Jumat, 28 November 2025

BANGUN DAN BERGERAKLAH

Bencana hidrometeorologi kembali menyapa beberapa daerah di tanah air. Hampir setiap pergantian musim bencana ini banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian besar. Bencana hidrometeorologi adalah bencana alam yang disebabkan oleh fenomena terkait atmosfer (meteorologi), air (hidrologi), dan lautan (oseanografi). Bencana ini timbul karena pengaruh parameter cuaca seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin sehingga memicu peristiwa seperti banjir, tanah longsor, badai, kekeringan, angin kencang, dan gelombang panas.

 

Belakangan ini bencana masif terjadi di sebagian Sumatera. Hujan deras di sejumlah daerah di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat beberapa hari terakhir menyebabkan setidaknya 90 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya dilaporkan hilang. Seperti diberitakan portal berita BBC News Indonesia yang mengutip pernyataan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), hujan deras yang menyebabkan banjir besar dan longsor di banyak tempat itu disebabkan Siklon Senyar. Ini peristiwa langka yang hampir tak pernah terjadi di daerah khatulistiwa!

 

Namun, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai bahwa yang memperparah bencana itu adalah maraknya industri ekstraktif yang menyebabkan dampak hujan ekstrem. Industri ekstraktif adalah jenis industri yang mengambil atau mengekstrak bahan baku langsung dari alam, seperti mineral, minyak bumi, gas alam, kayu, atau hasil perikanan untuk kemudian diolah menjadi produk yang bernilai tambah. Ciri-ciri utama industri ini adalah: mengandalkan sumber daya alam sebagai bahan baku utama, beroperasi di lokasi kaya sumber daya alam dengan proses eksplorasi, penggalian, atau penangkapan. Sementara peneliti Limnologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fakhrudin, menyebut bahwa pembangunan yang masif turut memperparah efek hujan ekstrem, karena membuat sungai menjadi dangkal dan berubah bentuk!

 

Benar, bencana terjadi karena ada faktor fenomena alam yang tidak bisa diantisipasi dengan baik. Namun di sisi lain, ada ulah manusia yang cenderung mengeksploitasi alam, serakah dan tidak peduli dengan tanda-tanda yang diperingatkan oleh alam itu sendiri.

 

Bencana hidrometeorologi mengingatkan kita pada peristiwa air bah zaman Nabi Nuh. Bukan hanya air bah selama 150 hari yang melenyapkan sebagian besar makhluk hidup pada zaman itu. Namun, di balik itu ada kehidupan yang tidak peduli dengan etika dan dosa. “Sebagaimana pada zaman sebelum air bah itu mereka makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai pada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu apa-apa, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua,…” (Matius 24:38,39). Orang-orang pada zaman generasi Nuh menjadi contoh dari kehidupan yang hanya memikirkan kepuasan sesaat. Mereka melakukan apa yang umumnya dilakukan untuk hidup bersenang-senang, nikmat, nyaman dan semua nafsu badani dapat tersalurkan. Cara hidup inilah yang membuat mereka lupa diri, mereka terbuai dan tidur dengan mimpi-mimpi hedonis. 

 

Yesus memakai generasi Nuh sebagai contoh dari kebanyakan orang yang terlena dengan mengejar kepuasan sesaat. Di ujungnya mereka harus membayar mahal! Yesus mengingatkan bahwa kedatangan-Nya kembali tidak mungkin dapat diprediksi oleh siapa pun. Maka tidak cukuplah siap siaga pada saat-saat tertentu saja. Diperlukan sikap waspada dan siap sedia yang terus-menerus. Caranya? tidak ada cara lain kecuali; mengarahkan segenap hati, akal budi dan hasrat kita kepada Tuhan. Sehingga, kita akan mampu melihat kehadiran-Nya bahkan di saat orang lain tidak menduganya. 

 

Untuk menghantar kita dapat menyambut kehadiran-Nya secara final, sikap siap siaga yang terus-menerus akan menolong kita melihat bentuk kehadiran-Nya dalam diri orang-orang hina, papa dan tersisih. Bukankah mereka ada di sekitar kita? Dan bukankah Yesus juga mengingatkan bahwa siapa pun yang melayani orang-orang yang demikian itu berarti melayani-Nya juga?

 

Bangun dan bergeraklah! Bangun dari mimpi-mimpi hedonis yang membuat kita terlena; tidak peduli dengan kerusakan alam, tidak peduli dengan penderitaan sesama anak manusia. Bangun dari mengasihani diri sendiri dan pandanglah betapa banyaknya kesempatan terbuka di depan kita untuk melakukan banyak karya yang baik!

