Jumat, 20 Juni 2014

ANDAIKAN HITLER BANGKIT KEMBALI

Persembahan. Kata itu merupakan kata mulia, biasanya ditujukan kepada pihak yang lebih agung, tinggi atau mulia. Persembahan berasal dari kata dasar “sembah”, dalam rangka memuja, menghormati yang dianggap “Agung” itu, seorang insan memberikan sesuatu sebagai tanda baktinya, ada yang berupa hewan ternak, uang, wewangian dan seterusnya. Tujuannya agar yang disembah itu senang.

Nah, bagaimana kalau yang dipersembahkan itu adalah manusia yang dibakar, apakah Tuhan senang? Tentu, manusia waras akan mengatakan tidak! Namun, tunggu dulu, di dunia ini banyak orang tidak waras. Setidaknya itu yang dilakukan  Adolf Hitler. Hitler terkenal dengan holocaust. Holocaust berasal dari bahasa Yunani yang berarti persembahan pengorbanan yang terbakar sepenuhnya.

Hitler memakai holocaust sebagai alat untuk mempersembahkan manusia yang dibencinya kepada Tuhannya. Holocaust  atau genosida adalah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap sebuah kelompok atau suku bangsa dengan maksud memusnahkan bangsa tersebut dari muka bumi. Kaum Nazi Jerman melakukannya terhadap pelbagai suku bangsa yang dianggap musuhnya.

Adolf Hitler dikenal sebagai salah seorang diktator terkejam di muka bumi ini. Ia memimpin berdirinya kekaisaran Jerman yang mencakup seluruh wilayah Eropa. Seboyan yang diusungnya adalah “Bangsa Jerman adalah ras paling unggul di muka bumi.” Dan oleh karena itu dunia harus dipimpin serta diatur berdasarkan konsep keturunan dan ras bangsa yang unggul. Sejarah mencatat, tidak kurang enam juta jiwa menjadi korban kekejian Hitler.

Namun, sejarah kemudian dapat membuktikan bahwa Adolf Hitler melakukan kesalahan besar dalam hidupnya, karena bukti-bukti menunjukkan bahwa ternyata ia masih keturunan orang Yahudi dan Afrika, dua ras yang selama ini dia benci dan sekaligus ingin dimusnahkan lewat holocaustnya itu. Fakta itu ditemukan lewat serangkaian tes DNA dari keluarga Hitler yang masih hidup. Sampel DNA yang diambil dari kerabat dekat Hitler menunjukkan bahwa secara biologis ia terkait dengan manusia ras yang justeru ingin dilenyapkannya. Pengujian DNA itu dilakukan dengan ketat. Terlebih fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa ayah Hitler, Alois, adalah keturunan sah dari seorang perempuan bernama Maria Anna Schickelgruber dan seorang pria Yahudi yang bernama Frankenberger. “Ini hasil yang sangat mengejutkan!” Kata Rony Decorte, seorang pakar genetik manusia. Lebih lanjut ia mengatakan, “Sulit rasanya membayangkan reaksi dari para pembenci atau pendukung Hitler berdasarkan fakta ini.”

Seandainya saja Adolf Hitler bisa bangkit kembali dan mengetahui tentang kekeliruannya itu, mungkin ia akan melakukan bunuh diri untuk yang kedua kalinya. Begitu pula dengan korban kekejaman Hitler yang sudah menjadi roh di alam baka sana, mereka pasti akan menertawakan kebodohan sang diktator itu yang telah membenci, memusuhi, dan memusnahkan keturunannya sendiri!

Belajar dari kekeliruan Hitler, kita mestinya berlaku bijak dalam melihat perbedaan di antara kita. Manusia tidak pernah mengetahui asal-usulnya dengan tepat, baik melalui darah, suku, maupun ras yang mengalir di dalam dirinya. Karena dari dulu manusia terus mengalami interaksi satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku, agama, bangsa, ras. Lewat pernikahan dari satu suku bangsa dengan suku lainnya, manusia telah melahirkan anak-anak yang memiliki darah campuran. Itulah sebabnya mengapa manusia mengalami kesulitan mengetahu garis keturunannya dengan pasti, bahkan untuk mengetahui nenek moyangnya sekalipun. 

