Kamis, 17 April 2025

KRISTUS SUDAH BANGKIT, WARTAKANLAH

“Warta bukan sekedar berita, tetapi kebenaran!” Jargon ini sering dikaitkan dengan aktivitas wartawan atau jurnalis. Melalui ungkapan ini, kebenaran berdasarkan fakta dan data merupakan fondasi utama dunia jurnalistik. Sayang, fondasi ini sering goyah demi sensasi dan target popularitas yang berujung pada uang! 

 

Yesus sudah bangkit! Apakah ini berita yang berlandaskan kebenaran atau sekedar sensasi halusinasi komunal para murid Yesus yang sedang dilanda kesedihan mendalam? Tidak mudah untuk membedakannya! Sejak lama, iman pada kebangkitan Yesus bertumpu pada dua pilar, yakni: kubur kosong dan sejumlah perjumpaan Yesus yang bangkit dengan murid-murid-Nya. 

 

Kisah kubur kosong muncul di sekitar Yerusalem, di mana kuburan itu ada, sedangkan kisah perjumpaan Yesus yang bangkit dengan para murid lebih banyak terjadi di Galilea. Pada masa awal kekristenan kedua tradisi yang membentuk iman kebangkitan itu telah menjadi satu. Meskipun demikian nilainya tidak sama. Sebab, fakta kubur kosong saja pada dirinya sendiri tidak dapat melahirkan iman Paskah. Perjumpaan fisik dengan Yesus yang bangkit itulah yang meneguhkan tentang fakta kubur kosong tersebut.

 

Ada banyak spekulasi jika kebangkitan Yesus hanya bertumpu pada tidak adanya jasad Yesus di dalam kuburyang disediakan oleh Yusuf dari Arimatea meskipun kubur itu disegel dan dijaga ketat oleh serdadu Romawi. Namun, tentu saja kubur kosong bukan sekedar pelengkap fakta bahwa Yesus sudah bangkit, setidaknya pada masa awal berita kebangkitan itu viral. Coba Anda bayangkan jika kubur itu tidak kosong. Ini akan menjadi kontradiksi. Para perempuan yang pertama-tama mewartakan kebangkitan kepada para murid, kemudian mereka meneruskan berita itu kepada orang-orang Yahudi dan Romawi bahwa Yesus yang kalian salibkan telah bangkit, sementara tubuh-Nya mulai membusuk di dalam kubur itu. Apa kata dunia? Mewartakan dengan lantang kebangkitan tubuh yang mulai membusuk akan membuat orang-orang Kristen awal menjadi bahan tertawaan orang Yahudi, Yunani dan Romawi!

 

Kubur kosong adalah fakta yang tidak bisa diabaikan! Namun yang tidak kalah penting adalah adanya figur-figur yang menjelaskan apa yang terjadi di balik kubur kosong itu. Keempat Injil mencatat para perempuanlah yang pertama kali menerima penjelasan dari utusan Ilahi tentang kubur kosong itu. Injil Lukas mencatat perempuan-perempuan itu adalah Maria dari Magdala, Yohana, dan Maria ibu Yakobus. Mereka adalah perempuan-perempuan yang mengikut Yesus sejak dari Galilea sampai berujung pada Yesus dimakamkan oleh Yusuf Arimatea.

 

Para perempuan yang tenggelam dalam supremasi dunia laki-laki. Tidak seorang penulis pun, yang mahir dalam teknik menceritakan kisah, akan bermimpi mendapatkan perempuan-perempuan yang membuat penemuan menakjubkan; kubur kosong dan kebangkitan! Hal ini dapat dipahami karena dalam sosiologi yang timpang dan dalam prasangka yang melekat terhadap para perempuan sebagai warga negara kelas dua, ini sama seperti kaum gembala yang kesaksiannya tidak dapat diandalkan. Jika seorang perempuan tidak dapat menjadi saksi di pengadilan, maka tidak mungkin ia dapat menjadi saksi penting. Jelas, masuk akallah kalau para murid lelaki menganggap berita yang disampaikan Maria dan teman-temannya itu adalah omong kosong belaka! (Lukas 24:12)

 

