Selasa, 31 Maret 2015

ROTI YANG TERPECAH, ANGGUR YANG TERCURAH

Kamis Putih 2015

Ingatan seorang Nasrani akan segera tersambung dengan peristiwa Perjamuan Malam Terakhir Yesus bersama dengan para murid-Nya, manaka mendengar kata atau kalimat “Roti yang terpecah dan anggur yang tercurah.” Betapa tidak, bagian kalimat inilah yang selalu ada dalam pelbagai formula Sakramen Perjamuan Kudus. Gereja pada umumnya sudah terbiasa merujuk Perjamuan Malam Terakhir itu sebagai landasan perayaan Perjamuan Kudus sampai saat sekarang.

Kalimat “Roti yang terpecah dan anggur yang tercurah” merupakan ucapan Yesus yang ditujukan untuk diri-Nya, bahwa tubuh-Nya akan terpecah dan darah-Nya akan tercurah mengalir di kayu salib sebagai kurban penebusan dosa bagi umat manusia. Gereja mengingat dan merayakannya dengan Perjamuan Kudus. Roti yang dipecahkan dan air anggur yang dicurahkan dalam perayaan Perjamuan Kudus, tidaklah mengalami perubahan (roti menjadi tubuh Yesus dan air anggur menjadi darah-Nya, transubstansiasi. Atau di dalam roti dan air anggur ada tubuh dan darah Yesus, konsubstansiasi) roti tetap roti dan air anggur tetap air anggur. Namun, kita meyakininya dalam iman bahwa Yesus Kristus berkenan hadir. Maka dari itu Perjamuan Kudus merupan tanda dan meterai dari kasih Allah di dalam pengurbanan Anak-Nya, Yesus Kristus yang begitu teramat agung.

Berbeda dari catatan Injil sinoptik (Matius, Markus, Lukas) yang menetapkan Perjamuan Malam Terakhir Yesus sebagai Perjamuan Paskah, karena di sana dikatakan bahwa sore hari ketika Yesus disalibkan mendahului Sabat (diperkirakan tanggal 15) terjadi antara Kamis sore sampai Jumat sore, oleh karena itu dalam Injil sinoptik, perjamuan malam, pengadilan samapai kematian Yesus terjadi pada tanggal 15 Nisan, yakni hari Raya Paskah. Pesan utamanya, Yesuslah Sang Anak Domba Paskah!

Yohanes memberi informasi berbeda. Perjamuan Yesus dengan para murid-Nya terjadi sebelum Paskah. Penyaliban dan kematian Yesus terjadi tanggal 14 Nisan dan pemakaman Yesus terjadi menjelang Paskah, yakni pada hari persiapan untuk perayaan Paskah (Yoh.19:42). Kalau dikatakan bahwa perjamuan Yesus bersama dengan murid-murid-Nya ini adalah perjamuan Paskah, secara kronologis hal itu tidaklah mungkin. Mengapa? Karena saat orang-orang merayakan Paskah (15 Nisan), Yesus sudah ada di dalam kubur. Konsekuensinya, perjamuan malam itu bukanlah sebuah perjamuan Paskah. (Sumber: Eko Riyadi, Pr, Yohanes: Firman Menjadi Manusia).

Dalam narasinya (Yohanes 13:1-17), Yohanes tidak mengisahkan Yesus menyebutkan kalimat tema kita (Roti yang terpecah dan anggur yang tercurah). Pun, tidak mengisahkan tentang pemecahan roti dan penuangan anggur, yang kemudian dibagikan kepada para murid. Yohanes lebih suka menyoroti Yesus membasuh kaki para murid. Meskipun Yesus tidak menyebutkan eksplisit bahwa diri-Nya Roti yang terpecah dan anggur yang tercurah, namun nanti akan kita lihat bahwa tindakan simbolis pembasuhan kaki dan kemudian persitiwa penyaliban itu mengokohkan kepada kita bahwa Dialah yang melakukannya baik simbolik maupun kenyataannya.

