sang Juruselamat sudah lahir. Ia telah hidup dan berkarya, mengajar dan melayani, menanggung sengsara dan mati, bangkit dan akhirnya naik ke sorga. “Dan dari sana Ia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati…”– itu bunyi Pengakuan Iman yang setiap ibadah minggu diucapkan – Kedatangan-Nya kembali jelas bukan dalam misi penyelamatan melainkan penghakiman. Dengan keyakinan dan kesadaran inilah Advent menjadi relevan agar kita selalu siap untuk menyambut kedatangan-Nya kembali karena pada saat itu penentuan apakah kita termasuk orang yang menerima mahkota kehidupan kekal atau kematian kekal. Kapankah kedatangan-Nya itu terjadi? Tidak seorang pun tahu!

Di tengah ketidaktahuan – namun pasti akan terjadi – Yesus menyiratkan agar kita pandai membaca tanda zaman. Yesus mengatakan, “Perhatikanlah pohon ara atau pohon apa saja. Apabila kamu melihat pohon-pohon itu sudah bertunas, kamu tahu dengan sendirinya bahwa musim panas sudah dekat. Demikian juga, jika kamu melihat hal-hal itu terjadi, ketahuilah bahwa Kerajaan Allah sudah dekat.” (Lukas 21:29-31). Apa yang dimaksud Yesus dengan “hal-hal itu terjadi”? Dalam ayat 25,26, Yesus mengungkapkan akan adanya tanda-tanda kekacauan kosmik, bumi gonjang-janjing dan kuasa-kuasa di langit akan goncang yang menyebabkan ketakutan luar biasa dan kematian. Semua tampaknya akan terjadi dengan cepat.

Namun, dalam keadaan yang cepat itu, Yesus mengingatkan tidak tiba-tiba. Mestinya masih ada kesempatan manusia untuk berefleksi dan melihat adanya tanda-tanda peringatan. Masalahnya sekarang apakah kita harus menunggu tanda-tanda dasyat seperti ini dan kemudian baru menyentakkan hati kita? Ataukah apa yang disampaikan Yesus ini adalah sebuah gambaran yang sekarang sedang terjadi? Cobalah renungkan: Apakah Anda pernah mendengar pohon menangis karena hutan yang sekarat dibabat dan dibakar?  Apakah Anda pernah mendengar orangutan dan satwa liar lainnya merintih kesakitan dalam kecemasan karena tempat tinggal mereka diluluhlantakkan?  Apakah Anda pernah melihat danau, bendungan atau setu menangis lantaran sudah tidak ada lagi sumber air untuk menopang kehidupan? Anda pernah mendengar runtuhnya pasar saham, atau manusia saling memangsa dan pendulum materialisme berayun begitu kuatnya menghantam sendi-sendi moral dan akhirnya menghancurkan kehidupan. Lihatlah, ini terjadi tidak dengan tiba-tiba, ini adalah  tanda-tanda yang seharusnya membuat manusia menyadari bahwa semuanya akan menuju kepada kehancuran total!

Barangkali dalam konteks zaman Yesus hal-hal yang menakutkan itu begitu nyata mewujud dalam kebencian pemuka Yudaisme atau penganiayaan imperalis Romawi. Hal yang sama juga terjadi dalam masa-masa sulit pembuangan dalam konteks Perjanjian Lama. Semuanya itu menakutkan dan berpotensi meruntuhkan sendi-sendi iman. Sehingga dalam kodisi seperti ini yang paling dibutuhkan manusia bukanlah uang atau sesuap nasi melainkan pengharapan bahwa Allah ada di pihak mereka sehingga apapun yang terjadi mereka tetap berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran!

Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya.”(Lukas 21:27). Kegelapan, ngeri dan ketakutan hanya dapat diatasi ketika seseorang berpaling dan melihat Anak Manusia. Dengan berpaling kepada-Nya, kita akan terbantu melihat realita yang ada. Langit dan awan adalah tanda kehadiran Allah. Pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa Yesuslah yang akan membawa manusia dari kondisi kelam dan takut menuju kepada Allah yang penuh cinta dan kedamaian. Dari kematian menuju kepada kehidupan yang kekal. Perumpamaan pucuk-pucuk pohon ara mengingatkan itu. Dalam musim dingin semua pohon tampaknya mati membeku. Namun, setelah musim dingin berakhir akan terlihat kembali kehidupan. Pohon ara adalah simbol kuno umat Tuhan. Hosea mengatakan, “…seperti buah sulung sebagai hasil pertama pohon ara Aku melihat nenek moyangmu..”(Hosea 9:10). Suatu pengharapan baru yang memerlihatkan kehidupan seharus terjadi dan itu dimulai dari umat Tuhan.

Dalam kondisi yang tidak mudah bahkan ketiadaan pengharapan itu umat Tuhan dipanggil untuk terus berjaga-jaga, “Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.”(Lukas 21:36). Dengan cara apakah umat Tuhan berjaga-jaga? Dengan hidup dalam pertobatan, tidak menjadi sama dan serupa dengan dunia ini! Tidak serakah tetapi membangun kehidupan. Hal ini pulalah dulu yang menjadi doa Paulus untuk jemaat di Tesalonika, “Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan kudus, di hadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita dengan semua orang kudus-Nya. “(1 Tesalonika 3:13).

Waktu kedatangan-Nya kembali tak seorang pun tahu. Namun Ia mengingatkan kita melalui tanda-tanda zaman bahwa dunia ini semakin menuju kebinasaan. Berkaitan dengan waktu, umumnya kita mengenal masa lalu, masa kini dan masa depan. Jika dihubungkan dengan karya Yesus; masa lalu Yesus telah berkarya, masa kini Ia mengingatkan kita supaya hidup berkenan kepada-Nya dan dengan demikian berarti kita memersiapkan menyambut-Nya di masa yang akan datang itu. Namun, seringkali kita lalai untuk memersiapkan menyambut Tuhan itu oleh karena kita lebih asyik mengurus keinginan kita malah kemudian kita hanyut di dalamnya. Sedangkan kedatangan-Nya itu berada di masa depan. Akibatnya, kita sering menunda-nunda persiapan itu. “Belum sekarang saatnya, nanti saja, aku kan ingin hidup juga seperti orang lain!” Beberapa dari kita mungkin saja mempunyai karakter seperti ini, menunda untuk hidup dalam pertobatan. Masih suka berkutat dalam kehidupan yang buruk tanpa keinginan untuk memperbaiki diri dengan dalih nanti saja kalau waktunya sudah tepat.

Jika seseorang mempunyai pemikiran seperti ini, maka kecil kemungkinan – untuk tidak mengatakan mustahil – ada perubahan dalam hidupnya ke arah yang lebih baik; untuk hidup di dalam Tuhan. Sekarang dan seterusnya Anda akan tetap seperti hari ini. Sebab apa yang Anda pikirkan tentang masa depan hanyalah ilusi. Hanya ilusi hidup mau berkenan dan memuliakan Tuhan. Masa depan adalah cermin proyeksi hari ini. Jika Anda sekarang termasuk orang yang gemar berbohong, di masa depanpun Anda akan tetap menjadi seorang pembohong apabila hari ini Anda tidak bersikeras untuk mengubahnya. Jika Anda sekarang penuh dendam dan kebencian, kapanpun Anda akan tetap seperti itu, jika sekarang tidak bertekad untuk membereskannya. Jika Anda sekarang seorang yang serakah, kapan dan di manapun Anda akan tetap serakah, jika hari ini tidak memaksakan diri untuk berubah!

Masa depan adalah hari ini yang belum terjadi. Ia akan menjadi kenyataan yang tidak jauh berbeda dengan hari ini. Kuncinya sederhana, jika Anda ingin mengubah masa depan, ubahlah hari yang sedang Anda jalani sekarang. Ingat, jangan sekali-kali menunda dan lengah berjaga-jaga menyambut hari Tuhan itu kalau tidak ingin kehilangan “kecolongan” kesempatan sebab Anda tidak pernah tahu kapan hari kedatangan-Nya itu terjadi dan berapa lama lagi jatah Anda hidup di dunia ini.