Jumat, 07 November 2014

MENGAPA MELAYANI?

SØren Kierkegaard, seorang teolog dan filsuf berkebangsaan Denmark (5 Mei 1813-11 November 1855), menyatakan bahwa kita menjalani hidup dengan menatap ke depan dan memahaminya dengan cara menoleh ke belakang. Kedua persfektif: menoleh ke belakang dan menatap ke depan tidak mesti saling eklusif dan dipertentangkan satu dengan yang lain. Sasaran yang kita miliki akan menentukan fokus perhatian kita. Jika kita ingin memahami apa yang sudah terjadi, mungkin kita perlu kembali ke masa lalu. Di sana, kita sangat mungkin mendapatkan pelajaran berharga dari masa lalu itu. Dan, tentu saja hal ini menjadi penting bagi hidup kita masa kini. Sebagai contoh, anak yang kakinya terbakar karena menyentuh knalpot sepeda motor akan belajar untuk tidak menyentuh lagi benda itu. Namun, perlu disadari mengingat masalalu itu tidak selalu menyenangkan.

Jika hidup adalah tentang apa yang ada di masa depan, ke sanalah tatapan mata kita harus diarahkan. Sebagai sebuah spesies, kita dilengkapi kemampuan untuk menatap dan bergerak ke depan. Kita punya mata di bagian depan kepala dan anatomi tubuh kita dibangun untuk bergerak ke depan dengan mudah dan cepat. Sebaliknya, gerakan mundur kita canggung dan tidak efisien. Fisiologi dan psikologi kita berinteraksi dengan erat dalam perspektif ini. Jika kita menundukan kepala dan menatap ke bawah, kita menjadi introspektif dan suasana hati kita bisa dengan mudah berputar ke arah depresi. Ketika kita berdiri tegak, manatap ke depan, dan cita-cita kita membentang di hadapan kita, kita merasa lebih baik dan bersemangat secara fisik maupun emosi. Namun, hidup tidak melulu tertunduk melihat ke bawah dan tidak selamanya tegak ke depan. Hidup adalah sekarang! Hidup adalah menikmati masa-masa lalu sambil menentukan arah bagi masa depan.

Menjelang ajalnya dan ketika generasi baru Israel siap menempati tanah perjanjian, Yosua mengumpulan segenap pemuka Israel. Mereka diajak menerawang kembali ke masa lalu. “...Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain. Tetapi Aku mengambil Abraham, bapamu itu, dari seberang sungai Efrat, dan menyuruh dia menjelajahi seluruh tanah Kanaan. Aku membuat banyak keturunannya dan memberikan Ishak kepadanya” (Yosua 24:2-3). Dari pemanggilan Abraham itulah Allah berkarnya membentuk sejarah Israel dan keselamatan bagi umat manusia. Pernyataan Yosua ini mengingatkan Israel bahwa leluhur meraka sebelumnya beribadah kepada allah lain. Dengan demikian sebenarnya, tanpa insiatif Allah, Israel tidaklah layak di hadapan Allah. Pernyataan itu pula yang menyiratkan bahwa TUHAN adalah Allah yang berdaulat mutlak dan bertindak berdasarkan kebebasan serta rakhmat-Nya.

Lalu, Yosua meneruskan dengan kisah perjalanan panjang bangsa itu. Musa diutus untuk membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Berulang kali bangsa itu bersungut-sungut namun Allah tetap setia menyertai umat-Nya itu. Kemenangan demi kemenangan diberikan-Nya atas bangsa-bangsa lain hingga mereka memasuki tanah perjanjian itu. Jadi, Israel berkembang dan kini menguasaan Kanaan bukan karena kekuatan sendiri, Allahlah yang berperan di balik semua itu! Kini, Yosua sebelum mengakhiri hidupnya dan melepas bangsanya untuk hidup di masa depan di tanah perjanjian, ia meminta  agar bangsa itu, “...takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus iklas dan setia. Jauhkanlah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di  seberang sungai Efrat dan di Mesir dan beribadahlah kepada TUHAN.” (Yosua 24:14)

Yosua meminta bangsa itu beribadah kepada TUHAN. Kata “beribadah” berasal dari kata Ibrani abd yang berarti bekerja, bekerja bagi yang lain, dan melayani. Dengan demikian, pada hakekatnya kata abd (avodah atau ibadah) bukanlah melulu pada suatu tindakan ritual keagamaan. Lebih jauh dari itu: prilaku, etos kerja dan segala apa yang dikerjakan umat dalam kehidupan sehari-hari merupakan manifestasi dari ibadah itu sendiri. Jadi, ketika Yosua meminta bangsa Israel untuk beribadah kepada TUHAN, itu artinya seluruh prilaku, karya dan tindakan serta pelayanan pada hakekatnya ditujukan untuk menyenangkan dan memuliakan TUHAN.

