Jumat, 11 September 2015

MENGENDALIKAN LIDAH, MEMBANGUN KEHIDUPAN

Kekerasan tidak selalu berbentuk fisik. Lidah bibir manusia ada kalanya lebih tajam ketimbang golok atau silet. Ia bisa menusuk, mengiris-iris dan menyayat hati. Lidah manusia bisa membunuh kreatifitas tetapi juga fisik. Adalah Ronin Shimizu, bocah 12 tahu asal Negara Bagian California yang menjadi salah satu dari ribuan bahkan jutaan korban akibat ketajaman lidah. Desember tahun lalu publik disadarkan akan kekejaman lidah manusia. Ronin memilih pemandu sorak (cheer leader) sebagai ekstra kulikuler di Sekolah Menengah Pertama Folsom, kota Sacramento tempat ia menuntut ilmu. Di antara teman-temanya yang ikut ekstra kulikuler pemandu sorak hanya dialah anak laki-laki satu-satunya. Namun, nahas itu terjadi bermula ketika teman-teman yang lain mengejek dan menjulukinya gay. Semua tidak menyangka, si Periang itu pergi dengan cara tragis. Ia bunuh diri! (3/12.14) Penyesalan dan kesedihan dari teman-temannya sudah terlambat. Taburan bunga, nyala lilin dan doa yang menghantar kepergian Ronin untuk selama-lamanya!

Lidah sangat dasyat, ia membunuh tanpa ampun. Setiap kata-kata yang keluar dari lidah bibir seseorang tidak mungkin dapat ditarik kembali. Inilah perbedaan antara gaung gong dan lidah. Gong bila dipukul akan menghasilkan gaung, getarannya akan memancar da memantul. Namun, pantulan itu makin lama-makin mengecil dan menghilang. Tetapi, ucapan lidah bibir manusia, sekali dibunyikan akan bergema, terus memantul dan merambat. Ia akan ditambah, dibumbuii sehingga getarannya makin membesar. Pantaslah kalau Yakobus menaruh perhatian dan peringatan keras terhadap lidah, katanya: “Lidah pun adalah api; ia dapat merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh…” (Yak.3:6a).

Mengapa Yakobus sedemikian keras mengingatkan bahayanya sebuah ucapan manusia? Tampaknya, dua belas suku perantauan pengikut Yesus tidak ada masalah dengan ajaran kekristenan. Namun, mereka bermasalah dalam prilaku kehidupan sehari-hari, misalnya dalam hal ketidaksabaran untuk menghadapi pencobaan (1:1-4), tidak hidup dalam kebenaran (2:14 – dst), kurang dapat mengendalikan lidah (3:1- dst), bertengkar atau berselisih (4:1 – dst), terkesan fokus pada pengumpulan harta dan cenderung serakah ( 5: 1 – dst).

Bahaya lidah sangat dasyat! Dalam kenyataan sejarah gereja, banyak orang bertahan dalam iman mereka ketika dianiaya. Namun, seringkali tidak ketika mereka memasuki pertikaian, adu argumentas dan perpecahan sehingga kemudian berdampak menghambat bahkan melenyapkan sebuah gereja. Dalam kehidupan bergereja saat ini kita pun dapat menyaksikan bahwa masih banyak orang yang terus berpegang pada iman mereka ketika kesusahan melanda mereka; entah bencana, sakit penyakit, atau kehilangan orang yang mereka kasihi, apalagi kalau setiap anggota gereja mendukung dengan perhatian dan doa. Penderitaan dan kemalangan itu bukan penghalang untuk tetap percaya. Namun, kenyataan menuntujukkan, banyak orang yang hengkang dari gereja bahkan meninggalkan imannya karena perkataan yang menusuk hatinya, karena mereka digosipkan, difitnah, dan tidak ditegur sapa dengan semestinya.

Lalu, setelah kita mengerti dampak buruk dari sebuah perkataan, apa yang mestinya kita lakukan? Membungkamnya, sehingga kita tidak perlu berbicara rasanya mustahil kita dapat melakukannya. Ataukah ada cara yang baik untuk mengendalikan lidah kita sehingga tidak liar dan berbahaya bagi diri sendiri atau pun orang lain melainkan dapat membangun dan memancarkan kehidupan?

Meminjam karya James Bryan Smith dalam The Good and Beautiful Life, rasanya berguna dalam kita mengendalikan lidah kita. Smith mengatakan bahwa bentuk paling umum dari penyalahgunaan lidah kita adalah gosip. Gosip diartikan sebagai (1) berbicara secara negatif (2) mengenai seseorang yang sedang tidak bersama-sama kita. Inilah dua elemen dasar dari gosif. Jika Anda mengatakan seseorang yang tidak bersama Anda tentang hal-hal positif darinya, maka itu tidak dapat dikatakan gosip.