Adegan pembasuhan kaki oleh Yesus kepada murid-murid-Nya menjadi menarik oleh karena ada dialog panjang antara Yesus dan Petrus. Bisa saja Yohanes menggunakan sosok Petrus yang mewakili para murid bahkan kita untuk menjelaskan tentang makna di balik pembasuhan kaki itu.

Inilah saat-saat terakhir Yesus bersama para murid-Nya, Ia ingin meninggalkan pesan mendalam. Layaknya seorang yang akan meninggal memberikan sebuah wangsit atau wasiat. Ketika itu, dalam perjamuan malam itu, Yesus bangkit dan menanggalakan jubah-Nya. Jubah betapapun sederhananya, merupakan simbol keagungan bagi yang memakainya. Menanggalakan-Nya berarti bersedia menanggalakan keagungan-Nya. Ganti dari jubah, Yesus mengenakan kain lenan dan mengikatkan pada pinggang-Nya. Ia membasuh kaki murid-murid-Nya satu per satu dan menyekanya dengan kain lenan itu. Ia kini mengambil peran seorang hamba atau tepatnya budak! Percis seperti narasi Paulus dalam Filipi 2.

Perlu dicatat, tindakan Yesus membasuh kaki para murid merupakan tindakan atau pekerjaan budak. Namun, yang membedakan Yesus dari budak adalah bahwa Yesus membasuh kaki para murid itu setelah mereka mengadakan perjamuan. Sedangkan para budak membasuh kaki sebelum para undangan itu mengadakan perjamuan. Tentulah seseorang yang diundang ke sebuah perjamuan pasti sudah mandi dan berdandan. Sedangkan, kaki mereka harus dibasuh lagi oleh karena perjalanan menuju tempat perjamuan itu membuat kaki mereka kotor oleh debu dan tanah. Yesus menegaskan bahwa tindakan pembasuhan itu bukan sebatas tindakan budak. Ia menjelaskan bahwa tindakan-Nya adalah tindakan Guru dan Tuhan.

Bagaimana reaksi Petrus atas tindakan Yesus ini? Ia menolak! Penolakkan ini terjadi atas kesadaran siapa dirinya dan siapa Yesus. Petrus merasa tidak layak untuk dibasuh. Sepintas sikap Petrus ini perlu diacungkan jempol; murid yang tahu tata krama. Namun, di mata Yesus, Petrus, barangkali semua murid dan kita juga kalau ada di sana, tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Yesus. Yesus kemudian menjawab keberatan Petrus, bahwa saat ini memang ia belum mengerti tindakan-Nya. Hal ini baru akan dimengerti kemudian hari.

Namun kini, reaksi Petrus semakin keras menolak, “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” Bagaimana reaksi Yesus? Yesus dengan tegas mengultimatum Petrus, “Jika Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak akan mendapat bagian di dalam Aku.”(Yoh.13:8b). Mendengar jawaban Yesus, Petrus meminta dirinya tidak sekedar dibasuh tetapi juga disiram di kepala. Jelas ini pun ketidakmengertian Petrus. Petrus belum mengerti tindakan pembasuhan kaki itu.

Lalu kalau demikian apa maksudnya dengan perkataan Yesus, ““Jika Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak akan mendapat bagian di dalam Aku.”? Ungkapan ini adalah ungkapan dalam bahasa Semit. Kata-kata Yesus itu tidak pertama-tama menyatakan relasi personal, tetapi kesatuan (solideritas) dalam nasib dua orang. Kalimat itu mengandung pengertian: hanya dengan menjadikan diri-Nya sebagai hamba bagi murid-murid-Nya, Yesus dapat masuk ke dalam kemuliaan dan membawa mereka untuk ambil bagian di dalamnya. Yesus menginginkan para murid juga mendapatkan kemuliaan yang sama. Untuk itu, tidak ada jalan lain selain mengikuti teladan-Nya. “mendapat bagian dalam Yesus” berarti bersedia melakukan apa yang dilakukan Yesus!
   