Mengapa beribadah dan melayani TUHAN? Bagi Yosua, sangat jelas dari pengalaman masa lalu  tentang TUHAN yang memanggil leluhurnya lalu membentuk jati diri bangsanya dan kemudian penyertaannya sampai pada masa tuanya membuat dirinya tidak bisa mengatakan atau menunjuk allah lain yang kepada-Nya ia dan seisi rumahnya beribadah! Yosua mengajak umat untuk menghayati tugas beribadah dan melayani bukan sekedar kewajiban, aktualisasi diri, menyalurkan bakan atau hobi melainkan menghayati seluruh karya keselamatan Allah yang telah mereka alami. Itulah sumber spiritualitas.

Belajar dari kisah Yosua dan bangsanya, kita hanya dapat beribadah dengan tulus dan iklah kepada Allah jika kasih dan karya keselamatan-Nya nyata dalam pengalaman hidup kita. Sulit bagi kita dapat beribadah dan melayani-Nya dengan benar, jika kasih-Nya yang besar itu tidak pernah kita alami.

Teri, adalah sosok pria atletis yang sangat bugar, gemar bersepeda, mendaki tebing, dan menjelasjah gua. Akhir “hidupnya yang pertama” adalah ketika ia sedang menuruni sebuah tebing terjal di mulut sebuah gua. Ia memegang sebuah tonjolan batu pada tebing itu, tetapi tiba-tiba tonjolan tebing itu lepas. Sebelum pingsan, ia sempat sadar bahwa ia sedang meluncur jatuh dari ketinggian 60 meter, dan terhembpas di tanah seperti seonggok daging berlumuran darah dengan kedua lutut remuk, kaki lengan, rusuk patah, paru-paru tertusuk benda tajam dan batok kepala retak.

“Kehidupan kedua” Teri dimulai di rumah sakit ketika ia siuman kembali dan sadar bahwa dirinya telah “dilahirkan kembali”. Baginya, segala-sesuatu kini tampak lebih terang, lebih berkesan, lebih bermakna. Sampai tiga puluh tahun kemudian Teri masih bercerita bahwa “kehidupan kedua” telah mengubah sikap hidupnya sehari-hari secara menyeluruh. Baginya, hidup setiap hari adalah sebuah karunia, maka ia menjalaninya dengan menikmati setiap detik di dalamnya. Ia dikenal sebagai orang yang penyayang dan penuh semangat kasih, ditambah bakat yang membuatnya dapat menghibur orang lain dengan kemurahan hati dengan selera humorisnya. Dengan kata-katanya sendiri, ia bertutur demikian, “Apabila Anda beruntung diberi kesempatan kedua untuk hidup, itu akan membuat Anda memandang segala sesuatu secara berbeda dan lebih menghargai apa pun yang Anda peroleh!”

“Kesempatan hidup kedua”, “dilahirkan kembali”, rasanya prasa itu tidak asing bagi kita. Kristus yang dapat memberikannya. Setiap orang yang menyadari dosa dan kehidupan lamanya yang tidak beres kemudian datang kepadaNya, pasti selalu ada kesempatan. Bukankah dengan barang fana Dia menebus dosa kita, tetapi dengan darah yang mahal (1 Petrus 1:18).

Nah, sekarang masalahnya apakah kita dapat menggunakan kesempatan “hidup kedua” itu dengan baik atau tidak. Seharusnya, setiap orang yang mengenal Kristus ia akan mengalami dan merasakan cinta kasih-Nya. Pengalaman itulah yang mendorong kita “dilahirkan kembali” sehingga dampaknya apa yang kita lakukan adalah wujud dari ungkapan syukur dan terimakasih kita. Kini, kita akan dapat beribadah dan melayani-Nya dengan tulus dan setia bukan hanya di gereja dan di tempat-tempat pertemuan ibadah namun di seluruh hidup kita. Sehingga, sama seperti Teri, hidup kita diubahkan: setiap hari adalah sebuah karunia, setiap hari bahkan setiap saat adalah kesempatan untuk  melayani-Nya melalui sesama yang hadir dalam kehidupan kita. Setiap haris akan terasa kurang untuk melayanilah. Cobalah rasakan dan alami kasih-Nya, niscaya hidup ini akan indah....