Begitu pula ketika kita melakukan tranfusi darah, kita hanya bisa memilih darh sesuai dengan golongan darah kita  tanpa bisa mengetahui asal muasalnya darah itu sendiri. Tidakk tertutup kemungkinan bahwa darah yang ditranfusi ke dalam tubuh kita berasal dari kelompok atau agama yang sedang kita benci sekarang. Apakah dalam keadaan kritis seperti itu, kita masih sempat untuk memperkarakan orang yang akan menolong hidup kita? Bisa jadi, sekarang di dalam tubuh kita mengalir darah keturunan ras, agama, suku yang kita benci. Siapa tahu!

Bersikap ekslusif dan memusuhi serta membenci kelompok tertentu lainnya yang ada di masyarakat adalah sebuah kekeliruan besar, kita hanya akan mengulangi kebodohan yang sama. Kebodohan Hitler!

TUHAN MENOLONG MEREKA YANG TERTINDAS

Seorang lelaki suatu ketika datang ke tukang cukur rambut untuk memangkas rambutnya yang sudah mulai menutupi bahu dan telinganya. “Bang, tolong gunting rambut saya. Pendek atau kalau perlu dibuat cepak, saya sudah gak tahan.” Pinta pria itu kepada tukang cukur. Mereka berdua asyik terlibat dalam pembicaraan. Sampailah kemudian si tukang cukur mengajukan pertanyaan iseng kepada lelaki itu, “Pak, apakah Anda termasuk orang yang percaya adanya Tuhan atau tidak?”

 “Wah, ya jelas! Tentu saja saya percaya adanya Tuhan. Keberadaan Tuhan tidak dapat diragukan lagi. Saya adalah orang yang yakin bahwa Tuhan bukan hanya sekedar ada tetapi Dialah pencipta langit, bumi pokoknya semua yang ada di jagat raya ini. Dan, Sobat, Anda mesti tahu bahwa Tuhan itu pun adalah Allah yang terus memelihara ciptaan-Nya sampai saat ini. Ya, sampai sekarang!” Jawab si pria itu dengan mantap. “Nah, sekarang bagaimana dengan Anda?” Pria itu balik bertanya.

“Oh, kalau saya justeru kebalikan dengan Bapak. Saya adalah orang yang tidak percaya adanya Tuhan. Apalagi kalau Tuhan itu disebut Maha pengasih dan Maha penyayang serta memelihara setiap makhluknya. Gak...,saya gak percaya?” Jawab si tukang cukur dengan mantap pula.

“Loh, mengapa Anda punya sikap seperti itu?”

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, si tukang cukur mengajak pelanggannya menoleh keluar jendela tempat seorang pengemis tua lusuh tengah mengais-ngais makanan di bak penampungan sampah. “Coba Bapak lihat pengemis itu!” pinta si tukang cukur, “Jika Tuhan benar-benar ada dan seperti yang Bapak bilang bahwa Tuhan pencipta, pemelihara, pengasih dan penyayang, mana mungkin Dia membiarkan ada orang menjadi miskin dan mengemis serta menderita kelaparan. Lalu di manakah sifat Tuhan seperti yang Bapak katakan tadi itu?”

