Masyarakat dan budaya Jawa mengenal “Ilmu Titen”. Ilmu tradisional ini mengajar dan mengasah kepekaan terhadap tanda-tanda alam. Meskipun ilmu titen bukanlah ilmu yang bersifat saintifik, namun telah terbukti bayak bermanfaat untuk memitigasi bencana. Kumpulan pengamatan dan gejala-gejala alam yang mendahului datangnya sebuah bencana dapat menjadi pertanda akurat bahwa peristiwa tersebut kemungkinan besar terjadi.
Titen, dalam Kamus Bahasa Jawa berarti : ingat, teliti yang serumpun dengan kata: camkan, amati, analisa, simak, telisik, dan yang sejenisnya adalah cara bijak untuk menyimpulkan sesuatu dari kejadian yang tampak berulang-ulang yang berlaku pada alam, tempat, atau seseorang. Meski pada mulanya orang sulit menerima metode titen ini secara ilmiah, namun pada perkembangannya dapat dibuktikan melalui kaidah keilmuan yang empiris. Contohnya kita bisa menemukan pada penelitian ilmu statistik yang dipakai pada metode surveisebelum dan sesudah pemilihan umum. Lalu, perkembangan di dera digital, ilmu titen dipakai dalam algoritma pelbagai platform media sosial atau bisnis dan perilaku manusia.
Dalam pengajaran-Nya, Yesus kali ini mengajak para pengikut-Nya untuk meniteni perilaku para ahli Taurat. Jelas, tujuannya bukan untuk mencari-cari kesalahan. Lalu, berdasarkan itu mereka dapat mempermalukan para ahli Taurat itu. Bukan! Tujuan dari pengamatan itu adalah agar mereka tidak mencontoh hal buruk yang mereka titeni itu. Melainkan supaya mereka waspada, tidak ikut-ikutan. Lebih jauh, Yesus menghendaki agar mereka mengenali hasrat buruk yang bercokol dalam hati!
Tidak dapat dipungkiri, ahli Taurat mempunyai kedudukan istimewa dalam masyarakat Yahudi. Ya, ini logis karena mereka percaya bahwa Allah menyatakan kehendak-Nya di dalam Taurat dan, ahli Tauratlah yang punya otoritas untuk menafsirkan kehendak Allah itu. Mereka juga dihormati oleh karena mereka begitu dekat dengan Sang Pemberi Hukum itu, yakni Allah! Ucapan mereka disejajarkan dengan ucapan Allah sendiri sehingga setiap orang yang mendengarnya harus tunduk dan melakukannya dalam ketaatan. Status sosial yang demikian istimewa tampak dalam pakaian dan ornamennya, sehingga kemunculannya di mana pun akan segera dikenali. Mereka menikmati penghormatan yang diberikan masyarakat di tempat-tempat umum seperti pasar, sinagoge, dan jalan perkotaan. Di tempat ibadah, mereka duduk di tempat terbaik, mereka adalah orang-orang yang paling tahu dan menjadi yang paling dihormati. Dalam pesta-pesta, mereka diberi tempat duduk paling terhormat. Siapa yang tidak ingin disanjung seperti ini?
Benar, dalam tradisi Yahudi, para ahli Taurat ini tidak menerima bayaran dari mengajar Taurat. Kehidupan mereka sangat tergantung pada pemberian derma dari umat. Memberikan kebutuhan hidup dan fasilitas kepada para ahli Taurat merupakan bentuk luhur dari kesalehan. Betapa tidak, mereka adalah juru bicara Allah, yang menerjemahkan kehendak Allah agar umat hidup dalam anugerah-Nya. Sampai di sini, tidak ada yang salah!
Umat memberikan kehidupan yang layak dan memfasilitasi dengan rasa hormat untuk para ahli Taurat adalah perbuatan mulia. Namun, dari sisi ahli Taurat, mereka mempergunakan status istimewa itu untuk memenuhi hasrat insani yang dipenuhi dengan hedonisme. Dan, untuk itu mereka tidak segan-segan menggunakan ayat-ayat suci dan penafsirannya yang mengarah kepada pemenuhan hasrat mereka. Mereka bahkan sampai hati “menelan rumah janda-janda”. Koq bisa rumah ditelan? Sebesar apa tenggorokan mereka itu? Ya, tentu saja ini kiasan untuk menggambarkan bahwa rumah para janda itu sudah berpindah tangan. Mereka menjualnya agar dapat menyantuni kehidupan para ahli Taurat ini.
