Kamis, 26 Maret 2015

MENGOSONGKAN DIRI, TAAT MEMIKUL SALIB


Palmarum 2015

Pernahkah kita merasa kesepian di tengah hingar-bingar keramaian pesta? Keadaan seperti ini biasanya terjadi karena orang-orang di sekitar kita tidak mengerti suasana hati kita atau sebaliknya, kita hanya mau mengerti diri sendiri. Ketika merasa sepi sendiri di tempat keramaian menghampiri Anda, apa yang Anda rasakan? Sudah pasti menyakitkan! Barangkali perasaan itu yang menghinggapi hati Yesus. Bagaimana tidak? Berulang kali Ia menyatakan maksud dan tujuan dari hidup, pelayanan serta misi-Nya di dunia ini, selalu saja tidak dipahami dengan benar bahkan oleh orang-orang-Nya yang terdekat sekalipun. Ia berbicara tentang kesengsaraan, penderitaan dan kematian-Nya, para murid tidak menerimanya. Mesias tidak layak dan tidak boleh menderita. Mesias harus tampil dengan gagah berani tandang untuk menumpas dan menaklukan musuh! Mesias harus mampu mengembalikan takhta kerajaan Daud.

Kini, ketika Yerusalem berada sejengkal lagi di hadapan mereka, alih-alih Yesus meminta mencarikan kuda tunggang, Ia menyuruh dua orang murid-Nya untuk meminjam keledai (Markus 11:1-11). Sama sekali bukan kendaraan perang, melainkan kendaraan niaga atau tunggangan transportasi pada masa damai. Meski tak mengerti, akhirnya kedua murid itupun melakukan seperti apa yang diperintahkan Sang Guru. Mungkin saja dalam benak, mereka berpikir tidaklah mustahil Yesus bisa menyulap keledai menjadi kuda yang gagah. 

Kini mulailah arak-arakan bak karnaval itu terjadi. Yesus memasuki Yerusalem. Yesus tidak menyulap keledai jadi kuda. Keledai tetaplah keledai. Yerusalem geger! Dengan spontan orang-orang memetik daun palem, memotong ranting-ranting dan kemudian melambai-lambaikannya. Sebagian lagi merasa tidak cukup hanya dengan daun palem dan ranting pohon, mereka membuka baju dan kemudian mengelar baju-baju itu tepat di jalan yang akan diinjak keledai yang dikendarai Yesus. Hosana! Hosana! Demikianlah pekik elu-elu mereka yang ditujukan kepada Yesus yang terus meluncur menuju gerbang Yerusalem.

Hosana! Selamatkanlah kami sekarang! Meski hanya menunggang keledai, harapan orang banyak terhadap Yesus sebagai Mesias yang digdaya sakti mandra guna terus menghinggapi pikiran mereka. Betapa tidak, tanda dan mujizat yang mereka sudah lihat, dengar dan rasakan sudahlah lebih dari cukup untuk menyakinkan diri bahwa tidak salah lagi yang sekarang sedang lewat dan disanjung itu adalah mesias impian mereka!

Namun, kita tidak pernah tahu apa yang Yesus rasakan dan pikirkan, apakah Ia tersanjung dengan sambutan yang begitu meriah? Apakah Ia tergoda untuk mewujudkan keinginan sebagaian besar penduduk Yerusalem dan sekitarnya untuk mewujudkan impian mereka. Kini, dukungan politik sudah ada dan kuasa yang dimiliki-Nya pasti mumpuni untuk mewujudkan mimpin-mimpi mesianik mereka, tinggal kemauan saja. Ataukah hatinya justeru sedang tersayat-sayat mengingat mereka yang sekarang memuja-Nya setengah mati, beberapa hari kemudian akan berbarik dengan teriakan, “salibkan Dia! Salibkan Dia!”

Sepi di tengah keramaian dan sanjungan, barangkali itulah yang tepat untuk menggambarkan suasana bathin Yesus. Setapak demi setapak kaki keledai itu terus menginjak daun-daun palem dan baju-baju pemuja-Nya. Setapak demi setapak, Dia juga harus terus berusaha mengosongkan ego itu. Ya, ego menaklukkan musuh, ego berkuasa! Yang oleh Paulus direfleksikan dengan kenosis, mengosongkan diri.

