Kamis, 30 Desember 2021

KASIH KARUNIA YANG SELALU BARU

“Panta rhei kai uden menei!” Demikian kalimat terkenal yang dikumandangkan oleh filsuf kelahiran Efesus tahun 540 sebelum Yesus lahir. Lebih jauh sang filsuf menjelaskan ucapannya: “Semua mengalir dan tidak ada sesuatu apa pun yang tinggal tetap. Seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama.” Maksudnya, air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama dengan yang sebelumnya.

 

Bisa jadi kehidupan kemarin, tidak ada bedanya dengan hari ini. Tahun lalu dengan tahun ini sama saja. Kita tidak merasakan ada yang baru! Seperti kita masuk dalam sungai, letak geografisnya sama. Sungai itu tidak pindah lokasi. Namun, air yang menyentuh tubuh kita jelas berbeda. Demikian juga dengan kasih karunia Tuhan. Mungkin saja tampaknya sama namun sesungguhnya setiap hari, setiap jam bahkan setiap detik Allah menyentuh kita dengan kasih yang selalu baru! 

 

Keajaiban demi keajaiban mestinya dapat kita rasakan setiap saat. Selalu baru, selalu ada yang lebih bisa kita kagumi. Ibarat kita berjalan menuju danau atau pegunungan. Kita takjub melihat sisi kiri kita. Kagum dengan pepohonan hijau yang tersusun dengan rapih. Ketika kita tengok ke kanan, tidak kalah menakjubkan! Tebing bebatuan tinggi menjulang dengan warna coklat kekuningan nan eksotik! Terus melangkah dan kita akan menjumpai kekaguman-kekaguman lainnya. Demikian juga dengan Kristus. Makin mengenal-Nya, makin banyak kita menemukan hal-hal yang mengagumkan. Makin akrab kita hidup dengan-Nya, makin banyak hal-hal indah yang bakal kita temui. Makin banyak kita berpikir tentang dan bersama dengan-Nya, makin luas cakrawala kebenaran yang kita temukan. Pendeknya, orang yang menghayati hidupnya bersama dengan Kristus akan mengalami keajaiban demi keajaiban baru yang menyemarakkan jiwanya, yang menerangi akal budinya dan yang meneguhkan hatinya setiap hari!

 

Bagaimana mungkin itu terjadi? Ya, karena pada hakikatnya, Dia sendirilah Sang Firman yang menjadi manusia. Di dalam Kristus diam kepenuhan Allah dan dari kepenuhan-Nya itulah kita menerima kasih karunia demi kasih karunia! Kata yang dipakai untuk “kepenuhan” adalah pleroma yang bermakna bahwa semua-muanya yang ada pada Allah ada dan mewujud dalam Yesus Kristus. Kata ini juga sering dipakai oleh Paulus, misalnya dalam Kolose 1:19, Paulus mengatakan bahwa seluruh pleroma berkenan diam di dalam Kristus secara jasmaniah. Yang dimaksud Paulus, di dalam Yesus diam atau tinggal semua hikmat, kuasa, serta kasih Allah. Dengan demikian di dalam Yesus Kristus memungkinkan orang mengalami kasih karunia demi kasih karunia. Di dalam Yesus Kristus, pleroma, kepenuhan Allah, semua-muanya yang ada pada Allah, tersedia bagi manusia.

 

Kasih karunia Allah tidak pernah stagnan atau statis, melainkan dinamis. Kasih karunia Allah cocok dengan situasi dan kondisi. Kontekstual! Pada saat kita mengalami pergumulan berat, kasih karunia-Nya tersedia, bisa saja melalui orang lain yang digerakkan oleh Roh Kudus. Setelah semuanya selesai, kita menyadari bahwa Allah tidak tinggal diam. Tidak menutup kemungkinan muncul pergumulan dan kebutuhan yang baru, maka kasih karunia yang baru pun menopang kita. Kasih karunia yang satu disusul dengan kasih karunia yang lain. Selalu baru. Hal itu terjadi oleh karena kasih karunia Yesus Kristus lebih dari cukup untuk mengatasi setiap pergumulan!

 

Paulus membahasakannya sebagai berkat rohani di dalam sorga. Berkat inilah yang tersedia di dalam Kristus sehingga memampukan-Nya untuk mengalami banyak kebaikan-Nya. Meski secara lahiriah kehidupannya tidak bergelimang harta kekayaan, alih-alih mengalami banyak kesengsaraan dan aniaya. Kebahagiaan Paulus bukan terletak pada kehidupan duniawi yang sering menyilaukan, melainkan karena menjadi bagian dalam apa yang dijanjikan Kristus, “Aku katakan ‘di dalam Kristus’, karena di dalam Dia kami mendapat bagian yang dijanjikan - kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalamnya segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya..” (Efesus 1:11).

