Saya yakin, Anda pasti pernah melakukan sebuah perjalanan. Entah menggunakan mobil dan mengendarai sendiri atau jadi penumpang yang baik. Atau menggunakan pesawat terbang, kapal laut dan mungkin bersepeda atau jalan kaki. Namun, pernahkah dalam perjalanan itu, sambil melihat pemandangan atau hiruk pikuk orang-orang yang beraktivitas yang Anda lewati, Anda merenung “Siapakah saya?”, “Mengapa saya ada di sini?”, “Untuk apa saya harus berada di sini?”, “Sampai sejauh ini, apa sebenarnya yang saya cari?” Jika dalam qalbu Anda terbersit pertanyaan-pertanyaan itu, Anda tidak sendirian. Ada banyak orang menyimpan pertanyaan-pertanyaan mendasar itu, yang walaupun sederhana, tetapi percayalah tidak mudah untuk menjawabnya. Namun, jika belum pernah terbersit dalam pikiran Anda pertanyaan-pertanyaan itu, saya menggelitik untuk mengajak Anda bertanya.
Sebaiknya, jangan bertanya kepada orang lain karena Anda yang mampu menjawab semua pertanyaan sederhana itu. Jangan juga meniru jawaban orang lain, kalau pun hasil pergumulan Anda membuahkan jawaban yang sama, itu perkara lain. Tidak seorang pun memiliki pemahaman tentang hidup Anda sedalam dan semengerti Anda sendiri. Andalah yang tahu siapa Anda, untuk apa Anda ada di sini, dan apa yang Anda cari. Hanya Andalah satu-satunya orang yang paham perihal apa saja yang bermakna bagi hidup Anda.
Mari kita mulai. Andai terasa sulit, mari kita belajar dari tokoh yang bernama Yesaya. Yesaya adalah anak Amos, ia mulai berkarya sekitar tahun 740 SM, setelah kematian Raja Uzia. Yesaya hidup pada zaman Raja Ahaz. Ahaz tercatat sebagai raja Yehuda yang buruk, 2 Raja-raja 16:2-3 menyebutnya, “…Ia tidak melakukan apa yang benar di mata TUHAN, Allahnya seperti Daud, bapa leluhurnya…, bahkan ia mengurbankan anaknya dalam api, seperti perbuatan menjijikan bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari hadapan orang Israel.” Anda bisa membayangkan jika rajanya saja tidak benar, bagaimana dengan keseluruhan bangsa itu? Penyembahan berhala terjadi di mana-mana, moralitas dipandang sebagai barang usang yang sama sekali tidak ada harganya, fitnah dan berita bohong menjadi santapan setiap hari, keadilan jauh panggang dari api. Sehingga tepatlah kalau Yesaya mengatakan, “Celakalah aku! Aku binasa! sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir,….” (Yesaya 6:5).
Meski Yesaya tidak turut larut dalam eforia penyembahan berhala atau hidup seperti kebanyakan orang-orang Yehuda, ia tidak merasa diri suci dan paling benar. Sebagai anak bangsa yang hidup dalam lingkungan bejat moral, Yesaya merasa menjadi bagian dari bangsa itu yang patut mendapat murka Allah. Jika Allah murka dan membinasakan seluruh Kerajaan Yehuda, maka sudah sepantasnyalah demikian! Namun, apa yang terjadi dengan Yesaya? Yesaya waktu itu sedang mengikuti upacara persembahan korban bakaran yang dilakukan para imam. Asap korban bakaran itu memenuhi seluruh ruangan Bait Suci. Yesaya merasa berada di ruang mahasuci. Ia dikelilingi oleh kemuliaan dan kesucian Allah yang duduk di takhta yang menjulang tinggi.
Dalam kesadaran sebagai orang yang berdosa di tengah-tengah bangsa yang berdosa dan Yesaya menyatakan bahwa dirinya akan binasa, namun justru diperkenankan melihat TUHAN! “namun mataku telah melihat Sang Raja, TUHAN Semesta Alam!” Jika bukan karena cinta-Nya, Yesaya pasti binasa. Manusia tidak dapat melihat Allah, lalu tetap hidup (Keluaran 33:20-23). Karena cinta-Nya alih-alih binasa, Yesaya dibersihkan, ia disucikan lidahnya dengan bara api dan kemudian ia diutus kepada bangsanya.
Melalui Yesaya, kita belajar tentang jati dirinya yang tidak lebih dari bagian orang-orang berdosa yang layak untuk dibinasakan. Namun, perjumpaannya dengan TUHAN, membuatnya merasakan dan mengalami cinta kasih Allah yang begitu dahsyat melebih segala kenajisannya dan dengan kesadaran itu, ia tahu dengan jelas untuk apa ia berada di tengah-tengah bangsanya. Tidak lain untuk mengembalikan mereka pada jalan TUHAN. Itulah makna hidup yang tidak hanya untuk diri Yesaya tetapi juga untuk bangsanya!
