Kamis, 06 Februari 2025

DICINTAI DAN DIPANGGIL-NYA

Saya yakin, Anda pasti pernah melakukan sebuah perjalanan. Entah menggunakan mobil dan mengendarai sendiri atau jadi penumpang yang baik. Atau menggunakan pesawat terbang, kapal laut dan mungkin bersepeda atau jalan kaki. Namun, pernahkah dalam perjalanan itu, sambil melihat pemandangan atau hiruk pikuk orang-orang yang beraktivitas yang Anda lewati, Anda merenung “Siapakah saya?”, “Mengapa saya ada di sini?”, “Untuk apa saya harus berada di sini?”, “Sampai sejauh ini, apa sebenarnya yang saya cari?” Jika dalam qalbu Anda terbersit pertanyaan-pertanyaan itu, Anda tidak sendirian. Ada banyak orang menyimpan pertanyaan-pertanyaan mendasar itu, yang walaupun sederhana, tetapi percayalah tidak mudah untuk menjawabnya. Namun, jika belum pernah terbersit dalam pikiran Anda pertanyaan-pertanyaan itu, saya menggelitik untuk mengajak Anda bertanya.

 

Sebaiknya, jangan bertanya kepada orang lain karena Anda yang mampu menjawab semua pertanyaan sederhana itu. Jangan juga meniru jawaban orang lain, kalau pun hasil pergumulan Anda membuahkan jawaban yang sama, itu perkara lain. Tidak seorang pun memiliki pemahaman tentang hidup Anda sedalam dan semengerti Anda sendiri. Andalah yang tahu siapa Anda, untuk apa Anda ada di sini, dan apa yang Anda cari. Hanya Andalah satu-satunya orang yang paham perihal apa saja yang bermakna bagi hidup Anda.

 

Mari kita mulai. Andai terasa sulit, mari kita belajar dari tokoh yang bernama Yesaya. Yesaya adalah anak Amos, ia mulai berkarya sekitar tahun 740 SM, setelah kematian Raja Uzia. Yesaya hidup pada zaman Raja Ahaz. Ahaz tercatat sebagai raja Yehuda yang buruk, 2 Raja-raja 16:2-3 menyebutnya, “…Ia tidak melakukan apa yang benar di mata TUHAN, Allahnya seperti Daud, bapa leluhurnya…, bahkan ia mengurbankan anaknya dalam api, seperti perbuatan menjijikan bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari hadapan orang Israel.” Anda bisa membayangkan jika rajanya saja tidak benar, bagaimana dengan keseluruhan bangsa itu? Penyembahan berhala terjadi di mana-mana, moralitas dipandang sebagai barang usang yang sama sekali tidak ada harganya, fitnah dan berita bohong menjadi santapan setiap hari, keadilan jauh panggang dari api. Sehingga tepatlah kalau Yesaya mengatakan, “Celakalah aku! Aku binasa! sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir,….” (Yesaya 6:5).

 

Meski Yesaya tidak turut larut dalam eforia penyembahan berhala atau hidup seperti kebanyakan orang-orang Yehuda, ia tidak merasa diri suci dan paling benar. Sebagai anak bangsa yang hidup dalam lingkungan bejat moral, Yesaya merasa menjadi bagian dari bangsa itu yang patut mendapat murka Allah. Jika Allah murka dan membinasakan seluruh Kerajaan Yehuda, maka sudah sepantasnyalah demikian! Namun, apa yang terjadi dengan Yesaya? Yesaya waktu itu sedang mengikuti upacara persembahan korban bakaran yang dilakukan para imam. Asap korban bakaran itu memenuhi seluruh ruangan Bait Suci. Yesaya merasa berada di ruang mahasuci. Ia dikelilingi oleh kemuliaan dan kesucian Allah yang duduk di takhta yang menjulang tinggi. 

