Kamis, 24 Maret 2022

MENERUSKAN KASIH BAPA YANG MENYAMBUT

Banyak orang mempercayai bahwa Tuhan adalah Allah yang Mahamurah dan Maha pengampun. Sayang, keyakinan ini sering terhambat oleh perasaan diri terlalu berdosa, terlalu kotor untuk diampuni dan diterima kembali dalam relasi yang baik dengan Allah. Akibatnya, alih-alih datang kepada-Nya malah punya pendirian: “kepalang basah!”

“Ingatlah, ini bukan sesuatu yang logis, namun sesuatu yang emosional dan spiritual. Cinta tulus mencintaimu bukan karena kamu melakukan hal tertentu. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun. Untuk saat ini, kamu hanya perlu memahami, bahwa semuanya sudah dimaafkan. Ini adalah momen ah-hah untukku…” (Jackson Mackenzie, Whole Again). Kalimat ini memang tidak ditujukan kepada figur Sang Bapa, namun saya meminjamnya dan mengarahkan kepada Sang Bapa yang setiap saat menyambut siapa saja yang ingin kembali pada dekapan-Nya dengan tidak memperhitungkan berapa pun pelanggaran mereka (bnd. 2 Korintus 5:19).

Kita tidak perlu lagi bercerita, beralasan, membuat dalil atau menjawab, di hadapan-Nya. Itu tidak perlu dan tidak urgen. Yang mendesak diperlukan adalah tekad untuk kembali kepada-Nya. Bertobat! 

Tiga perumpamaan yang ada dalam Lukas 15 adalah bagian pengajaran Yesus selama perjalanan menuju Yerusalem. Kala itu Yesus berhadapan dengan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Lukas menampilkan keterbukaan Injil Yesus Kristus bagi orang-orang  yang tersisih dalam kehidupan masyarakat Yahudi. Pendosa! Tiga perumpamaan ini didahului dengan sebuh introduksi (Lukas 15:1-3). Setelah introduksi itu, dikisahkan tentang dua perumpamaan pendek yang paralel: domba yang hilang (Lukas 15:4-7) dan dirham yang hilang (15:8-10), kemudian disambung dengan perumpamaan panjang tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32). Ketiga perumpamaan ini bernada sama : happy ending! Kegembiraan yang ditunjukkan seseorang oleh karena “yang hilang” telah kembali.

Jika kita amati, dua perumpamaan pendek paralel, sang gembala dan si janda aktif mencari domba dan dirham mereka yang hilang. Sementara dalam perumpamaan terakhir, sang ayah tidak aktif mencari anaknya yang hilang atau pergi. Anak itu sendiri yang pulang kembali kepada ayahnya. Melihat sang anak bungsunya pulang, ia pun berlari menjemput, merangkul dan mencium anaknya itu.

Baik mencari dan menyambut, itulah wujud kasih Bapa di dalam Yesus Kristus. Namun, kali ini dengan membahas perumpamaan yang terakhir, kita fokus pada “kasih yang menyambut”. Tanpa mengesampingkan, bisa saja sang ayah mencari dengan cara lain, misalnya membayar orang untuk menemukan anaknya. Dalam rangkaian pertobatan di minggu-minggu pra-paskah ini, kita belajar merefleksikan sebuah tekad atau keberanian si anak bungsu yang telah berdosa terhadap ayahnya untuk pulang kembali ke rumah. Sebab, bisa saja ada orang berpikir untuk tetap bertahan dalam kondisi keberdosaannya (kepalang basah). Gengsi, malu atau apa juga namanya untuk kembali menata ulang kehidupannya yang berkenan kepada Allah.

Perumpamaan Lukas 15:11-32 dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, Lukas 15:11-24 berkisah tentang sang adik dan bagian kedua, Lukas 15:25-32 yang mengisahkan tentang sang abang. Kita terbiasa untuk menyebut yang hilang itu adalah si adik. Namun, banyak penafsir sepakat bahwa sebenarnya kedua anak sang bapa ini hilang. Si adik, hilang, pergi dengan harta waris yang dimintanya sebelum ayahnya meninggal, sedangkan si abang “hilang” di rumah ayahnya sendiri. Ia tidak merasakan kebahagiaan bersama-sama dengan sang ayah. Tafsiran pada saat ini akan fokus pada bagian kisah tentang si adik untuk dapat kita refleksikan sebagai pertobatan dan kembali kepada Bapa yang tangan-Nya selalu terbuka menyambut orang berdosa yang mau kembali.