 

Yesaya mengajak bangsanya bangun dengan cara, “Mereka akan menempa pedang-pedang menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang melawan bangsa lain, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.” (Yesaya 2:4). Yesaya mengungkapkan bahwa semua senjata peperangan akan diubah menjadi alat-alat pertanian yang akan memberi mereka kenyang. Ini menandai era baru bahwa manusia mengakhiri permusuhan. Secara simbolik, perubahan pedang (alat pembunuh) menjadi bajak (alat mencangkul tanah) menandakan pembalikan Yoel 3:10 (bajak menjadi pedang), yang menggambarkan akhir zaman damai di dalam Kerajaan Mesias!

 

Bangun dan bergeraklah! Kita diajak berada dalam arus ini. Bukan arus keserakahan dan ketamakan yang mempertajam pertikaian, permusuhan, dan perang! Melainkan, upaya-upaya untuk mewujudkan damai sejahtera. Bencana akan segera berakhir apabila kita bersedia mengubah “mata pedang” menjadi “bajak”. Mengubah keegoisan menjadi sikap altruis yang peduli terhadap kebutuhan dan penderitaan sesama. Hutan, sungai, gunung, lautan, dan hasil bumi lainnya tidak akan menjadi bencana jika kita menggunakannya secukupnya! 

 

Bangun dan bergeraklah menyongsong kedatangan-Nya dengan cara mengubah perilaku jahat dengan perilaku yang baik. Meminjam catatan Paulus, “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan bermabuk-mabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus dan jangan pedulikan lagi keinginan-keinginan daging.” (Roma 13:13-14). Beginilah cara orang Kristen bangun dan bergerak!

 

Hari Tuhan, akhir zaman, atau kedatangan Kristus kembali bukan melulu azab mengerikan melainkan saatnya kita menyambut dengan gembira seperti seorang anak yang merindukan ayahnya pulang. Ia menantikan dengan membuat berbagai karya yang disukai ayahnya. Dan tentu saja ia sangat menginginkan ayahnya segera datang!

 

Jakarta, 28 November 2025 Minggu Adven I tahun A

Kamis, 20 November 2025

SANG RAJA, SANG GEMBALA

“Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi  berterang-terang curang susah dicari tandingan,

Di negeriku anak lelaki dan perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari,

Di kedutaan besar anak presiden, anak Menteri, anak jendral, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,…

 

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilangan tak habis dan tak putus dilarang-larang,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat diinjak dan dilunyah lumat-lumat.”

 

(Sepenggal syair bait III karya Taufik Ismail dalam bukunya, “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”

.............,,./ November 1998)

 

Sepertinya, tidak banyak berubah apa yang dipotret melalui lensa puitis Taufik Ismail 27 Tahun yang lalu dengan zaman kiwari, alih-alih catatan jurnalis, “nubuatnya” menemukan penggenapannya! Pemimpin, penguasa, dan orang-orang yang punya pengaruh memanfaatkan posisi mereka dengan nyaris sempurna untuk pemuasan naluri nafsu serakah! Mereka tidak sedang memimpin sebuah bangsa dan rakyat yang besar ke arah kemakmuran yang berkeadilan, alih-alih menjerumuskan pada jurang penderitaan!

 

Suara para Taufik Ismail mirip-mirip Yeremia di tengah bangsanya yang munafik. Retorika Yeremia yang berusaha diberangus oleh sang penguasa bagaikan pedang tajam yang menghujam jantung para penguasa, “Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak!... Maka ketahuilah, Aku akan membalaskan kepadamu perbuatan-perbuatanmu yang jahat…” (Yeremia 23:1,2).

 

Tidak kalah pedas, kata-kata Yeremia lebih tajam ketimbang diksi Taufik Ismail. Ia menggunakan kiasan dan figuratif, “berzina”, “memakan daging umat” dan “menyesatkan seluruh umat” untuk melukiskan para pejabat dan para penguasa. Tentu saja, di balik sikap para penguasa itu ada para penjilat yang menyelimuti diri dengan jubah penasihat spiritual. Nabi palsu! Mereka digambarkan bukan hanya gagal memimpin dengan benar, tetapi sebagai predator yang merusak moralitas umat.

 

Yeremia mengecam praktik-praktik kesalehan palsu, korup, dan penindasan. Tujuannya jelas, bukan untuk mengolok-olok atau mempermalukan tetapi untuk menimbulkan kesadaran serta mengajak umat untuk kembali kepada ketaatan terhadap TUHAN sambil mengajak umat menantikan datangnya Sang Gembala, Raja yang sesungguhnya akan muncul dari  Tunas Daud. Sang Gembala ini akan memerintah sebagai raja yang bijaksana dan melakukan keadilan dan kebenaran (Yeremia 23). 

 

Nyaris enam ratus tahun umat Allah itu menantikan Sang Gembala, Raja yang akan mengangkat keterpurukkan mereka dari titik nadir moralitas dan penderitaan. Kini, sosok itu muncul! Ia berbeda dari raja-raja yang lain, baik penampilan, gaya kepemimpinan apalagi minat yang diperjuangkan-Nya! Wajar kalau orang banyak mengoloknya, “Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!” (Lukas 23:37).