 

Dalam kesadaran sebagai orang yang berdosa di tengah-tengah bangsa yang berdosa dan Yesaya menyatakan bahwa dirinya akan binasa, namun justru diperkenankan melihat TUHAN! “namun mataku telah melihat Sang Raja, TUHAN Semesta Alam!” Jika bukan karena cinta-Nya, Yesaya pasti binasa. Manusia tidak dapat melihat Allah, lalu tetap hidup (Keluaran 33:20-23). Karena cinta-Nya alih-alih binasa, Yesaya dibersihkan, ia disucikan lidahnya dengan bara api dan kemudian ia diutus kepada bangsanya. 

 

Melalui Yesaya, kita belajar tentang jati dirinya yang tidak lebih dari bagian orang-orang berdosa yang layak untuk dibinasakan. Namun, perjumpaannya dengan TUHAN, membuatnya merasakan dan mengalami cinta kasih Allah yang begitu dahsyat melebih segala kenajisannya dan dengan kesadaran itu, ia tahu dengan jelas untuk apa ia berada di tengah-tengah bangsanya. Tidak lain untuk mengembalikan mereka pada jalan TUHAN. Itulah makna hidup yang tidak hanya untuk diri Yesaya tetapi juga untuk bangsanya!

 

Hal serupa terjadi pada pemanggilan murid-murid Yesus yang pertama. Berbeda dari catatan Markus, tampaknya Lukas menunda menuliskan narasi kisah pemanggilan murid-murid yang pertama ini. Markus mencatat kisah pemanggilan ini di bagian awal Injilnya, yakni ketika Yesus memulai karyanya di Galilea. Membaca kisah ini, mungkin kita menjadi heran. Mengapa? Para murid begitu cepat mengikuti Yesus dengan meninggalkan jala dan ayah mereka. Belum ada pernyataan dan tindakan apa pun dari Yesus yang menjadi dasar kuat untuk mengikuti-Nya. Yang ada hanyalah panggilan Yesus, “Mari, ikutlah Aku!”

 

Lukas seolah mengisi kekosongan yang membuat kita bertanya, mengapa mereka cepat sekali memutuskan untuk mengikut Yesus. Menurut catatan Lukas, para murid dengan segera meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus karena mereka sudah mengenal siapa Yesus. Simon sudah mengenal Yesus karena ia telah menerima Yesus di dalam rumahnya. Di rumahnya, Yesus telah menyembuhkan ibu mertuanya dan orang-orang sekotanya yang sakit dan kerasukan setan. Sekarang, di danau ini, Simon mengalam kuasa Yesus. Ia yang sepanjang malam menebarkan jala dan tidak menangkap apa-apa tunduk pada sabda Yesus untuk menebarkan jalanya kembali. Ketaatan kepada Yesus itu membuahkan hasil yang mengagumkan. Namun ternyata, bukan hasil melimpah yang menjadi pusat perhatian Simon. Ketaatan kepada sabda itu dan buah dari ketaatan itulah yang menyadarkan Simon akan siapa Yesus dan siapa dirinya. Semula ia mengenali Yesus sebagai guru (Lukas 5:5), tetapi kini ia mengenali-Nya sebagai Tuhan (Lukas 5:8). Simon pun kini menyadarinya sebagai orang yang berdosa dan meminta Yesus untuk pergi dari dirinya.

 

Pernyataan Simon sebagai orang yang berdosa tidaklah menghentikan Yesus untuk memanggilnya, “Jangan takut! Mulai sekarang engkau akan menjala manusia”. (Lukas 5:10b). Selang beberapa waktu, Yesus juga mengatakan, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Lukas 5:32). Tidak hanya Simon, mereka yang bersama-sama Simon meninggalkan segala sesuatunya dan mengikut Yesus. Murid-murid inilah yang kemudian terus bersama dengan Yesus. Mereka jugalah yang kelak akan melanjutkan pelayanan Yesus sampai ke ujung bumi.

