Rabu, 05 April 2023

SALIB-MU KURANGKUL TEGUH

“Salib itu kujunjung penuh,

hingga tiba saat ajalku.

Salib itu kurangkul teguh

dan mahkota kelak milikku”

 

Nyanyian NKB 83 “Nun Di Bukit Yang Jauh” hampir selalu dinyanyikan pada saat gereja memasuki Minggu Sengsara khususnya Jumat Agung. Syair dengan judul aslinya “On a Hill Far Away / The Old Rugged Cross”karya George Bennard (1913), seolah menghidupkan apa yang menjadi lambang atau simbol kekristenan: salib!

 

Pernahkah Anda bergumul dengan makna salib? Suatu kali George Bennard melakukan perjalanan kembali ke Michigan. Ia bergumul dengan makna salib dan bertanya apa yang dimaksudkan Rasul Paulus tentang bersekutu dengan Kristus. Semakin ia merenungkannya, semakin yakin bahwa salib Kristus bukan sekedar simbol atau lambang orang Kristen, tetapi itulah inti sari dari Injil keselamatan!

 

George Bennard pernah bercerita, “Dorongan untuk menulis lagu ini timbul ketika suatu hari pada 1913 di kota Albion, Michigan. Lagunya sudah jadi terlebih dulu, kemudian saya mencoba menyusun kata-katanya. Tidak mudah, tetapi akhirnya Tuhan memberikan kata-kata yang memang saya perlukan. Tak lama kemudian saya mendapat kesempatan untuk memperkenalkan lagu itu pada 7 Juni 1913, yaitu pada suatu kebaktian di Lembaga Penginjilan kota Pokagon. Ternyata mendapat sambutan yang baik dan tidak lama setelah itu menjadi terkenal di seluruh Amerika.”

 

Salib sebagai inti sari keselamatan tidak mudah dipahami. Haruskah Tuhan disalib? Tidak adakah cara lain? Bukankah Tuhan Mahakuasa dan Perkasa, koq Dia mati? Jelas, pertanyaan ini bukan hanya saat ini saja. Sejak peristiwa Yesus disalibkan itu, orang Yahudi memandang salib sebagai aib dan kebodohan. Di salib itu Tuhan direndahkan, Tuhan pencundang!

 

Yesus yang tersalib di antara dua orang penjahat, bukanlah aib! Namun, nubuat Nabi Yesaya sedang digenapi. Benar, Yohanes tidak menyebut secara eksplisit bahwa dua orang itu adalah dua penjahat seperti yang disebut oleh Injil Matius, Markus dan Lukas. Namun, salib adalah tempat penjahat menerima ganjarannya. Mungkin juga kedua orang itu sebenarnya tidak harus disalibkan pada saat itu. Tetapi atas permintaan imam-imam kepala yang ingin menambah penghinaan terhadap Yesus. Ini mungkin yang menjadi alasan mengapa salah satu di antara mereka ikut mencerca Yesus. Jika saja mereka menangkap dua dari antara murid Yesus dan menyalibkan mereka bersama-sama dengan Yesus, hal itu akan menjadi sebuah kehormatan bagi-Nya. Hal ini berbeda, jika yang disalibkan itu benar-benar orang jahat, orang banyak akan memandangnya bahwa Yesus adalah bagian dari kelompok kejahatan itu, maka pantas untuk disalibkan!

