Kamis, 07 November 2024

MENGENALI HASRAT YANG TERSEMBUNYI

Masyarakat dan budaya Jawa mengenal “Ilmu Titen”. Ilmu tradisional ini mengajar dan mengasah kepekaan terhadap tanda-tanda alam. Meskipun ilmu titen bukanlah ilmu yang bersifat saintifik, namun telah terbukti bayak bermanfaat untuk memitigasi bencana. Kumpulan pengamatan dan gejala-gejala alam yang mendahului datangnya sebuah bencana dapat menjadi pertanda akurat bahwa peristiwa tersebut kemungkinan besar terjadi.

 

Titen, dalam Kamus Bahasa Jawa berarti : ingat, teliti yang serumpun dengan kata: camkan, amati, analisa, simak, telisik, dan yang sejenisnya adalah cara bijak untuk menyimpulkan sesuatu dari kejadian yang tampak berulang-ulang yang berlaku pada alam, tempat, atau seseorang. Meski pada mulanya orang sulit menerima metode titen ini secara ilmiah, namun pada perkembangannya dapat dibuktikan melalui  kaidah keilmuan yang empiris. Contohnya kita bisa menemukan pada penelitian ilmu statistik yang dipakai pada metode surveisebelum dan sesudah pemilihan umum. Lalu, perkembangan di dera digital, ilmu titen dipakai dalam algoritma pelbagai platform media sosial atau bisnis dan perilaku manusia.

 

Dalam pengajaran-Nya, Yesus kali ini mengajak para pengikut-Nya untuk meniteni perilaku para ahli Taurat. Jelas, tujuannya bukan untuk mencari-cari kesalahan. Lalu, berdasarkan itu mereka dapat mempermalukan para ahli Taurat itu. Bukan! Tujuan dari pengamatan itu adalah agar mereka tidak mencontoh hal buruk yang mereka titeni itu. Melainkan supaya mereka waspada, tidak ikut-ikutan. Lebih jauh, Yesus menghendaki agar mereka mengenali hasrat buruk yang bercokol dalam hati!

 

Tidak dapat dipungkiri, ahli Taurat mempunyai kedudukan istimewa dalam masyarakat Yahudi. Ya, ini logis karena mereka percaya bahwa Allah menyatakan kehendak-Nya di dalam Taurat dan, ahli Tauratlah yang punya otoritas untuk menafsirkan kehendak Allah itu. Mereka juga dihormati oleh karena mereka begitu dekat dengan Sang Pemberi Hukum itu, yakni Allah! Ucapan mereka disejajarkan dengan ucapan Allah sendiri sehingga setiap orang yang mendengarnya harus tunduk dan melakukannya dalam ketaatan. Status sosial yang demikian istimewa tampak dalam pakaian dan ornamennya, sehingga kemunculannya di mana pun akan segera dikenali. Mereka menikmati penghormatan yang diberikan masyarakat di tempat-tempat umum seperti pasar, sinagoge, dan jalan perkotaan. Di tempat ibadah, mereka duduk di tempat terbaik, mereka adalah orang-orang yang paling tahu dan menjadi yang paling dihormati. Dalam pesta-pesta, mereka diberi tempat duduk paling terhormat. Siapa yang tidak ingin disanjung seperti ini?

 

Benar, dalam tradisi Yahudi, para ahli Taurat ini tidak menerima bayaran dari mengajar Taurat. Kehidupan mereka sangat tergantung pada pemberian derma dari umat. Memberikan kebutuhan hidup dan fasilitas kepada para ahli Taurat merupakan bentuk luhur dari kesalehan. Betapa tidak, mereka adalah juru bicara Allah, yang menerjemahkan kehendak Allah agar umat hidup dalam anugerah-Nya. Sampai di sini, tidak ada yang salah!

 

Umat memberikan kehidupan yang layak dan memfasilitasi dengan rasa hormat untuk para ahli Taurat adalah perbuatan mulia. Namun, dari sisi ahli Taurat, mereka mempergunakan status istimewa itu untuk memenuhi hasrat insani yang dipenuhi dengan hedonisme. Dan, untuk itu mereka tidak segan-segan menggunakan ayat-ayat suci dan penafsirannya yang mengarah kepada pemenuhan hasrat mereka. Mereka bahkan sampai hati “menelan rumah janda-janda”. Koq bisa rumah ditelan? Sebesar apa tenggorokan mereka itu? Ya, tentu saja ini kiasan untuk menggambarkan bahwa rumah para janda itu sudah berpindah tangan. Mereka menjualnya agar dapat menyantuni kehidupan para ahli Taurat ini.