 

Belajar dari kisah pemanggilan Simon dan teman-temannya, jelaslah bahwa mereka menyadari sebagai orang berdosa yang berhadapan dengan Tuhan. Mereka merasa tidak layak dan menyuruh Yesus meninggalkan mereka. Apakah Yesus tidak tahu latar belakang dan apa yang mereka pikirkan, jelas tahu. Yesus mengasihi mereka, memulihkan dan meneguhkan. Kini kepada mereka diberikan tugas menjadi penjala manusia. Mengundang sebanyak mungkin orang untuk datang, merasakan, dan mengalami cinta kasih Allah. Kini, Simon dan teman-temannya tahu untuk apa mereka hidup dan memaknainya.

Begitu pula perjumpaan Saulus dengan Yesus. Perjumpaan itu bermuara pada pertobatan. Tidak sekedar ganti nama, Saulus yang kini berganti nama Paulus menghayati bahwa dirinya adalah orang berdosa di hadapan Tuhan, bahkan tidak hanya itu. Paulus merasa dan menganggap dirinya yang paling hina di antara rasul-rasul yang lain. Kasih Kristuslah yang membuat dirinya dipulihkan dan mampu menyaksikan Yesus Kristus adalah Tuhan yang bangkit yang mengasihi orang berdosa. Paulus tahu siapa dirinya dan untuk apa ia hidup.

 

Sekarang, bagaimana Anda dan saya? Yang duduk di sini mengikuti ibadah dan menyimak khotbah. Saya berharap Anda tahu: Siapa diri Anda? Mengapa ada di sini? Dan, untuk apa Anda hidup?

 

 

Jakarta, 6 Februari 2025. Minggu V sesudah Epifani, tahun C

Kamis, 30 Januari 2025

BERANI MENJAWAB PANGGILAN-NYA

“Oh, sudah tiga bulan saya resign dari kantor itu, “ jawab seorang pemuda ketika ditanya temannya yang berkunjung ke tempat kerjanya. “Setelah setengah tahun saya bergelut di sana, tampaknya tidak cocok dengan passion saya,” sambungnya ketika ditanya alasan mengapa ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu. Pada pihak lain banyak perusahaan mengeluhkan anak-anak muda dengan mudahnya keluar masuk pekerjaan yang berbeda. 

 

Passion sering kali dijadikan alasan untuk seseorang melanjutkan pekerjaannya atau berganti haluan. Benar, passion menolong seseorang untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Passion merujuk pada perasaan kuat dan mendalam tentang sesuatu, seperti minat, kecintaan, atau semangat. Passion juga yang membuat seseorang bersemangat dan termotivasi untuk melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan berdedikasi. Dalam batas tertentu passion sering kali dihubungkan dengan panggilan. Maka tidak mengherankan, penggunaannya kadang sering digunakan secara bergantian. Namun, kedua kata itu sebenarnya memiliki perbedaan makna mendasar.

 

Panggilan (calling atau vocation) merujuk pada tujuan dan misi yang dipercaya ditetapkan oleh kekuatan yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Misalnya, setelah pemuda itu memperoleh kesempatan melayani di daerah terpencil. Ia melihat begitu antusiasnya anak-anak belajar. Sayangnya, di tempat tersebut tak ada seorang guru pun. Maka, sang pemuda itu terpanggil untuk menjadi seorang guru yang mau ditempatkan di daerah terpencil sekalipun. Dalam hal ini, ia terpanggil untuk melayani masyarakat. 

 

Panggilan bukan sekedar cocok dengan hobi, atau minat saya. Jika sumber motivasi passion itu berasal dari dalam diri sendiri, yakni kesenangan, hobi, minat dan sejenisnya. Maka panggilan itu berasal dari inspirasi atau kekuatan di luar dirinya. Sebagai orang percaya, kekuatan motivasi panggilan itu berasal dari Tuhan. Jika tujuan dari sebuah passion itu saya dapat termotivasi untuk melakukan sesuatu. Maka panggilan, memberikan makna dan tujuan hidup. Jika passion punya interval waktu tertentu, ia dapat berubah-ubah seiring minat yang timbul dari dalam diri. Panggilan bersifat long term untuk tujuan yang spesifik. 