 

Dampaknya? Yesus semakin menjadi bahan olok-olokan karena orang yang menemani-Nya adalah para penjahat. Namun dengan demikian justru, Nubuat Nabi Yesaya tergenapi: “Dia terhitung di antara pemberontak-pemberontak!” Dia tidak mati di tengah-tengah mezbah, darah-Nya pun tidak bercampur dengan darah lembu, kambing dan domba. Tetapi Dia mati di antara penjahat, dan darah-Nya bercampur dengan darah orang-orang yang dikorbankan untuk mencela-Nya. Yang disalib dalam kehinaan itu bukanlah Tuhan yang pecundang menyerah pada penguasa dunia. Narasi Injil Yohanes sangat tegas mengisahkan bahwa rangkaian penangkapan, penghinaan, pelecehan, penyiksaan, dan penyaliban itu terjadi dalam kendali Yesus. Artinya, Yesus dengan sadar mengambil jalan itu. Yesus bukan menjadi korban, melainkan mengorbankan diri-Nya. Salib menjadi pembuktian betapa besarnya kasih Allah untuk dunia ini, sehingga dunia yang akan binasa dapat diselamatkan.

 

Salib adalah jalan pendamaian karena dosa pemberontakan manusia. Tidak seorang pun yang dapat membayar lunas untuk menebus segala dosa-dosanya. Hanya Anak Domba Allahlah yang dapat melakukannya. Dia yang tidak berdosa harus menanggung dosa manusia.

 

Sekarang mari kita berhenti sejenak. Seperti George Bennard kita memandang salib di bukit yang jauh itu. Mari kita pandangi Yesus dengan mata iman. Pernahkah ada kepedihan serupa seperti yang Dia alami di bukit Golgota itu? Lihatlah Dia yang telah dilucuti semua-muanya dan diselubungi dengan segala kehinaan yang paling hina. Dia yang dipuji-puji oleh para malaikat namun dijadikan cela oleh para manusia yang merasa menjadi pemegang otoritas kebenaran. Dia yang sebelumnya berada dalam pelukan Bapa-Nya dalam kenikmatan dan sukacita, kini berada dalam jurang kesakitan luar biasa. Lihatlah bagaimana darah-Nya mengucur perlahan-lahan hingga sepenuhnya terkuras habis! Pandanglah Dia, yang tetap mengasihi orang-orang yang membantai-Nya habis!

 

George Bennard berhasil memandang wajah yang tersalib itu kendati jarak, waktu dan peradaban memisahkannya. Ia memahami salib bukan sekedar simbol apalagi perhiasan pemanis tubuh. Jauh di dalam wajah yang tercabik-cabik penuh luka itu. Bennar menemukan wajah Allah yang penuh kasih sayang!

 

Kisah selanjutnya, Bennar dengan setia melakukan pelayanannya untuk menginjili selama empat puluh tahun berikutnya. Pada 1958, di usianya yang ke delapan puluh lima tahun ia dipanggil Tuhan. “Salib itu kujunjung penuh, hingga saat tiba ajalku”, demikianlah kata-kata dalam syair lagunya dan iltulah yang dilakukannya. Untuk mengenang dia, dekat rumahnya, umat mendirikan salib setinggi tiga meter denga kata-kata “Di sini beristirahat George Bennard, pengarang ‘Salib di Bukit” (Alfred Simanjuntak, Kisah Kidung, Yamuger)

 

Seberapa berarti salib bagi Anda, tergantung pada Anda “melihat wajah” Yesus di bukit itu. Ketika Anda menemukan wajah yang penuh cinta kasih. Wajah yang bersedia menggantikan Anda menanggung hukuman karena dosa, maka saya percaya: Anda akan seperti George Bennard yang terus merangkul salib itu sampai ajal menjemput. Anda tidak akan melepaskan salib itu. Tidak akan Anda jual dan tukar dengan apa pun di dunia ini: Salib itu kujunjung penuh, dan mahkota kelak milikku!

 

Jakarta, 5 April Jumat Agung Tahun A

MENGASIHI MULAI DARI YANG TERDEKAT

Seolah mudah dan lumrah jika kita diminta mengasihi sesama itu dimulai dari lingkaran terdekat dalam hidup kita. Suami-istri, orang tua- anak, kakak dan adik. Orang akan mengatakan wajar dan seharusnya begitu jika saya mengasihi istri, anak, orang tua, kakak atau adik. Namun, bukankah merupakan kenyataan juga bahwa ada banyak orang yang terluka dan mengalami trauma justru oleh orang-orang terdekat? Ada banyak kasus putus hubungan orang tua – anak, cerai suami – istri bahkan saling bermusuhan, perang saudara akibat berebut harta waris merupakan gambaran bahwa mengasihi orang-orang terdekat itu tidak mudah!

