Jumat, 31 Juli 2015

DIUTUS DAN DIPERLENGKAPI

Anthony de Mello bercerita: Dulu kala ada seorang tukang batu yang setiap hari mendaki gunung untuk memotong batu. Ia bekerja sambil bernyanyi. Ia bernyanyi tentang kemiskinannya, tetapi dia tidak berhasrat untuk menjadi sesuatu yang lebih dari yang dimilikinya. Dia tidak pernah begitu peduli dengan dunia, sampai suatu hari dia dipanggil untuk bekerja di sebuah puri seorang bangsawan. Ketika ia melihat keindahan puri itu, maka untuk pertama kalinya, dia merasakan sakitnya untuk mempunyai keinginan. Katanya, sambil menghela nafas, ”Andai saya kaya, tidak seharusnya bekerja seperti ini dengan bekerja keras dan keringat bercucuran.”

Tanpa diduga, sang tukang batu itu mendengar suara, “Keinginanmu telah terkabulkan. Dengan demikian, mulai sekarang, apa pun yang kamu inginkan akan diberikan kepadamu!”

Dia tidak mengerti maksud suara itu sampai kembali ke gubugnya sore itu. Betapa kagetnya dia ketika menjumpai gubugnya kini telah berubah menjadi puri seindah di tempat dia bekerja tadi. Sejak saat itu si tukang batu berhenti bekerja dan menikmati hidupnya sebagai orang kaya.

Pada suatu hari yang panas dan lembab, mantan tukang batu ini melongok ke luar jendela. Dia melihat raja dan rombongannya yang terdiri dari para bangsawan dan budak-budak. Katanya dalam hati, “Saya berharap, saya adalah raja yang duduk di dalam kereta kerajaan yang sejuk itu.” Keinginannya segera terkabul, dan dia menemukan dirinya duduk dalam kereta kerajaan yang nyaman itu. Kendati demikian, ternyata ia merasakan kereta itu lebih panas dari apa yang dibayangkan semula. Kemudian dia menatap keluar dan mulai mengagumi kekuatan matahari. Matahari yang panasnya sanggup menembus setiap dinding tebal dari kereta ini. “Saya berharap, saya adalah matahari.” Katanya kepada dirinya sendiri. Sekali lagi keinginannya dikabulkan dan dia berubah menjadi matahari yang memancarkan panasnya ke seluruh alam semesta.

Keadaan ini hanya berlangsung sebentar karena kemudian musi penghujan datang. Usahanya untuk menembus awan hujan yang tebal sia-sia. Kini dia merubah dirinya menjadi awan dan berbangga atas kekuatannya yang sanggup menutupi matahari. Sampai di sini dia turun menjadi hujan, dan air hujan itu kemudian menemukan sebuah batu raksasa yang menghalangi aliran airnya yang harus memutari batu itu.

“Apa?” Jeritnya, “hanya sebongkah batu lebih kuat dari saya? Baiklah kalau begitu saya berharap menjadi batu saja!” Kemudian sang batu ini berdiri di sisi gunung dengan bangganya. Akan tetapi, kondisi itu hanya bertahan sebentar saja. Belum sempat ia menikmati kesombongannya, dia mendengar suara aneh di bawah, suara seperti orang sedang memotong-motong. Dia melihat ke bawah dan dengan tidak percaya, dia melihat manusia kecil sedang mengambil bongkahan dari tubuhnya. “Apa?”, teriaknya, “manusia lemah seperti dia bisa lebih kuat dari saya, sebuah batu raksasa? Kalau begitu, saya ingin menjadi manusia saja. Tepatnya manusia tukang batu!”

Kini, kembalilah dia menjadi manusia. Bekerja sebagai tukang batu dan kembali bekerja keras dengan berpeluh keringat. Dia tetap bernyanyi saat dia bekerja. Namun, sekarang dia bernyanyi lagu yang berbeda. Dia bernyanyi tentang kepuasan hati, tentang keadaan dirinya dan kebanggaan akan dirinya serta keinginannya untuk hidup sebagai dirinya. Hidup sesuai dengan panggilannya, menjadi tukang batu yang sejati dengan berhasil menyingkirkan rasa iri hati dan kebanggaan yang sia-sia.

…, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu.” Kalimat ini merupakan nasihat Paulus kepada jemaat Efesus. Hidup berpadanan dengan panggilan adalah menyukuri dan berbahagia dengan kondisi yang ada tanpa harus menjadi iri atau marah dengan keberadaan orang lain. Hidup berpadanan dengan panggilan di dalam Tuhan berarti hidup sesuai dengan sebutannya, yakni murid Kristus dan sekaligus anak-anak Tuhan yang mempunyai ciri, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah-lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.” (Efesus 4:2,3)

Tampaknya Paulus menaruh perhatian serius terhadap kesatuan jemaat. Tema ini begitu kental mewarnai nasihat Paulus untuk jemaat Efesus. Mengapa? Rupanya Paulus menegarai ada potensi perpecahan dalam jemaat itu, antara lain adanya perbedaaan latar belakang antara Yahudi dan non Yahudi serta kurangnya pemahaman akan pengelolaan talenta yang Tuhan percayakan kepada mereka.

“Kesatuan jemat dan karunia yang berbeda-beda.” Demikian Lembaga Alkitab Indonesia memberi judul perikop Efesus 4:1-16. Dalam tarikan nafas yang sama, Paulus memberi nasehat serupa kepada jemaat di Korintus (1 Korintus 12). Mengapa Paulus sangat menaruh perhatian tentang pentingnya kesatuan dalam jemaat? Setidaknya, jawaban itu bisa kita temukan ratusan tahun sesudah nasehat Paulus berlalu. Lihatlah betapa dasyatnya akibat perpecahan dalam jemaat. Kita bisa belajar dari sejarah keruntuhan gereja-gereja di Afrika Utara, Timur-Tengah, Turki, dan daerah-daerah bekas jajahan kekaisaran Roma. Bukankah, dulunya wilayah-wilayah itu merupakan basis kekristenan dan di wilayah-wilayah itu lahir bapa-bapa gereja, seperti Arius, Athanasius, Origenes, Agustinus dan yang lainnya? Bukankah Turki yang sekarang dulunya di sebut-sebut sebagai penerima surat Wahyu Yohanes? Kini, hanya tinggal puing dan sejarah. Semua terjadi karena perpecaha dalam gereja. Mereka tidak segan saling menuduh sesat, saling menganiaya dan membunuh. Padahal, mereka semua mengaku sebagai tubuh Kristus! Akibatnya, tidak mengherankan kalau pada masa-masa sulit itu, mereka menyambut dengan gembira kedatangan pasukan bulan sabit, dan kini? Gereja Tuhan hanya tinggal kenangan!

Penindasan, penganiayaan, intimidasi, pembunuhan, dan apa pun namanya, dalam sejarah gereja tidak pernah bisa memberangus gereja. Yang ada, benar kata Dr. Ira C, “Semakin di babat, Semakin merambat!” Namun, gereja akan musnah dengan sendirinya ketika roh perpecahan itu timbul dari dalam gereja itu sendiri. Itulah sebabnya, Paulus dari awal wanti-wanti agar jemaat TUhan memelihara kesatuan tubuh Kristus. Paulus menyadari bahwa Tuhan mengaruniakan pelbagai talenta kepada setiap orang percaya bukan untuk kebanggaan diri yang kemudian berpotensi memecahbelah umat, melainkan untuk sebuah maksud mulai, yakni: “…untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus,..” (Efesus 4: 12,13)

Saat ini tentunya kita tidak harus mengulangi sejarah kehancuran gereja dengan kebanggaan semu pada diri sendiri dan menganggap yang lain sepi. Setiap potensi yang Tuhan berikan, barang kali sekecil apa pun, pasti ada gunanya. Tidak usah menginginkan dan iri pada potensi yang lain. Kisah tukang batu memberi pelajaran buat kita untuk bersyukur atas karunia yang Tuhan percayakan kepada kita dan bersama-sama merayakan talenta orang lain juga guna kepentingan bersama! Ingatlah Tuhan mengutus kita agar hidup kita berpadanan dengan paggilan-Nya serta menjadi berkat dengan memberi kontribusi yang baik untuk pertumbuhan jemaat. Dan jangan lupa, Dia mengutus kita bukan dengan tangan hampa, melainkan telah memercayakan kemampuan untuk tugas-tugas itu.

