Steven Spielberg dalam karyanya: “Schindler’s List” mencoba mengemas keberanian seorang Oskar Schindler dalam menghadapi kekejaman dan ketidakadilan. Schindler, seorang pengusaha sekaligus anggota partai Nazi di bawah pimpinan Hitler. Dilematis! Ia banyak mempekerjakan orang-orang Yahudi, sementara partainya sedang menumpas habis orang-orang Yahudi.
Kekejaman Nazi terhadap orang-orang Yahudi bagi Schindler bukan lagi kata orang. Sebagai orang dalam – anggota Nazi – ia dapat menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya bagaimana genosida itu berlangsung. Kekejaman itu terasa ngilu dalam batinnya! Ini membuatnya bertekad untuk melakukan pelbagai tindakan penyelamatan. Schindler sangat sadar apa risiko bagi dirinya. Namun, empati yang menggelitik hatinya mengalahkan pertimbangan rasional kala itu. Di tengah-tengah keganasan Nazi membantai orang-orang Yahudi, Schindler dengan pelbagai cara berhasil menyelamatkan 1200 orang Yahudi. Maka tak mengherankan, setelah Perang Dunia II reda, komunitas Yahudi dan pemerintah Israel mengakuinya sebagai pahlawan!
Orang Yahudi adalah musuh yang harus dimusnahkan bagi para pengikut Nazi. Namun, ini tidak berlaku bagi Schindler. Ia memiliki nurani, sehingga membuahkan tindakan berisiko itu. Schindler lebih melihat orang-orang Yahudi sebagai sesamanya yang harus dilindungi ketimbang sebagai musuh yang harus diberangus dan dimusnahkan.
Jauh sebelum negara Jerman terbentuk dan Nazi membantai orang-orang Yahudi karena superioritas, orang-orang Yahudi lebih dahulu punya kebanggaan superior. Dalam diri setiap orang Yahudi punya keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan Allah, bangsa yang istimewa! Saking istimewanya, mereka tidak akan bergaul dengan kalangan di luar komunitasnya. Haram! Maka tidaklah mengherankan ketika Petrus menerima undangan dan kemudian membaptis Kornelius beserta seluruh keluarganya, ini menjadi persoalan serius buat mereka. Kata mereka “Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka.” (Kisah Para Rasul 11:3). Beruntung, Petrus dapat menjelaskan dan mempertanggungjawabkan baptisan yang ia lakukan terhadap Kornelius. Lewat peristiwa ini, Petrus berhasil menjelaskan bahwa Allah berkenan kepada siapa pun, dari bangsa mana pun. Melalui pengalaman penglihatannya, Petrus menyimpulkan bahwa Allah sendiri tidak pernah mengharamkan manusia dari kelompok di luar Yahudi.
Jauh sebelum Petrus dapat merefleksikan keyakinannya bahwa Allah mengasihi bangsa-bangsa lain, Yesus yang sedang ia beritakan telah menanamkan benih unggul tentang cinta, anugerah dan persahabatan yang tidak memilih-milih siapa penerima kasih itu. Dalam peristiwa perjamuan malam terakhir itu, kasih yang otentik diperagakan oleh Yesus. Pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus tidak melewatkan satu pun murid-Nya, kendati ada dari antara mereka yang bakal menghianati dan menyangkal-Nya. Semua dibasuh-Nya, semua dicintai-Nya! Di malam pembasuhan kaki itu paradoks yang menyakitkan antara kasih ilahi dan pengkhianatan manusiawi digelar.
Di titik inilah Yesus mengajak para pengikut-Nya untuk mengikuti jalan hidup-Nya; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi (Yohanes 13:34). Yesus menginginkan agar kasih yang diperagakan-Nya menjadi inspirasi bagi para pengikut-Nya. Kasih yang bukan mencari sensasi dan keuntungan diri, tetapi kasih yang mau berkorban demi kebaikan orang yang dikasihinya. Bisa Anda bayangkan, Yesus tahu siapa yang akan menyangkal dan menghianati diri-Nya, namun Ia tetap melayani mereka!
Tidaklah mudah menjadikan sebuah tindakan sebagai sumber inspirasi buat kita. Anda dan saya dapat terinspirasi membuat kebun durian setelah menonton beberapa tayangan video di Youtube. Mengapa? Terlihat mudah, setelah empat sampai lima tahun berbuah. Setelah berbuah tinggal menghitung keuntungannya. Bayangkan, jika yang Anda tanam adalah durian Musangking, Black Thorn, atau Super Tembaga. Harganya di atas Rp. 300,000,-, satu pohon menghasilkan 20-50 buah dan satu buah itu beratnya 2 – 3 kg, berapa uang yang Anda hasilkan dari satu batang pohon? Banyak orang tergiur dan terinspirasi untuk membuka kebun dan menanam durian. Alasannya jelas, cuan besar!