Si adik tampaknya belum menikah dan usianya kira-kira 20 tahun. Sesuai dengan adat-istiadat Yahudi, seorang ayah dapat membagikan hartanya melalui semacam surat wasiat yang pelaksanaan sepenuhnya dilakukan setelah ia meninggal, atau bisa juga dibagikan sewaktu ia masih hidup. Bisa jadi ada banyak kasus, orang tua masih hidup, anak-anaknya meminta harta waris, maka dalam kitab Sirakh dicantumkan peringatan supaya hal tersebut tidak dilakukan (33:19-23).

Pembagian harta waris, biasanya diatur: anak tertua berhak menerima “dua bagian dari segala kepunyaan” ayah, yaitu dua kali lipat daripada harta yang diberikan kepada anak-anak lain. Namanya “hak kesulungan” (Ul.21:17). Dalam perumpamaan ini tampil dua anak saja, sehingga dapat dipastikan bahwa anak sulung diberi 2/3, sedangkan anak bungsu 1/3 dari kekayaan keluarga. Dengan menerima bagian itu, masing-masing anak disebut “pemilik”. Namun, hasil ea rahu tetap ada pada ayahnya sampai ia meninggal dunia. Bila anak menjual hartanya, maka si pembeli dapat mengambilnya baru sesudah ayah anak itu meninggal.

Dalam kisah ini, si anak bungsu menjual seluruh bagiannya, hasilnya penjualan itu ia bawa pergi ke negeri yang jauh. Di sana uang itu difoya-foyakannya.

Kelaparan terjadi di negeri rantau itu. Malapetaka, ia menjadi melarat! Sebagai orang Yahudi, si bungsu mungkin saja mengartikan bahwa kelaparan itu meupakan hukuman Allah terhadap dirinya. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan.

Si adik berasal dari keluarga Yahudi baik-baik, berkecukupan bahkan kaya. Tetapi kini ia terpaksa mengurusi kawanan babi yang dianggap najis (Im.11:7; Ul.14:8). Dengan menjadi penjaga babi, harkat martabat di adik turun ea rah. Semakin nelangsa, ia bahkan tidak bisa mengisi perutnya yang lapar dengan ampas kacang-kacangan makanan babi. Di titik nadir inilah si adik merindukan rumah ayahnya.

Refleksi rasional si adik mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa keadaannya yang lebih buruk ketimbang yang dialami oleh para upahan di rumah ayahnya, “mereka menikmati kelimpahan roti”.

Apakah di titik ini si adik bertobat? Kebanyakan para penafsir berpendapat bahwa niat si adik pulang kembali ke rumah ayahnya bukan karena bertobat, melainkan karena kehabisan uang sehingga menderita kelaparan. Juga karena kehilangan bagian warisannya. Seandainya ia tidak kehabisan uang, ia tidak akan pulang dan tidak akan pernah mengakui dirinya berdosa pula. Tetapi ia sadar bahwa dengan memboroskan uang, ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya berupa memelihara ayah di hari tuanya. Dalam arti inilah ia merasa berdosa terhadap ayahnya. Namun, meskipun demikian kesengsaraan merupakan pintu masuk si adik untuk mulai memikirkan kembali ke rumah ayahnya.

Si adik Menyusun sebuah rencana pengakuan dosa. Kini, ia menyadari bahwa setelah memboroskan harta waris yang dimintanya itu, ia tidak berhak lagi meminta apa pun dari ayahnya. Maka selanjutnya yang terpikir olehnya adalah, “Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa”, yaitu sebagai budak yang dibayar setiap hari setelah melakukan pekerjaan. Dengan tekad ini si adik memberanikan diri melangkah dan pulang!

Di luar dugaan, alih-alih sang ayah memutuskan relasi dengan anak yang meninggalkannya, kasihnya tidak pernah luntur, ia begitu rindu bertemu dengannya, sehingga ia mengubur masa lampau yang menyakitkan itu. Melupakan segala keburukkannya! Sebagai penduduk kampung, ayah itu sadar bahwa semua penduduk kampungnya akan mencela atau malah mengucilkan anak durhaka yang baru pulang ini. Maka sang ayah berbuat apa saja, supaya penduduk kampung itu tidak menghakimi anaknya ini. Ia berlari menyambut si adik untuk menjemputnya. Anaknya tidak boleh melintasi kampung halamannya sendirian, supaya orang banyak jangan mengoloknya. Daripada dihina oleh orang kampung, ayahnya menanggung kehinaan dengan lari ke arah anak yang telah menghabiskan warisan bagiannya itu.

