Kamis, 06 Januari 2022

ARTI PEMBAPTISAN YESUS

Di samping Trinitas, meski bukan yang paling utama, baptisan tak pelak lagi menjadi salah satu wacana perdebatan dalam kajian iman Kristen. Baptisan diperdebatkan mulai dari tata cara, ditenggelamkan dalam air atau dipercik, siapa dan lembaga mana yang berwenang membaptis, apakah anak-anak boleh dibaptiskan, kapan dan di mana peristiwa pembaptisan itu boleh dilakukan, dan seterusnya. Dalil, rujukan ayat dan sumber tradisi tidak lupa dikutip untuk memperkuat dan membenarkan pendapat masing-masing. Hasilnya? Perpecahan, aliran yang berbeda-beda, membenarkan diri dan kelompoknya serta menyalahkan kelompok yang berbeda!

 

Benar, baptisan tidak boleh dipandang sebelah mata. Serius! Banyak kisah atau ayat memuat kesaksian tentang baptisan. Bahkan, Yesus sendiri memerintahkan agar para murid pergi, menjadikan semua bangsa murid-Nya dan membaptiskan mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Matius 29:19). Namun, membicarakan baptisan tanpa memahami arti yang sesungguhnya akan mubazir.

 

Hari ini, masih dalam suasana Minggu Epifani kita belajar arti baptisan dari peristiwa Yesus dibaptis. Injil menyebutkan bahwa peristiwa yang melatarbelakangi adalah seruan Yohanes Pembaptis tentang mendesaknya umat untuk bertobat dan sebagai tanda pertobatan itu mereka menerima baptisan. Baptisan adalah tanda pertobatan!

 

Lalu timbul pertanyaan, apakah dengan demikian Yesus berdosa? Pertobatan hanya berlaku bagi mereka yang menyadari dan menyesali dosanya. Baptisan Yesus jelas bukanlah karena Ia menyesali dosa-Nya, bertobat dan kemudian dibaptiskan. Baptisan yang diterima Yesus bukan baptisan pertobatan. Baptisan-Nya adalah tanda dukungan terhadap karya Yohanes Pembaptis yang menyerukan semua orang agar bertobat sebelum murka Allah terjadi. Baptisan-Nya adalah keberpihakan kepada Yohanes ketimbang cara imam-imam dan ulama Yahudi yang membebani umat dengan sederet hukum yang bahkan mereka sendiri tidak dapat menanggungnya. Yesus dibaptis karena Ia solider dengan umat berdosa yang memohon belas kasih Allah. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” (2 Korintus 5:21).

 

Di lain pihak, Yohanes sendiri menyadari perannya sebagai pembuka jalan untuk Yesus. Ia menyatakan ketidaklayakannya berhadapan dengan Yesus, bahkan membuka tali kasut-Nya pun ia tidak layak. Yohanes tidak mencari keuntungan di balik ketenarannya bahkan ketika orang banyak menyangkanya sebagai Mesias. Ia menolak dan menunjuk kepada Yesus. Ia sadar bahwa masa untuk dirinya segera berakhir dan kini, Yesus Sang Mesias yang sesungguhnya itu akan menyatakan kehendak Bapa.

 

Pembaptisan Yesus dicatat oleh Injil Sinoptik. Namun, masing-masing punya cara berbeda dalam menceritakan peristiwa baptisan sejalan dengan tujuan pemberitaan itu. Hari ini Injil yang kita baca Lukas (tahun C). Kalau diperhatikan dengan saksama, Lukas paling singkat mencatat peristiwa Yesus dibaptis. Hanya dua ayat (Lukas 3:21-22). 

 

Mari kita perhatikan dua ayat ini. Lukas tidak mencatat bahwa Yesus datang dari Nazaret dan dibaptis di Sungai Yordan. Ia malah tidak menyebutkan Yohanes sebagai orang yang membaptis Yesus. Namun, Lukas bercerita bahwa Yesus berdoa. Berdoa tampaknya menjadi perhatian penting bagi penulis Injil Lukas. Dalam peristiwa Yesus dibaptis, untuk pertama kalinya Yesus dikatakan berdoa. Karya Yesus di hadapan umum dibuka dan ditutup dengan doa. Yesus berdoa pada saat Ia menyembuhkan (Lukas 5:16). Yesus berdoa pada saat Ia akan memilih dua belas orang murid (Lukas 6:12). Yesus berdoa sebelum menyatakan kesengsaraan-Nya (Lukas 9:18). Yesus berdoa sebelum mengalami transfigurasi, berubah rupa (Lukas 9:28, dst). Yesus berdoa sebelum mengajarkan doa kepada murid-murid-Nya (Lukas 11:1-2). Yesus berdoa untuk Petrus (Lukas 22:32). Yesus berdoa kepada Bapa-Nya di tengah pergumulan berat di Taman Zaitun (Lukas 22:39-46) dan terakhir Ia berdoa dua kali di salib (Lukas 23:34,36).