Lalu, apakah yang membuat kita antusias menjadikan kasih yang ditawarkan Yesus itu sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan ini? Apa untungnya mengasihi orang lain dengan sepenuh hati? Apa nilai manfaatnya mengasihi orang yang jelas-jelas penghianat? Bagi banyak orang ini bukan saja tindakan mubazir, tetapi konyol! Dampaknya jelas, meski banyak orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus, namun keseharian hidupnya tidak terinspirasi oleh kasih yang diajarkan dan dihidupi-Nya. Tidak worth it! Di satu sisi kita membenci para ahli Taurat yang munafik, tetapi di pihak lain kita juga melakukan tindakan yang sama. Dengan superioritasnya, para ahli Taurat mengklaim diri mereka pemegang otoritas kebenaran ilahi, dengan superioritas yang sama kita juga mengatakan bahwa diri kitalah pemegang hak atas orang-orang yang diselamatkan. Di luar komunitas kita, tidak ada tempat untuk keselamatan!
Apa untungnya menjadikan kasih yang diajarkan Yesus sebagai sumber inspirasi? Mari lihat kondisi dunia saat ini. Apakah Anda sekarang bahagia melihat banyak penderitaan yang dialami anak-anak manusia? Apakah Anda menginginkan sesuatu yang baru, murni dan indah terjadi dan hadir di bumi ini? Apakah Anda menginginkan persahabatan, kepedulian dan keadilan bergulung-gulung seperti air? Apakah Anda menginginkan mata rantai balas dendam berakhir? Jika jawaban Anda “iya”, maka cinta kasih yang diajarkan dan dicontohkan Yesus layak dipertimbangkan sebagai sumber inspirasi!
Gambaran langit baru dan bumi yang baru seperti dilihat oleh Yohanes (Yohanes 21:1-6) adalah kenyataan yang dapat terjadi bukan saja harapan utopis di seberang kematian. Ini sangat mungkin terjadi kini dan di sini. Manusia akan terbebas dari penindasan, ketidakadilan, perlakuan buruk, keserakahan, dan semacamnya ketika benar-benar terinspirasi oleh kasih Allah di dalam diri Yesus Kristus. Coba Anda bayangkan, ketika semua orang terinspirasi oleh kasih-Nya, bagaimana mungkin ada tindakan semena-mena? Sayangnya, kita selalu menunggu. Siapa yang harus memulai duluan?
Pertimbangkan ini, jika Anda dan saya benar-benar tersentuh oleh kasih Kristus, maka kasih itu akan menggelisahkan kita, ia akan menghancurkan batas-batas primordial, superioritas, kebanggaan diri, bahkan batas-batas antara kawan dan lawan; sahabat dan penghianat! Kasih itu akan membuat mata hati kita cerah melihat sisi kemanusiaan ketimbang aksesoris identitas kelompok dan golongan. Anda dan saya tidak lagi berpikir apa untungnya buat saya kalau mengasihi dia? Anda dan saya akan menjadi seperti Petrus yang bertanggung jawab bahkan mau menyahabati orang-orang asing dan mereka yang berseberangan dengan kita!
Inilah perintah sekaligus inspirasi baru! Benar, ini tidak mudah. Sekaliber Petrus saja harus mengalami proses jatuh bangun untuk dapat menjelma kembali sebagai batu karang. Proses itu dapat dilaluinya dengan kerendahan hati. Kita dapat belajar dari Petrus, bukan kelemahan manusiawi yang ditonjolkannya, tetapi kesediaan diri untuk dipulihkan. Beranjak dari masa lalu yang menyedihkan dan memalukan. Lalu, membuka hati untuk menerima inspirasi kasih yang diperagakan oleh Yesus.
Sebagai manusia, tidak semua masa lalu kita indah. Ada kalanya kita seperti Petrus, pernah menyangkal, bertindak ceroboh dan memalukan, gagal mempertahankan iman di tengah pencobaan. Ya, ini manusiawi!Pada pihak lain, Allah sangat kaya dengan pelbagai karya-Nya. Melalui orang-orang yang Ia hadirkan dalam kehidupan ini, kita dapat belajar dan menjadikan mereka sumber inspirasi untuk kita bangkit dan membangun kembali spiritualitas cinta kasih yang Tuhan kehendaki.
Bola ada di tangan kita! Apakah kita mau seperti Yudas Iskaryot yang bergeming pada pendiriannya, pergi untuk memenuhi hasratnya dalam gelap malam? Ataukah seperti Petrus yang mau kembali menjadi pengikut Tuhan yang setia?
Jakarta, 15 Mei 2025, Minggu Paskah ke- V tahun C