Pria yang sedang dicukur itu diam seribu basa. Ia kesulitan untuk membantah apa yang dikatakan si Tukang cukur itu. Sebaliknya, si tukang cukur itu tersenyum simpul. Ia tampak bangga dengan kemenangan argumentasinya itu. Teman bicaranya tidak bisa membantah. Setelah selesai memangkas rambut dan membayar ongkosnya. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya. Pandangannya menembus jendela yang sama. “Tunggu, pak tukang cukur. Sekarang, aku mengerti dan punya sebuah keyakinan. Sebenarnya, tukang cukur itu tidak ada!” Kontan si tukang cukur kaget, “Lah, yang benar saja Pak, kan baru saja Bapak saya cukur, ini bayaran dari Bapak untuk jasa saya.” Si tukang cukur protes dan menunjukkan upah yang diberikan si bapak itu.

“Kalau benar, tukang cukur ada,” sambung pria itu sambil mengajak si tukang cukur mengarahkan pandangannya kepada seorang yang tidak waras dengan rambut dan jenggot panjang yang sudah gimbal tak terurus, “lihat itu, benarkan bahwa tukang cukur itu tidak ada. Sebab kalau ada, mengapa ada orang yang rambut dan jenggotnya tidak terurus seperti itu?”

“Ha..ha..ha..Bapak ini bisa saja. Itu bukan karena tukang cukurnya yang tidak ada, tetapi merekanya yang tidak mau datang dan meminta pertolongan saya.” Jawab si pemangkas rambut sambil menyisakan senyum di bibirnya. “Kalau begitu, apa bedanya dengan pernyataan Abang tentang keberadaan Tuhan tadi? Tuhan itu ada dan tetap berkarya, cuma kitanya yang tidak mau datang! Kalau begitu skor kita satu-satu ya Pak. Nanti kita ngobrol lagi ya!”

Sayang, keberadaan Tuhan dan karya-Nya telah banyak menyita waktu bahkan korban yang tidak sedikit. Keberadaan dan karya-Nya banyak diperdebatkan, dipertentangkan dan kemudian terjadi konflik. Alih-alih merasakan dan mengalami eksistenti Tuhan, orang lebih suka seperti dialog di tempat pangkas rambut itu. Merasa diri benar dengan argumennya dan setelah itu memandang rendah orang lain yang tidak sejalan dengan pola pikirnya. Hakekat jati diri dan karya Sang Tuhan sebagai Sang Pengasih, Penyayang dan Pemelihara cenderung terabaikan.

Salah satu contoh yang terus diperdebatkan orang sampai kini adalah tentang keturunan sah Abraham: Apakah Ismail atau Ishak? Banyak orang telah menghabiskan waktu dan karyanya untuk mempertahankan bahwa Allah lebih merestui anak yang satu ketimbang yang lainnya. Bagi kalangan Yahudi dan Kristen, sangat jelas yang lebih banyak dibicarakan dan menjadi legitimasi keturunan sah janji Allah adalah Ishak. Ishaklah anak yang dikehendaki Tuhan sebab dari sanalah akan datangnya umat pilihan Allah yakni Israel dari Israel pula akan muncul Sang Mesias. Sebaliknya, umat Muslim percaya bahwa keturunan yang direstui Allah adalah Ismael. Coba kita hening sejenak. Untuk perdebatan ini sudah memakan berapa banyak energi, waktu, bahkan korban? Tidakkah kita tergoda untuk melihat bagaimana Allah memihak?  Allah memihak bukan kepada kebanggaan manusia. Namun, Dia adalah Tuhan yang memihak kepada orang yang tertindas!

Dalam konteks Hagar dan Sarai. Hagar adalah hamba Sara yang sengaja diberikannya kepada Abram, sebab Sarai pesimis tidak bisa memberikan keturunan kepada sang suami. Status budak membuat Hagar tidak bisa menolak permintaan Sarai. Namun, ketika Hagar mengandung ia menganggap rendah dan menghina sang nyonya. Saat itulah Sarai meminta Abram bertindak. Abram menyerahkan segala kuasa itu kepada Sarai. Kemudian Sarai menindas Hagar sehingga karena penindasan itu Hagar melarikan diri (Kejadian 16:1-6). Dalam penindasan dan pelariannya. Allah melalui malaikat-Nya menyertai Hagar dan memintanya untuk kembali ke Sarai (Kej.16:9)