Sang ayah mendapatkan si adik, merangkul, dan menciumnya. Kata yang sama dipakai oleh Lukas dalam Kisah Para Rasul 20:37. Adegan kasih yang serupa juga terjadi ketika pertemuan Yakub dan Esau (Kejadian 33:4), juga antara Benyamin dan Yusuf (Kejadian 45:14, dst). Cium, melambangkan kasih dan pengampunan, meski kemudian Yudas memakainya dengan maksud sebaliknya.

Di tengah-tengah kegembiraan sang ayah, si adik menyampaikan “doa” yang sudah disusun sebelumnya (ay.18), tetapi ayahnya memotong kata-katanya tepat sebelum si adik meminta untuk diterima sebagai orang upahan. Seolah mau menegaskan bahwa sang ayah mengerti hancurnya keadaan si adik. Ia tidak menuduh, menghakimi apalagi mengutuknya. Kehadirannya sendiri sudah cukup bagi sang ayah untuk menegaskan bahwa ia kembali kepadanya. Sang ayah dengan setegas-tegasnya menyatakan kepada hamba-hambanya, bahwa ia menyambut anaknya itu sebagai anaknya lagi, bahkan akan menghormati dia sebagaimana penghormatan diberikan kepada tamu agung: jubah ialah tanda kehormatan: cincin (cincin meterai) ialah tanda kedudukan yang tinggi dan kuasa yang diberikan. Sepatu menunjukkan bahwa ia seorang yang merdeka, bukan seorang budak yang biasanya berjalan tanpa alas kaki. Dengan demikian kemhormatan dan kedudukannya sebagai seorang anak dipulihkan kembali. Inilah kasih yang menyambut, kasih dan pengampunan yang mendahului pertobatan. Artinya, kasih itu tetap ada sebelum tindakan pertobatan itu terjadi. Pada pihak lain, si adik tidak sampai hati meneruskan rumusan yang disiapkannya. Hatinya melemas menyaksikan kasih ayahnya yang tidak pernah dibayangkannya.

Kasih Allah memang tak terhingga, tak terbayangkan. Kasih inilah yang sulit dipahami dan diterima oleh kalangan kaum Farisi dan ahli Taurat yang terus mempertahankan system ketahiran Yudaisme ketimbang menebarkan dan memperagakan kasih Allah itu. Kaum Farisi dan Ahli Taurat ini dapat digambarkan sebagai sang kakak, dalam perumpamaan ini. Sama seperti sikap mereka, si kakak dalam perumpamaan ini merasa terganggu dan marah dengan kedatangan si pendosa yang telah menghamburkan harta warisan bapaknya. Sama seperti mereka, si kakak menjadi marah atas sambutan dan jamuan pesta itu. Si kakak merasa telah berjeri lelah bekerja di ladang ayahnya, pun demikian kaum Farisi dan ahli Taurat itu telah berjerih lelah dengan menjalankan syareat keyahudian mereka.

Kembali ke kisah si adik. Tak terbayangkan kasih ayahnya yang begitu besar. Lidahnya menjadi kelu dan ia tak bisa melanjutkan kata-katanya lagi. Dalam hal inilah menjadi jelas buat kita. Ajaran kasih yang disampaikan Yesus itu, bahwa Bapa mengasihi orang berdosa bahkan sebelum pertobatan itu terjadi. Yang diperlukan dari kita (baca: orang berdosa) adalah keberanian untuk kembali. Datang kepada Bapa. Alasan, penjabaran pengakuan dosa secara detail bahkan tidak dibutuhkan lagi ketika kita dengan tulus datang kepada Bapa. Ia sangat tahu dan mengerti!

Kembali kepada Bapa itu mestinya dilakukan dengan tulus. Kebahagiaan akan tercermin dari orang-orang yang diampuni dosanya dan tidak berjiwa penipu (Mazmur 32). Jika Allah, Bapa kita sedemikian rupa memulihkan kita sebagai anak-anak-Nya, maka sudah semestinya kita berhenti untuk menghakimi diri sendiri sebagai orang yang berdosa, apalagi berprinsif, “sudah kepalang basah”. Kembalilah kepada Bapa, maka kita akan mengerti, mengalami, dan kagum akan kasih yang luar biasa itu

Jika Allah Bapa sedemikian rupa mengasihi, menyambut setiap kita yang berdosa maka sudah selayaknyalah kita meneruskan cinta kasih dan pengampunyan Bapa bagi semua orang. Kita wajib menerima dan menyambut semua orang dan membangun kembali relasi yang baik.

