Kamis, 15 Mei 2025

KASIH ALLAH YANG MENGINSPIRASI

Steven Spielberg dalam karyanya: “Schindler’s List” mencoba mengemas keberanian seorang Oskar Schindler dalam menghadapi kekejaman dan ketidakadilan. Schindler, seorang pengusaha sekaligus anggota partai Nazi di bawah pimpinan Hitler. Dilematis! Ia banyak mempekerjakan orang-orang Yahudi, sementara partainya sedang menumpas habis orang-orang Yahudi.

 

Kekejaman Nazi terhadap orang-orang Yahudi bagi Schindler bukan lagi kata orang. Sebagai orang dalam – anggota Nazi – ia dapat menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya bagaimana genosida itu berlangsung. Kekejaman itu terasa ngilu dalam batinnya! Ini membuatnya bertekad untuk melakukan pelbagai tindakan penyelamatan. Schindler sangat sadar apa risiko bagi dirinya. Namun, empati yang menggelitik hatinya mengalahkan pertimbangan rasional kala itu. Di tengah-tengah keganasan Nazi membantai orang-orang Yahudi, Schindler dengan pelbagai cara berhasil menyelamatkan 1200 orang Yahudi. Maka tak mengherankan, setelah Perang Dunia II reda, komunitas Yahudi dan pemerintah Israel mengakuinya sebagai pahlawan!

 

Orang Yahudi adalah musuh yang harus dimusnahkan bagi para pengikut Nazi. Namun, ini tidak berlaku bagi Schindler. Ia memiliki nurani, sehingga membuahkan tindakan berisiko itu. Schindler lebih melihat orang-orang Yahudi sebagai sesamanya yang harus dilindungi ketimbang sebagai musuh yang harus diberangus dan dimusnahkan.

 

Jauh sebelum negara Jerman terbentuk dan Nazi membantai orang-orang Yahudi karena superioritas, orang-orang Yahudi lebih dahulu punya kebanggaan superior. Dalam diri setiap orang Yahudi punya keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan Allah, bangsa yang istimewa! Saking istimewanya, mereka tidak akan bergaul dengan kalangan di luar komunitasnya. Haram! Maka tidaklah mengherankan ketika Petrus menerima undangan dan kemudian membaptis Kornelius beserta seluruh keluarganya, ini menjadi persoalan serius buat mereka. Kata mereka “Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka.” (Kisah Para Rasul 11:3). Beruntung, Petrus dapat menjelaskan dan mempertanggungjawabkan baptisan yang ia lakukan terhadap Kornelius. Lewat peristiwa ini, Petrus berhasil menjelaskan bahwa Allah berkenan kepada siapa pun, dari bangsa mana pun. Melalui pengalaman penglihatannya, Petrus menyimpulkan bahwa Allah sendiri tidak pernah mengharamkan manusia dari kelompok di luar Yahudi.

 

Jauh sebelum Petrus dapat merefleksikan keyakinannya bahwa Allah mengasihi bangsa-bangsa lain, Yesus yang sedang ia beritakan telah menanamkan benih unggul tentang cinta, anugerah dan persahabatan yang tidak memilih-milih siapa penerima kasih itu. Dalam peristiwa perjamuan malam terakhir itu, kasih yang otentik diperagakan oleh Yesus. Pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus tidak melewatkan satu pun murid-Nya, kendati ada dari antara mereka yang bakal menghianati dan menyangkal-Nya. Semua dibasuh-Nya, semua dicintai-Nya! Di malam pembasuhan kaki itu paradoks yang menyakitkan antara kasih ilahi dan pengkhianatan manusiawi digelar.

 

Di titik inilah Yesus mengajak para pengikut-Nya untuk mengikuti jalan hidup-Nya; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi (Yohanes 13:34). Yesus menginginkan agar kasih yang diperagakan-Nya menjadi inspirasi bagi para pengikut-Nya. Kasih yang bukan mencari sensasi dan keuntungan diri, tetapi kasih yang mau berkorban demi kebaikan orang yang dikasihinya. Bisa Anda bayangkan, Yesus tahu siapa yang akan menyangkal dan menghianati diri-Nya, namun Ia tetap melayani mereka! 