Sarai melupakan dan mematikan rasa prikemanusiaan. Dia lupa bahwa Hagar baru saja berguna menghadirkan keturunan bagi Abram. Kini, Hagar menjadi ancaman baginya dan bagi ahli waris, kini di mata Sarai, Hagar adalah musuh utama. Sarai membiarkan panas hatinya meluap menguasai dirinya. Hagar adalah korban kebijakan dari sang majikan dan budayanya saat itu. Tidak ada pilihan baginya selain menderita. Sang suami, Abram tidak berkutik sama sakali apalagi menjadi pelindung baginya. Di kemudian hari, kisah kesedihan sang hamba yang ditindas oleh struktur budaya dan tuannya ini nyaris bungkam. Jarang ada yang mau peduli oleh karena Hagar bukan keturunan resmi, Hagar bukan “kita”!

Bersykurlah, Allah bukan seperti kita yang sering dikaburkan oleh primodial. Dia Allah yang tetap konsisten, membela yang tertindas. Meskipun, Sarai menindas, Abraham tidak mau peduli dan kita cenderung menganggap Hagar dan Ismail sebagai keturunan abal-abal, Allah sama sekali tidak melupakannya. Janji TUHAN kepadanya, “Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya.”(Kej.16:10) Selanjutnya, ditegaskan pula, “Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah mendengar tentang penindasan atasmu itu.”(Kej.1611). Apa respon Hagar atas janji TUHAN ini? Ia menamakan tempat itu El-Roi (di sini kulihat Dia yang telah melihat aku). 

Dalam Kejadian 21:8-21, peristiwa serupa dialami kembali oleh Hagar. Lagi-lagi Hagar ditindas dan kali ini ia diusir Abraham. Hagar kemudian pergi mengembara di padang gurun Besyeba. Kekeringan luar biasa membuat dirinya tidak tahan melihat kematian anaknya di depan mata. Ismael terpaksa dibuang ke dalam semak belukar. Seorang ibu pastilah tidak tahan melihat anaknya mati kehausan. Namun, lagi-lagi Allah tampil sebagai pembela. Tepatlah apa yang kemudian dikatan Yesaya 49:15, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun ia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” Allah mendengar suara tangisan bayi itu dan kemudian membuka mata Hagar melihat sebuah sumur. Sumur kehidupan. Allah menyertai anak itu dan menjanjikan membuat dia menjadi bangsa yang besar (Kej. 21:17-20).

Sangatlah jelas dari kisah ini. Allah berpihak bukan kepada orang-orang yang gemar menindas. Tetapi kepada mereka yang tertindas dari bangsa, golongan, agama, rasa, suku apa pun. Mestinya setiap orang yang menyembah-Nya menjauhkan diri dari sikap menindas; menindas secara fisik, psikologis, atau pun kata-kata.

Pada pihak lain, ketika kita mengalami penindasan, tidak ada jalan lain kecuali berlindung kepada-Nya. Pemazmur berulang kali memberi contoh tentang itu. Terlebih khusus bacaan kita Minggu ini, Mazmur 86, pastilah TUHAN mendengar. Dan kalaupun seandainya penindasan dan aniaya itu luar biasa menimpa kita, Yesus sudah mengingatkan supaya jangan takut, “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka...Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit.” (Matius 10:28,30,31)

Jadi, tinimbang kita sibuk mendiskusikan kemahakuasaan dan karya Tuhan, seperti obrolan di tukan cukur rambut, lebih baik teruskan belarasa Allah yang peduli kepada orang-orang yang tertindas dan tangan-Nya yang teracung melawan si penindas! Lebih baik seluruh anggota tubuh kita gunakan untuk meneruskan cinta kasih-Nya daripada membangun benteng atau skat pemisah!