Sebenarnya mereka tahu bahwa para janda ini adalah kelompok rentan yang harus dilindungi, disantuni dan diperhatikan kebutuhannya (Ulangan 24:17,21). Pastilah para ahli Taurat ini juga tahu bahwa ketika janda-janda tidak diperhatikan dan mendapat perlakuan buruk, ada peringatan dan kecaman dari Allah (Yesaya 10:1-2; Yeremia 7:6, Yehezkiel 22:7). Namun, kecaman yang bertebaran dalam kitab para nabi itu diabaikan demi terpuaskannya hasrat mereka. Para ahli Taurat memperdaya orang miskin atas nama kesalehan. Mereka memakai ayat-ayat yang telah dimanupulasi untuk memotivasi kaum miskin ini merelakan harta miliknya demi menyokong kehidupan glamor para pemimpin agama itu.
Para pemuka agama ini sangat pandai menyembunyikan niat busuk mereka dengan topeng kesalehan. Mereka mengelabui mata orang dengan doa-doa puitis nan panjang. Fasih dan panjangnya doa itu seolah mau menegaskan bagaimana mereka bergaul karib dengan Tuhannya. Orang akan memandang mereka kagum dan hormat. Di hadapan mereka, orang lain akan merasa kecil, tidak berdaya dan berdosa! Dalam rasa kagum tak berdaya ini, mereka melepas miliknya dan menyerahkannya kepada ahli surga ini. Inilah kesalehan yang digunakan untuk merampok!
Nyatanya sampai hari ini praktik ini terus terjadi. Umat yang lugu sering dimanipulasi dan ditakut-takuti dengan ayat-ayat tertentu agar merogoh kocek lebih dalam bahkan memberikan apa pun untuk sang hamba Tuhan. Mereka mengais rezeki dengan berpeluh keringat di bawah terik matahari sementara para hamba Tuhan ini hidup dalam kemewahan. Mereka berkilah, itulah tanda bahwa mereka diberkati oleh Tuhan!
Saya mengingatkan kembali, Yesus tidak sedang memprovokasi para pendengar-Nya untuk mencari-cari kesalahan lalu berdasarkan itu mencemooh para ahli Taurat. Bukan begitu! Ia mengajak kita niteni, mengamati dan belajar agar tidak seperti mereka. Meminjam catatan Matius, Yesus mengatakan: “sebab itu, lakukan dan peliharalah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi jangan turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Matius 23:3).
Dalam kapasitas kita, kita berpotensi sama seperti para ahli Taurat. Punya hasrat dan ambisi. Jauh di lubuk hati kita, bahkan sering tanpa sadar kita tidak mengenalinya. Setiap bentuk kesalehan bisa dimanipulasi untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri. Bukankah kita sering memakai kata-kata saleh? Kasih, pengampunan, pelayanan, pengurbanan, persembahan dan semacamnya adalah perkataan dan wacana yang sangat umum! Lalu, apakah benar maknanya kita terapkan? Ataukah melalui kata dan wacana itu kita sedang merengkuh hasrat dan ambisi yang keliru?
Apa yang diperlihatkan oleh para ahli Taurat berbanding terbalik dengan janda miskin yang memberi dua keping uang tembaga, mata uang terkecil. Nominalnya kecil, namun apa yang ia berikan adalah bekal hidupnya untuk hari itu. Bisa jadi si janda ini juga adalah “korban” dari kesalehan semu yang dipraktikkan para ahli Taurat. Sehingga rumahnya juga ikut “ditelan”. Dalam kesederhanaan dan kepapaannya, justru ia memberikan seluruh yang ia miliki. Janda ini mirip dengan Janda di Sarfat, bahan makanan yang hanya cukup sehari, ia berikan kepada nabi TUHAN. Bodohkah mereka? Ya, dilihat dari kalkulasi ekonomi! Namun, dilihat dari hasrat yang tersembunyi di kedalaman hati mereka, mereka adalah orang-orang yang telah dimerdekakan dari nafsu serakah. Mereka adalah orang-orang yang punya hasrat mengasihi Allah melalui sesama, meskipun mereka sendiri dalam kekurangan!
Lalu, bagaimana dengan hasrat dan ambisi kita? Sudahkah kita mengenalinya? Apa yang kita kenali dari hasrat itu, apakah menuruti nafsu hedonis atau keinginan untuk setulus-tulusnya mengasihi Tuhan dan sesama?
Jakarta, 7 November 2024, Minggu Biasa Tahun B