PERTOBATAN SEBAGAI GAYA HIDUP
Siapa menyangka novel karya Kevin Kwan menjadi populer di tanah air? Ketenarannya bukan karena alur atau moral cerita. Namun, judul dan istilah dalam novel itu. Crazy Rich! “Crazy Rich Asian” berkisah tentang cinta beda kasta, antara seorang perempuan biasa dengan seorang pria konglomerat, ini kemudian menjadi pemantik jargon Crazy Rich yang viral.
Umumnya Crazy Rich memiliki arti orang super kaya, orang yang memiliki harta berlimpah ruah, memiliki berbagai macam bisnis, rumah dan mobil mewah, pesawat zet, kapal pesiar dan banyak lagi yang lainnya. Tidak hanya itu, Crazy Rich gemar memamerkan kekayaannya lewat platform media sosial. Semakin bumingnya istilah Crazy Rich, maka istilah ini dikaitkan dengan tempat domisili orang super kaya tersebut, misalnya Crazy Rich Surabaya, Crazy Rich Medan, Bandung, dan sebagainya. Fenomena ini kemudian menjadi gaya hidup. Gaya hidup semacam ini terus berkembang dan kini kita mendengar istilah baru: Flexing.
Flexing adalah tren yang digunakan untuk orang yang suka memamerkan kekayaan. Perkembangan media sosial yang semakin marak menjadi lahan subur flexing. Media sosial tempat orang memamerkan tidak hanya kekayaan, melainkan juga kepandaian, fisik, dan pelbagai macam “kelebihan”nya. Ada kenikmatan tersendiri jika yang dipamerkan itu mendapat acungan jempol dan pujian. Gaya hidup!
Tidak ada yang salah orang menjadi super kaya dan memperlihatkan kekayaannya. Malah membuat orang seperti Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjadi senang. Ia dan aparat pajaknya dapat dengan mudah menginventaris kekayaan mereka. Menjadi tidak elok apabila tujuannya dipakai untuk kesombongan diri, mengelabui dan menjebak orang lain dalam bisnis investasi ilegal. Menjadi jahat jika tujuannya untuk memanas-manasi orang bermimpi bahwa menjadi kaya itu mudah. Lebih buruk lagi menjadi racun apabila semua fenomena ini membuahkan gaya hidup hedonisme dan pemuja kekayaan.
Rembesan gaya hidup hedonis dan pemuja kekayaan ternyata mampu menembus kehidupan spiritual. Orang-orang dengan kekayaan berlimpah ruah dipandang sebagai orang-orang yang diberkati Tuhan. Sebaliknya, orang-orang miskin, sakit-sakitan, tertimpa bencana adalah orang-orang yang tidak diberkati alias orang-orang yang terkutuk. Pada zaman Yesus, malapetaka adalah tanda keberdosaan orang itu. Kecelakaan, malapetaka, kehidupan yang menderita adalah penegasan dari keberdosaan seseorang. Sebaliknya, orang-orang baik tidak pernah mengalami petaka. Hidup mereka sejahtera dan makmur.
Pemahaman ini mewarnai percakapan Yesus dengan beberapa orang yang datang kepada Yesus membawa berita petaka. Yesus menolak pendapat umum bahwa seolah-olah manusia mendapat azab dan bencana karena dosa-dosa yang mereka perbuat. Menurut Yesus, orang-orang Galilea yang dibunuh oleh Pilatus dan delapan belas orang yang tertimpa menara dekat Siloam itu tidaklah lebih berdosa dari orang-orang Galilea lainnya. Kecelakaan atau malapetaka tidak bisa dijadikan pembenaran bahwa seseorang sudah pasti berdosa! Yesus dengan tegas mengatakan, “Tidak!”. Selanjutnya, Yesus memperingatkan dengan keras: “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.” Peringatan ini muncul dua kali dengan dua kasus berbeda namun senada.