Namun, justru kisah ini menohok karena menggambarkan merekalah sebagai saksi dan pembawa warta kebangkitan itu! Omong kosong, lelucon, mengigau, atau apa pun namanya jelas menandakan ketidakakuratan sebuah berita. Para perempuan itu sudah dihakimi sebagai orang-orang yang tidak dapat dipercaya dan membawa berita omong kosong pula. Apa yang dianggap remeh oleh dunia ini justru dipakai Tuhan untuk menyatakan kebenaran-Nya. Tepatlah seperti yang dikatakan Paulus, “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat…” (1 Korintus 1:27). Di pihak lain, bukankah orang-orang yang dipandang rendah dan bodoh itu adalah mereka yang tidak mudah merekayasa kebenaran? Seperti para gembala yang menyampaikan pesan apa adanya dari malaikat!

 

Meskipun menganggap berita kebangkitan Yesus hanya omong kosong, namun akhirnya Petrus merasa perlu untuk mengkonfirmasi. Cepat-cepat ia bangun, lalu pergi ke kubur itu. Ia menjumpai bukti lain. Selain jasad Yesus sudah tidak ada, ia menemukan kain kapan pembalut tubuh Yesus. Kendati tidak mudah membangun iman Paskah, setidaknya pewartaan yang dilakukan oleh para perempuan ini sedikit demi sedikit membuka tabir para murid untuk mengingat kembali pesan yang jauh sebelumnya sudah disampaikan Yesus sendiri ketika mereka masih berada di Galilea. Pesan itu ibarat cahaya yang terkubur berlapis-lapis. Lapisan itu sendiri adalah ambisi, kekecewaan, kesedihan dan maut! Anda bisa membayangkan ketika tabir itu mulai terkuak; perlahan tapi pasti, cahaya itu akan menembus dan terang itu akan menerangi hati manusia. Petrus akan menjadi pionir pewarta ulung tentang kebangkitan Yesus bahkan sampai kepada Kornelius, seorang asing yang pada akhirnya bersama dengan keluarganya ia percaya!

 

Penulis Injil Lukas menekankan fakta bahwa Yesus telah bangkit. Yesus yang bangkit adalah Dia yang dibunuh dengan disalibkan, yang mayat-Nya diturunkan dan dimakamkan oleh Yusuf Arimatea. Dengan tubuh yang sama Ia bangkit sesuai dengan apa yang telah dikatakan-Nya dahulu. Maria dari Magdala, Yohana, dan Maria ibu Yakobus dan perempuan-perempuan lain adalah orang-orang pertama yang menerima penjelasan dari utusan Ilahi dan mereka menyampaikan warta gembira ini kepada para murid yang lain. Iman kebangkitan itu perlahan tapi pasti mulai tumbuh di tengah-tengah ketakutan dan pesimisme.

 

Iman Paskah bukan sekedar argumen kubur kosong. Jauh lebih dari itu: Yesus mengalahkan maut, Ia memberi kekuatan di tengah ketakutan; optimisme di tengah pesimisme! Di tengah dunia yang penuh kemelut, ketakutan dan ketidakpastian kita terpanggil untuk mewartakan kabar gembira; Yesus telah bangkit!

 

Bisa saja seperti Maria dan teman-teman perempuan lainnya. Pada zamannya tidak dipercaya, dianggap warga kelas dua, dan beritanya dipandang sebagai omong kosong. Namun, mereka tidak gentar, apa yang harus disampaikan mereka sampaikan dengan lugas. Sangat mungkin Anda dan saya merasa dan berada seperti posisi Maria dan kaum perempuan itu. Bisakah dalam posisi seperti ini kita menjadi utusan-utusan Tuhan yang mewartakan kabar gembira? 

 

Para perempuan itu dapat mewartakan kebangkitan Yesus oleh karena mereka telah mengalami perjumpaan. Mereka melihat dan mengikuti pelayanan Yesus. Meskipun pada akhirnya mereka lupa akan pesan Yesus ketika masih ada di Galilea bahwa Ia akan menderita sengsara, mati tetapi akan bangkit pada hari ketiga, namun perjumpaan berikut dengan utusan Ilahi itu mengingatkan mereka kembali pada pesan itu. Inilah barangkali apa yang disebut proses iman yang jatuh bangun. 