Anda dapat membayangkan, Yesus yang setara dengan Allah. Tentu punya kemampuan bahkan lebih dari yang diimpikan oleh para penyanjung-Nya di gerbang menuju Yerusalem harus mengosongkan diri arti-Nya tidak menganggap kesetaraannya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Bukankah ini kebalikan dari naluri manusia? Bukankah dengan apa yang ada pada diri manusia, diri Anda dan saya, kita berusaha menggapai apa yang kita inginkan. Bahkan yang tidak ada pun dalam diri kita, kita mati-matian mengadakannya untuk memenuhi hasrat dan ambisi kita. Contoh masyarakat Filipi menjadi jelas. Mereka melakukan segala upaya agar disegani dan dihormati. Dengan penghormatan dan orang lain menjadi segan maka seseorang dapat menuntut orang lain menghormati dan melayaninya.
Yesus tidak demikian, kata Paulus. Yesus telah merendahkan diri-Nya sedemikian rupa. Menanggalkan semua kuasa dan kehormatan-Nya. Yang semula setara dengan Allah, kini Ia rela menanggalkannya mengambil rupa manusia. Tidak berhenti di situ. Proses pengosongan diri itu terus meluncur sampai titik nadir. Ia menjadi hamba dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib. Kematian yang tidak di harapkan oleh setiap orang!

Di sini kita bisa merasakan pergumulan hebat mulai terasa. Barangkali dengan mata tajam namun sedih melihat sambutan meriah namun kosong makna. Yesus terus melangkah memasuki Yerusalem. Di kota ini Ia datang bukan untuk konser meriah. Tetapi di Yerusalemlah Ia akan ditangkap, diadili dan dituduhkan kepada-Nya tuduhan-tuduhan rekayasa yang mengharuskan-Nya dihina, disesah dan dibunuh. Pernahkah kita menggumulinya, mengapa Ia rela melakukan itu semua, padahal bisa saja, dengan kuasa dan dukungan massa yang dimiliki-Nya, Ia mengelak? Hanya ada satu jawaban, yakni ketaatan-Nya kepada Sang Bapa. Yesus tahu dan mengerti benar tujuan dari Sang Bapa mengutus-Nya ke dalam dunia. Hal ini sangat kontras dengan para murid dan orang banyak yang tidak mengerti tentang kemesiasan-Nya.

Adalah Yesaya yang memberikan gambaran samar tentang nubuat itu. Yesaya pernah menggemakan penderitaan seorang Tuhan. “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut jenggotku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yesaya 50:6). Gambaran ini adalah penderitaan paripurna. Memukul secara fisik, mencabut jenggot di muka umum itu artinya lebih dari menelanjangi. Kebanggaan seorang pria timur tengah adalah kebanggaan maskulin. Janggut adalah simbul maskulinitas sekarang dicabut di depan umum, selain sakit hal itu memalukan karena terkandung unsur menjadikannya seperti feminis. Demikian juga dengan dinodai dan diludahi adalah prilaku yang begitu menyakitkan. Namun, sang hamba bergeming. Dia taat tidak berpaling apalagi memberotak terhadap Allah.

Kini, gambaran samar tentang siapa hamba yang demikian itu menjadi sangat jelas, terang-benderang di dalam diri Yesus. Yerusalem menjadi saksi dari semua penggenapan Yesaya. Yesus yang memasuki gerbang Yerusalem, dielu-elukan dan disanjung pada akhirnya harus meminum cawan pahit. Dilemparkan ke luar Yerusalem dan dibunuh! Ketaatan-Nya menjadi sempurna dalam menunaikan misi Allah menyelamatkan dunia.