 

Jelas, bagian ini bukan hanya milik Paulus dan teman-temannya, melainkan semua orang yang telah menenerima Kristus. Kalau Injil Yohanes menekankan bahwa semua orang yang menerima Firman Hidup itu dijadikannya anak-anak Allah, Paulus mengatakan, “Di dalam Dia kamu juga - karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu - di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.” (Efesus 1:13). Jelaslah, setiap kita yang menerima kebenaran di dalam Kristus maka Allah menjadikan kita anak-anak-Nya. Anak-anak yang mengerjakan kehendak Bapa sama seperti Kristus yang taat kepada Bapa-Nya. Anak- anak Allah yang selalu akan mengalami kasih karunia yang selalu baru setiap hari dan yang kelak menerima janji-janji Allah itu.

 

Jelaslah status anak-anak Allah bukan membuat kita steril dari kesulitan hidup, tidak juga membebaskan kita dari virus dan penyakit. Namun, Ia menyediakan kepada kita kasih karunia agar kita mampu menghadapinya. Dia memberikan kita hikmat-Nya agar kita bisa berjaga dan mengantisipasi segala kemungkinan. Dia jugalah yang menolong kita untuk dapat menjadi berkat bagi banyak orang.

 

Sama seperti Yesus Sang Anak Tunggal Bapa, Ia tidak menggunakan kasih karunia Bapa-Nya untuk ketenaran, kepentingan dan pemuasan diri. Tentu saja Allah di dalam Kristus juga menghendaki kita tidak menggunakan kasih karunia demi kasih karunia itu untuk popularitas, kepuasan dan kepentingan diri sendiri. Sama seperti Paulus juga, ia mendistribusikan kasih itu kepada banyak orang, betapa pun besar tantangannya. Saat inilah sebutan anak-anak Allah bagi kita yang mengaku dan menyambut Kristus diuji. Apakah kita memakai kasih karunia Allah yang selalu mengalir itu hanya untuk diri sendiri ataukah kita memakainya sebagai saluran berkat bagi banyak orang?

 

Kehidupan yang tidak mudah, situasi yang sulit dan keadaan yang mencemaskan justru merupakan kesempatan yang baik untuk kita berkarya menyalurkan kasih karunia Allah itu bagi sesama kita!

 

Jakarta, 30 Desember 2021

Rabu, 29 Desember 2021

YESUS, TUHAN YANG MENGHIRAUKAN

Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (Wahyu 21:5)

 

Banyak orang menjadi skeptis memulai pergantian tahun. Ya, oleh karena masalah yang dihadapi tetap sama. Banyak resolusi-resolusi berakhir di catatan, itu pun kalau sempat dicatat. Tahun baru hanyalah pergantian angka, tidak lebih dari itu! Mungkin benar seperti apa yang dikatakan Pengkhotbah, “Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu.” (Pengkhotbah 3:15).

 

Pesimis! Nada itu yang diungkapkan Pengkhotbah barangkali tepat menggambarkan situasi dan kondisi batin kita. Apalagi berhadapan dengan masa depan yang tidak menentu. Kita tidak tahu di ujungnya nanti kondisi pandemik, politik, ekonomi, hukum dan kemelut dunia ini seperti apa. Akankah benar bahwa Tuhan segera menghancurkan dunia yang terlanjur busuk dan kemudian digantikan dengan Yerusalem baru yang turun dari langit? Sementara jarum jam terus bergulir, tanpa kompromi waktu menggilas apa saja bagai Sang Batara Kala dalam mitologi Jawa. 

 

Batara Kala adalah sosok raksasa rakus yang melahap apa saja. Memakan semuanya! Yang mau selamat dari kerakusannya harus melarikan diri ke dunia lain, yang tidak mungkin dijamah oleh Kala. Makna mitologi ini adalah pencarian kekekalan. Batara Kala melambangkan waktu. Segala sesuatu dikalahkan oleh waktu. Mungkinkah orang bisa luput dari sang waktu. Jawabnya: Mungkin! Caranya? Dengan masuk ke dunia batin yang kekal, di luar waktu!

 

Batin manusia selalu cukup menyediakan ruang untuk merasakan dan mengalami kekekalan. Tentu saja ini tergantung bagaimana kita mengelolanya. Selalu ada pilihan! Apakah kita memilih skeptis dan masa bodoh membiarkan sang waktu menggilas tanpa ampun? Ataukah, justru kita menggunakannya sebagai momen menikmati kekekalan itu sehingga segalanya akan menjadi indah pada waktunya?