 

Tidak mudah untuk membedakan antara passion dan panggilan. Sama sulitnya untuk mengenali suara siapa yang memanggil. Antara hasrat yang mengendap di alam bawah sadar dan getaran halus suara Tuhan. Mediumnya sama: hati nurani! Di sinilah pentingnya relasi karib dengan Sang Adikodrati. Tidak mungkin kita dapat menengarai suara panggilan itu berasal dari gaung-Nya apabila kita tidak berada dalam amplitudo yang sama. Tidak mungkin juga kita berani menjawab “iya” atas panggilan-Nya itu ketika tidak tahu apa tujuan dari Sang Pemberi misi itu. Relasi intim menjadi jalan untuk kita berada dalam frekuensi dan tujuan yang sama!

 

Relasi itu diprakarsai TUHAN. Dalam konteks Yeremia, TUHAN mulai dengan sapaan bahwa Dialah yang membentuk, mengenal dan mengkhususkannya bagi sebuah misi. Ini tidak mudah, mengingat situasi zaman dan geopolitik yang acak-adut. Kawasan Timur Tengah sekitar  627 – 586 SM sangat kompleks. Yeremia hidup pada masa Israel sudah terpecah menjadi dua kerajaan. Kedigdayaan Asyria begitu dominan termasuk menghegemoni Israel yang membuat Israel begitu tergantung pada Asyria. Dampaknya, kemiskinan dan kemusyrikan menyeluruh! 

 

Bagaimana kondisi dalam negeri Yehuda? Parah! Korupsi, penindasan, suap, jual-beli hukum, ketidakadilan merajalela. Penyembahan berhala terjadi di mana-mana bahkan di kompleks paling suci, Bait Allah! Kehancuran moral menjadi keniscayaan; perzinahan, pencurian, dan kekerasan merupakan pemandangan biasa!

 

Bayangkan, Anda berada dalam situasi ini dan Tuhan meminta Anda memperbaiki situasi: Agar keadilan muncul seperti air yang mengalir, moralitas bercahaya seperti fajar pagi hari, khalayak meninggalkan berhala dan mulai menyembah Allah bukan karena takut dihukum, melainkan karena sukacita dalam kerinduan mengalami perjumpaan. Perjumpaan untuk merasakan dekapan cinta kasih Ilahi. Dalam situasi ini, sangat mungkin Anda akan menjawab: Tidak! Tidak Tuhan, ini terlalu berat, siapakah diriku ini. Ya, jawaban seperti inilah yang diberikan oleh Yeremia atas panggilan TUHAN.

 

Penolakan Yeremia, tampaknya punya dasar rasional. Ia masih sangat muda. Ia merasa tidak pantas dan tidak layak untuk tugas itu (Yeremia 1:6). Yeremia menyadari dalam kemudaan usianya itu, ia tidak memiliki kemampuan berbicara di depan publik. Wajar kalau ia takut. Takut tidak dapat menyampaikan pesan TUHAN dengan efektif dan baik. Tidak kalah pentingnya, Yeremia takut bahwa orang-orang akan menolak pesan TUHAN, alih-alih ia menjadi sasaran tindakan kekerasan brutal dan pembunuhan. 

 

Lalu, apakah Sang Empunya misi diam dan tidak memberikan solusi? Jelas tidak, TUHAN menjelaskan bahwa Dia yang telah membentuk, mengenal, mengkhususkan Yeremia itu tentu akan menjamin dengan memberi kekuatan dan kemampuan agar Yeremia mampu menyampaikan pesan Ilahi dengan baik. TUHAN juga menjamin bahwa Dia akan selalu menyertai Yeremia. Selanjutnya kita tahu bahwa apa yang dijamin oleh TUHAN itu terjadi. 