Dalam diri setiap insan, Allah punya rencana. Allah punya visi dan misi dalam diri kita. Seringkali yang menjadi penghambat tidak terlaksananya visi dan misi Allah adalah ketidaktaatan kita. Berbeda dari Yesus, kita selalu mengutamakan ambisi dan hasrat kita. Persis seperti orang Filipi, segala upaya dikerahkan agar orang menghargai dan menghormati kemudian diujungnya kita menuntut dimengerti, dipahami dan dilayani. Bisakah dalam hidup ini kita mengenali dan kemudian mengutamakan kehendak TUHAN? Tidak usahlah sama seperti Yesus menjadi budak dan kemudian disalibkan. Cobalah dengan hal-hal sederhana; apa yang dapat kita kerjakan, kerjakanlah sendiri atau bantulah mengerjakan pekerjaan orang-orang di sekitar kita tanpa banyak bicara meskipun secara strata sosial kedudukan kita berada di posisi atas. Beriman kepada Yesus yang setia dan bersedia mengosongkan diri seharusnya menjadikan kita pengikut-Nya bersedia menanggalakan sifat egois dan tinggi hati. Kemudian diganti dengan kepedulian dan penghargaan terhadap orang lain.

Jumat, 20 Maret 2015

SIAPA MENCINTAI NYAWA AKAN KEHILANGAN NYAWANYA


Pra-paska V

“Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” (Yohanes 12:25)

Sepenggal kalimat di atas adalah bagian dari tanggpan Yesus ketika ada beberapa orang Yunani memohon kepada Filipus agar mereka dipertemukan dengan Yesus. Orang Yunani terkenal sebagai orang yang haus mencari hikmat. Mereka ada di pelataran Bait Allah ketika Yesus memporak-porandakan para pedagang hewan dan penukar uang. Mungkin saja orang-orang Yunani ini merasa takjub dengan apa yang dilakukan Yesus. Bagaimanapun juga mereka merasa terganggu dengan keberadaaan para penjual ternak dan pedagang valas itu. Mereka ada di pelataran Bait Allah tentu ingin memahami iman Yudaisme. Hanya di pelataranlah tempat maksimal mereka boleh mendekat. Di sanalah mereka dapat merenungkan tentang ajaran-ajaran Yahudi. Bagaimana bisa merenung dengan baik jika tempat itu jadi begitu pengap, bau kotoran ternak dan orang sibuk dengan urusan bisnisnya. Kini, tampil Yesus, seorang pemberani. Ia mengusir semua pedagang ternak dan pedagang valas. Patilah orang-orang Yunani takjub sehingga mereka ingin bertemu dan belajar dengan Yesus.

Orang-orang Yunani itu menyampaikan keinginan mereka untuk berjumpa dengan Yesus kepada Filipus, seorang yang berasal dari Betsaida, Galilea. Mungkin mereka juga berasal dari daerah yang sama. Filipus menyampaikannya kepada Andreas. Mereka berdua sepakat untuk meneruskan keinginan orang-orang Yunani ini kepada Yesus. Lalu bagaimana tanggapan Yesus? Alih-alih Yesus menjawab boleh atau tidaknya orang-orang Yunani itu bertemu dengan-Nya, Yesus menjawab, kata-Nya, “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan.” (Yoh.12:23). Yesus memakai kesempatan ini untuk mengajar para murid-Nya tentang pelajaran yang rumit, yakni tentang Anak Manusia yang harus menderita dan mati.

Tentu saja, lontaran jawaban Yesus itu tidak ditujukan untuk orang-orang Yunani yang ingin bertemu dengan-Nya. Sebab kecil kemungkinan bahwa mereka mengerti tentang “konsep” Anak Manusia. Pemahaman Anak Manusia hanya dikenal dalam kalangan komunitas Yahudi. Ide tentang Anak Manusia itu terekam dalam Daniel 7:1-8. Di sana dilukiskan tentang kerajaan-kerajaan dunia yang telah berkuasa, Asyur, Babel, Media dan Persia. Semuanya bertindak begitu kejam dan sadis, biadab dan sama sekali tidak berprikemanusia sehingga mereka hanya bisa disamakan seperti binatang-binatang, gambaran itu : singa dengan sayap-sayap burung rajawali, beruang dengan tiga tulang rusuk masih ada di dalam mulut, di antara giginya, macan tutul dengan empat sayap di atas punggungnya dan mempunyai empat kepala, dan binatang keempat adalah seekor binatang yang manakutkan dengan gigi-gigi dari besi dan mempunyai sepuluh tanduk. Jangan mencoba mencari binatang-binatang seperti ini di dunia nyata. Ini bukan binatang sungguhan, ini merupakan simbolisasi dari kekuatan-kekuatan detruktif. Kekuasaan tiran, kejam, penindas, pemeras dan haus darah akan selalu ada pada sepanjang zaman.

