Kamis, 28 Maret 2019

SUKACITA PENDAMAIAN

Sebuah peristiwa dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Itulah perspektif! Injil Lukas 15:11-32 diberi judul oleh Lembaga Alkitab Indonesia “Perumpamaan tentang anak yang hilang”. Mau tidak mau ketika pertama kali membacanya, fokus kita mengarah pada perilaku si anak bungsu yang menuntut pembagian waris dari ayahnya – sebuah tindakan put hauw:kurang ajar, karena sang ayah masih segar bugar – kemudian si anak durhaka ini pergi, berfoya-foya dengan ke-hweyang dia terima. Anak bungsu ini “terhilang” dari bapaknya.

B.J. Boland menawarkan perspektif lain, yang menjadi pokok inti perenungan dari perumpamaan ini bukanlah “si anak hilang” tetapi sang ayah yang penuh kasih, sosok dialah yang disebutkan sebagai subyek utama pada awal cerita (Luk.15:11) dan akhir kisah (Luk.15:32). Injil (baca: kabar baik) yang diberitakan lewat perumpamaan ini adalah, “begitulah Tuhan Allah – yakni seperti bapak dalam perumpamaan ini – begitulah sikap dan perlakuan-Nya terhadap anak-anak-Nya, penuh anugerah dan kasih sayang!”

Seberapa besar kasih bapak itu? Kita dapat melihat kembali dalam tradisi Yahudi mengenai pembagian harta waris. Sesuai dengan adat Yahudi di Palestina, seorang ayah dapat membagikan hartanya melalui surat waris yang pelaksanaannya nanti ketika ia telah meninggal. Bisa juga diberikan ketika ia masih hidup. Kemungkinan hal ini terjadi ketika sang anak menuntut pembagian, seperti dalam perumpamaan ini. Namun, mestinya cara seperti ini tidak terjadi. Bagi orang Yahudi ada peringatan agar pembagian waris tidak dilakukan ketika si pemberi waris masih hidup (Kitab Sirakh 33:19-23). Bayangkan, meski ada pelarangan si anak bungsu tetap memaksa dan si ayah memberikannya.

Pembagian waris itu diatur, anak tertua menerima dua bagian dari segala kepunyaan sang ayah, yaitu dua kali lipat daripada harta yang diberikan kepada anak-anak lain. Namanya “hak kesulungan” (Ulangan 21:17). Dalam perumpamaan ini tampaknya sang ayah hanya punya dua anak, sehingga dapat dipastikan bahwa si sulung diberi 2/3, sedangkan anak bungsu 1/3 kekayaan keluarga. Dengan jatah tersebut, masing-masing disebut “pemilik”, namun hasil kelola harta itu tetap menjadi milik sang ayah selama ia hidup. Bila si anak menjula harta waris itu, maka si pembeli baru dapat mengambilnya setelah sang ayah meninggal. Dari perumpamaan ini kita mengerti bahwa, meskipun sang ayah telah membagi-bagikan hartanya, ia tetap mempunyai kuasa atas hartanya. Ia dapat memberi perintah kepada para hambanya (ay.22), ia menyuruh hambanya untuk menyembelih lembu (ay.23), dan tetap berbicara tentang “segala milikku” (ay.31).

Tampaknya, si sulung menjadi seorang anak u-hauw, tinggal dan mengabdi kepada ayahnya. Sedangkan si bungsu menjual seluruh bagiannya. Dengan uang hasil penjualan itu ia hidup berfoya-foya di negeri entah berantah. Lama-kelamaan hartanya habis. Demi memertahankan hidup, ia bekerja pada seorang peternak babi. Begitu kelaparannya, hingga ia hendak mengambil ampas pakan babi. Namun, tidak seorang pun memberikannya. Tragis! Kenyataan ini membuat si bungsu berefleksi bahwa keadaanya kini jauh lebih buruk ketimbang orang-orang upahan yang bekerja di rumah ayahnyamereka menikmati kelimpahan roti.