 

Jakarta, Pra-paskah ke-4 tahun C.

Jumat, 18 Maret 2022

PERTOBATAN SEBAGAI GAYA HIDUP

PERTOBATAN SEBAGAI GAYA HIDUP 

Siapa menyangka novel karya Kevin Kwan menjadi populer di tanah air? Ketenarannya bukan karena alur atau moral cerita. Namun, judul dan istilah dalam novel itu. Crazy Rich! “Crazy Rich Asian” berkisah tentang cinta beda kasta, antara seorang perempuan biasa dengan seorang pria konglomerat, ini kemudian menjadi pemantik jargon Crazy Rich yang viral.

Umumnya Crazy Rich memiliki arti orang super kaya, orang yang memiliki harta berlimpah ruah, memiliki berbagai macam bisnis, rumah dan mobil mewah, pesawat zet, kapal pesiar dan banyak lagi yang lainnya. Tidak hanya itu, Crazy Rich gemar memamerkan kekayaannya lewat platform media sosial. Semakin bumingnya istilah Crazy Rich, maka istilah ini dikaitkan dengan tempat domisili orang super kaya tersebut, misalnya Crazy Rich Surabaya, Crazy Rich Medan, Bandung, dan sebagainya. Fenomena ini kemudian menjadi gaya hidup. Gaya hidup semacam ini terus berkembang dan kini kita mendengar istilah baru: Flexing.

Flexing adalah tren yang digunakan untuk orang yang suka memamerkan kekayaan. Perkembangan media sosial yang semakin marak menjadi lahan subur flexing. Media sosial tempat orang memamerkan tidak hanya kekayaan, melainkan juga kepandaian, fisik, dan pelbagai macam “kelebihan”nya. Ada kenikmatan tersendiri jika yang dipamerkan itu mendapat acungan jempol dan pujian. Gaya hidup!

Tidak ada yang salah orang menjadi super kaya dan memperlihatkan kekayaannya. Malah membuat orang seperti Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjadi senang. Ia dan aparat pajaknya dapat dengan mudah menginventaris kekayaan mereka. Menjadi tidak elok apabila tujuannya dipakai untuk kesombongan diri, mengelabui dan menjebak orang lain dalam bisnis investasi ilegal. Menjadi jahat jika tujuannya untuk memanas-manasi orang bermimpi bahwa menjadi kaya itu mudah. Lebih buruk lagi menjadi racun apabila semua fenomena ini membuahkan gaya hidup hedonisme dan pemuja kekayaan.

Rembesan gaya hidup hedonis dan pemuja kekayaan ternyata mampu menembus kehidupan spiritual. Orang-orang dengan kekayaan berlimpah ruah dipandang sebagai orang-orang yang diberkati Tuhan. Sebaliknya, orang-orang miskin, sakit-sakitan, tertimpa bencana adalah orang-orang yang tidak diberkati alias orang-orang yang terkutuk. Pada zaman Yesus, malapetaka adalah tanda keberdosaan orang itu. Kecelakaan, malapetaka, kehidupan yang menderita adalah penegasan dari keberdosaan seseorang. Sebaliknya, orang-orang baik tidak pernah mengalami petaka. Hidup mereka sejahtera dan makmur.

Pemahaman ini mewarnai percakapan Yesus dengan beberapa orang yang datang kepada Yesus membawa berita petaka. Yesus menolak pendapat umum bahwa seolah-olah manusia mendapat azab dan bencana karena dosa-dosa yang mereka perbuat. Menurut Yesus, orang-orang Galilea yang dibunuh oleh Pilatus dan delapan belas orang yang tertimpa menara dekat Siloam itu tidaklah lebih berdosa dari orang-orang Galilea lainnya. Kecelakaan atau malapetaka tidak bisa dijadikan pembenaran bahwa seseorang sudah pasti berdosa! Yesus dengan tegas mengatakan, “Tidak!”. Selanjutnya, Yesus memperingatkan dengan keras: “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.” Peringatan ini muncul dua kali dengan dua kasus berbeda namun senada.