Smith merujuk pada John Weslye (tokoh penginjil pendiri Methodis) yang menyarankan untuk membentuk kelompok kecil dalam memerangi atau mengatasi kecenderungan kita untuk bergosip. Weslye menyarankan agar dalam kelompok kecil itu tidak menyebutkan kesalahan orang di belakang orang tersebut. Lakukanlah praktek ini: Ketika Anda berada dalam sebuah situasi di mana dalam kelompok itu sedang bergosip, katakanlah, “Mungkin lebih baik bagi kita untuk tidak membicarakan seseorang yang tidak bersama-sama dengan kita.”

Bisa jadi sikap Anda akan terlihat sok kudus bagi orang yang sedang bergosip, khususnya jika orang tersebut tahu Anda pernah melakukan gosip. Jika Anda merasa seperti itu, lakukan : (1) hindarilah atau pergilah saat kita tahu kelompok itu sedang bergosip atau (2) jangan ikut-ikutan menimpali dengan fokus pembicaraan pada keburukan orang lain. Gantilah topik pembicaraan secepat mungkin. Tidak ada gunanya Anda mengekang keinginan untuk bicara, sebab kekangan akan menghasilkan kekangan. Anda bisa mengendalikan topik pembicaraan seperti yang disarankan Matt Johnson: “Ya, saya tidak mengenalnya sebaik yang Anda kenal, tetapi sepertinya dia adalah seorang yang murah hati.” Di sinilah peran lidah Anda untuk membangun kehidupan. Tampilkanlah sisi positif orang yang dibicarakan, karena pada hakekatnya tidak mungkin seseorang itu buruk sepenuhnya atau baik seutuhnya. Menurut pengalaman Johnson, kalimat semacam ini mampu mengubah arah pembicaraan dan menghentikan gosip.

Tanpa sadar sering kita dibawa oleh arus pemikiran bahwa gosip bukanlah sebuah dosa, apalagi pembandingnya adalah dosa berjinah, merampok, memerkosa, mencuri dan membunuh. Kita sering memperhalus gosip dengan istilah : evaluasi, sharing, atau berdiskusi – bukankah ini sangat familiar ada di gereja. Namun, terkadang disadari atau tidak kita sedang membicarakan aib orang. Saya percaya bahwa kebanyakan dari kita menyadari kalau kita sedang bergosip. Biarpun saya mencoba untuk melihat gosip sebagai “kejujuran mengenai seseorang,” namun dalam hati nurani saya tahu bahwa saya sebenarnya sedang menjatuhkan orang yang menjadi obyek pembicaraan itu.

Apakah dengan demikian kita tidak boleh menegur, menganalisis dan menyampaikan kesalahan orang lain dengan alasan supaya lidah bibir kita tidak melukainya? Tentulah tidak demikian! Ketika kita membiarkan kesalahan atau dosa terjadi di depan mata kita dan kita tidak mau peduli, itu berarti kita menyetujui dia melakukan kesalahan dan dosa. Karena kita setuju dengan dosa, maka kita pun menjadi berdosa! Ketika kita harus mengatakan kebenaran, terkadang kita memberi penilaian dan kesaksian tentang orang lain itu. Ketika kita ditanya, apakah seseorang itu bisa kita andalakan? Nah, padahal saat itu kita tahu percis bahwa dalam pengalam perjumpaan dengan orang itu, orang tersebut tidak bertanggungjawab. Maka kita harus mengatakan yang sebenarnya. Itu bukan gosip! Lidah bibir kita bisa dipakai Tuhan untuk membangun baik kehidupan pribadi orang itu maupn dalam pertumbuhan komunitas. 

Menolak untuk bergosip dan mengandalkan Allah untuk menolong kita menghindari gosip adalah salah satu tindakan kasih terbaik yang dapat kita lakukan untuk membangun kehidupan orang lain. Dengan bertindak begitu, tanpa sadar kita sedang melatih lidah bibir kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Sekali lagi, kita melakukan apa yang bisa kita lakukan, bukan apa yang tidak bisa kita lakukan. Saya percaya Anda bisa hidup lebih nyaman dan berbahagia tanpa gosip. Ketika Anda bisa melakukannya, sya percaya bahwa Anda dapat hidup sama sekali dari gosip.

