Kamis, 23 Desember 2021

IA YANG TELAH LAHIR PENUH HIKMAT DAN KASIH KARUNIA

Jauh sebelum anak kami lahir, kami membeli sebuah buku panduan tentang tumbuh kembangnya janin dalamrahim. Jelas, waktu itu belum ada “youtube” atau “mbah google”. Menarik untuk disimak. Buku itu berisi tentang bagaimana menyikapi dan mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi dalam masa pertumbuhan janin. Hal yang sama kami lakukan setelah Eirene - demikian nama yang diberikan kepada anak kami - lahir. 

 

Setiap tahap pertumbuhan selalu saja menimbulkan kekaguman. Waktu berjalan begitu cepat. Kini, Eirene sudah menyelesaikan studi S1-nya. Ia punya pandangan sendiri terhadap diri, orang lain bahkan dunia ini. Ia pun punya cara sendiri bagaimana menghidupi apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Kini kami harus belajar “melepas”, seperti anak burung ia harus mengembangkan sayapnya dan hidup menurut keyakinan dan panggilannya.

 

Seperti kebanyakan orang tua, Yusuf dan Maria tentu sangat serius dalam memperhatikan dan mendidik buah hati mereka. Mereka adalah pasangan Yahudi saleh, hidup dalam tradisi iman Yudaisme ketat. Hukum Yahudi mewajibkan semua pria dewasa untuk berziarah ke Yerusalem tiga kali dalam setahun: Pada Hari Raya Paskah, Pentakosta, dan Pondok Daun. Kaum perempuan dan anak-anak tidak diwajibkan.

 

Dalam tradisi kesalehan ketat itu, Yesus dibesarkan. Anak laki-laki Yahudi dianggap dewasa secara spiritual ketika ia menginjak usia tiga belas tahun. Sejak saat itulah, setiap remaja Yahudi punya tanggung jawab penuh terhadap diri dan komunitas, serta Tuhannya. Selama dua belas tahun anak-anak Yahudi digemleng oleh ayahnya, agar setahun kemudian ia tampil sebagai seorang dewasa.

 

Setiap tahun Yusuf dan Maria membawa Yesus ke Yerusalem, tepatnya ke Bait Allah. Injil yang kita baca hari ini (Lukas 2:41-50) menceritakan ketika orang tua-Nya membawa Yesus yang beranjak remaja ke Yerusalem. Koq  dua belas tahun disebut remaja? Ya, kehidupan keagamaan dan budaya Yahudi memang demikian. Para peziarah Paskah tidak wajib tinggal sepanjang perayaan Paskah, yaitu tujuh hari. Meski banyak juga dari mereka yang sampai semua acara selesai. Para peziarah yang berasal jauh dari Yerusalem biasanya berjalan berkelompok. Kaum perempuan dan anak-anak biasanya akan berjalan lebih dahulu dari kelompok laki-laki dewasa. Mereka bertemu di tempat-tempat yang sebelumnya sudah ditentukan sebagai pos perhentian.

 

Kehebohan terjadi saat rombongan Yusuf hendak pulang meninggalkan Yerusalem. Yesus tidak ada dalam kelompok ibu-ibu dan anak-anak. Demikian juga Yesus juga tidak ditemukan dalam kelompok pria dewasa. Hal ini sangat mungkin terjadi, kelompok pria dewasa menganggap Yesus yang waktu dua belas tahun, masih kanak-kanak tentunya Ia ada bersama dengan kelompok ibu-ibu yang membawa anak-anak mereka. Di pihak lain, Maria dan kelompoknya beranggapan, Yesus telah beranjak remaja tentu Ia ada bersama-sama rombongan pria dewasa. Ketika dua kelompok rombongan ini bertemu, mereka tercengang, gelisah, panik dan heboh. Di manakah Yesus berada?

 

Dapat dibayangkan, setelah seharian perjalanan ternyata mereka tidak menemukan Yesus. Keadaan waktu itu pasti masih ramai! Sebagai orang tua yang bertanggung jawab, Yusuf dan Maria kembali ke Yerusalem. Mereka mencari ke sana ke mari. Setelah tiga hari barulah mereka menemukan Yesus. Dia ada dalam kompleks Bait Allah! Yesus sedang duduk di tengah-tengah para guru agama. Biasanya selama hari raya dan hari Sabat, Mahkamah Agama tidak mengadakan kegiatan. Namun, pada hari-hari itu para anggota dan para rabi lazim berada di pelataran Bait Allah. Mereka mengajar dan menjawab pelbagai pertanyaan yang dikemukakan umat. Layaknya pendalaman Alkitab.