Dalam kondisi demikian tentu menjadi impian bagi setiap orang yang sedang tertindas dan teraniaya akan datangnya suatu era baru dengan kekuasaan baru yang cinta damai, lemah-lembut, murah hati dan manusiawi. Kekuasaan seperti itu tentu tidak cocok dengan gambaran binatang, apalagi binatang buas yang mengerikan. Gambaran yang tepat untuk kekuasaan yang diimpikan adalah gambaran manusia itu sendiri, karena manusia berbeda dari binatang! Bagian ini menunjukkan bahwa zaman kebiadaban atau zaman jahiliah itu akan segera lewat dan kini datang zaman baru; zaman kekuasaan Anak Manusia!

Inilah zaman yang menjadi impian orang Yahudi, yakni: zaman keemasan di mana hidup dirasakan manis, bebas dari penindasan. Sampai di sini, pemahaman mereka akan sebuah zaman baru sangat baik dan ideal. Namun, pengharapan itu ternyata tidak berhenti di sana. Mereka yakin ketika zaman itu tiba, merekalah yang akan menjadi penguasanya. Ya, penguasa dunia! Tetapi mereka juga harus realistis, bagaimana zaman itu akan datang? Mungkinkah sekarang? Sementara mereka adalah bangsa yang kecil, lemah dan sekarang sedang tertindas oleh kekuasaan imperium Romawi. Untuk mengatasi persoalan pengharapan mesianik ini, sebagian orang Yahudi percaya bahwa zaman  itu datang harus dengan intervensi langsung dari Tuhan. Sebab, tidaklah mungkin bangsa yang kecil dan lemah akan dapat menjadi penguasa dunia. Mereka percaya bahwa Tuhan akan mengutus pahlawan-Nya untuk menguasai dunia ini. Dengan menoleh ke belakang, pada kitab Daniel mereka menyebut pahlawan itu dengan sebuta Anak Manusia. Dan ketika Yesus menyebut bahwa sekarang ini tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan, pastilah hati mereka berbunga-bunga. Tidak salah lagi, yang sedang berbicara ini adalah Anak Manusia yang tidak mungkin dapat dikalahkan, Sang Mesias yang akan membawa mengangkat derajat mereka untuk menguasai kancah dunia! Bukankah mujizat dan tanda-tandanya telah nyata?

Akan tetapi, Yesus tidak memaksudkan kata “dimuliakan” sama seperti yang dibayangkan dalam benak mereka. Yang Yesus maksudkan dengan “dimuliakan” adalah peristiwa penyaliban-Nya, buka penaklukan. Demikian pula yang Yesus maksudkan dengan Anak Manusia bukanlah sosok pahlawan gagah perkasa yang menumpas para lawan Yahudi dan kemudian mengangkat mereka menjadi pemenang dan penguasa dunia. Tetapi yang dimaksudkan-Nya adalah kemenangan di atas kayu salib! Tentu saja mulanya para murid gembira dengan pernyataan bahwa kini tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan namun kemudian mereka menjadi bingung oleh karena Anak Manusia itu kini berbicara tentang pengorbanan dan kematian. Mereka mulai kecewa, maka tidaklah mengherankan jika mereka tidak dapat mengerti Dia bahkan mereka mencoba menolak gagasan Anak Manusia versi Yesus.