 

Berkaca dari Yeremia, panggilan itu tidak menghilangkan tantangan dan kesulitan. Lima puluh pasal berikutnya, sebagian besar kisah Yeremia diwarnai dengan pelbagai kesulitan, penderitaan, nyaris menghantar Yeremia pada jurang maut! Yeremia ditolak, difitnah, dimasukkan dalam sumur demi sebuah pesan agar bangsa-Nya berbalik kepada Allah, bertobat dan kembali punya relasi baik dengan Allah sehingga memberkati bangsa-bangsa lain! Di sisi lain, jaminan janji Allah itu begitu nyata, sehingga Yeremia dapat menjalankan tugasnya meski dirundung banyak penolakan.

 

Penolakan yang sama terjadi ketika Yesus memberitakan bahwa diri-Nya adalah wujud nyata dari janji-janji Allah yang dulu dinyatakan melalui para nabi-Nya. Berbeda dari Yeremia yang pada masa awal menunjukkan sikap pesimis untuk menerima panggilan dari TUHAN. Yesus, sebaliknya! Ia sangat optimis, dengan tegas Ia menyimpulkan bahwa nubuatan dari Nabi Yesaya tentang Sang Pembebas itu telah genap di dalam diri-Nya! Pekerjaan dan pelayanan-Nya kelak yang akan membuktikan ucapan-Nya itu. Mengapa Yesus sangat optimis, tidak seperti Yeremia? Jelas, Ia punya hubungan intim dengan Bapa-Nya, setiap firman yang Ia ucapkan terukur dan menjadi satu dengan jati diri-Nya. Inilah yang memudahkan Yesus menyatakan diri sebagai penggenapan janji Allah di masa lampau. 

 

Sangat mungkin Anda kini diperhadapkan pada panggilan Tuhan untuk sebuah misi khusus. Sinyal itu meski redup, namun Anda menangkapnya. Bila Anda bersikap seperti Yeremia, Anda mencoba mengelaknya adalah wajar. Anda takut dengan potensi yang tidak mumpuni. Anda jatuh mental berhadapan dengan orang-orang “besar”. Anda pesimis dapat menunaikan tugas panggilan itu. Sekali lagi, wajar! Namun, pertimbangkan ini: Allah Sang Pemberi misi telah menjawab keraguan Yeremia dengan melengkapi kompetensi dan penyertaan-Nya, sehingga ia berani menjawab panggilan itu. Mestinya, untuk sebuah hidup yang tidak hanya bermakna untuk diri sendiri, tetapi bermakna untuk kebaikan orang lain, berguna untuk menebarkan cinta kasih Ilahi adalah jauh lebih baik membuka hati dan menerima panggilan-Nya. Percayalah, walaupun pada perjalanannya nanti, Anda akan berhadapan dengan pelbagai tantangan dan kemelut. Panggilan itu memperhadapkan Anda pada jurang maut sekalipun, ketika Anda menjalaninya dengan tulus dan setia, Anda tidak akan pernah kecewa!

 

Sebaliknya, ketika Anda kekeh pada sikap pesimis. Mungkin hidup Anda akan baik-baik saja: tidak gaduh dan tidak banyak yang memusuhi Anda. Anda akan nyaman dalam bisnis Anda, bisa saja Anda akan tiba pada suatu waktu pada penyesalan. Hampa makna! Hidup tidak bermakna akan membawa Anda serasa ingin waktu diputar lagi, namun tidak bisa! Jangan sampai pada saat Anda sudah tidak berdaya, Anda berkeluh, “Andai saja waktu dapat diulang!”

 

 

Jakarta, 30 Januari 2025, Minggu IV Sesudah Epifani, tahun C