 

Yesus tahu dengan jelas bahwa orang-orang terdekat-Nya akan meninggalkan diri-Nya pada saat-saat genting. Tidak hanya itu, Ia tahu bahwa dari kedua belas murid-Nya itu ada yang akan menyangkal, bahkan tiga kali. Padahal ia adalah orang terdekat yang selalu tampil paling depan. Yesus sangat mafhum jika ada murid-Nya yang akan berkhianat, sekongkol dengan orang-orang yang membenci-Nya. Yesus tahu, nyawa-Nya hanya dihargai 30 keping uang perak oleh murid-Nya sendiri! 

 

Mengapa Yesus membiarkan mereka tetap menyertai-Nya, bahkan duduk bersama semeja dalam sebuah perjamuan? Bayangkan jika Anda tahu ada orang-orang terdekat Anda yang akan berkhianat, melakukan tindakan-tindakan keji terhadap Anda, apakah Anda masih tetap mau menerimanya? Masihkah Anda mau mengasihinya dengan tulus?

 

Cinta bisa membuat orang melakukan apa yang tidak lazim! Cinta Yesus melebihi penyangkalan, penolakan dan penghianatan dari orang-orang terdekat-Nya. Cinta-Nya selalu memberi kesempatan bagi siapa saja untuk berubah, untuk menanggalkan egoisme dan rasa menang sendiri. Sejatinya, ketika para murid begitu dekat dengan-Nya: mendengar ajaran dan melihat tindakan-Nya mereka memahami bahwa Sang Guru yang begitu agung sangat mengasihi mereka. Mereka dapat belajar mencontoh apa yang diperbuat-Nya meski di kalangan budaya mereka hal itu tidak lazim.

 

Cinta bisa membuat tindakan yang tidak lazim. Ya, lazimnya orang membasuh kakinya sendiri sebelum masuk ke ruang perjamuan sebagai ungkapan hadir dalam keadaan bersih. Dan hanya tamu yang dihormati saja, misalnya seorang guru atau tokoh, orang yang dituakan akan dibasuh kakinya. Bila ada pembasuhan kaki, maka itu pun akan dilakukan sebelum perjamuan dimulai. Namun, Injil Yohanes yang sering disebut Injil Cinta Kasih, menceritakan bahwa Yesus Sang Guru itu membasuh kaki para murid-Nya. Sekali lagi ini tidak lazim! Tidak ada ceritanya guru membasuh kaki murid-muridnya!

 

Lagi pula, pembasuhan ini terjadi bukan di awal, buka ketika seseorang akan masuk ruang perjamuan agar masuk dalam keadaan bersih. Jelas, ini ada maknanya. Yesus membasuh kaki para murid itu tepat di tengah-tengah perjamuan, “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkan-Nya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.”(Yohanes 13:4,5). Jika pembasuhan ini tidak biasa dilakukan seperti ini, lalu apa maknanya?

 

Dalam Injil Yohanes sangat kental Yesus digambarkan menyadari diri-Nya datang dari Allah dan kembali kepada Allah, karena itu seharusnya mereka yang bergaul dengan Yesus dari dekat akan mengenali Yang Ilahi. Mereka yang akrab dengan-Nya akan mengerti firman yang menjadi Manusia! Setidaknya, ini semua diajarkan dan diperagakan Yesus di depan mata mereka, termasuk pembasuhan kaki pada perjamuan malam terakhir itu. Yesus menyatakan kepada orang-orang terdekat-Nya itu bahwa mereka sedemikian berharga, sedemikian terhormat sehingga untuk itu Ia rela membasuh kaki mereka!