 

Sebenarnya mereka tahu bahwa para janda ini adalah kelompok rentan yang harus dilindungi, disantuni dan diperhatikan kebutuhannya (Ulangan 24:17,21). Pastilah para ahli Taurat ini juga tahu bahwa ketika janda-janda tidak diperhatikan dan mendapat perlakuan buruk, ada peringatan dan kecaman dari Allah (Yesaya 10:1-2; Yeremia 7:6, Yehezkiel 22:7). Namun, kecaman yang bertebaran dalam kitab para nabi itu diabaikan demi terpuaskannya hasrat mereka. Para ahli Taurat memperdaya orang miskin atas nama kesalehan. Mereka memakai ayat-ayat yang telah dimanupulasi untuk memotivasi kaum miskin ini merelakan harta miliknya demi menyokong kehidupan glamor para pemimpin agama itu.

 

Para pemuka agama ini sangat pandai menyembunyikan niat busuk mereka dengan topeng kesalehan. Mereka mengelabui mata orang dengan doa-doa puitis nan panjang. Fasih dan panjangnya doa itu seolah mau menegaskan bagaimana mereka bergaul karib dengan Tuhannya. Orang akan memandang mereka kagum dan hormat. Di hadapan mereka, orang lain akan merasa kecil, tidak berdaya dan berdosa! Dalam rasa kagum tak berdaya ini, mereka melepas miliknya dan menyerahkannya kepada ahli surga ini. Inilah kesalehan yang digunakan untuk merampok! 

 

Nyatanya sampai hari ini praktik ini terus terjadi. Umat yang lugu sering dimanipulasi dan ditakut-takuti dengan ayat-ayat tertentu agar merogoh kocek lebih dalam bahkan memberikan apa pun untuk sang hamba Tuhan. Mereka mengais rezeki dengan berpeluh keringat di bawah terik matahari sementara para hamba Tuhan ini hidup dalam kemewahan. Mereka berkilah, itulah tanda bahwa mereka diberkati oleh Tuhan!

 

Saya mengingatkan kembali, Yesus tidak sedang memprovokasi para pendengar-Nya untuk mencari-cari kesalahan lalu berdasarkan itu mencemooh para ahli Taurat. Bukan begitu! Ia mengajak kita niteni, mengamati dan belajar agar tidak seperti mereka. Meminjam catatan Matius, Yesus mengatakan: “sebab itu, lakukan dan peliharalah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi jangan turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Matius 23:3). 

 

Dalam kapasitas kita, kita berpotensi sama seperti para ahli Taurat. Punya hasrat dan ambisi. Jauh di lubuk hati kita, bahkan sering tanpa sadar kita tidak mengenalinya. Setiap bentuk kesalehan bisa dimanipulasi untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri. Bukankah kita sering memakai kata-kata saleh? Kasih, pengampunan, pelayanan, pengurbanan, persembahan dan semacamnya adalah perkataan dan wacana yang sangat umum! Lalu, apakah benar maknanya kita terapkan? Ataukah melalui kata dan wacana itu kita sedang merengkuh hasrat dan ambisi yang keliru? 

 

Apa yang diperlihatkan oleh para ahli Taurat berbanding terbalik dengan janda miskin yang memberi dua keping uang tembaga, mata uang terkecil. Nominalnya kecil, namun apa yang ia berikan adalah bekal hidupnya untuk hari itu. Bisa jadi si janda ini juga adalah “korban” dari kesalehan semu yang dipraktikkan para ahli Taurat. Sehingga rumahnya juga ikut “ditelan”. Dalam kesederhanaan dan kepapaannya, justru ia memberikan seluruh yang ia miliki. Janda ini mirip dengan Janda di Sarfat, bahan makanan yang hanya cukup sehari, ia berikan kepada nabi TUHAN. Bodohkah mereka? Ya, dilihat dari kalkulasi ekonomi! Namun, dilihat dari hasrat yang tersembunyi di kedalaman hati mereka, mereka adalah orang-orang yang telah dimerdekakan dari nafsu serakah. Mereka adalah orang-orang yang punya hasrat mengasihi Allah melalui sesama, meskipun mereka sendiri dalam kekurangan!

 

Lalu, bagaimana dengan hasrat dan ambisi kita? Sudahkah kita mengenalinya? Apa yang kita kenali dari hasrat itu, apakah menuruti nafsu hedonis atau keinginan untuk setulus-tulusnya mengasihi Tuhan dan sesama?

 

 

Jakarta, 7 November 2024, Minggu Biasa Tahun B

RECOGNIZING HIDDEN DESIRES

Javanese society and culture know "Titen Science". This traditional science teaches and hones sensitivity to natural signs. Although the science of titen (Javanese term) is not a scientific science, it has been proven to be useful for mitigating disasters. A collection of observations and natural phenomena that precede the arrival of a disaster can be an accurate sign that the event is most likely to occur.

 

Titen, in the Javanese Dictionary means: remember, be careful which is cognate with the words: remember, observe, analyze, listen, and the like is a wise way to deduce something from the seemingly repetitive events that occur in nature, place, or person. Although at first it was difficult for people to accept this titen method scientifically, but in its development it can be proven through empirical scientific principles. For example, we can find in statistical research used in survey methods before and after the general election. Then, developments in the digital world, the science of titen is used in the algorithms of various social media platforms or business and human behavior.