Kamis, 23 Juli 2015

KASIH ALLAH MELAMPAUI YANG DIDOAKAN DAN DIPIKIRKAN

Francis Dewar bertutur sebuah dongeng. Alkisah, ada seorang raja yang kaya raya. Sang raja mempunyai sebuah batu rubi sangat besar dan indah, tentu harganya tak ternilai. Batu rubi begitu menawan hati sang raja sehingga setiap hari raja akan selalu memandangi batu itu dengan sangat bangga.

Pada suatu hari, ia sangat cemas dan begitu sedih. Pasalnya, dia menemukan batu rubinya telah tergores. Lalu, raja memanggil semua tukang permata di seluruh negeri untuk memeriksanya dan melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Setelah mencermati dan meneliti permata sang raja, para tukang permata itu sepakat bahwa perbaikan yang dilakukan dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Maka sebaiknya permata itu tidak usah dilakukan perbaikan. Sang raja menjadi putus asa, semakin sedih dan murung. Kemudian dia menawarkan sebuah hadiah yang sangat besar kepada tukang permata yang dapat memperbaiki batu rubinya. Beberapa tukang permata datang untuk mencoba peruntungan, tetapi semua tidak dapat melakukan apa pun terhadap batu permata sang raja.

Beberapa hari kemudian, seorang pelayan raja melaporkan bahwa dia mendengar pembicaraan tentang seorang mantan tukang permata yang tinggal di daerah terpencil di negeri itu. Mantan tukang permata ini dikenal sangat berpengalaman dalam mengtasi kerusakan-kerusakan permata murni. Maka, segeralah mantan tukang permata itu dipanggil menghadap ke istana. Dia seorang tua, berpostur tubuh kecil nan bungkuk dalam balutan pakaian yang lusuh. Para pembesar istana, jangankan menaruh hormat, memandang sebelah mata pun tidak. Mereka meragukan dan mempertanyakan keputusan raja. Bagi mereka raja sedang membuang-buang waktu saja. Namun, sang raja bersihkeras bahwa mantan tukang permata itu pantas diberi kesempatan untuk melihat batu rubi yang tergores itu.

Mantan tukang permata itu memandangi batu rubi kebanggaan sang raja. Ia mengambil waktu beberapa saat untuk memerhatikan batu rubi  itu dengan cermat. Kemudian ia berkomentar, “Maafkan saya, tuanku raja. Saya tidak dapat memperbaiki batu rubimu, tetapi jika engkau berkenan saya dapat membuatnya lebih indah.”

Raja sedikit meragukannya, tetapi dia sudah sangat berputus asa bahwa tidak ada yang dapat dilakukannya lagi terhadap batu rubi kebanggaannya itu. Bukankah selama ini ia sudah mengerahkan kemampuan seluruh tukang batu permata dan semuanya mengtakan tidak bisa melakukan apa-apa terhadap batu rubi itu. Kemudian, raja memersilahkan mantan tukang batu permata itu untuk mengerjakannya. Segeralah si mantan tukang permata itu mulai bekerja, ia memotong, menggosok dan memoles batu permata itu. Beberapa hari kemudian, dia menghadap raja dengan membawa batu rubi yang udah dikerjakannya. Di atas batu permata raja yang murni itu, ia telah memahat bunga mawar yang sangat indah dan rumit yang alurnya dibentuk dari goresan yang telah membuatnya cacat! Sang raja sama sekali tidak menduga bahwa kini permatanya jauh lebih indah ketimbang sebelum mengalam keretakan. Mantan tukang permata itu telah mengerjakan dengan sempurna permatanya melampaui harapan yang diinginkan sang raja.