 

Lebih dari itu, Yesus ingin berbagi kepada mereka tentang jati diri-Nya yang berasal dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa, Yesus ingin menyatakan kasih-Nya secara nyata kepada mereka. Inilah yang dimaksud dengan mengasihi “sampai pada kesudahannya” (eis telos). Yesus menyatakan cinta-Nya tidak setengah-setengah, tetapi sampai tujuan kedatangan-Nya terlaksana, yakni membawa manusia ke dekapan Allah, asal Terang dan Kehidupan itu. 

 

Pembasuhan kaki yang tidak lazim itu dijelaskan Yesus sebagai teladan bagi para murid, agar mereka berbuat seperti itu satu dengan yang lainnya. Teladan ini kemudian menjadi bekal kehidupan orang-orang percaya bahwa Yesus itu datang dari Allah dan kembali kepada-Nya setelah berhasil memperkenalkan siapa Allah itu sesungguhnya. Setiap pengikut Yesus yang berhasil menangkap bekal itu pasti akan tercermin dalam tutur kata, sikap dan tingkah lakunya. Ia akan meneruskan teladan yang diterimanya dari Yesus kepada semua orang dimulai dari orang-orang terdekat. 

 

Yang jelas bukan sekedar mempraktikkan pembasuhan kaki secara harfiah, melainkan menangkap makna dari tindakan tersebut. Tidak ada gunanya ritual pembasuhan kaki yang dipertontonkan jika tidak mau mengubah diri menjadi pribadi yang mau melayani, menganggap orang lain lebih penting dari diri sendiri. Tidak ada gunanya juga membasuh kaki orang lain, jika orang-orang terdekat dalam rumah sendiri diabaikan. 

 

Yesus Kristus telah meninggalkan teladan yang begitu luhur. Ia membasuh kaki para murid secara simbolis dan menindaklanjuti dengan sebuah tindakan pengorbanan kasih di kayu salib. Ia menempuh jalan itu nyaris sendirian sebab para murid-Nya meninggalkan Dia. Yesus tidak pernah berhenti mengasihi mereka sekalipun mereka seperti itu. Yesus tidak trauma, menjaga jarak dan tidak lagi mau berhubungan dengan mereka. Tidak! Terbukti nanti, ketika Yesus bangkit, Ia mencari dan meneguhkan kembali para murid yang kocar-kacir itu.

 

Anda dan saya sangat berpotensi terluka oleh orang-orang terdekat kita. Sebaliknya, kita juga sangat mungkin berpotensi melukai orang-orang terdekat kita. Milikilah kasih seperti kasih Yesus. Meski Ia tahu bahwa orang-orang terdekat-Nya mengecewakan namun Ia tetap mengasihi mereka. Yesus juga tetap mengasihi kita, walaupun Ia tahu, kita banyak mengecewakan-Nya. Milikilah kasih Yesus, kasih yang lebih besar dari pada kegagalan, penyangkalan dan penghianatan para murid. Milikilah kasih Yesus, kasih yang lebih besar dari keberdosaan kita, kasih yang selalu membangun relasi, yang mendekatkan kita kepada kasih Allah sendiri!

 

Jika hari ini Anda sedang menjauh dan berpikir untuk memutuskan hubungan dengan orang-orang terdekat Anda karena alasan bahwa mereka telah mengecewakan dan menyakiti. Pandanglah pada kasih Yesus, kasih yang tidak menyerah dengan rasa sakit dan kecewa, kasih yang menang dari penyangkalan dan pengkhianatan. Bangunlah kembali relasi, sekalipun Anda berpikir akan berpotensi tersakiti lagi, namun percayalah pada akhirnya Anda akan bahagia dapat meneruskan kasih Yesus yang hari ini diteladankan untuk kita semua!

 

Jakarta, 5 April 2023 Kamis Putih tahun A