 

Para rabi Yahudi menempati pelataran Bait Allah, mereka duduk waktu mengajar. Metode pengajaran mereka umumnya dialog. Lukas mencatat bahwa Yesus duduk, artinya sangat mungkin Yesus pada saat itu menyampaikan pengajaran! Mereka mempercakapkan Taurat dan isi Kitab Suci, tepatnya kehendak Allah yang terungkap di dalamnya. Yesus memahaminya sebab Ia tahu apa yang diharapkan Allah dari manusia. Inilah yang menandakan bahwa Yesus penuh hikmat. Inilah inti kebijaksanaan-Nya yang dikagumi oleh orang-orang yang menyaksikan-Nya.

 

Dalam kisah ini dicatat pula rasa heran dari orang tua Yesus. Mereka tidak heran kalau Yesus cerdas. Mereka, khususnya Maria yang menyimpan segala sesuatu di dalam hatinya tahu betul bahwa sejak awal banyak tanda-tanda ajaib tentang Yesus. Kalangan Yahudi juga tidak heran kalau ada anak Yahudi dalam usia yang masih belia dapat berdialog dan menunjukkan hikmatnya. Tradisi Yahudi menceritakan tentang Daniel yang pada usia dua belas tahun juga duduk di antara tua-tua Yahudi sambil membela Susana. Demikian juga tradisi yang menyebut bahwa Samuel sudah menjadi nabi ketika usianya sangat muda. Dua belas tahun!

 

Yusuf dan Maria heran bukan karena kecerdasan Yesus, melainkan karena Ia bertingkah laku tidak biasa. Mereka bertambah heran setelah mereka mendengar pernyataan Yesus, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada dalam rumah Bapa-Ku?” (Lukas 2:49). Dengan kata lain Yesus menegaskan bahwa Ia harus terlibat dan mengerjakan kehendak Bapa.

 

Dalam pernyataan-Nya ini, Yesus mau membuat kontras kata Bapa-Ku, maksudnya Allah yang diucapkannya sendiri, dengan kata bapak-Mu, maksudnya Yusuf yang diucapkan Maria. Maria bicara tentang kewajiban anak terhadap orang tuanya. Sedangkan Yesus berbicara tentang kewajiban-Nya terhadap Allah. Dengan bertanya, “Tidakkah kamu tahu”, Yesus menyatakan bahwa Yusuf dan Maria mestinya tahu. Lalu, mengapa mereka tidak tahu? Kunci masalahnya ada pada kata “harus”. “Aku harus berada di rumah Bapa-Ku…” Yesus harus terlibat penuh dalam perkara-perkara Bapa. Ia harus, sebab itulah kehendak Bapa!

 

“Harus” merupakan prioritas, hal yang paling utama. Terlibat dalam perkara-perkara Bapa merupakan hal yang utama. Injil Lukas mencatat penggunaan kata “harus” berkali-kali. Khususnya nanti dalam kisah sengsara Yesus. Yesus harus mengutamakan seluruh kehidupan-Nya dalam memenuhi kehendak Bapa. Untuk itulah Ia lahir!

 

Tentu saja terasa agak aneh dan kasar, seorang anak ditegur oleh orang tuanya, lalu menanggapi dengan cara demikian. Yusuf dan Maria juga heran, bahkan tidak mengerti! Ketidakmengertian mereka tentu saja ada sebabnya. Ya, sebagaimana tradisi Yahudi yang mengajarkan hormat terhadap orang tua, mestinya sikap Yesus tidak demikian. Seorang anak harus menurut dan menaruh hormat terhadap orang tuanya. Orang tua Yesus tidak mengerti, ini erat hubungannya dengan rasa heran. Ini merupakan reaksi normal ketika manusia berhadapan dengan misteri ilahi dari Yesus sebagai “Anak Allah”. Orang yang terbuka terhadap sabda Yesus pun mengalaminya. Anda dan saya suatu ketika juga pasti mengalami ketidakmengertian seperti ini. Hal yang sama dialami oleh para murid Yesus, terlebih setelah diberitahukan kepada mereka bahwa Ia harus menempuh jalan sengsara. Misteri Yesus sulit dipahami sebelum Ia selesai merampungkan mandat dari Bapa-Nya.

 

Lalu, apa yang harus dilakukan di tengah ketidakmengertian misteri Yesus ini? Mari kita belajar dari orang tua Yesus. Mereka tidak memaksakan kehendak, apalagi memarahi Yesus di depan orang banyak. Dalam ketidakmengertian mereka, mereka pulang bersama-sama dengan Yesus ke Nazaret. Yesus tetap hidup dalam asuhan mereka. Ibunya pun menyimpan semua hal itu di dalam hatinya hingga Yesus terus tumbuh dewasa, bertambah hikmat, dikasihi Allah dan manusia (Lukas 2:51-52).

