Jumat, 18 Maret 2022

PERTOBATAN SEBAGAI GAYA HIDUP

PERTOBATAN SEBAGAI GAYA HIDUP 

Siapa menyangka novel karya Kevin Kwan menjadi populer di tanah air? Ketenarannya bukan karena alur atau moral cerita. Namun, judul dan istilah dalam novel itu. Crazy Rich! “Crazy Rich Asian” berkisah tentang cinta beda kasta, antara seorang perempuan biasa dengan seorang pria konglomerat, ini kemudian menjadi pemantik jargon Crazy Rich yang viral.

Umumnya Crazy Rich memiliki arti orang super kaya, orang yang memiliki harta berlimpah ruah, memiliki berbagai macam bisnis, rumah dan mobil mewah, pesawat zet, kapal pesiar dan banyak lagi yang lainnya. Tidak hanya itu, Crazy Rich gemar memamerkan kekayaannya lewat platform media sosial. Semakin bumingnya istilah Crazy Rich, maka istilah ini dikaitkan dengan tempat domisili orang super kaya tersebut, misalnya Crazy Rich Surabaya, Crazy Rich Medan, Bandung, dan sebagainya. Fenomena ini kemudian menjadi gaya hidup. Gaya hidup semacam ini terus berkembang dan kini kita mendengar istilah baru: Flexing.

Flexing adalah tren yang digunakan untuk orang yang suka memamerkan kekayaan. Perkembangan media sosial yang semakin marak menjadi lahan subur flexing. Media sosial tempat orang memamerkan tidak hanya kekayaan, melainkan juga kepandaian, fisik, dan pelbagai macam “kelebihan”nya. Ada kenikmatan tersendiri jika yang dipamerkan itu mendapat acungan jempol dan pujian. Gaya hidup!

Tidak ada yang salah orang menjadi super kaya dan memperlihatkan kekayaannya. Malah membuat orang seperti Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjadi senang. Ia dan aparat pajaknya dapat dengan mudah menginventaris kekayaan mereka. Menjadi tidak elok apabila tujuannya dipakai untuk kesombongan diri, mengelabui dan menjebak orang lain dalam bisnis investasi ilegal. Menjadi jahat jika tujuannya untuk memanas-manasi orang bermimpi bahwa menjadi kaya itu mudah. Lebih buruk lagi menjadi racun apabila semua fenomena ini membuahkan gaya hidup hedonisme dan pemuja kekayaan.

Rembesan gaya hidup hedonis dan pemuja kekayaan ternyata mampu menembus kehidupan spiritual. Orang-orang dengan kekayaan berlimpah ruah dipandang sebagai orang-orang yang diberkati Tuhan. Sebaliknya, orang-orang miskin, sakit-sakitan, tertimpa bencana adalah orang-orang yang tidak diberkati alias orang-orang yang terkutuk. Pada zaman Yesus, malapetaka adalah tanda keberdosaan orang itu. Kecelakaan, malapetaka, kehidupan yang menderita adalah penegasan dari keberdosaan seseorang. Sebaliknya, orang-orang baik tidak pernah mengalami petaka. Hidup mereka sejahtera dan makmur.

Pemahaman ini mewarnai percakapan Yesus dengan beberapa orang yang datang kepada Yesus membawa berita petaka. Yesus menolak pendapat umum bahwa seolah-olah manusia mendapat azab dan bencana karena dosa-dosa yang mereka perbuat. Menurut Yesus, orang-orang Galilea yang dibunuh oleh Pilatus dan delapan belas orang yang tertimpa menara dekat Siloam itu tidaklah lebih berdosa dari orang-orang Galilea lainnya. Kecelakaan atau malapetaka tidak bisa dijadikan pembenaran bahwa seseorang sudah pasti berdosa! Yesus dengan tegas mengatakan, “Tidak!”. Selanjutnya, Yesus memperingatkan dengan keras: “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.” Peringatan ini muncul dua kali dengan dua kasus berbeda namun senada.

Yesus mengingatkan para pendengar-Nya, jika mereka tidak bertobat, maka mereka akan mengalami kebinasaan. Bagaimana pun juga, tidak adanya pertobatan akan berbuah kematian atau kebinasaan. Tentu saja penyebabnya bukan berasal dari Allah, sebab Ia akan selalu memberi kehidupan dan bertindak baik. Lebih lanjut, Yesus memberi peringatan untuk bertobat dengan menggunakan perumpamaan pohon ara.