Dalam kesulitan dan keterpurukan, ketika kita diliputi pesimisme oleh karena sesuatu kepahitan yang merusak rencana hidup sering membuat kita tidak berdaya. Akhirnya, ketika kita berdoa pun tidak disertai dengan mantapnya keyakinan! Paulus mengajar berbeda:

“Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” (Efesus 3:20). Kalimat ini merupakan bagian akhir doa (doksologi) dari Paulus untuk Jemaat di Efesus. Dalam perikop Efesus 3:14-21 tiga kali Paulus menyebutkan: “Aku berdoa, supaya…”

Pertama, “Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu,…(ay.16). Paulus menyadari bahwa hidup menjadi pengikut Yesus akan mengalami banyak tantangan. Hal ini dialami sendiri oleh Paulus sendiri. Ia dipenjarakan (Efesus 3:1) oleh orang-orang yang tidak senang akan aktivitas pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Paulus. Dari dalam sendiri, Paulus menghadapi tantangan dari saudara-saudara seiman yang menggugat kerasulannya mengingat masa lalunya yang menganiaya orang-orang Kristen. Oleh karena itulah Paulus menyadari bahwa dirinya adalah orang yang paling hina di antara orang kudus (Efesus 3:8). Jadi, tantangan itu bisa datang dari eksternal : orang-orang yang membenci kekristenan. Dan internal : sesama saudara seiman yang mempunyai pemahaman berbeda. Untuk mengatasi hal ini bukan saja mengharapkan TUHAN yang mengubah segalanya, Paulus meminta supaya umat TUHAN itu berakar dan berdasar dalam kasih. Tentu yang dimaksud adalah kasih Kristus.

Kedua, “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,...” (Efesus 3:18). Rupanya, Paulus menyadari bahwa untuk memahami kasih Allah itu tidaklah mudah. Manusia sering memahami bahwa kalau Allah itu Mahakasih maka apa pun yang diminta pasti akan diberikan. Pengalaman Paulus ternyata tidak begitu. Contohnya, tiga kali Paulus meminta agar kelemahannya, yakni duri dalam daging diangkat. Namun, nyatanya tidak. Malah dengan kelemahannya itu Paulus dapat bermegah, bukan pada dirinya sendiri melainkan karena pertolongan TUHAN. Bagi Paulus kasih Allah yang lebar, luas, tinggi dan dalam itu tidak membebaskannya dari pelbagai kesulitan dan penderitaan, melainkan Dialah yang memampukan Paulus menghadapi semua tantangan itu.

Ketiga, “Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.” (Efesus 3:19b). Paulus mendoakan agar pengikut Kristus mempunyai iman yang dinamis menuju kepada kesempurnaan yang Allah inginkan. Setiap orang percaya mestinya menyadari bahwa kita semua harus terus menerus bertumbuh.

Jika kita mencermati doa yang diungkapkan Paulus maka kita menemukan ada dua pihak, yakni Allah dan orang percaya yang bekerja bersama untuk mendapatkan hasil optimal. Pada satu pihak, Paulus berdoa supaya Allah menguatkan, meneguhkan, menyempurnakan pemahaman umat. Di pihak lain, Paulus meminta agar orang percaya berakar dan berdasar dalam kasih Kristus; berusaha memahami dan mengenal betapa lebar, panjang, tinggi dan dalamnya kasih Kristus. Dan kemudian umat terus-menerus berusaha hidup dalam kepenuhan Allah, yakni iman yang terus bertumbuh ke arah kesempurnaan. Paulus, berdasarkan pengalaman imannya sendiri, meyakini jika doa dilakukan dengan serius (dalam permohonan kepada Allah dan tindakan nyata mengupayakan hidup yang berkenan kepada Allah) maka hasilnya pasti menakjubkan :

“Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” (Efesus 3:20)

Sering kita tidak melihat dan menikmati jawaban doa dari TUHAN oleh karena kita tidak serius dalam berdoa. Kita hanya mau menerima hasilnya dan tidak mau menuntut diri sendiri berupaya mengenal kasih Allah dan hidup di dalam kasih-Nya itu. Kita sering marah mana kala kesultan dan penderitaan menghampiri kita, tanpa mau belajar mengenal bahwa dalam hal yang tidak menyenangkan sekalipun TUHAN tetap setia dan terus melimpahkan cinta kasih-Nya.