Melalui peristiwa menyedihkan ini, apakah si bungsu bertobat? Kebanyakan para penafsir sependapat bahwa si bungsu pulang ke rumah ayahnya bukan karena bertobat, melainkan karena kehabisan uang sehingga menderita kelaparan hebat. Juga karena kehilangan warisannya. Seandainya ia tidak kehabisan uang, ia tidak akan pulang dan tidak akan pernah mengaku dirinya berdosa pula. Tetapi, ia sadar bahwa dengan memboroskan uang, ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai perintah Tuhan, yakni memelihara ayah di hari tuanya. Dalam arti inilah ia merasa berdosa terhadap ayahnya! Namun demikian, tampaknya ia tidak peduli dengan kesusahan sang ayah ketika masih tinggal bersamanya.
Sang ayah pastitahu, mengenal dengan baik tabiat anaknya. Namun, ketika sang anak muncul kembali dari kejauhan, ia bangkit dan menyongsong si anak put-hauwini. Ia memerintahkan para hambanya untuk mengadakan pesta. Namun, tampaknya hal ini menyakitkan bagi sang kakak. Ia tidak rela kalau adiknya yang durhaka itu disambut dan dirayakan dengan pesta. Sang ayah menjawab keberatan si sulung, “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”(Luk.15:32).

Dari kata-kata sang ayah, kita dapat menyimpulkan bahwa ia sama sekali tidak peduli tentang motivasi yang mendorong anaknya pulang. Ia juga tidak mengucapkan sepatah kata pun yang dapat diartikan sebagai pernyataan pengampunan (Yesus tidak memperkenalkan si bungsu sebagai teladan pertobatan). Ayah itu mementingkan satu hal saja, yakni : Anaknya selamat dan kembali! 

Perumpamaan ini berakhir dengan ucapan sang ayah. Dialah pelaku utama kisah ini! Tidak jelas, apakah kemudian si sulung akhirnya berhasil dibujuk oleh ayahnya untuk menyambut adiknya sendiri. Tidak diungkapkan juga apakah ia pada akhirnya mengambil bagian dalam pesta sukacita Bersama sang adik. Dapat disimpulkan bahwa Yesus dengan sengaja mengakhiri kisah perumpamaan ini sampai di situ. Oleh karena itu, kata-kata sang ayah harus dibaca sebagai imbauan yang ditujukan kepada para pendengarnya, yakni orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang sedang menggugat Yesus lantaran bergaul dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa (Lukas 15:1-3 sebagai konteks Yesus berbicara). Pendengar-Nya itu diajak mengambil bagian dalam sukacita Allah. Maukah mereka menyambut orang-orang berdosa itu? Mampukah hati mereka mengasihi para pendosa seperti Allah yang tanpa hentinya manusia sebagai anak-anak-Nya? Banyak orang begitu rajin melaksanakan segala perintah Allah, sehingga akhirnya mereka jijik memandang sesamanya yang melanggar perintah-perintah Allah itu. Lalu mereka tidak sudi bergaul dengan kaum pendosa itu lagi!

Perumpamaan ini bagai cermin yang diletakkan di depan muka kita sendiri. Apakah kita seperti anak bungsu itu, artinya sebagai orang-orang yang menjadi sadar akan kasih karunia Bapa, lalu kemudian bertobat dan memilih jalan pulang dan menemukan kasih Bapa yang luar biasa itu? Ataukah barangkali, kita adalah seperti anak sulung itu. Artinya, sebagai orang-orang yang secara lahiriah mencoba melayani dan menaati Allah, tanpa menyadari bahwa kita pun bisa seperti “anak yang hilang” itu, yakni memerlukan pengampunan Sang Bapa. 

Tentu saja melalui perumpamaan ini, Yesus menghendaki kita ikut bersukacita dalam pesta pendamaian. Untuk dapat ikut dalam sukacita itu, mau tidak mau kita harus berdamai dengan diri sendiri. Bisa saja kesibukan pelayanan, cara-cara kita memelihara ibadah dan hidup dalam kesalehan justeru menghambat kita menerima orang lain. Sering seperti anak sulung, malah kita menuntut imbalan dan keistimewaan. Kita tidak merasakan kebahagiaan hidup Bersama dalam pekerjaan Bapa!