 

Tidaklah mudah menjadikan sebuah tindakan sebagai sumber inspirasi buat kita. Anda dan saya dapat terinspirasi membuat kebun durian setelah menonton beberapa tayangan video di Youtube. Mengapa? Terlihat mudah, setelah empat sampai lima tahun berbuah. Setelah berbuah tinggal menghitung keuntungannya. Bayangkan, jika yang Anda tanam adalah durian Musangking, Black Thorn, atau Super Tembaga. Harganya di atas Rp. 300,000,-, satu pohon menghasilkan 20-50 buah dan satu buah itu beratnya 2 – 3 kg, berapa uang yang Anda hasilkan dari satu batang pohon? Banyak orang tergiur dan terinspirasi untuk membuka kebun dan menanam durian. Alasannya jelas, cuan besar! 

 

Lalu, apakah yang membuat kita antusias menjadikan kasih yang ditawarkan Yesus itu sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan ini? Apa untungnya mengasihi orang lain dengan sepenuh hati? Apa nilai manfaatnya mengasihi orang yang jelas-jelas penghianat? Bagi banyak orang ini bukan saja tindakan mubazir, tetapi konyol! Dampaknya jelas, meski banyak orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus, namun keseharian hidupnya tidak terinspirasi oleh kasih yang diajarkan dan dihidupi-Nya. Tidak worth itDi satu sisi kita membenci para ahli Taurat yang munafik, tetapi di pihak lain kita juga melakukan tindakan yang sama. Dengan superioritasnya, para ahli Taurat mengklaim diri mereka pemegang otoritas kebenaran ilahi, dengan superioritas yang sama kita juga mengatakan bahwa diri kitalah pemegang hak atas orang-orang yang diselamatkan. Di luar komunitas kita, tidak ada tempat untuk keselamatan!

 

Apa untungnya menjadikan kasih yang diajarkan Yesus sebagai sumber inspirasi? Mari lihat kondisi dunia saat ini. Apakah Anda sekarang bahagia melihat banyak penderitaan yang dialami anak-anak manusia? Apakah Anda menginginkan sesuatu yang baru, murni dan indah terjadi dan hadir di bumi ini? Apakah Anda menginginkan persahabatan, kepedulian dan keadilan bergulung-gulung seperti air? Apakah Anda menginginkan mata rantai balas dendam berakhir? Jika jawaban Anda “iya”, maka cinta kasih yang diajarkan dan dicontohkan Yesus layak dipertimbangkan sebagai sumber inspirasi!

 

Gambaran langit baru dan bumi yang baru seperti dilihat oleh Yohanes (Yohanes 21:1-6) adalah kenyataan yang dapat terjadi bukan saja harapan utopis di seberang kematian. Ini sangat mungkin terjadi kini dan di sini. Manusia akan terbebas dari penindasan, ketidakadilan, perlakuan buruk, keserakahan, dan semacamnya ketika benar-benar terinspirasi oleh kasih Allah di dalam diri Yesus Kristus. Coba Anda bayangkan, ketika semua orang terinspirasi oleh kasih-Nya, bagaimana mungkin ada tindakan semena-mena? Sayangnya, kita selalu menunggu. Siapa yang harus memulai duluan?

 

Pertimbangkan ini, jika Anda dan saya benar-benar tersentuh oleh kasih Kristus, maka kasih itu akan menggelisahkan kita, ia akan menghancurkan batas-batas primordial, superioritas, kebanggaan diri, bahkan batas-batas antara kawan dan lawan; sahabat dan penghianat! Kasih itu akan membuat mata hati kita cerah melihat sisi kemanusiaan ketimbang aksesoris identitas kelompok dan golongan. Anda dan saya tidak lagi berpikir apa untungnya buat saya kalau mengasihi dia? Anda dan saya akan menjadi seperti Petrus yang bertanggung jawab bahkan mau menyahabati orang-orang asing dan mereka yang berseberangan dengan kita!

 

Inilah perintah sekaligus inspirasi baru! Benar, ini tidak mudah. Sekaliber Petrus saja harus mengalami proses jatuh bangun untuk dapat menjelma kembali sebagai batu karang. Proses itu dapat dilaluinya dengan kerendahan hati. Kita dapat belajar dari Petrus, bukan kelemahan manusiawi yang ditonjolkannya, tetapi kesediaan diri untuk dipulihkan. Beranjak dari masa lalu yang menyedihkan dan memalukan. Lalu, membuka hati untuk menerima inspirasi kasih yang diperagakan oleh Yesus.