Injil Lukas menempatkan perumpamaan pohon ara ini dalam perjalanan Yesus menuju Yerusalem. Pada saat itu Yesus melihat kenyataan bahwa para pemimpin bangsa-Nya tidak menggunakan kesempatan yang Allah berikan untuk hidup dalam pertobatan. Akibatnya, penghukuman itu segera menimpa mereka. Peringatan yang Yesus sampaikan ini mestinya ditanggapi oleh orang Kristen agar dalam menjalani hidup ini selalu mencerminkan pertobatan dan buah dari pertobatan itu. Sama seperti pohon ara yang menghasilkan buah, demikian juga para pengikut Yesus. Orang yang bertobat itu adalah mereka yang mati bagi dirinya sendiri. Hanya manusia yang seperti inilah yang dapat menghasilkan buah.

Meski perumpamaan yang disampaikan Yesus ini bernada peringatan dan hukuman, namun Lukas menggambarkan sosok Allah adalah  Dia yang murah hati. Allah yang menunggu manusia untuk dapat menghasilkan apa yang baik. Allah itu sabar. Kesabaran itu digambarkan dari inisiatif tukang kebun yang memohon kepada tuannya untuk diberi waktu satu tahun lagi dia merawat pohon ara itu agar dapat berbuah. Yesus menghadirkan sosok Allah sebagai pribadi yang tidak mau menghukum, kalau belum melakukan sesuatu yang dapat menyentuh manusia agar bertobat. Jika Ia menunda penghukuman-Nya, itu agar manusia bertobat dan mampu berbuat belas kasih terhadap sesamanya. Agar manusia pun saling mengampuni.

Rangkaian minggu pra-paskah ke-3 ini hendaknya terus mengingatkan kita pada komitmen pertobatan sebagaimana sudah kita ikrarkan dalam Rabu Abu. Tanda abu di dahi kita mestinya bukan sekedar flexing pada dunia bahwa kita berasal dari debu dan berkomitmen untuk hidup dalam pertobatan. Pertobatan yang dimaksud jelas bukan sekali dan seremonial. Pertobatan itu harus nyata mewarnai hidup kita. Pertobatan menjadi gaya hidup.

Dalam Minggu ini, kita diingatkan untuk tidak sibuk melihat dan menghakimi orang lain: bencana dan penderitaan sebagai konfirmasi hukuman terhadap orang berdosa. Melainkan, memakai kesempatan yang Tuhan berikan untuk menanggapi dengan positif kesabaran Allah dengan hidup dalam pertobatan dan menghasilkan buah-buah pertobatan itu sendiri. Ingatlah kerahiman Allah tidak boleh kita permainkan dengan menunda-nunda melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Selagi ada waktu, hayatilah bahwa itu adalah kasih Allah dalam kesabaran-Nya.

Pertobatan sebagai gaya hidup jelas bukan untuk pamer kesalehan sehingga setiap perbuatan baik, kita unggah ke media sosial. Bukan demikian! Pertobatan sebagai gaya hidup artinya mengganti gaya hidup lama kita yang berorientasi pada kesenangan dan kepuasan diri sendiri menjadi kehidupan yang berpusat pada Kristus. Dengan sukacita dan alamiah kita menjiwai dan mempraktikkan kehendak-Nya.

Jika gaya hidup Crazy Rich, Flexing, hedonisme dan semacamnya telah memengaruhi dan membius dunia ini, dapatkah gaya hidup pertobatan kita di dalam Kristus itu memberikan alternatif lain yang lebih menjanjikan hidup damai sejahtera?  Tentu saja, tidak mudah untuk menjawabnya. Namun menjadi buah nyata bagi setiap orang yang benar-benar merasakan kasih, kesabaran dan pengampunan dari Allah.