“Kamu salah jika kamu melakukan kebaikan pada orang dan berharap dibalas, dan tidak melihat perbuatan baik itu sendiri sudah menjadi upahmu. Apa yang kamu harapkan dari membantu seseorang? Tidaklah cukup bahwa kamu sudah melakukan apa yang dituntut Alam (Nature)? Kamu ingin diupah juga? Itu bagaikan mata menuntut imbalan karena ia sudah melihat, atau kaki meminta imbalan karena sudah melangkah. Memang sudah itu rancangan mereka…begitu juga kita manusia diciptakan untuk membantu sesama. Dan ketika kita membantu sesama, kita melakukan apa yang sudah dirancangkan untuk kita. Kita melakukan fungsi kita.” (Marcus Aurelius /Meditation).

Meminjam kalimat Marcus Aurelius, kita dirancang Tuhan untuk hidup menjadi berkat, meraih yang terhilang, melayani sesama, bersukacita dan berdamai. Jadi, ketika kita – seperti si anak sulung – menuntut penghargaan dari ayahnya, maka kita sedang mengingkari jati diri kita!

Jakarta, Minggu Pra=paskah IV 2019

Kamis, 21 Maret 2019

BERBUAH DI DALAM ANUGERAH

Bencana, malapetaka dan kematian tragis sering dikaitkan dengan keberdosaan orang yang ditimpanya. Kita sering ikut-ikutan meramaikannya. Dulu, Ahok dizolimi. Kini, beberapa tokoh yang berperan menghentikan langkah Ahok dan memenjarakannya tersandung kasus-kasus pidana. Sebagiannya mendekam dipenjara, ada yang sakit dan meninggal, dan pergi keluar negeri sampai sekarang belum kembali. Kita mengatakannya itu semua sebagai balasan! Demikian juga kasus-kasus yang lain. Entah, kita belajar dari mana menarik kesimpulan seperti itu. Padahal, Yesus sendiri menolak pandangan seperti itu.

Penolakan itu tercermin dari reaksi Yesus terhadap dua laporan bencana yang menimpa orang-orang di sekitar mereka. Pertama, pembunuhan terhadap orang Galilea atas perintah Pilatus. Pembunuhan itu tidak hanya mengerikan tetapi juga sadis dan biadab: darah mereka dicampur dengan darah hewan korban! Mengapa Pilatus membunuh orang-orang Galilea itu? Sumber-sumber sejarah bungkam tentang peristiwa pilu ini. Hanya Injil Lukas yang mencatatnya. Meski tidak dicatat dalam buku sejarah, namun peristiwa semacam ini sangat cocok dengan karakter Pilatus. Flavius Yosefus, ahli sejarah Yahudi yang hidup sezaman dengan Pilatus menceritakan bahwa Pilatus adalah sosok yang kejam. Ia selalu menghina bangsa Yahudi dalam pelbagai kesempatan, merampas milik mereka seenaknya, membunuh tanpa proses pengadilan, puncaknya pembantaian sejumlah orang Samaria di Gunung Gerazim pada tahun 35. Pada saat itu sejumlah orang Samaria sedang mencari guci, yang menurut kabar ditanam oleh Musa di Gunung Gerizim, gunung suci mereka. Peristiwa ini merisaukan Pilatus kalau-kalau nanti mengancam kekuasaannya. Sebab itu, ia mengambil tindakan keras. Ia memerintahkan tentarannya untuk menduduki Gunung Gerizim, menangkap orang-orang Samaria itu lalu memenggal mereka. Peristiwa ini menyulut protes wali negeri Siria, Vitellius kepada Kaisar. Akibatnya, Kaisar memecat Pilatus.

Di lain peristiwa, Yosefus mencatat bahwa Pilatus berniat memperbaiki saluran air minum ke Yerusalem. Proyek ini diperkirakan menelan anggaran besar. Pilatus tidak mau mengeluarkan dana dari anggaran belanja pemerintahannya. Ia memakai cara licik: ongkos pekerja diambil dari perbendaharaan Bait Suci! Apa dan bagaimana reaksi orang Yahudi? Marah! Ini merupakan tindakan penghinaan terhadap kultus Bait Allah. Mereka, khususnya orang-orang Galilea yang temperamental protes menyerukan kata-kata kebencian pada sebuah aksi demontrasi. 