 

Ya, di tengah segala sikap skeptis dan pesimis, penulis kitab Pengkhotbah mengingatkan kita dengan ayat terkenal, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya…” (Pengkhotbah 3;11a). Kata Ibrani yang dipakai untuk indah di sini bukan tob seperti pada kisah penciptaan. “Indah” adalah sebuah istilah estetika. Tob bisa bermakna etis maupun estetika. Sedangkan yafe lebih menunjuk pada pemberian makna dari sebuah peristiwa dan Allah dapat memperindah sebuah peristiwa yang terjadi. Sebelum tiba pada ayat 11a, Pengkhotbah menjelaskan peristiwa-peristiwa yang pada umumnya dapat dialami oleh umat manusia. Peristiwa-peristiwa itu jika dimaknai dengan benar, maka kita akan menemukan keindahannya. Bisa saja kita belum menemukan makna pada saat sebuah peristiwa itu terjadi. Namun, ketika kita melewatinya, kita bisa menemukan makna yang disebut indah itu!

 

Hanya Allah yang dapat membuat segala sesuatu yafe (indah) pada waktunya. Ibarat orang Jawa memahami ungkapan “Memayu hayuning buwana” artinya memperindah dunia. Hanya Allah yang dapat memperindah dunia! Lebih dahsyat lagi, dalam kitab Wahyu hanya Allah yang sanggup menjadikan segala sesuatu menjadi baru.

 

Yohanes melihat langit yang baru dan bumi yang baru. Yohanes telah menyaksikan kebinasaan orang jahat, dan sekarang dalam penglihatannya ia melihat kebahagiaan orang-orang benar. Impian tentang langit baru dan bumi baru punya akar kuat dalam ingatan orang-orang Yahudi. Yesaya merekamnya, “Sebab sesungguhnya Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati.” (Yesaya 65:17) Akar kuat harapan langit dan bumi baru bisa saja terkubur oleh karena beban penderitaan yang teramat berat. Lalu, kita tidak menghiraukannya. Namun sejatinya Tuhan tidak pernah melupakan janji-Nya. Allah di dalam Kristus adalah Tuhan yang menghiraukan kita!

 

Dalam gambaran langit yang baru dan bumi yang baru, dukacita akan lenyap, dosa dihapuskan, kegelapan akan berakhir; waktu yang fana diubah menjadi kekal. Sebuah tatanan ideal. Tentu saja ini dapat terjadi ketika Allah bukan saja menciptakan tatanan baru, tetapi juga Ia hadir di tengah-tengah umat manusia. Di sinilah akan terjadi persekutuan indah antara Allah dengan manusia. Allah akan membuat kemah-Nya di tengah-tengah manusia. Tentu saja kegirangan dan sukacita akan memenuhi umat manusia, kedukaan dan kelu kesah akan menjauh (Yesaya 35:10). “Aku akan bersorak-sorak karena Yerusalem, dan kegirangan karena umat-Ku; di dalamnya tidak akan kedengaran lagi bunyi tangisan dan bunyi erang pun tidak” (Yesaya 65:19). 

 

Ini sepintas adalah janji masa depan. Namun, di dunia masa kini pun mestinya sudah berlaku bagi siapa saja yang menyediakan “kemah” bagi kediaman Allah di dalam hidupnya. Bagi mereka yang mau diubahkan menjadi manusia ciptaan baru. Seperti yang diungkapkan Paulus, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17). Allah di dalam Kristus mampu mengambil seseorang dan menjadikannya baru dan pada saat yang sama Allah dapat pula menciptakan alam semesta yang baru bagi orang-orang yang dengan setia melakukan kehendak-Nya: bagi domba-domba yang mendengar suara-Nya. Bagi mereka yang memberi makan orang lapar, minum bagi yang haus, pakaian kepada yang telanjang, mengunjungi yang sakit dan terpenjara. 

 

Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan.” (Wahyu 21: ) Alfa adalah huruf pertama dari abjad Yunani dan Omega adalah huruf terakhir. Di sini Yohanes menegaskan bahwa Allah adalah yang awal dan yang akhir. Istilah untuk awal adalah archē, ini artinya bukan sekedar yang pertama dalam kurun waktu, melainkan juga pertama dalam artisumber segala sesuatu. Sedangkan “akhir” dari kata telos, tidak sekadar akhir dalam kaitannya dengan urutan waktu, tetapi akhir dalam tujuan. Menurut Yohanes, segala kehidupan mulai dari dan di dalam Allah dan berakhir juga di dalam Allah.

 

Jika Allah di dalam Kristus begitu rupa menghiraukan kita. Maka seharusnya kita pun peduli degna hidup dan masa depan kita, bukan bersikap skeptis dan pesimis. Lalu memandang masa depan dengan suram. Bukan, bukan demikian. Allah yang memulai, memprakarsai kehidupan termasuk kehidupan Anda dan saya. Ia juga kelak akan mengakhiri namun dengan tujuan yang indah. Apakah kita telah memanfaatkannya dengan optimal, sungguh-sungguh dengan melakukan apa yang baik menurut kehendak-Nya. Ataukah kita membiarkannya begitu saja sampai sang waktu menggilas kita. Lalu dalam ketidak-berdayaan, kita menyesalinya?

 

Jakarta, Selamat Tahun Baru, 1 Januari 2022