Jumat, 31 Oktober 2014

ALLAH MENGARUNIAKAN KELELUASAAN HIDUP


Sampai hari ini gonjang-ganjing politik tampaknya belum menunjukan tanda-tanda mereda. Pagi ini (31 Oktober 2014), ditemani semangkok bubur kacang ijo saya menikmati lembar pertama koran Kompas. “DPR Semestinya Bersatu” judul besar yang memuat wawancara dengan berbagai tokoh nasional mengenai kegaduhan di parlemen kita.

“Koalisi Merah Putih ataupun Koalisi Indonesia Hebat seharusnya sadar, pemilu sudah usai. Masyarakat pun sudah menerima hasil pemilu. Jadi seharusnya partai politik bersatu. Bersatunya partai politik itu menjadi cermin kuatnya demokrasi...Sebaiknya memang Koalisi Merah Putih membuka diri, memasukkan perwakilan Koalisi Indonesia Hebat di pimpinan alat kelengkapan dewan....Namun, jika KMP tetap pada posisinya, KIH harus rela menyerahkan semua posisi pimpinan di dewan ke KMP...” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jilmy Asshiddiqie.

Hal senada diungkapkan oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang prihatin atas kekrisruhan di DPR yang berujung pada dibentuknya  DPR tandingan. Menurutnya, hal ini menunjukkan para politisi belum mampu mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan kelompok dan pribadi. Para politisi seharusnya mampu mengedepankan musyawarah dalam memecahkan persoalan bangsa.

Dari dua ungkapan tokoh tersebut setidaknya kita mendapat gambaran bahwa umumnya elit politik mengejar kekuasaan bukanlah dalam semangat membesarkan bangsa, membangun masyarakat yang lebih maju baik mental, spiritual maupun ekonomi melainkan lebih pada pemuasan ego sektoral: pribadi, keluarga, golongan, etnis dan partainya. Kekuasaan dipandang sebagai alat untuk membangun kebesaran diri sendiri. Maka tidaklah mengherankan, untuk meraihnya pelbagai cara dilakukan termasuk cara-cara keji dan kotor.

Kita menyaksikan wakil rakyat dan para pejabat dapat melanggeng dengan ijazah palsu. Kita dapat melihat gelar palsu pencitraan bertebaran di ranah publik. Siapa sebenarnya mereka? Mereka adalah cermin anak bangsa yang lebih menghargai simbol kosong, status palsu, untuk membodohi bawahan, kalau ia seorang pemimpin.  Atau untuk membohongi penggemar, kalau ia adalah seorang public figure. Atau untuk menipu rakyat, kalau ia seorang wakil rakyat. Atau untuk memanipulasi umat dengan ayat-ayat janji sorga, kalau ia seorang pendeta atau ustazd. Yang ingin disampaikan lewat sandiwara kepalsuan ini adalah, “Aku manusia bodoh yang pintar membungkus kebodohanku.” Jelas pejabat-pejabat seperti ini tidak bisa diteladani.

Pada jaman-Nya, Yesus menegur para elit pejabat agama Yahudi (Matius 23:1-12). Mereka adalah ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka hanya memiliki otoritas dalam jabatanya, tetapi tidak memiliki integritas dan kredibilitas. Maka Yesus mengingatkan kepada para pengikut-Nya, “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi kamu jangan turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.” (Mat. 23:3).