 

Umumnya, raja dan penguasa akan mengorbankan rakyatnya untuk kepentingan diri dan keluarganya. Bukankah para penguasa terbiasa memandang rakyatnya hanya sebagai komoditi yang memberi nilai profit bagi diri mereka? Raja yang ini berbeda! Lukas banyak menceritakan bahwa Ia bergaul dengan orang-orang miskin, tersisih, asing, menderita dan berdosa. Bukan untuk mencari popularitas seperti para penguasa politik. Ia menyahabati mereka agar mereka mengalami seperti apa dikasihi, dicintai dan dipulihkan. Ia mengorbankan diri, sesuai dengan janji-Nya bahwa Gembala baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya! 

 

Hari ini kita merayakan Minggu Kristus Raja. Ya, tepat! Raja yang bukan penakluk, bukan penguasa lalim yang selalu mencari celah untuk mengagungkan diri, mencari kemuliaan, hidup dalam kenyamanan dan memuaskan segala keinginan. Yesus adalah Raja sekaligus Sang Gembala Agung yang mendamaikan, memulihkan, mengasihi, dan memberi ruang terbuka bagi siapa saja untuk mengalami cinta kasih dan kehadiran Allah. 

 

Sang Raja dan Gembala itu tidak menggunakan kekuasaan-Nya untuk memuluskan apa yang dimimpikan oleh dunia ini. Namun, dengan efektif Ia menggunakannya untuk kebaikan orang-orang yang dikasihi-Nya. Bahkan pada saat terpojok sekalipun dan penyamun itu menggodanya, “Bukankah Engkau adalah Mesias selamatkanlah diri-Mu dan kami!” (Lukas 23:39b), Sang Raja bergeming! Caranya demikian lagi-lagi bukan untuk popularitas, mati konyol atau plying victim. Ia melakukannya dengan kesadaran bahwa pengurbanan diri-Nya akan menjadi berkat bagi kawanan domba gembalaan-Nya!

 

Kita berada di penghujung tahun gerejawi, “Kristus Raja”! Jelas, ini bukan pengakuan dan perayaan liturgis belaka. Rangkaian peristiwa Kristus seakan tidak pernah putus. Nah, ketika kita sejenak berhenti di sini, mari kita tanyakan pada diri sendiri, “Benarkah Kristus adalah Rajaku? Benarkah bahwa Dia adalah Gembalaku? Pengakuan utuh Yesus sebagai Raja dan Gembala akan mengubah perilaku, perjuangan, dan konsep tentang kekuasaan.

 

Pengakuan Yesus sebagai Raja, berarti kita memosisikan diri sebagai “rakyat” atau hamba yang mau diatur dan diarahkan oleh Sang Raja. Pengakuan kita bahwa Yesus adalah Sang Gembala, menyiratkan bahwa kita bersedia menjadi “kawanan domba” gembalaan-Nya. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah adalah mengaplikasikan rangkaian peristiwa gerejawi membuat kita benar-benar menjadi rakyat, hamba dan domba-domba Kristus? Rakyat dan domba yang bersedia mengikuti teladan-Nya dan berjuang dengan apa yang diperjuangkan-Nya!

 

Dalam bahasa Paulus, Yesus Kristus Sang Raja itu disebut “Ia kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama kali bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia lebih utama dari segala sesuatu.” (Kolose 1:18). Ia yang ada sebelum segala sesuatu diciptakan menghendaki bahwa semua orang dapat hidup dan membangun relasi dengan baik. Peduli dan mau berkurban untuk memulihkan tatanan yang dulu tercipta sungguh amat baik itu. Karena Ia adalah Kepada dan Sang Sulung, maka kita diajaknya untuk tunduk, meneladani, mempraktikkan dan memperjuangkan apa yang menjadi keprihatinan-Nya. Sebagai “tubuh” kita diajak untuk melihat Kepala dan Sang Sulung itu, sehingga kelak kita pun seperti Sang Sulung itu, mengalami kebangkitan!

 

Sang Raja dan Sang Gembala tidak pernah memberi contoh kepada kita untuk menjadi seorang penakluk, penikmat hawa nafsu, atau menutup telinga dan hati terhadap penderitaan sesama. Ia juga tidak pernah mengajari untuk berbahagia sementara di sekeliling kita banyak orang yang diperlakukan tidak adil dan menderita. 

 

Merayakan Kristus Raja adalah saat yang tepat untuk kita tafakur dan bertanya, “Sungguhkah aku telah menjadikan-Nya Raja dalam hidupku?”

 

 

Jakarta, 20 November 2025, Minggu Kristus Raja Tahun C