Yesus mengingatkan para pendengar-Nya, jika mereka tidak bertobat, maka mereka akan mengalami kebinasaan. Bagaimana pun juga, tidak adanya pertobatan akan berbuah kematian atau kebinasaan. Tentu saja penyebabnya bukan berasal dari Allah, sebab Ia akan selalu memberi kehidupan dan bertindak baik. Lebih lanjut, Yesus memberi peringatan untuk bertobat dengan menggunakan perumpamaan pohon ara.
Injil Lukas menempatkan perumpamaan pohon ara ini dalam perjalanan Yesus menuju Yerusalem. Pada saat itu Yesus melihat kenyataan bahwa para pemimpin bangsa-Nya tidak menggunakan kesempatan yang Allah berikan untuk hidup dalam pertobatan. Akibatnya, penghukuman itu segera menimpa mereka. Peringatan yang Yesus sampaikan ini mestinya ditanggapi oleh orang Kristen agar dalam menjalani hidup ini selalu mencerminkan pertobatan dan buah dari pertobatan itu. Sama seperti pohon ara yang menghasilkan buah, demikian juga para pengikut Yesus. Orang yang bertobat itu adalah mereka yang mati bagi dirinya sendiri. Hanya manusia yang seperti inilah yang dapat menghasilkan buah.
Meski perumpamaan yang disampaikan Yesus ini bernada peringatan dan hukuman, namun Lukas menggambarkan sosok Allah adalah Dia yang murah hati. Allah yang menunggu manusia untuk dapat menghasilkan apa yang baik. Allah itu sabar. Kesabaran itu digambarkan dari inisiatif tukang kebun yang memohon kepada tuannya untuk diberi waktu satu tahun lagi dia merawat pohon ara itu agar dapat berbuah. Yesus menghadirkan sosok Allah sebagai pribadi yang tidak mau menghukum, kalau belum melakukan sesuatu yang dapat menyentuh manusia agar bertobat. Jika Ia menunda penghukuman-Nya, itu agar manusia bertobat dan mampu berbuat belas kasih terhadap sesamanya. Agar manusia pun saling mengampuni.
Rangkaian minggu pra-paskah ke-3 ini hendaknya terus mengingatkan kita pada komitmen pertobatan sebagaimana sudah kita ikrarkan dalam Rabu Abu. Tanda abu di dahi kita mestinya bukan sekedar flexing pada dunia bahwa kita berasal dari debu dan berkomitmen untuk hidup dalam pertobatan. Pertobatan yang dimaksud jelas bukan sekali dan seremonial. Pertobatan itu harus nyata mewarnai hidup kita. Pertobatan menjadi gaya hidup.
Dalam Minggu ini, kita diingatkan untuk tidak sibuk melihat dan menghakimi orang lain: bencana dan penderitaan sebagai konfirmasi hukuman terhadap orang berdosa. Melainkan, memakai kesempatan yang Tuhan berikan untuk menanggapi dengan positif kesabaran Allah dengan hidup dalam pertobatan dan menghasilkan buah-buah pertobatan itu sendiri. Ingatlah kerahiman Allah tidak boleh kita permainkan dengan menunda-nunda melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Selagi ada waktu, hayatilah bahwa itu adalah kasih Allah dalam kesabaran-Nya.
Pertobatan sebagai gaya hidup jelas bukan untuk pamer kesalehan sehingga setiap perbuatan baik, kita unggah ke media sosial. Bukan demikian! Pertobatan sebagai gaya hidup artinya mengganti gaya hidup lama kita yang berorientasi pada kesenangan dan kepuasan diri sendiri menjadi kehidupan yang berpusat pada Kristus. Dengan sukacita dan alamiah kita menjiwai dan mempraktikkan kehendak-Nya.
Jika gaya hidup Crazy Rich,
Flexing, hedonisme dan semacamnya telah memengaruhi dan membius dunia ini,
dapatkah gaya hidup pertobatan kita di dalam Kristus itu memberikan alternatif
lain yang lebih menjanjikan hidup damai sejahtera? Tentu saja, tidak mudah untuk menjawabnya.
Namun menjadi buah nyata bagi setiap orang yang benar-benar merasakan kasih,
kesabaran dan pengampunan dari Allah.
Jakarta, Minggu Pra-paskah Ke-3, tahun C