Jakarta, Minggu Pra-paskah Ke-3, tahun C

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 11 Maret 2022

BERARAK MENUJU HIDUP SEJATI

Dalam karyanya, “Philosophy for life and Other Dangerous Situation”, Jules Evans berkisah tentang pengalaman heroik dramatis Rhonda Cornum. Rhonda Cornum bekerja sebagai dokter bedah penerbangan di Devisi Udara ke-101 selama Perang Teluk Pertama pada Februari 1991. Ia ditugaskan untuk menyelamatkan seorang pilot tempur yang tertembak. Nahas, helikopter yang ditungganginya kena tertembak, lalu jatuh di Gurun Pasir Arab dengan kecepatan 225 kilometer per jam, seketika menewaskan lima dari delapan kru.

Cornum selamat, walau kedua lengannya patah, ada ligament sobek di lututnya, dan sebutir peluru menancap di pundaknya. Para serdadu Irak mengerumuni helicopter yang jatuh itu, lalu menyeret Cornum keluart dengan menarik lengannya yang patah. Dia dan seorang anggota kru yang lain, Sersan Troy Dunlap dinaikkan ke belakang sebuah truk.

Sementara truk itu terbanting-banting sepanjang jalanan gurun, salah seorang tentara Irak mencopot seragam penerbangan Cornum dan melecehkannya. Dia tidak mampu melawan, dan berusaha tidak berteriak. Namun, setiap kali tangannya yang patah dipukul, tak ayal perempuan ini memekik. Akhirnya si tentara Irak itu meninggalkannya.

Sersan Dunlap dirantai disebelahnya, tak berdaya. “Bu”, katanya lirih, “Kau sangat tabah.”

“Kau kira aku akan menangis atau semacamnya?” tanya Cornum.

“Ya, aku kira begitu.”

“Tidak apa-apa, Sersan,” ujar Rondha beberapa saat kemudian. “Aku juga mengira kau akan menangis.”

Mereka disekap dalam tahanan militer Irak selama delapan hari. Cornum menyebut pengalaman itu, “Menjadi tahanan perang berarti mengalami pemerkosaan atas seluruh hidupmu. Tapi, aku belajar di bungker dan sel-sel Irak itu bahwa pengalaman ini tidak perlu menyengsarakan, itu bergantung kepada kita.” Lebih jauh Rhonda menyampaikan, “Ketika kita ditahan, para penyergap mengendalikan hampir segalanya seputar kita, kapan kita bangun, kapan kita tidur, apa yang kita makan, bolehkah kita makan. Aku sadar, satu-satunya yang dapat kukendalikan adalah cara pikirku. Aku punya kendali penuh atas hal itu, dan takkan kubiarkan mereka merampasnya juga. Kuputuskan, yah, dulu ada misi penyelamatan pilot tempur, dan kini situasi berubah, aku mengemban misi baru, untuk bertahan melewati ini.” Rhonda Cornum memang bertahan dan tidak membocorkan rahasia apa pun. Dia pun tidak merasa trauma permanen akibat pengalamannya.

Dari pengalamannya ini Rhoda Cornum dipercaya mengembangkan Kebugaran Komprehensif Serdadu. Tujuannya, mengajarkan resiliensi pada tentara yang berjumlah 1,1 juta orang dan bertugas di Pasukan Angkatan Darat Amerika.

Kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa ada satu hal yang tidak bisa dikuasai, dirampas dan dikendalikan oleh orang lain meski dalam tekanan yang luar biasa hebat, satu hal itu adalah pikiran kita. Bayangkan, dalam ketidakberdayaan: kedua tangan patah, ligamen di lutut robek, diintimidasi dan dipelakukan buruk, Cornum tidak menyerahkan kendali pikirannya pada pihak lawan. Ia mampu bertahan dan tidak merasa dirinya sedang sengsara dan perlu dikasihani!

Yesus memperagakan satu hal yang teramat penting yang tidak bisa dikuasai dan dikendalikan oleh pihak atau orang lain, bahkan oleh situasi yang membahayakan diri-Nya sekali pun. Perjalanan ke Yerusalem sudah dimulai. Lukas mengisahkan perjalanan ini bukan sebuah tamasya atau ziarah ke kota suci. Melainkan di sana Yesus akan menuntaskan kehendak Sang Bapa. Jalan sengsara bahkan kematian, meski bukan tujuan melainkan konsekuensi dari sebuah ketaatan. Ada yang mencoba untuk menghalangi. Yesus dimintanya menghindar sebab jika diteruskan urusannya maut.