Yesus mengingatkan para pendengar-Nya, jika mereka tidak bertobat, maka mereka akan mengalami kebinasaan. Bagaimana pun juga, tidak adanya pertobatan akan berbuah kematian atau kebinasaan. Tentu saja penyebabnya bukan berasal dari Allah, sebab Ia akan selalu memberi kehidupan dan bertindak baik. Lebih lanjut, Yesus memberi peringatan untuk bertobat dengan menggunakan perumpamaan pohon ara.

Injil Lukas menempatkan perumpamaan pohon ara ini dalam perjalanan Yesus menuju Yerusalem. Pada saat itu Yesus melihat kenyataan bahwa para pemimpin bangsa-Nya tidak menggunakan kesempatan yang Allah berikan untuk hidup dalam pertobatan. Akibatnya, penghukuman itu segera menimpa mereka. Peringatan yang Yesus sampaikan ini mestinya ditanggapi oleh orang Kristen agar dalam menjalani hidup ini selalu mencerminkan pertobatan dan buah dari pertobatan itu. Sama seperti pohon ara yang menghasilkan buah, demikian juga para pengikut Yesus. Orang yang bertobat itu adalah mereka yang mati bagi dirinya sendiri. Hanya manusia yang seperti inilah yang dapat menghasilkan buah.

Meski perumpamaan yang disampaikan Yesus ini bernada peringatan dan hukuman, namun Lukas menggambarkan sosok Allah adalah  Dia yang murah hati. Allah yang menunggu manusia untuk dapat menghasilkan apa yang baik. Allah itu sabar. Kesabaran itu digambarkan dari inisiatif tukang kebun yang memohon kepada tuannya untuk diberi waktu satu tahun lagi dia merawat pohon ara itu agar dapat berbuah. Yesus menghadirkan sosok Allah sebagai pribadi yang tidak mau menghukum, kalau belum melakukan sesuatu yang dapat menyentuh manusia agar bertobat. Jika Ia menunda penghukuman-Nya, itu agar manusia bertobat dan mampu berbuat belas kasih terhadap sesamanya. Agar manusia pun saling mengampuni.

Rangkaian minggu pra-paskah ke-3 ini hendaknya terus mengingatkan kita pada komitmen pertobatan sebagaimana sudah kita ikrarkan dalam Rabu Abu. Tanda abu di dahi kita mestinya bukan sekedar flexing pada dunia bahwa kita berasal dari debu dan berkomitmen untuk hidup dalam pertobatan. Pertobatan yang dimaksud jelas bukan sekali dan seremonial. Pertobatan itu harus nyata mewarnai hidup kita. Pertobatan menjadi gaya hidup.

Dalam Minggu ini, kita diingatkan untuk tidak sibuk melihat dan menghakimi orang lain: bencana dan penderitaan sebagai konfirmasi hukuman terhadap orang berdosa. Melainkan, memakai kesempatan yang Tuhan berikan untuk menanggapi dengan positif kesabaran Allah dengan hidup dalam pertobatan dan menghasilkan buah-buah pertobatan itu sendiri. Ingatlah kerahiman Allah tidak boleh kita permainkan dengan menunda-nunda melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Selagi ada waktu, hayatilah bahwa itu adalah kasih Allah dalam kesabaran-Nya.

Pertobatan sebagai gaya hidup jelas bukan untuk pamer kesalehan sehingga setiap perbuatan baik, kita unggah ke media sosial. Bukan demikian! Pertobatan sebagai gaya hidup artinya mengganti gaya hidup lama kita yang berorientasi pada kesenangan dan kepuasan diri sendiri menjadi kehidupan yang berpusat pada Kristus. Dengan sukacita dan alamiah kita menjiwai dan mempraktikkan kehendak-Nya.

Jika gaya hidup Crazy Rich, Flexing, hedonisme dan semacamnya telah memengaruhi dan membius dunia ini, dapatkah gaya hidup pertobatan kita di dalam Kristus itu memberikan alternatif lain yang lebih menjanjikan hidup damai sejahtera?  Tentu saja, tidak mudah untuk menjawabnya. Namun menjadi buah nyata bagi setiap orang yang benar-benar merasakan kasih, kesabaran dan pengampunan dari Allah.

Jakarta, Minggu Pra-paskah Ke-3, tahun C