 

Dalam ketidakmengertian Yusuf dan Maria, Yesus tetap ada bersama mereka. Mereka menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai orang tua. Di dalam ketidakmengertian kita, yakinlah bahwa Yesus tetap menyertai kita. Yang diminta dari kita, marilah berproses bersama. Berjalan bersama dengan Yesus dan kerjakanlah tugas tanggung jawab sesuai dengan apa yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Seperti Maria, dan juga kelak murid-murid-Nya akan mengerti setelah dengan utuh mereka menyaksikan karya Yesus. 

 

Jika hari ini kita sulit mengerti jalan Tuhan, jika hari ini ada yang aneh dalam mengikuti kehendak-Nya, jangan bimbang. Ikuti saja terus jalan-Nya, lakukan apa yang terbaik sesuai dengan kehendak-Nya dan percayalah bahwa suatu kali kita akan mengerti bahwa kasih karunia-Nya selalu menyertai kita!

 

Jakarta, 26 Desember 2021

 

 

SANG LOGOS MENJADIKAN HIDUP KITA BERSAMA SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

Dalam filsafat ada yang disebut aliran Skeptisisme. Kaum Skeptis menegaskan bahwa manusia dengan akal budinya terbatas, mereka menyebut dirinya Skeptikoi, artinya penyidik atau penyelidik. Kaum skeptis bersih kukuh bahwa sang Begawan filsafat, Socrates adalah sosok skeptis pertama karena ia jujur mengenai betapa sedikit pengetahuannya dan pengetahuan orang lain.

 

Adalah Pyrrho dari Elis merupakan orang pertama penggagas aliran skeptis ini. Ia hidup sezaman dengan Epicurus sang tokoh Stoik. Aliran Stoik inilah yang cukup berpengaruh pada zaman Perjanjian Baru. 

 

Ketika kembali ke Yunani, Pyrrho memperkenalkan “doktrin ketidak-mengertian dan pentingnya untuk tidak terburu-buru dalam menilai.” Pyrrho dan para muridnya mengatakan bahwa kita tidak akan pernah tahu percis atau secara mutlak sesuatu itu benar atau tidak. Misalnya, kita tahu rasa madu itu manis, tetapi kita tidak pernah tahu apakah rasanya memang manis, sesuai rasa aslinya begitu, atau manis itu hanya menurut kita. Mungkin rasanya berbeda lagi, katakanlah kalau dikecap oleh orang sakit atau spesies lain. 

 

Sementara Epicurus dan kelompoknya menyatakan bahwa mereka terang-terangan mengklaim mampu menilai bukan dari penampilan dan opini, melainkan benar-benar “tahu” yang sebenarnya. Akhirnya, mereka bahkan mengklaim tahu realitas ilahi, seolah akal manusia bisa tahu apa yang terlintas dalam benak Tuhan - atau apakah memang Tuhan itu ada.

 

Tentu saja kaum Skeptis prihatin. Mereka berkilah bahwa ajaran atau dogmatis seperti semacam ini yang menjadi penyebab utama penderitaan emosional. Kita langsung menarik kesimpulan, terlalu percaya pada prinsip kita dan ini menyebabkan dua ekstrim: tertekan atau euphoria. Kita yakin bahwa Tuhan berada di pihak kita dan dengan begitu maka tidak akan ada masalah; atau kita yakin jagat raya menentang kita dan tidak pernah akan ada yang beres.

 

Di antara dua pertempuran pemikiran inilah Yohanes memperkenalkan Sang Logos yang berinkarnasi sebagai Manusia. Benar, bahwa banyak hal yang kita tidak mengerti tentang karya Allah dalam Kristus yang unik ini. Percisnya seperti apa inkarnasi itu dan kronologi sesungguhnya seperti apa, kita tidak pernah tahu. Misteri Ilahi! Pada pihak lain, sama seperti kaum Stoik, kita menjadi yakin ketika menyelami, mengalami pengalaman esistensial bersama dengan Sang Kalam yang menjadi Insani itu.

 

Dalam bahasa lugas, Ibrani bertutur, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi,…” (Ibrani 1:1). Ada upaya Yang Ilahi untuk menjalin komunikasi dengan ciptaan-Nya. Berulang kali, pelbagai cara dan banyak nabi yang diutus. Bayangkan, Allah tidak hanya sekali, dua kali. Berkali-kali! Bukan hanya verbal atau pernyataan lisan, melainkan banyak cara. Peristiwa alam, bencana, alat peraga. Ada Hosea yang harus memperagakan bahwa umat Allah itu seperti perempuan sundal yang harus diraih, dinikahi oleh sang nabi. Ini untuk menggambarkan bagaimana Allah yang kudus itu mau kembali menjalin relasi dengan manusia yang cemar. Ada Yeremia yang harus pergi ke tukang periuk. Di sini Allah hendak menjelaskan bahwa Dia adalah Allah yang menjadikan dan membentuk manusia. Masih banyak lagi yang lain. Namun, toh tampaknya manusia tidak mengerti juga! Apakah Allah menyerah? Tidak!