 

Awal dan akhir pelayanan-Nya, Yesus berdoa dan baptisan adalah awal pelayanan-Nya di muka umum. Baptisan adalah peristiwa penting, diawali dengan doa. Baptisan adalah babak baru dalam kehidupan Yesus. Sebagai Anak yang berkomitmen setia untuk berada dalam rancangan Sang Bapa dalam misi menyelamatkan manusia dari belenggu dosa.

 

Dengan tidak mencatatnya, peran Yohanes Pembaptis dalam peristiwa baptisan Yesus, maka penulis Injil Lukas mengajak para pembaca dan tentunya kita untuk fokus pada Yesus. Dialah tokoh protagonis dalam peristiwa pembaptisan ini. Yesus ada di antara orang banyak. Semua orang telah menerima baptisan dan Yesus pun sudah dibaptis. Yesus sedang berdoa dan ketika itu turunlah Roh Kudus dari langit dalam rupa burung merpati. Kemudian dari langit itu terdengar suara, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Suara itu di dengar dan ditujukan kepada Yesus ketika Ia sedang berdoa, bukan pada saat Ia dibaptiskan.

 

Menurut Lukas pernyataan dari langit inilah yang lebih penting ketimbang peristiwa dan tata cara baptisan. Dengan tidak lagi disebut Yohanes Pembaptis dan dialog antara Yesus dan Yohanes Pembaptis, pernyataan dari surga ini menyerap seluruh perhatian. Pernyataan ini dinyatakan khusus kepada Yesus, bukan untuk orang banyak. “….kepada-Mu Aku berkenan.” Bukan, “….kepada-Nyalah Aku berkenan.” (versi Matius 3:17). Dalam ungkapan ini terkandung penegasan tentang relasi kasih istimewa antara Bapa dan Yesus Kristus. Penegasan ini mengandung kesediaan bahwa Anak akan selalu taat pada kehendak Bapa meski di kemudian hari ketaatan itu harus menembus batas sengsara dan kematian! 

 

Setelah pembaptisan itu, dengan eksplisit (oleh Allah sendiri) identitas Yesus dinyatakan sebagai Anak-Nya. Mengiringi peristiwa sakral itu, seekor burung merpati pertanda Roh Kudus hinggap kepada-Nya. Makna simbolik dari burung merpati yang hinggap diartikan dengan berbagai cara. Antara lain sebagai lambang penciptaan baru (bandingkan dengan Roh Allah yang melayang-layang pada awal penciptaan kosmos: Kejadian 1:2). Burung, sebagai lamvbang permulaan dan pembebasan baru (bandingkan dengan burung merpati yang dilepas Nuh saat air bah surut: Kejadian 8:8). Burung, sebagai lambang keluaran baru (bandingkan dengan burung elang yang disebut dalam Ulangan 32:11). 

 

Lukas melihat peristiwa baptisan Yesus penting. Namun jauh lebih penting makna di balik peristiwa itu, bukan sekedar teknis pelaksanaan, di mana dan siapa yang membaptiskan. Baptisan adalah awal karya Yesus di hadapan umum. Yesus serius, maka Ia berdoa kepada Bapa-Nya. Baptisan tanpa doa, hanya akan menjebak kita dalam tradisi ritual. Doa merupakan kesungguhan agar Sang Bapa menyertai langkah dalam kehidupan yang baru dan hidup yang berkenan kepada-Nya. Saat kita menerima baptisan mestinya tidak lagi terjebak pada “kulit”nya, melainkan sebagai kesempatan di mana kita bersungguh-sungguh memohon dalam doa agar tekad kita hidup di dalam Yesus merupakan komitmen seumur hidup. Tetap setia seperti Yesus setia sampai akhir.