 

In His teaching, Jesus this time invited His followers to follow the  behavior of the scribes. Obviously, the goal is not to find fault. Then, on that basis, they can humiliate the scribes. Not! The purpose of the observation is so that they do not emulate the bad thing that they believe. Rather, so that they are vigilant, do not follow along. Furthermore, Jesus wanted them to recognize the bad desires that were ingrained in their hearts!

 

Inevitably, the scribes had a privileged position in Jewish society. Yes, this is logical because they believe that God reveals His will in the Torah and that it is the scribe who has the authority to interpret God's will. They are also honored because they are so close to the Lawgiver, even God! Their utterances are aligned with God's own utterances so that everyone who hears them must submit and do so in obedience. Such a special social status is seen in his clothes and ornaments, so that his appearance everywhere will be immediately recognized. They enjoy the respect that society gives in public places such as markets, synagogues, and urban streets. In places of worship, they sit in the best places, they are the people who know the most and become the most respected. At the parties, they were given the most honorable seats. Who doesn't want to be flattered like this?

 

True, in the Jewish tradition, these scribes did not receive payment for teaching the Torah. Their lives are highly dependent on the giving of donations from the people. Providing necessities and facilities to the scribes is a noble form of piety. How not, they are God's spokespersons, who translate God's will so that people live in His grace. Up to here, nothing went wrong!

 

The ummah gives a decent life and facilitates with respect the scribes is a noble deed. However, from the perspective of the scribes, they use this privileged status to fulfill human desires filled with hedonism. And, for this reason, they do not hesitate to use the scriptures and their interpretations that lead to the fulfillment of their desires. They even went so far as to "swallow up the houses of the widows". Can you swallow a house? How big is their throat? Yes, of course this is a metaphor to illustrate that the widows' house has changed hands. They sell it so that they can support the lives of these scribes.

 

In fact, they know that these widows are a vulnerable group that must be protected, cared for, and cared for (Deuteronomy 24:17,21). Surely these scribes also knew that when widows were ignored and mistreated, there were warnings and condemnations from God (Isaiah 10:1-2; Jeremiah 7:6, Ezekiel 22:7). However, the criticism that was scattered in the prophets' books was ignored for the sake of satisfying their desires. The scribes deceived the poor in the name of righteousness. They used the verses that had been manipulated to motivate the poor to give up their possessions in order to support the glamorous life of the religious leaders.

 

These religious leaders were very good at hiding their bad intentions with a mask of piety. They deceive people's eyes with long, poetic prayers. The eloquent and long prayer seemed to confirm how they got along closely with their God. People will look at them with admiration and respect. In their presence, others will feel small, helpless and sinful! In this helpless awe, they took off their possessions and handed them over to this heavenly expert. This is the piety used to rob! 

 

In fact, to this day this practice continues to occur. Innocent people are often manipulated and frightened with certain verses in order to spend more deeply and even give anything for the servant of God. They scavenge for sustenance by sweating under the hot sun while these servants of God live in luxury. They say, that's a sign that they are blessed by God!

 

I remind you that Jesus was not provoking His hearers to look for faults and then ridicule the scribes on the basis of that. Not so! He invites us to be nervous, observe and learn to be not like them. Borrowing Matthew's account, Jesus said, "therefore, do and keep all the things they teach you, but do not obey their works, for they teach them but do not do them" (Matthew 23:3). 

 

In our capacity, we have the potential to be the same as the scribes. Have passion and ambition. Deep down in our hearts, we often unconsciously don't even recognize it. Every form of piety can be manipulated to gain self-benefit. Don't we often use godly words? Love, forgiveness, service, sacrifice, offerings and the like are very common words and discourses! Then, is the meaning really what we apply? Or are we embracing the wrong desires and ambitions through those words and discourses? 

 

What the scribes show is inversely proportional to the poor widow who gives two pieces of copper coins, the smallest currency. The nominal is small, but what he gives is the provision of his life for that day. It could be that this widow was also a "victim" of the pseudo-piety practiced by the scribes. So that his house was also "swallowed". In her simplicity and poverty, she gave everything she had. This widow was similar to the Widow at Zarephath, who had only enough food for a day, she gave to the prophet of the Lord. Are they stupid? Yes, judging from economic calculations! However, judging from the desires hidden in the depths of their hearts, they were the ones who had been liberated from greedy lust. They are people who have a desire to love God through others, even though they themselves are lacking!

 

Then, what about our desires and ambitions? Have we recognized it? What do we recognize from that desire, is it to indulge in hedonistic lust or to sincerely love God and others?

 

 

Jakarta, November 7, 2024, Ordinary Sunday Year B