Berebut nama besar, populer dan punya otoritas rupanya telah lama menggoda manusia. Mengapa demikian? Tentu, kita semua memakluminya bahwa di balik itu ada sederet penghormatan, fasilitas, keuntungan, dan yang semacam itu. Berbeda dari kebanyakan orang, tokoh Alkitab yang satu ini tidak memaksakan diri menjadi pemimpin dan kemudian minta dihormati. Justeru, ia memaknai bahwa kepemimpinan itu dipergunakan seluas-luasnya agar karya Allah nyata di tengah-tengah umat-Nya. Namanya: Yosua bin Nun dari suku Yusuf (separuh keturunan Efraim) yang lahir di Mesir. Pada waktu orang Israel keluar dari Mesir, ia masih belia (Kel.33:11). Dia diberi nama Hosea (Ibr. Hosyea ‘keselamatan’, Bil. 13:8), tetapi kemudian Musa memanggilnya dengan Yosua (Ibr.yehosyua, ‘Tuhan keselamatan’, Bil.13:16).Yosua dipilih Musa untuk menjadi pembantu pribadinya dan ia hadir di gunung saat Musa menerima Taurat (Kel. 24:13, dst). Yosua juga menjadi penjaga kemah pertemuan pada saat Musa bertemu dengan Tuhan (Kel. 33:11). Selanjutnya Yosua diberi tanggung jawab memimpin bala tentara Israel yang ditugaskan untuk memukul mundur serangan Amalek di  Rafidim, Gurun Sinai. Kemudian ia menjadi salah seorang dari keduabelas pengintai tanah Kanaan, dan bersama Kaleb, memberi laporan yang mendorong Israel untuk memasuki Kanaan. Akhirnya ia diangkat oleh Tuhan menggantikan Musa.

Benar pada akhrinya Tuhan sendirilah yang memberikan mandat kepada Yosua. Namun, jangan kita lupa “karier politik” Yosua di tengah bangsanya. Mungkin, di antara teman seaangkatannya dialah yang paling banyak dicatat dalam Alkitab sebagai seorang yang setia, penuh dedikasi dan berpandangan positif tentang rencana Tuhan buat umat-Nya. Yosua bukan pemimpin karbitan, ia mau dibentuk oleh Tuhan sejak masa mudanya. Sehingga sangatlah tepat Tuhan memilih Yosua. Tuhan membesarkan namanya, “Pada hari inilah Aku mulai membesarkan namamu di mata seluruh orang Israel, supaya mereka tahu, bahwa dahulu Aku menyertai Musa, demikianlah Aku menyertai engkau.” (Yosua 3:7). Pernyataan Allah ini merupakan penegasan dari janjiNya dalam Yosua 1:5.

Dalam sejarah hidupnya, Yosua tidak pernah berupaya mempopulerkan atau mengkampanyekan dirinya supaya menjadi pemimpin Israel. Namun, Yosua membuka ruang agar Allah bertindak melalui dirinya. Dari pihak Allah, wujud kepercayaan dan pengesahan terhadap kepemimpinan Yosua dinyatakan melalui peristiwa mujizat di sungai Yordan. Sungai itu terbelah, ini mengingatkan bangsa Israel pada peristiwa laut Teberau, sehingga bangsa Israel dapat menyeberang di tempat yang kering. Pengesahan dan mujizat Allah yang menyertai kepemimpinan Yosua menandakan bahwa Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya. Jadi, kebesaran nama Yosua dalam kepemimpinannya adalah manifestasi kehadiran Allah di tengah umat-Nya.

Rasanya, bagi Yosua keberhasilan dalam memimpin bangsa Israel untuk memasuki tanah perjanjian dan berdampak namanya semakin besar, bukanlah menjadi tujuan utama dalam hidupnya. Dengan kata lain, Yosua tidak mencari popularitas dan kekuasaan. Melainkan, ia menyediakan hidup sepenuhnya sebagai media agar kehadiran TUHAN di tengah-tengah umat-Nya menjadi nyata!

Nama besar, kekuasaan, kehormatan akan datang dengan sendirinya jika saja seseorang mau menyediakan diri menjadi alat untuk kehadiran Allah di dunia ini. Lihatlah tokoh-tokoh sejarah dunia seperti Bunda Teresa, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, dll.  Dunia menghormati mereka bukan karena gelar, atau ambisinya dalam meraih kekuasaan. Melainkan karena apa yang diperjuangkan dan dikerjakan mereka.

Tuhan telah memberikan kesempatan hidup bagi setiap makhluknya. Ia memberikan kebebasan sejak awal penciptaan manusia. Apakah kebebasan atau keleluasaan hidup yang dikaruniakan kepada kita  telah digunakan dengan sebaik-baiknya? Hal yang terindah adalah, sama seperti Yosua, ia sebenarnya bebas menggunakan hidupnya tetapi ia memilih menyerahkan hidupnya agar dipakai seluas-luasnya oleh Tuhan sebagai alat-Nya untuk memimpin umat-Nya dalam menggenapi rencana-Nya sehingga umat Tuhan itu boleh leluasa hidup di negeri perjanjian. Bagaimana dengan kita? Apakah hidup ini kita gunakan dengan leluasa untuk memuaskan ambisi sendiri? Ataukah kita mau seperti Yosua?