 

Anda dan saya dapat mewartakan kebangkitan Yesus apabila kita juga mengalami perjumpaan dengan Yesus itu. Iman kita dibangun dalam ajaran dan teladan-Nya hingga kebangkitan itu nyata juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Kebangkitan itu menjadi pengalaman empiris mana kala kita tidak lagi dikuasai oleh ketakutan, pesimistik dan bayang-bayang maut. Tidak banyak gunanya kita memenangkan adu argumentasi dengan menyajikan data-data ilmiah dan pelbagai dogma tentang kebangkitan, apabila dalam hidup ini saja mudah menyerah dan mengambil jalan pintas! 

 

Jakarta, 17 April 2025, untuk Minggu Paskah pagi Tahun C 

 

 

 

 

 

Rabu, 16 April 2025

BERKARYA DALAM KESEDIHAN

Sedih! Barangkali “menyedihkan” kata itu yang tepat ketika menyaksikan kerabat atau orang terdekat sekarat dan kita tidak berdaya untuk melakukan apa pun. Pilu itu memuncak, justru orang tersebut mati karena dianiaya! Ketidakberdayaan orang-orang terdekat Yesus digambarkan dengan tepat oleh para penulis Injil. Tak satu pun di antara mereka berani mendekat, apalagi memulasara jasad-Nya sebagaimana layaknya manusia.

 

Beruntung, di penghujung suasana menyedihkan itu muncul sosok Yusuf, seorang dari kota Arimatea. Bagi penguasa Romawi, tidak ada urusan lagi dengan mayat-mayat yang tergantung. Biasanya seperti itu, menjadi makan burung nazar dan anjing-anjing liar. Namun, tidak bagi orang-orang Yahudi. Sejarawan, Yosephus pernah mengatakan, “Orang-orang Yahudi sedemikian menghargai upacara penguburan, sehingga bahkan penjahat-penjahat yang telah diputuskan bersalah dan disalib, diturunkan dan dikubur sebelum matahari terbenam.” Kini, Yusuf berpacu dengan waktu, dengan batas matahari tenggelam, yang pada bulan April di Yerusalem hari itu akan berganti tepat pukul enam sore!. 

 

Bayangkan, Yesus mati sekitar pukul 3 sore itu! Praktis, tidak lebih dari tiga jam Yusuf harus menurunkan mayat Yesus, membeli kain lenan untuk mengafani, memulasara sebagaimana hukum Yahudi, membawanya untuk dimakamkan di tempat pemakamannya sendiri. Sementara, ia harus berhadapan dengan para pembenci Yesus!

 

Siapa Yusuf dari Arimatea? Matius hanya memberi keterangan, “… dan yang telah menjadi murid Yesus juga.”(Matius 27:57). Markus memberi keterangan lebih lengkap, “… seorang anggota Majelis Besar yang terkemuka, yang juga menanti-nantikan Kerajaan Allah, memberanikan diri menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus.” (Markus 15:43). Catatan Markus setidaknya memberi informasi bahwa tidak semua anggota Majelis Besar atau Sanhedrin itu sepakat untuk menyerahkan Yesus kepada Pilatus. Keterangan bahwa Yusuf adalah seorang yang menanti-nantikan Kerajaan Allah menandakan bahwa ia adalah seorang yang saleh dan, seperti Nikodemus mau belajar dan menghormati Yesus.

 

Penghormatan kuat terhadap Yesus menyingkirkan segala risiko yang akan dihadapi. Yusuf berani meminta mayat seorang yang divonis oleh bangsanya sebagai penghujat. Ini tidak terjadi dengan Yohanes. Mayat Yohanes hanya diambil oleh para muridnya. Tentu saja ini menuntut keberanian ekstra dari seorang anggota Majelis terhormat untuk mendatangi Pilatus. Meminta izin menurunkan mayat orang yang disalib dapat menurunkan reputasinya. Mengapa? Ya, ini menunjukkan keberpihakan dan terhubungnya Yusuf dengan aktivitas si pengacau itu.