Kaki merupakan bagian yang terendah dalam anatomi tubuh manusia. Untuk bagian yang terbawah itu, Yesus membungkukkan diri dan membasuh! “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat.”  Guru dan Tuhan menyatakan jenis dan relasi yang terbangun antara para murid dan Yesus. Yesus adalah Guru sehingga mereka datang mengikuti Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya. Sebagai seorang Guru, Yesus memiliki otoritas atas mereka. Oleh karena itu, Yesus adalah tuan bagi mereka. Baik Guru maupun tuan menunjukkan bahwa Yesus ada di atas mereka. Yesus yang ada di atas mereka, telah menanggalkan jubah-Nya Ia mengerjakan pekerjaan budak, yakni membasuh kaki!

Lebih jauh, setelah peristiwa perjamuan malam, kemudian Yesus ditangkap dan sesudah itu dilakukan penghakiman rekayasa. Ia di fitnah, dituduhkan rupa-rupa dakwaan berat, dihina, disesah dan akhirnya mati di salibkan di bukit Golgota. Di situlah kemudian kita mengerti bahwa apa yang diperbuat-Nya bukan hanya sebatas tindakan simbolik belaka. Tubuh-Nya bagai roti yang terpecah dan darah-Nya bagai anggur yang tercurah! Bukan untuk diri-Nya sendiri melainkan untuk pendamaian dosa dunia.

Jika Gereja dan orang-orang Kristen meneruskan tradisi pembasuhan kaki tentu hal itu baik. Namun, Yesus tidak menghendaki-Nya hanya sebatas simbolik belaka.Jika saban perayaan Perjamuan Kudus ada roti yang dipecah-pecahkan dan anggur yang dicurahkan, itu pun tidak hanya bermakna simbolik. Gereja kita menyebutnya bukan simbol tetapi tanda dan meterai, lebih jauh persekutuan dengan tubuh dan darah Tuhan. Jadi mestinya, semangat melayani dan merendahkan diri mutlak harus ada dalam diri setiap pengikut-Nya!

Yesus menginginkan para murid-Nya mempunyai karakter kerendahan hati, pelayanan dan kasih. Pembasuhan kaki oleh Yesus sendiri disebut sebagai sebuah “teladan” atau contoh. Artinya, pembasuhan kaki itu merupakan sebuah cara hidup yang harus dilaksanakan oleh para murid dalam relasi mereka satu dengan yang lain. Pembasuhan kaki bukan soal meniru tindakan Yesus, melainkan soal melakukan apa yang telah dilakukan Yesus: kerendahan hati, pelayanan dan kasih itu. Ini sebenarnya apa yang kemudian Yesus sebutkan sebagai sebuah perintah baru. Tidak ada sebelumnya, seorang manusia pun yang melakukan seperti Yesus. Kualifikasi integritas cara hidup Yesuslah yang membuat kasih itu nyata-nyata baru. Cara hidup seperti inilah yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mengaku dirinya murid Yesus. Sudahkah kerendahan hati itu menjadi karakter kita? 

Kamis, 26 Maret 2015

MENGOSONGKAN DIRI, TAAT MEMIKUL SALIB


Palmarum 2015

Pernahkah kita merasa kesepian di tengah hingar-bingar keramaian pesta? Keadaan seperti ini biasanya terjadi karena orang-orang di sekitar kita tidak mengerti suasana hati kita atau sebaliknya, kita hanya mau mengerti diri sendiri. Ketika merasa sepi sendiri di tempat keramaian menghampiri Anda, apa yang Anda rasakan? Sudah pasti menyakitkan! Barangkali perasaan itu yang menghinggapi hati Yesus. Bagaimana tidak? Berulang kali Ia menyatakan maksud dan tujuan dari hidup, pelayanan serta misi-Nya di dunia ini, selalu saja tidak dipahami dengan benar bahkan oleh orang-orang-Nya yang terdekat sekalipun. Ia berbicara tentang kesengsaraan, penderitaan dan kematian-Nya, para murid tidak menerimanya. Mesias tidak layak dan tidak boleh menderita. Mesias harus tampil dengan gagah berani tandang untuk menumpas dan menaklukan musuh! Mesias harus mampu mengembalikan takhta kerajaan Daud.