 

Benar hanya Yesus yang menerima pernyataan suara dari langit yang menyatakan Allah Bapa berkenan kepada-Nya. Namun, di dalam iman kita meyakini bahwa Allah Bapa kita melalui Yesus Kristus dan pertolongan Roh Kudus juga berkenan kepada kita. Untuk itu momentum baptisan hendaknya kita jadikan resolusi baru untuk hidup berkenan kepada-Nya. Hidup berkenan adalah hidup yang mencontoh Yesus Kristus sebagai Anak Tunggal Bapa penuh kasih karunia.

 

Pada pembaptisan itu Yesus menerima Roh Kudus yang turun dalam bentuk burung merpati. Kita meyakini juga bahwa Roh Kudus turun kepada kita saat kita dibaptiskan. Roh Kudus membuat kita mampu mengalami hidup baru. Hidup yang dibebaskan dari perasaan bersalah. Roh Kudus menguatkan kita untuk menjalani kesaksian dalam kehidupan keseharian kita. 

 

Roh Kudus akan membuat kita sanggup untuk melewati air namun tidak dihanyutkan dan melewati api namun tidak terbakar. Ya, ini tentu bahasa simbol. Di balik simbol itu hendak menyatakan kepada kita bahwa setiap orang yang berkenan kepada-Nya, Tuhan akan menuntun kehidupannya sehingga tidak akan dibawa hanyut oleh arus deras dunia ini. Dan tidak akan terbakar oleh nafsu keinginan daging. 

 

Baptisan mestinya bukan sekedar ritual atau pengakuan bahwa kita terhisab menjadi anggota sebuah gereja. Bukan! Melainkan sebuah komitmen mendasar dan pembaruan radikal menuju hidup yang berkenan kepada-Nya.

 

 

Jakarta, Kamis 6 Januari 2022

Kamis, 30 Desember 2021

KASIH KARUNIA YANG SELALU BARU

“Panta rhei kai uden menei!” Demikian kalimat terkenal yang dikumandangkan oleh filsuf kelahiran Efesus tahun 540 sebelum Yesus lahir. Lebih jauh sang filsuf menjelaskan ucapannya: “Semua mengalir dan tidak ada sesuatu apa pun yang tinggal tetap. Seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama.” Maksudnya, air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama dengan yang sebelumnya.

 

Bisa jadi kehidupan kemarin, tidak ada bedanya dengan hari ini. Tahun lalu dengan tahun ini sama saja. Kita tidak merasakan ada yang baru! Seperti kita masuk dalam sungai, letak geografisnya sama. Sungai itu tidak pindah lokasi. Namun, air yang menyentuh tubuh kita jelas berbeda. Demikian juga dengan kasih karunia Tuhan. Mungkin saja tampaknya sama namun sesungguhnya setiap hari, setiap jam bahkan setiap detik Allah menyentuh kita dengan kasih yang selalu baru! 

 

Keajaiban demi keajaiban mestinya dapat kita rasakan setiap saat. Selalu baru, selalu ada yang lebih bisa kita kagumi. Ibarat kita berjalan menuju danau atau pegunungan. Kita takjub melihat sisi kiri kita. Kagum dengan pepohonan hijau yang tersusun dengan rapih. Ketika kita tengok ke kanan, tidak kalah menakjubkan! Tebing bebatuan tinggi menjulang dengan warna coklat kekuningan nan eksotik! Terus melangkah dan kita akan menjumpai kekaguman-kekaguman lainnya. Demikian juga dengan Kristus. Makin mengenal-Nya, makin banyak kita menemukan hal-hal yang mengagumkan. Makin akrab kita hidup dengan-Nya, makin banyak hal-hal indah yang bakal kita temui. Makin banyak kita berpikir tentang dan bersama dengan-Nya, makin luas cakrawala kebenaran yang kita temukan. Pendeknya, orang yang menghayati hidupnya bersama dengan Kristus akan mengalami keajaiban demi keajaiban baru yang menyemarakkan jiwanya, yang menerangi akal budinya dan yang meneguhkan hatinya setiap hari!