 

Sebagai manusia, tidak semua masa lalu kita indah. Ada kalanya kita seperti Petrus, pernah menyangkal, bertindak ceroboh dan memalukan, gagal mempertahankan iman di tengah pencobaan. Ya, ini manusiawi!Pada pihak lain, Allah sangat kaya dengan pelbagai karya-Nya. Melalui orang-orang yang Ia hadirkan dalam kehidupan ini, kita dapat belajar dan menjadikan mereka sumber inspirasi untuk kita bangkit dan membangun kembali spiritualitas cinta kasih yang Tuhan kehendaki.

 

Bola ada di tangan kita! Apakah kita mau seperti Yudas Iskaryot yang bergeming pada pendiriannya, pergi untuk memenuhi hasratnya dalam gelap malam? Ataukah seperti Petrus yang mau kembali menjadi pengikut Tuhan yang setia? 

 

 

Jakarta, 15 Mei 2025, Minggu Paskah ke- V tahun C

Kamis, 08 Mei 2025

SUARA ALLAH YANG SENANTIASA MENUNTUN

Mendengar, kata sederhana namun tidak sesederhana yang kita bayangkan selama ini. Banyak studi telah dilakukan untuk mengamati seberapa banyak orang dapat efektif mendengarkan  lawan bicaranya. Hasilnya bervariasi, yang jelas tidak ada yang melampaui 50%, paling banyak berada pada angka 25%-30%! Jadi, jangan heran kalau perkataan Anda tidak ditangkap dengan utuh, malah disalah artikan oleh lawan bicara Anda. Bisa jadi, Anda pun demikian ketika mendengarkan perkataan orang lain!

 

Ada beberapa alasan mengapa orang gagal mendengarkan lawan bicaranya dengan baik, antara lain: Kurangnya perhatian, alias tidak fokus pada topik pembicaraan. Fisiknya hadir dalam obrolan itu, namun pikirannya mengembara ke mana-mana. Akibatnya, sama sekali tidak ada rasa empati terhadap topik pembicaraan. Di samping itu, ini penyakit umum, orang memiliki prasangka atau penilaian yang berpengaruh pada kemampuannya untuk mendengarkan secara obyektif.

 

Mendengar adalah ekspresi nyata dari tindakan kasih! Bukankah ketika kita mendengarkan seseorang dengan penuh perhatian dan empati, di situ kita sedang menunjukkan bahwa kita peduli dengan perasaan dan kebutuhan mereka. Bukankah Allah menegur Kain karena Ia mendengar darah Habel berteriak dari tanah karena dibunuh Kain. Bukankah Allah bertindak menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir dimulai ketika Ia mendengar jerit tangis penderitaan mereka? Pada pihak lain, mendengar dapat membuat orang lain merasa dihargai, dipahami, diterima dan ditolong. Mendengar dapat membangun relasi yang lebih baik, meningkatkan kepercayaan, dan menunjukkan kasih sayang kepada orang lain.  

 

Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku….dan mereka akan mendengarkan suara-Ku…” (Yohanes 10:14,16). Mendengarkan adalah kata kunci untuk relasi yang baik antara Gembala dan kawanan domba. Mendengarkan adalah ekspresi cinta dari kawanan domba terhadap gembala mereka. Mendengarkan suara Sang Gembala akan membuat kawanan domba tidak tersesat, tahu arah yang benar menuju rumput yang hijau dan air yang tenang.

 

Dalam metafor Gembala dan kawanan domba, memaksa angan kita menerawang pada bagaimana Musa menjaga dan memelihara kambing domba Yitro, mertuanya. Atau, Daud yang memelihara, melindungi dan mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan kambing domba ayahnya. Kita mengingat bagaimana Daud berceloteh di depan Raja Saul ketika ia meminta izin untuk berperang melawan Goliat, “Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya, dan melepaskan domba itu dari mulutnya…”(1 Samuel 17:34,35). Tentu saja Yesus sangat akrab dengan narasi gembala ini. Ia menjiwai dan metafor itu melekat pada diri-Nya sehingga Ia sangat ajeg mengatakan bahwa, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;..” (Yohanes 10:11)

 

Metafor Gembala dan kawanan domba juga memaksa kita menerawang pada kontur tanah berbukit tandus, minim air atau oase yang menyebabkan padang rumput hijau sulit dijumpai. Tidak mengherankan kalau dalam banyak kasus, para gembala kerepotan mencari domba-domba yang tersesat, terpisah dari kawanannya. Domba itu tersesat lantaran mencari air dan rumput sesuai dengan nalurinya. Ia tidak mendengar suara atau arahan dari sang gembala. Keterpisahan seekor domba dari kawanannya membuat domba tersebut sangat berisiko, berada dalam ancaman dan bahaya yang bisa saja tanpa disadarinya. 