Kini, ketika Yerusalem berada sejengkal lagi di hadapan mereka, alih-alih Yesus meminta mencarikan kuda tunggang, Ia menyuruh dua orang murid-Nya untuk meminjam keledai (Markus 11:1-11). Sama sekali bukan kendaraan perang, melainkan kendaraan niaga atau tunggangan transportasi pada masa damai. Meski tak mengerti, akhirnya kedua murid itupun melakukan seperti apa yang diperintahkan Sang Guru. Mungkin saja dalam benak, mereka berpikir tidaklah mustahil Yesus bisa menyulap keledai menjadi kuda yang gagah. 

Kini mulailah arak-arakan bak karnaval itu terjadi. Yesus memasuki Yerusalem. Yesus tidak menyulap keledai jadi kuda. Keledai tetaplah keledai. Yerusalem geger! Dengan spontan orang-orang memetik daun palem, memotong ranting-ranting dan kemudian melambai-lambaikannya. Sebagian lagi merasa tidak cukup hanya dengan daun palem dan ranting pohon, mereka membuka baju dan kemudian mengelar baju-baju itu tepat di jalan yang akan diinjak keledai yang dikendarai Yesus. Hosana! Hosana! Demikianlah pekik elu-elu mereka yang ditujukan kepada Yesus yang terus meluncur menuju gerbang Yerusalem.

Hosana! Selamatkanlah kami sekarang! Meski hanya menunggang keledai, harapan orang banyak terhadap Yesus sebagai Mesias yang digdaya sakti mandra guna terus menghinggapi pikiran mereka. Betapa tidak, tanda dan mujizat yang mereka sudah lihat, dengar dan rasakan sudahlah lebih dari cukup untuk menyakinkan diri bahwa tidak salah lagi yang sekarang sedang lewat dan disanjung itu adalah mesias impian mereka!

Namun, kita tidak pernah tahu apa yang Yesus rasakan dan pikirkan, apakah Ia tersanjung dengan sambutan yang begitu meriah? Apakah Ia tergoda untuk mewujudkan keinginan sebagaian besar penduduk Yerusalem dan sekitarnya untuk mewujudkan impian mereka. Kini, dukungan politik sudah ada dan kuasa yang dimiliki-Nya pasti mumpuni untuk mewujudkan mimpin-mimpi mesianik mereka, tinggal kemauan saja. Ataukah hatinya justeru sedang tersayat-sayat mengingat mereka yang sekarang memuja-Nya setengah mati, beberapa hari kemudian akan berbarik dengan teriakan, “salibkan Dia! Salibkan Dia!”

Sepi di tengah keramaian dan sanjungan, barangkali itulah yang tepat untuk menggambarkan suasana bathin Yesus. Setapak demi setapak kaki keledai itu terus menginjak daun-daun palem dan baju-baju pemuja-Nya. Setapak demi setapak, Dia juga harus terus berusaha mengosongkan ego itu. Ya, ego menaklukkan musuh, ego berkuasa! Yang oleh Paulus direfleksikan dengan kenosis, mengosongkan diri.

Anda dapat membayangkan, Yesus yang setara dengan Allah. Tentu punya kemampuan bahkan lebih dari yang diimpikan oleh para penyanjung-Nya di gerbang menuju Yerusalem harus mengosongkan diri arti-Nya tidak menganggap kesetaraannya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Bukankah ini kebalikan dari naluri manusia? Bukankah dengan apa yang ada pada diri manusia, diri Anda dan saya, kita berusaha menggapai apa yang kita inginkan. Bahkan yang tidak ada pun dalam diri kita, kita mati-matian mengadakannya untuk memenuhi hasrat dan ambisi kita. Contoh masyarakat Filipi menjadi jelas. Mereka melakukan segala upaya agar disegani dan dihormati. Dengan penghormatan dan orang lain menjadi segan maka seseorang dapat menuntut orang lain menghormati dan melayaninya.
Yesus tidak demikian, kata Paulus. Yesus telah merendahkan diri-Nya sedemikian rupa. Menanggalkan semua kuasa dan kehormatan-Nya. Yang semula setara dengan Allah, kini Ia rela menanggalkannya mengambil rupa manusia. Tidak berhenti di situ. Proses pengosongan diri itu terus meluncur sampai titik nadir. Ia menjadi hamba dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib. Kematian yang tidak di harapkan oleh setiap orang!