Jumat, 04 September 2015

TIDAK DISKRIMINATIF, NAMUN BERBELA RASA

Ada saja yang “bermain di air keruh”! Ketika Jakarta berbenah, waduk, sungai dan bantaran sungai difungsikan kembali sebagaimana mestinya. Tentu saja membawa dampak positif, sedikitnya kawasan kumuh Jakarta berkurang. Namun, tidak dapat dipungkiri harus ada orang-orang yang “tergusur” antara lain orang-orang yang sudah lama mendiami lahan tersebut harus hengkang. Kita menyaksikan berita-berita bahwa sebelum melakukan proyek bersih-bersih itu Pemda DKI telah menyediakan solusi memberi tempat yang lebih manusiawi agar orang-orang yang tadinya tinggal di area waduk dan bantaran sungai tidak terlantar. Namun, yang terjadi banyak perlawanan. Di balik perlawanan itu ada orang-orang yang “simpati” terhadap mereka. Sehingga mereka mengadakan perlawanan. Ada yang tulus membantu tapi ada juga yang memanfaatkan kondisi itu; “bermain di air keruh”. Mencari pendukung dan popularitas. Sehingga dalam keadaan seperti itu tak heran bermunculan tokoh-tokoh politik, anggota parlemen, bahkan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama. Bukankah situasi  sulit ini sangat menguntungkan bagi para petualang politik? Dengan menunjukkan keberpihakan kepada yang lemah dan kemudian disorot pelbagai media. Iklan popularitas gratis!
Mencari popularitas di tengah ketidak berdayaan entah karena bencana alam, malapetaka kemanusiaan, atau ketertindasan sangatlah mudah. Apakah Yesus juga memergunakan kesempatan yang sama ketika Ia mulai melakukan pelayanan-Nya? Apakah Dia mencoba mencari simpati dan popularitas di tengah masyarakat Yahudi yang kerap kali mendiskriminasi, memilah antara orang saleh dan orang berdosa menurut strata ketahiran Yudaisme yang katanya dirunut dari Taurat? Mungkin bagi sebagian ahli sosio-politik demikian. Yesus membangun komunitas dan pendukungNya dengan menyapa orang-orang yang tersisih bahkan terbuang dari strata sosial kesalehan Yahudi. Contohnya saja: Ia merangkul pemungut cukai, Ia sangat peduli dengan sepuluh orang kusta, Ia juga, dengan caranya yang unik, membebaskan seorang perempuan yang kedapatan berzinah dari hukum rajam, dan yang mencolok beberapa kali Yesus bersentuhan dan mengapresiasi iman orang-orang Samaria. Jelas, kesemua kelompok tadi berada di luar sistem strata kesalehan orang Yahudi. Mereka semua dikelompokan sebagai orang berdosa! Nah, bukankah bukti-bukti itu menunjukkan gaya politik Yesus?
Seorang petualang politik pasti akan mencari celah dalam situasi apa pun untuk popularitas dan keuntungan sendiri. Mereka tak segan menjual kemanusiaan demi mendulang pengikut dan kekuasaan. Apa yang dilakukan Yesus justeru terbalik. Ia rela kehilangan popularitas-Nya bahkan membayar harga yang teramat mahal demi kepedulian-Nya terhadap masyarakat yang terdiskriminasi oleh strata sosial Yudaisme. Jika alasannya hanya untuk menjaring pengikut sebanyak-banyaknya, bukankah cukup hanya dengan melakukan banyak mujizat? Bukankah ketika Ia mengusir setan, menyembuhkan banyak orang sakit, memberi makan ribuan orang, hal itu sudah cukup bagi-Nya memesona banyak orang? Kepedulian-Nya terhadap orang-orang yang terpinggirkan jelas bukanlah sensasi mencari pengikut melainkan memang Ia berpihak dan peduli! Sehingga bagi Yesus, tak mengapa orang mengelompokkan diri-Nya dengan orang berdosa ketika Ia mampir makan di rumah Zakheus. Masa bodoh juga dengan orang yang menganggap-Nya nazis karena bersentuhan dengan si kusta dan perempuan Samaria. Ia tak ambil pusing ketika orang Yahudi memerotes tindakan-Nya lantaran menyembuhkan orang pada hari Sabat. Bagi-Nya, kasih Allah, Bapa-Nya harus dapat dirasakan semua orang tanpa sekat-sekat primordial kesalehan. Kasih dan kepedulian-Nya memuncak pada peristiwa kematian-Nya di Golgota.