 

Bagaimana mungkin itu terjadi? Ya, karena pada hakikatnya, Dia sendirilah Sang Firman yang menjadi manusia. Di dalam Kristus diam kepenuhan Allah dan dari kepenuhan-Nya itulah kita menerima kasih karunia demi kasih karunia! Kata yang dipakai untuk “kepenuhan” adalah pleroma yang bermakna bahwa semua-muanya yang ada pada Allah ada dan mewujud dalam Yesus Kristus. Kata ini juga sering dipakai oleh Paulus, misalnya dalam Kolose 1:19, Paulus mengatakan bahwa seluruh pleroma berkenan diam di dalam Kristus secara jasmaniah. Yang dimaksud Paulus, di dalam Yesus diam atau tinggal semua hikmat, kuasa, serta kasih Allah. Dengan demikian di dalam Yesus Kristus memungkinkan orang mengalami kasih karunia demi kasih karunia. Di dalam Yesus Kristus, pleroma, kepenuhan Allah, semua-muanya yang ada pada Allah, tersedia bagi manusia.

 

Kasih karunia Allah tidak pernah stagnan atau statis, melainkan dinamis. Kasih karunia Allah cocok dengan situasi dan kondisi. Kontekstual! Pada saat kita mengalami pergumulan berat, kasih karunia-Nya tersedia, bisa saja melalui orang lain yang digerakkan oleh Roh Kudus. Setelah semuanya selesai, kita menyadari bahwa Allah tidak tinggal diam. Tidak menutup kemungkinan muncul pergumulan dan kebutuhan yang baru, maka kasih karunia yang baru pun menopang kita. Kasih karunia yang satu disusul dengan kasih karunia yang lain. Selalu baru. Hal itu terjadi oleh karena kasih karunia Yesus Kristus lebih dari cukup untuk mengatasi setiap pergumulan!

 

Paulus membahasakannya sebagai berkat rohani di dalam sorga. Berkat inilah yang tersedia di dalam Kristus sehingga memampukan-Nya untuk mengalami banyak kebaikan-Nya. Meski secara lahiriah kehidupannya tidak bergelimang harta kekayaan, alih-alih mengalami banyak kesengsaraan dan aniaya. Kebahagiaan Paulus bukan terletak pada kehidupan duniawi yang sering menyilaukan, melainkan karena menjadi bagian dalam apa yang dijanjikan Kristus, “Aku katakan ‘di dalam Kristus’, karena di dalam Dia kami mendapat bagian yang dijanjikan - kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalamnya segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya..” (Efesus 1:11).

 

Jelas, bagian ini bukan hanya milik Paulus dan teman-temannya, melainkan semua orang yang telah menenerima Kristus. Kalau Injil Yohanes menekankan bahwa semua orang yang menerima Firman Hidup itu dijadikannya anak-anak Allah, Paulus mengatakan, “Di dalam Dia kamu juga - karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu - di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.” (Efesus 1:13). Jelaslah, setiap kita yang menerima kebenaran di dalam Kristus maka Allah menjadikan kita anak-anak-Nya. Anak-anak yang mengerjakan kehendak Bapa sama seperti Kristus yang taat kepada Bapa-Nya. Anak- anak Allah yang selalu akan mengalami kasih karunia yang selalu baru setiap hari dan yang kelak menerima janji-janji Allah itu.

 

Jelaslah status anak-anak Allah bukan membuat kita steril dari kesulitan hidup, tidak juga membebaskan kita dari virus dan penyakit. Namun, Ia menyediakan kepada kita kasih karunia agar kita mampu menghadapinya. Dia memberikan kita hikmat-Nya agar kita bisa berjaga dan mengantisipasi segala kemungkinan. Dia jugalah yang menolong kita untuk dapat menjadi berkat bagi banyak orang.

 

Sama seperti Yesus Sang Anak Tunggal Bapa, Ia tidak menggunakan kasih karunia Bapa-Nya untuk ketenaran, kepentingan dan pemuasan diri. Tentu saja Allah di dalam Kristus juga menghendaki kita tidak menggunakan kasih karunia demi kasih karunia itu untuk popularitas, kepuasan dan kepentingan diri sendiri. Sama seperti Paulus juga, ia mendistribusikan kasih itu kepada banyak orang, betapa pun besar tantangannya. Saat inilah sebutan anak-anak Allah bagi kita yang mengaku dan menyambut Kristus diuji. Apakah kita memakai kasih karunia Allah yang selalu mengalir itu hanya untuk diri sendiri ataukah kita memakainya sebagai saluran berkat bagi banyak orang?

 

Kehidupan yang tidak mudah, situasi yang sulit dan keadaan yang mencemaskan justru merupakan kesempatan yang baik untuk kita berkarya menyalurkan kasih karunia Allah itu bagi sesama kita!

 

Jakarta, 30 Desember 2021