 

Jelas dalam metafor Gembala dan kawanan domba; Yesuslah Sang Gembala dan kita adalah domba-domba-Nya. “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri,…” (Yesaya 53:6), meski dalam konteks berbeda, narasi Yesaya ini seolah menegaskan bahwa kita juga bisa seperti domba yang sesat itu. Masing-masing kita mengambil jalan sendiri, masing-masing kita mendengarkan suara yang bukan suara dari Sang Gembala.

 

Dalam konteks dunia di mana kita berada jelas banyak sekali suara-suara yang menuntut perhatian dan bahkan menggoda kita untuk melenceng dari tuntunan Sang Gembala Agung itu. Kita tidak lagi bisa membedakan mana suara Tuhan dan mana suara yang berasal dari nafsu kedagingan kita. Suara-suara itu bergema melalui iklan, propaganda, promosi, berbagai platform media sosial. Suara-suara itu menghanyutkan dan menenggelamkan kita dalam ayunan ambisi dan hedonisme. Kita semakin menjauh dan sesat di belantara dunia ini. Terbuai!

 

Sejauh mana kita menuruti suara ambisi hedonis, sejauh itu kita menjauh dari Sang Gembala. Lalu, apakah Sang Gembala itu juga menjauh, seperti lantunan syair; “Aku jauh…Engkau jauh, aku dekat… Engkau dekat…”? Untungnya, Sang Gembala tidak seperti itu! Buktinya? Kita masih mengingat Kleopas dan temannya yang menjauh dari Yerusalem menuju Emaus karena kecewa, Yesus Sang Gembala baik itu menyusul mereka. Ia bagaikan gembala yang mencari kembali domba sesat itu. Petrus dan teman-temannya yang kembali pada kehidupan lama mereka menjadi nelayan di Danau Tiberias, Yesus paranin mereka. Ia memulihkan, meneguhkan dan memberi arah baru bagi para murid itu! Ini lebih dari memberikan nyawa-Nya, Yesus tidak bosan-bosannya merangkul, memeluk dan mengasihi mereka bahkan ketika mereka mencoba mencari arah dan tuntunan lain!

 

Ini jelas, kuncinya ada pada kita! Suara dan tuntunan itu terus bergema. Ia tidak jauh, gema-Nya bahkan ada dalam hati kita. “Di mana Dia ku-dengar? Di dalam hatiku!” Penggalan syair karya A.H. Ackley (NKB.87) dengan tepat menggambarkan suara Sang Gembala yang dapat kita dengar di dalam hati kita. Jadi sekarang, tinggal bagaimana kita menanggapi suara tuntunan Sang Gembala itu; apakah kita mengeraskan dan menutup pintu hati kita lantaran akan mengganggu ambisi yang sedang kita kejar? Ataukah kita membuka pintu hati seluas-luasnya agar Dia bertakhta di dalam hati kita? Dia yang mengendalikan dan kita membiarkan diri dituntun oleh-Nya karena kita meyakini bahwa tuntunan-Nya bukan hanya terjadi dan berlaku di dunia ini saja, melainkan sampai pada keabadian!

 

Ya, bukankah Sang Anak Domba yang menjadi kurban Paskah itu juga yang menjadi Gembala dalam kehidupan kekal? Mengherankan, bayangkan anak domba sekaligus menjadi gembala! “Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka.” (Wahyu 7:17). Ya, tepat apa yang dikatakan dalam surat Ibrani, bahwa Imam Besar yang kita punya adalah Imam Besar yang mengurbankan diri-Nya sendiri – Ia seperti Gembala yang memberikan nyawa-Nya – untuk keselamatan kawanan domba gembalaan-Nya. Itulah Anak Domba sekaligus Gembala! 

 

Jadi, bukalah hati dan dengarkan tuntunan suara-Nya yang mengarahkan kita bukan hanya kini dan di sini, tetapi juga yang akan melampaui maut dan memberi kehidupan abadi. Bukan suara-suara ambisi hedonis yang memberi kesenangan sesaat yang harus kita dengarkan. Tetapi tuntunan suara-Nya yang jauh memberikan kebahagiaan dan damai sejahtera hakiki!

 

Jakarta, 8 Mei 2025, Minggu Paskah ke-IV, tahun C