Salah satu bukti Yesus tidak mencari popularitas atas orang-orang tersisih dari kalangan Yahudi adalah bahwa Ia memakai juga terminologi sistem kesalehan orang Yahudi ketika Ia berjumpa dengan seorang ibu Siro-Fenisia. Ia datang ke daerah  di luar pusat-pusat peradaban Yahudi. Tirus terletak 40 mil dari Barat Laut Kapernaum. Tirus artinya batu karang disebut demikian karena di daerah itu ada dua batu karang besar yang disatukan oleh sebuah bukit sepanjang tiga ribu kaki. Ibu – orang Yunani bangsa Siro-Fenisia – memohon dengan sangat, ia tersungkur di depan kaki-Nya dan memohon agar Yesus sudi mengusir setan yang merasuki anaknya. Alih-alih Yesus segera memenuhi permintaan ibu tadi, Ia menjawab, “…tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Markus 7:27).
Yesus faham betul strata sosial Yudaisme. Dalam kebencian kelompok-kelompok Yahudi terhadap non Yahudi kata anjing sering ditujukan untuk non Yahudi. Yesus memakai “cara” komunikasi Yahudi ini. Namun, menjadi menarik kata yang digunakan Yesus bukan kelev (Ibr) atau kuon (Yun) yang artinya “anjing”, melainkan kunarion yang berarti anjing-anjing peliharaan. Yesus yang tahu dan mengerti kebanggaan Yahudi sebagai umat istimewa dan memandang redah bangsa lain kemudian menggunakan cara pandang itu justeru untuk menampar Yudaisme yang diskriminatif dan kini dengan terminologi yang sama dipakai untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap ibu Yunani tersebut.
Tampaknya Ibu tersebut menyadari keberadaannya di hadapan orang-orang Yahudi sehingga dengan rendah hari ia menjawab, “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” (Markus 7:28) Jawaban ini bukan saja sebagai bentuk perjuangan seorang Ibu yang begitu sayang dan kuatir akan anaknya tetapi juga merupakan tindakan protes atas diskriminasi yang terbentuk oleh strata sosial Yudaisme. Ia menunjukkan dengan rendah hari bahwa dirinya pun pantas mendapat berkat Allah yang telah disia-siakan oleh orang-orang yang menyebut diri anak-anak Allah atau umat istimewa. Ada ilustrasi dari Zohar in Exodus untuk melukiskan kondisi ini:
Konon seorang raja menyediakan makan malam bagi putra-putranya. Sementara mereka makan daging yang terhidang, raja ini memberikan tulang-tulang kepada anjing. Akan tetapi karena putra-putra raja ini tidak menyenangkan hati sang raja. Maka diberikannya daging-daging yang tehidang kepada anjing-anjing. Demikianlah ketika bangsa Israel melakukan kehendak Allah, mereka makan sehidangan di meja Allah dan pesta itu disediakan bagi mereka. Tetapi ketika mereka tidak melakukan kehendak Allah, maka pesta itu diberikan untuk anjing termasuk segala sisa-sisa makanan.
Dalam kisah ini kita melihat di hadapan Allah tidak ada perlakuan diskriminatif, semua mendapat bagian dan semua dikasihi-Nya. Namun, seringkali manusialah yang membatasi karya Allah itu. Kita sering lupa bahwa menganggap diri istimewa dan mengabaikan orang atake lain membuat kita terlena dan akhirnya tidak melakukan kehendak-Nya dengan baik. Dengan sikap seperti ini, kasih yang sudah diberikan kepada kita bisa saja diambil dan diberikan kepada orang lain. 

Belajar dari sikap Yesus mestinya ketika kita melakukan sebuah kebajikan atau tindakan kasih bukan didasarkan atas kepentingan politik dengan berpikir: Apa yang akan didapat sebagai keuntungan jika aku melakukan ini dan itu? Kalau demikian kita akan memilah siapa yang harus aku sapa dan aku perhatikan. Untuk itu Yakobus menasihatkan kita, “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, jangan iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.” (Yakobus 2:1) Atau bahkan menciptakan suasana di mana kitalah yang tampil sebagai “pahlawan” bagi mereka yang teraniaya. Sebuah tindakan keberpihakan kepada sesama khususnya yang sedang mengalami kesulitan haruslah didasarkan oleh sikap seperti Yesus, yakni meneruskan bela rasa Allah. Allah yang sangat peduli tehadap orang-orang yang menderita, tersisihkan bahkan terbuang. Tentu perjuangan itu mengandung resiko sama seperti yang dihadapi dan dialami Yesus. Setiap anak-anak Tuhan pasti akan dapat meneruskan belarasa Allah ini tanpa pandang bulu karena di dalam dirinya mengalir darah Kristus!