Dalam keheranan dan penolakan para murid tentang pengorbanan dan kematian, Yesus mengatakan bahwa barangsiapa mencintai nyawanya ia akan kehilangan nyawanya tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya, ia akan mendapatkannya untuk kehidupan yang kekal. Tentu kalimat ini juga sulit dicerna. Bagaimana mungkin seseorang tidak mencintai nyawanya sendiri. Ilmu pengetahuan moderen telah berhasil menemukan bahwa dalam tubuh manusia saja begitu banyak sistem pertahanan tubuh; ada sistem imun yang memproteksi tubuh dari pelbagai virus penyakit, ada sistem pertahanan fisik, misalnya dalam kulit manusia ada penghalang fisik untuk mencegah patogen masuk dalam tubuh, ada pertahanan mekanik dan reflek sehingga manusia dapat terhindar dari ancaman mendadak, ada pertahanan kimia, ada pertahanan psikologis dan lain sebagainya. Bukankah itu semua diciptakan oleh yang Mahakuasa untuk melindungi tubuh manusia dan sekaligus juga dampaknya melindungi nyawa. Lalu bagaimana mungkin kalau Allah menciptakan manusia dengan proteksi dan naluri untuk melindungi diri, sementara Yesus menganjurkan untuk tidak mencintai nyawa sendiri bahkan cenderung meremehkan nyawa manusia!  Apakah benar pernyataan Yesus ini mengandung pengertian meremehkan nyawa manusia?

Tentu saja yang dimaksud Yesus bukan itu. “Mencintai nyawa” dalam kalimat ini harus dikaitkan dengan pemahaman orang yang diajak bicara, yakni para murid. Di awal kita menyimak bagaimana pemikiran mereka tentang Anak Manusia yang dimuliakan. Mereka menghendaki penaklukan atas kuasa dan bangsa lain. Pendeknya, mereka mengingikan kekuasaan seperti kuasa duniawi ini. Sejajar dengan semangat mereka, maka “mencintai nyawa” berarti orang yang menginginkan dalam hidup ini nafsunya dapat tersalurkan, segala keinginannya terpuaskan; dalam konteks murid-murid Yesus, keinginan manaklukan dan berkuasa itu terlaksana. Nah, jika ini yang terjadi lalu, ketika Yesus berbicara tentang Anak Manusia – seandainya saja Ia meluluskan apa yang diinginkan para murid -, pertanyaannya apa bedanya “Anak Manusia” dengan “binatang buas”?

Yesus datang kepada orang Yahudi dengan pandangan hidup yang baru. Mereka memandang kemuliaan sebagai penaklukan, mendapatkan kekuasaan, dan hak untuk memerintah. Yesus katakan tidak. Bukan begitu! Melainkan salib. Dia mengajarkan hanya dengan jalan melepaskan kepentingan diri sendiri, berjuang untuk kebaikan bersama, sekalipun kematian merenggutnya maka di situlah letak kehidupan yang kekal. Yesus mengajarkan bahwa hanya dengan mengorbankan kehidupan (baca: keinginan dan ambisi akan kehidupan nyaman dan nikmat) kita mendapatkan kehidupan yana kekal. Hidup kekal tidak harus diartikan dalam skala kuantitas artinya hidup dengan umur panjang yang tidak ada matinya. Imortalitas. Hidup kekal dapat berati kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang berkualitas, hidup tulen. Meskipun pada umumnya sulit dimengerti namun, apa yang diajarkan Yesus sangat logis. Lihatlah dalam sejarah dunia. Dunia saat ini berhutang terhadap orang-orang yang meninggalkan ruang nyamannya kemudian berjuang untuk kesejahteraan bersama. Ada tokoh-tokoh seperti Polikarpus Uskup Smirna, Martin Luther King Jr. Bunda Teresa, Mahatma Gandhi, Bay Fang Lie, Fransiskus dari Asisi dan banyak lagi, mereka telah membuktikan bahwa nama mereka, spirit mereka tetap hidup sampai kini. Mereka rela kehilangan apa yang paling berharga dalam hidup ini, yakni nyawanya. Namun dunia tetap menganggap mereka hidup dan kita semua berhutang, hutang kemanusiaan terhadap mereka. Yesus telah lebih dulu membuktikannya. Masa hidupnya tidak lebih dari 33 tahun. Namun, nama-Nya tetap hidup sampai kekal, karena Ia tidak mempertahankannya demi pemuasan ambisi manusia. 

Pertanyaanya buat kita sekarang, apakah saat ini kita sedang “mencintai nyawa” kita? Hidup yang menuntut orang lain melayani? Ataukah justeru kini kita tidak menyayangkan apa pun termasuk yang paling berharga, yakni nyawa kita sendiri demi menciptakan tatanan hidup yang Tuhan kehendaki, yakni kasih, keadilan, kebenaran dan keutuhan ciptaan!