Bagaimana reaksi Pilatus? Ia memerintahkan serdadu-serdadunya, dengan membawa tongkat yang disembunyikan di balik jubah mereka, untuk mengepung barisan rakyat yang sedang berdemo itu. Dan ketika mereka mulai lagi mencemooh Pilatus, ia memberi tanda kepada mereka untuk menjalankan perintahnya. Menghabisi mereka! Dan karena orang-orang Yahudi itu tidak bersenjata, mereka tidak dapat melawan. Banyak dari mereka yang terluka dan terbunuh. Jadi tidaklah mengherankan jika Pilatus sering melakukan aksi-aksi pembunuhan biadab, termasuk pembunuhan orang-orang Galilea yang darahnya dicampur dengan darah hewan korban di Bait Allah.

Siapa yang menceritakan insiden itu kepada Yesus dan mengapa mereka menceritakan kepada=Nya? Kita tidak menemukan jawaban gamblang. Apakah karena Yesus dan murid-murid-Nya berasal dari Galilea? Ataukah hal itu diceritakan oleh kaum Zelotis yang berharap bahwa dengan kejadian-kejadian itu emosi Yesus tersulut – dan sama seperti mereka – kemudian melakukan seruan pemberontakan? Mungkinkah kabar itu berasal dari orang Farisi, yang menganggap bahwa perbuatan-perbuatan teror kaum Zelotis justru dapat mnimbulkan pembalasan dari pihak Pilatus, sehingga mereka menganggap kaum Zelotis itu turut bersalah dalam peristiwa tragis situ?

Penafsir Injil Lukas, B.J. Boland mengatakan, “Bagaimanapun juga, dalam jawaban-Nya, Yesus tidak menyinggung segi politik dari perkara itu. Yang dianggap-Nya penting adalah sisi teologis atau spiritualitasnya, yang lazim dihubungkan orang dengan peristiwa-peristiwa seperti itu, baik dari kalangan orang-orang Farisi maupun di antara rakyat biasa, yakni: bahwa salah satu penderitaan menimpa manusia sebagai hukuman untuk suatu dosa tertentu, dan bahwa dari beratnya penderitaan itu dapat ditarik kesimpulan tentang beratnya dosa itu (bnd.Yoh.9:3). Jadi, Yesus seakan dapat menebak pikiran mereka dan menentang pemahaman teologi mereka. Alih-ali setuju dengan pendapat mereka, Yesus memakai peristiwa tragis itu menyerukan pertobatan. Seolah Ia berkata, “Kamu ini masih hidup, maka pakailah waktu dan kesempatan yang diberikan kepadamu itu, yakni dengan jalan bertobat, sebab kalau engkau tidak bertobat, maka pada suatu hari engkau engkau sendiri akan ditimpa hukuman!”

Yesus sendiri masih memperkuat dengan contoh tragis kedua yang berhubungan dengan proyek air minum. Belum lama terjadi suatu kecelakaan di Yerusalem yang menyebabkan delapan belas orang Yerusalem meninggal. Kemungkinan para korban adalah mereka yang sedang membangun Menara Siloam di sudut tembok kota. Diduga mereka bekerja di sana berhubungan dengan proyek saluran air minum itu. Berkembanglah rumor, “Nah, itulah hukuman bagi orang-orang yang menolong Pilatus dengan rancangan-rancangannya yang busuk!

Namun, Yesus menolak pandangan demikian, “Tidak! Mereka tidak lebih berdosa daripada orang-orang Israel lainnya!” Pernyataan ini muncul dalam Lukas 13: 3 dan 5. Kecelakaan atau malapetaka fisik bukanlah bukti dari dosa tertentu! Sebab, ada banyak orang yang tidak kurang berdosa ketimbang mereka yang menjadi korban itu, hidupnya baik-baik saja – tidak pernah mengalami malapetaka! Meski berkata, “Tidak!” Yesus mengingatkan mereka dengan keras untuk bertobat. Dalam ucapan Yesus ini terkandung pemahaman, “Jika bangsa Yahudi tidak bertobat, maka mereka akan mengalami kebinasaan. Sebelumnya, Yesus sudah memakai contoh kota Tirus, Sidon, Sodom, dan Niniwe akan mengalami hukuman lebih ringan daripada bangsa Yahudi jika tidak bertobat. Bagaimanapun juga ketika orang tidak menggunakan kesempatan hidupnya untuk bertobat dan menghasilkan buah pertobatan maka kebinasaanlah yang akan mereka tuai.