 

“…maka pada zaman akhir ini ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang Ia telah tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”(Ibrani 1:2).

 

Anak Allah, jelas bukan dalam pemahaman anak biologis, melainkan yang menurut Injil Yohanes adalah Sang Firman yang turun menjadi Manusia. Logos! Logos yang dalam pemikiran kelompok Stoik adalah pengertian atau nalar dari semesta. Logos berarti pengetahuan yang sering kali digunakan oleh manusia sebagai senjata untuk menyatakan dan memutlakkan sebuah kebenaran. Sedangkan dalam pemahaman Yahudi, pengetahuan atau Logos itu selalu dikaitkan dengan hikmat. Hikmat itu bukan bersumber dari kekuatan nalar manusia melainkan dari Allah sendiri - mengenai ini kitab Amsal banyak mengungkapkannya. Hanya manusia yang tunduk pada hikmat Allahlah yang dapat menyelami dan memahami karya Allah. Melalui hikmat Allahlah kita mengerti mengapa Sang Firman yang adalah Allah sendiri mau hadir di tengah-tengah dunia dan menyatakan cinta-Nya.

 

Sebagaimana Ibrani mencatat bahwa Allah berulang kali menyapa umat-Nya, terang ilahi itu berulang kali datang dan menggugah manusia. Namun, tepat seperti gambaran umum bahwa umat itu tegar tengkuk. Mereka menolaknya! Kini, terang yang sesungguhnya datang, Logos yang menyatakan Allah segamblang-gamblangnya itu hadir. Mengapa disebut “terang yang sesungguhnya”? Ya, karena dengan kehadiran Yesus, Allah yang abstrak, jauh dan tak terhingga itu kini bisa dirasa, diraba dan dilihat. Dulu orang menyebut nama-Nya saja ngeri, dulu orang menerka-nerka Allah yang pengasih, penyayang, pengampun, berkuasa itu seperti apa. Kini, orang dapat melihat bahwa Allah itu menjadi nyata di dalam Kristus. Yesus Kristus menunjukkan Allah yang mengasihi, mengampuni, merangkul dan berkuasa itu. Tak pelak lagi, Yesuslah Sang Firman yang hidup. Yesuslah Firman yang menjadi Manusia dan diam di antara manusia!

 

Diam (eskenosen) mengingatkan sejarah orang Yahudi ketika berada dalam perjalanan menuju tanah perjanjian. Allah diam bersama mereka. Allah tinggal di tengah-tengah umat-Nya, Ia berkemah bareng dalam perjalanan itu. Dampaknya? Umat terpelihara dan terpimpin menuju arah yang jelas!

 

Sayang, meski segamlang itu Allah menyatakan diri, tetap saja banyak manusia yang menolaknya. Sebaliknya, setiap orang yang menyambut-Nya dalam hal ini percaya, Ia memberikan kuasa (exausia), mirip otoritas, atau hak untuk menjadi anak-anak Allah. Jangan salah mengerti. Kuasa yang dimaksud bukanlah kuasa untuk menaklukkan atau membuat diri hidup dalam kenyamanan yang tiada tara. Bukan! Kuasa itu yang membuat manusia mampu menemukan tujuan hidup semula. Mengembalikan citranya yang rusak kembali kepada gambar Sang Khaliq.

 

Benarkah Sang Logos telah menjadikan hidup kita sebagai anak-anak Allah? Atau - kalau meminjam kelompok skeptis - jangan-jangan ini hanya perasaan dan dogma kita saja! Batu uji dari sebuah kebenaran sebenarnya sederhana. Yesus pernah berkata bahwa pohon dikenal dari buahnya. Baik tidaknya pohon terlihat dari buah yang dihasilkan. Batu uji benar bahwa kita adalah anak-anak Allah di dalam Kristus jelas bukan pengakuan saja. Pengakuan atau ucapan bibir bisa dibuat dan dipoles dengan mudah. 

 

Yang membuktikan benar bahwa kita adalah anak-anak Allah adalah perilaku secara menyeluruh dalam kehidupan kita. Bila Yesus disebut Sang Firman yang hidup, karena dalam hidup-Nya Ia memperagakan dengan utuh Firman dan hakikat Allah, maka kita disebut anak-anak-Nya oleh karena bukan saja menyambut dan percaya bahwa Yesus adalah Sang Firman itu, melainkan juga karena hidup kita dipimpin dan menjalankan Firman itu. Natal hanya relevan sejauh menjadikan Kristus sebagai Sang Firman dan kita menjadi pelakunya.

 

Jakarta, Natal II tahun C 2021