Adalah beberapa orang Farisi yang mungkin saja bersimpati terhadap Yesus. Mereka mencoba mengingatkan-Nya bahwa Herodes sedang berusaha membunuh Yesus, sebaiknya menghindar keluar dari wilayah kekuasaannya. Namun, sangat mungkin juga Herodes telah bersekongkol dengan beberapa orang Farisi, mereka tidak mau Yesus terus berkarya dan mempunyai pengaruh besar dalam wilayah kekuasaan Herodes. Oleh karena maksud mereka itulah Yesus kemudian menyuruh orang-orang Farisi itu untuk kembali kepada Herodes dan menyebutnya sebagai “si serigala” yang merupakan gambaran orang licik, tidak berani berhadapan muka dan tidak bermartabat. Di samping sebutan itu, Yesus meminta mereka menyampaikan pesan bahwa diri-Nya tidak takut digertak. Seolah Yesus mengatakan, “Aku tidak takut dan tidak akan pergi sebagaimana yang diminta kamu dan Herodes, tetapi Aku akan terus melakukan pekerjaan-Ku, mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit. Bahwa nantinya Aku akan meninggalkan wilayah kekuasaan Herodes, itu bukan karena Aku takut kepada Herodes, tetapi karena sesuai dengan rencana Allah. Jadi, Aku akan melanjutkan perjalanan-Ku beberapa hari lagi, sampai pada waktu yang ditentukan Allah akan tiba di Yerusalem (yang bukan wilayah kekuasaan Herodes).”

Jelas, kendati ancaman itu segera menjadi kenyataan namun Yesus terus bergerak. Dengan cinta-Nya Yesus ingin memeluk mereka. Yesus telah menunjukkan bahwa diri-Nya rela menerima dan menghibur orang-orang berdosa yang datang dalam lindungan-Nya, “berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya.” Ia tetap melakukan pekerjaan-Nya. Ia tidak peduli dengan ancaman. Yesus terus berjalan menuju Yerusalem kendatipun kota itu jauh dari ramah. Kota yang disebut-Nya tempat pembunuhan para nabi dengan cara keji.

Yesus tahu akhir hidup-Nya ditentukan di Yerusalem. Kota yang mengaku penduduknya lebih beragama dibanding dengan tempat-tempat lain. Pergerakan Yesus ke Yerusalem bukanlah pergerakan menantang maut atau bunuh diri. Karena cinta-Nya Ia terus bergerak, berarak menuju Yerusalem. Kematian bukan tujuan-Nya, melainkan Ia sedang menebarkan kehidupan yang sejati.

Setiap pengikut Yesus mestinya menyadari bahwa iman di dalam Kristus tidak membuat kita betah dalam kehidupan serba nyaman dan tidak peduli terhadap situasi yang terjadi di sekitar kita. Karena cinta-Nya, Yesus terus bergerak. Ia terus mengerjakan dan menghadirkan Injil Kerajaan Allah. Jika cinta kasih Kristus itu mengalir dalam tubuh kita, maka kita pun akan mengerjakan apa yang Yesus kerjakan, yakni: mewujudkan Kerajaan Allah. Terus bergerak dengan talenta yang Tuhan percayakan kepada kita menebarkan cinta kasih-Nya meski bisa saja dengan melakukan hal itu kita terbentur dengan persoalan atau penderitaan dan penganiayaan.

Penganiayaan, kesulitan dan penderitaan jelas bukan tujuan orang percaya. Namun, jika hal itu harus terjadi, maka tetaplah terarah kepada Kristus. Sama seperti Rhonda Cornum, ada bagian yang tetap bisa kita pengang sehingga kesulitan dan penderitaan itu, tidak menyengsarakan kita. Bukan hanya pikiran yang terarah kepada Kristus, tetapi juga iman yang meyakini bahwa di dalam Kristus tidak ada yang dapat memisahkan kita. Sebaliknya, janganlah demi kemudahan dan kenyamanan lantas membuat kita akhirnya menjadi seteru Kristus. Camkanlah, seperti yang Paulus nasihatkan, “Karena kewargaan kita adalah di dalam surga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat.” (Filipi 3:20)

Jakarta, Minggu Pra-paskah ke-2 Tahun C