Hidup setiap murid Tuhan yang bertobat seharusnya menghasilkan buah. Buah yang dimaksud adalah karakter dan perilaku baik. Karakter dan perilaku baik itu sangat berbeda bahkan berlawanan dengan tabiat manusia lama sebelum mengenal Kristus. Itulah makna dari metanoia: bukan hanya berhenti melakukan tindakan dosa melainkan berhenti dan berbalik arah! Bukan sekedar berhenti mencuri tetapi berusaha memberi. Bukan stop membicarakan kesalahan orang lain, tetapi kini berusaha menjadi teladan agar orang lain termotivasi melakukan tindakan kebajikan. Bukan hanya berhenti bertindak egois, namun kini belajar melayani orang lain!

Melalui tanggapan terhadap malapetaka dan perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah, Yesus sangat serius dengan berita pertobatan. Pohon ara dari perumpamaan ini ditanam di tanah yang baik, bukan tumbuh sembarangan melainkan di dalam kebun anggur. Itu artinya semua kebutuhan nutrisi dan perawatan lebih dari cukup. Tentu saja si pemiliknya berharap agar pohon ara itu berbuah. Namun, setelah 3 tahun – pohon yang semestinya telah berbuah – pohon itu hanya menghasilkan daun. Jauh dari harapan sang pemilik. Si pemiliknya kecewa dan sambil mengeluh, ia memerintahkan kepada tukang kebun itu untuk menebang saja pohon ara yang mandul itu. 

Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk menantikan pohon ara itu berbuah. Bila Yesus mengucapkan jangka waktu tiga tahun di penghujung karya-Nya. Maka hal ini bisa dipahami bahwa Ia sudah tiga tahun, pelayanan-Nya sudah hampir selesai di tengah-tengah bangsa-Nya sendiri. Namun, nyatanya mereka tidak berubah. Mereka tidak bedanya dengan bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah. Alih-alih bertobat, Israel justru berencana membunuh-Nya. 

Sudah berapa lama kita mengenal dan mengikut-Nya? Adakah karakter dan perilaku yang sudah berubah? Adakah kualitas tabiat hidup kita berada di atas mereka? Ataukah justru lebih rendah dari mereka yang tidak mengenal Allah? Kalau hal ini terjadi, maka bersiaplah bahwa kita akan “ditebang” oleh Sang Pemilik kebun itu!

Tetapi bila perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah ini diletakan di awal karya Yesus. Maka ungkapan ini mengacu kepada lamanya waktu persiapan akan Mesias (termasuk karya Yohanes Pembaptis. Para nabi sejak dahulu menangisi Israel sebagai pohon yang tidak berbuah. Karya Yesus yang berada di tengah-tengah mereka boleh diartikan sebagai waktu tambahan yang Allah berikan bagi Israel.

Ketika kita masih diberi nafas kehidupan sampai saat ini, secara spiritualitas kita dapat mengatakan bahwa Tuhan masih memberikan waktu tambahan buat kita. Nah, sekarang apakah kita menyia-nyiakan kebaikan dan kesabaran Tuhan? Ataukah kita mengisinya dengan melakukan segiat-giatnya kehendak Bapa? Jadi, jangan sekali-kali kita mencobai kesabaran Tuhan, sebab siapa tahu tidak ada lagi waktu untuk kita berbalik dan akhirnya menuju kebinasaan!

Bagi para penatua dan badan pelayanan yang baru dilantik. Inilah saatnya kita membuktikan dan ambil bagian untuk hidup berbuah. Di sinilah di “kebun anggur Tuhan”, kita harus mengisi kehidupan kita dengan segala kebajikan yang berasal daripada-Nya. Tuhan menginginkan kita tumbuh dan berbuah sehingga mengharumkan nama Tuhan dan gereja ini menjadi saluran berkat bagi banyak orang.

Jakarta, Minggu Pra-paskah III, 2019