 

Risiko itu ditanggung sendiri oleh Yusuf. Lihat, catatan Injil tidak ada andil sedikit pun dari para murid-Nya dalam prosesi penurunan mayat sampai pada pemakaman Yesus. Kecuali sebagai penonton pasif dan baru sesudah itu para murid perempuan meratap di kubur-Nya. Lalu, apakah Yusuf mempunyai cukup waktu untuk mengurus segala hal dalam pemakaman Yesus? Jelas, Yusuf tidak sendiri. Ia yang digambarkan sebagai seorang anggota Majelis Besar dan Matius memberi tambahan sebagai seorang yang kaya, maka tidak sulit untuk Yusuf meminta para pelayan membantunya dalam mengurus pemakaman itu.

 

Kesedihan para murid membuat mereka tidak berdaya dan menyedihkan. Mereka hanya bisa menonton! Ini sangat mungkin terjadi dengan kita. Kesedihan membuat kita terpasung tidak berdaya dan hanya meratapi nasib. Kesedihan seperti ini jelas tidak sehat, alih-alih memperburuk keadaan. Kesedihan seperti ini akan mudah memposisikan diri sebagai korban, orang yang paling menderita dan teraniaya. Lalu, menutup diri, menyalahkan keadaan dan pihak lain. Benar, pada saatnya Yesus yang bangkit itu akan mendobrak kesedihan semacam ini.

 

Berbeda dengan para murid Yesus. Yusuf dari Arimatea mengambil tindakan. Barang kali Anda akan mengatakan ia berbeda dari murid-murid yang mengikut Yesus dari dekat. Sehingga secara psikis dan emosional Yusuf tidak mengalami guncangan sehebat para murid Yesus. Namun, coba Anda pikirkan kembali. Catatan Injil menegaskan bahwa Yusuf adalah seorang yang menanti-nantikan Kerajaan Allah, tak pelak lagi ia adalah seorang yang saleh. Meskipun tidak setiap hari bersama-sama dengan Yesus, Yusuf menerima kebenaran yang ia dengar dari Yesus, bahkan Matius mencatatnya sebagai murid Yesus. Ia percaya Yesus!

 

Kini, Yesus yang ia Yakini sebagai pembawa Kerajaan Allah itu mati! Apakah harapan Yusuf tentang Kerajaan Allah ini tidak ikut mati juga? Apakah kesedihan Yusuf tidak lebih ringan dari para murid Yesus itu? Benar, kita tidak bisa mengukur kadar kesedihan seseorang karena tidak ada barometer obyektif untuk itu. Namun, hal obyektif yang dapat kita lihat adalah perilaku yang ditunjukkan oleh Yusuf. 

 

Yusuf berani meminta mayat Yesus, dengan hormat ia memperlakukan Yesus yang telah menjadi jasad. Bayangkan, jika mayat Yesus tidak diturunkan dari tiang salib itu? Bayangkan jika mayat itu tidak dibungkus dengan kain lenan? Bayangkan, jika mayat Yesus tidak dibaring dalam makam yang baru itu? Lalu, apakah akan ada batu terguling, adakah kain lenan dengan bercak luka di sana, dan adakah kubur kosong? Benar, bisa saja dalam kemahakuasaan-Nya, Allah memakai cara lain untuk menyatakan bahwa Yesus mengalahkan maut. Namun, setidaknya apa yang dilakukan oleh Yusuf dari Arimatea menolong peristiwa kebangkitan Yesus menyapa para perempuan dan murid-murid Yesus. Apa yang dilakukan Yusuf memudahkan Allah, melalui malaikat-Nya menyatakan kabar gembira bahwa Yesus bangkit!

 

Kini, dalam kesedihan yang bisa dialami setiap orang, kita bisa memilih: Diam dan meratapi nasib sambil memosisikan diri sebagai orang yang paling malang atau melakukan sesuatu yang sebagai ekspresi dari keyakinan kita, meski untuk itu tetap ada risiko yang harus ditanggung? Kematian adalah misteri, dalam sunyi kita bertanya, “Ada apa? Mengapa ini terjadi? Mengapa harus saya?” Namun, kematian juga dapat menolong kita untuk bertindak. Ya, benar ini akan sunyi, tetapi bukan sepi. Benar, akan ada yang kosong, namun bukankah yang kosong itu adalah peluang untuk dapat diisi lagi? Karya, yang nyata akan menolong kita untuk mengatasi sepi. Sunyi akan menginspirasi kita melanjutkan karya Sang obituary!

 

Jakarta, 16 April 2025 untuk Sabtu Sunyi tahun C