Hal serupa terjadi pada pemanggilan murid-murid Yesus yang pertama. Berbeda dari catatan Markus, tampaknya Lukas menunda menuliskan narasi kisah pemanggilan murid-murid yang pertama ini. Markus mencatat kisah pemanggilan ini di bagian awal Injilnya, yakni ketika Yesus memulai karyanya di Galilea. Membaca kisah ini, mungkin kita menjadi heran. Mengapa? Para murid begitu cepat mengikuti Yesus dengan meninggalkan jala dan ayah mereka. Belum ada pernyataan dan tindakan apa pun dari Yesus yang menjadi dasar kuat untuk mengikuti-Nya. Yang ada hanyalah panggilan Yesus, “Mari, ikutlah Aku!”
Lukas seolah mengisi kekosongan yang membuat kita bertanya, mengapa mereka cepat sekali memutuskan untuk mengikut Yesus. Menurut catatan Lukas, para murid dengan segera meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus karena mereka sudah mengenal siapa Yesus. Simon sudah mengenal Yesus karena ia telah menerima Yesus di dalam rumahnya. Di rumahnya, Yesus telah menyembuhkan ibu mertuanya dan orang-orang sekotanya yang sakit dan kerasukan setan. Sekarang, di danau ini, Simon mengalam kuasa Yesus. Ia yang sepanjang malam menebarkan jala dan tidak menangkap apa-apa tunduk pada sabda Yesus untuk menebarkan jalanya kembali. Ketaatan kepada Yesus itu membuahkan hasil yang mengagumkan. Namun ternyata, bukan hasil melimpah yang menjadi pusat perhatian Simon. Ketaatan kepada sabda itu dan buah dari ketaatan itulah yang menyadarkan Simon akan siapa Yesus dan siapa dirinya. Semula ia mengenali Yesus sebagai guru (Lukas 5:5), tetapi kini ia mengenali-Nya sebagai Tuhan (Lukas 5:8). Simon pun kini menyadarinya sebagai orang yang berdosa dan meminta Yesus untuk pergi dari dirinya.
Pernyataan Simon sebagai orang yang berdosa tidaklah menghentikan Yesus untuk memanggilnya, “Jangan takut! Mulai sekarang engkau akan menjala manusia”. (Lukas 5:10b). Selang beberapa waktu, Yesus juga mengatakan, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Lukas 5:32). Tidak hanya Simon, mereka yang bersama-sama Simon meninggalkan segala sesuatunya dan mengikut Yesus. Murid-murid inilah yang kemudian terus bersama dengan Yesus. Mereka jugalah yang kelak akan melanjutkan pelayanan Yesus sampai ke ujung bumi.
Belajar dari kisah pemanggilan Simon dan teman-temannya, jelaslah bahwa mereka menyadari sebagai orang berdosa yang berhadapan dengan Tuhan. Mereka merasa tidak layak dan menyuruh Yesus meninggalkan mereka. Apakah Yesus tidak tahu latar belakang dan apa yang mereka pikirkan, jelas tahu. Yesus mengasihi mereka, memulihkan dan meneguhkan. Kini kepada mereka diberikan tugas menjadi penjala manusia. Mengundang sebanyak mungkin orang untuk datang, merasakan, dan mengalami cinta kasih Allah. Kini, Simon dan teman-temannya tahu untuk apa mereka hidup dan memaknainya.
Begitu pula perjumpaan Saulus dengan Yesus. Perjumpaan itu bermuara pada pertobatan. Tidak sekedar ganti nama, Saulus yang kini berganti nama Paulus menghayati bahwa dirinya adalah orang berdosa di hadapan Tuhan, bahkan tidak hanya itu. Paulus merasa dan menganggap dirinya yang paling hina di antara rasul-rasul yang lain. Kasih Kristuslah yang membuat dirinya dipulihkan dan mampu menyaksikan Yesus Kristus adalah Tuhan yang bangkit yang mengasihi orang berdosa. Paulus tahu siapa dirinya dan untuk apa ia hidup.
Sekarang, bagaimana Anda dan saya? Yang duduk di sini mengikuti ibadah dan menyimak khotbah. Saya berharap Anda tahu: Siapa diri Anda? Mengapa ada di sini? Dan, untuk apa Anda hidup?
Jakarta, 6 Februari 2025. Minggu V sesudah Epifani, tahun C