Di sini kita bisa merasakan pergumulan hebat mulai terasa. Barangkali dengan mata tajam namun sedih melihat sambutan meriah namun kosong makna. Yesus terus melangkah memasuki Yerusalem. Di kota ini Ia datang bukan untuk konser meriah. Tetapi di Yerusalemlah Ia akan ditangkap, diadili dan dituduhkan kepada-Nya tuduhan-tuduhan rekayasa yang mengharuskan-Nya dihina, disesah dan dibunuh. Pernahkah kita menggumulinya, mengapa Ia rela melakukan itu semua, padahal bisa saja, dengan kuasa dan dukungan massa yang dimiliki-Nya, Ia mengelak? Hanya ada satu jawaban, yakni ketaatan-Nya kepada Sang Bapa. Yesus tahu dan mengerti benar tujuan dari Sang Bapa mengutus-Nya ke dalam dunia. Hal ini sangat kontras dengan para murid dan orang banyak yang tidak mengerti tentang kemesiasan-Nya.

Adalah Yesaya yang memberikan gambaran samar tentang nubuat itu. Yesaya pernah menggemakan penderitaan seorang Tuhan. “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut jenggotku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yesaya 50:6). Gambaran ini adalah penderitaan paripurna. Memukul secara fisik, mencabut jenggot di muka umum itu artinya lebih dari menelanjangi. Kebanggaan seorang pria timur tengah adalah kebanggaan maskulin. Janggut adalah simbul maskulinitas sekarang dicabut di depan umum, selain sakit hal itu memalukan karena terkandung unsur menjadikannya seperti feminis. Demikian juga dengan dinodai dan diludahi adalah prilaku yang begitu menyakitkan. Namun, sang hamba bergeming. Dia taat tidak berpaling apalagi memberotak terhadap Allah.

Kini, gambaran samar tentang siapa hamba yang demikian itu menjadi sangat jelas, terang-benderang di dalam diri Yesus. Yerusalem menjadi saksi dari semua penggenapan Yesaya. Yesus yang memasuki gerbang Yerusalem, dielu-elukan dan disanjung pada akhirnya harus meminum cawan pahit. Dilemparkan ke luar Yerusalem dan dibunuh! Ketaatan-Nya menjadi sempurna dalam menunaikan misi Allah menyelamatkan dunia.

Dalam diri setiap insan, Allah punya rencana. Allah punya visi dan misi dalam diri kita. Seringkali yang menjadi penghambat tidak terlaksananya visi dan misi Allah adalah ketidaktaatan kita. Berbeda dari Yesus, kita selalu mengutamakan ambisi dan hasrat kita. Persis seperti orang Filipi, segala upaya dikerahkan agar orang menghargai dan menghormati kemudian diujungnya kita menuntut dimengerti, dipahami dan dilayani. Bisakah dalam hidup ini kita mengenali dan kemudian mengutamakan kehendak TUHAN? Tidak usahlah sama seperti Yesus menjadi budak dan kemudian disalibkan. Cobalah dengan hal-hal sederhana; apa yang dapat kita kerjakan, kerjakanlah sendiri atau bantulah mengerjakan pekerjaan orang-orang di sekitar kita tanpa banyak bicara meskipun secara strata sosial kedudukan kita berada di posisi atas. Beriman kepada Yesus yang setia dan bersedia mengosongkan diri seharusnya menjadikan kita pengikut-Nya bersedia menanggalakan sifat egois dan tinggi hati. Kemudian diganti dengan kepedulian dan penghargaan terhadap orang lain.