Dalam filsafat ada yang disebut aliran Skeptisisme. Kaum Skeptis menegaskan bahwa manusia dengan akal budinya terbatas, mereka menyebut dirinya Skeptikoi, artinya penyidik atau penyelidik. Kaum skeptis bersih kukuh bahwa sang Begawan filsafat, Socrates adalah sosok skeptis pertama karena ia jujur mengenai betapa sedikit pengetahuannya dan pengetahuan orang lain.
Adalah Pyrrho dari Elis merupakan orang pertama penggagas aliran skeptis ini. Ia hidup sezaman dengan Epicurus sang tokoh Stoik. Aliran Stoik inilah yang cukup berpengaruh pada zaman Perjanjian Baru.
Ketika kembali ke Yunani, Pyrrho memperkenalkan “doktrin ketidak-mengertian dan pentingnya untuk tidak terburu-buru dalam menilai.” Pyrrho dan para muridnya mengatakan bahwa kita tidak akan pernah tahu percis atau secara mutlak sesuatu itu benar atau tidak. Misalnya, kita tahu rasa madu itu manis, tetapi kita tidak pernah tahu apakah rasanya memang manis, sesuai rasa aslinya begitu, atau manis itu hanya menurut kita. Mungkin rasanya berbeda lagi, katakanlah kalau dikecap oleh orang sakit atau spesies lain.
Sementara Epicurus dan kelompoknya menyatakan bahwa mereka terang-terangan mengklaim mampu menilai bukan dari penampilan dan opini, melainkan benar-benar “tahu” yang sebenarnya. Akhirnya, mereka bahkan mengklaim tahu realitas ilahi, seolah akal manusia bisa tahu apa yang terlintas dalam benak Tuhan - atau apakah memang Tuhan itu ada.
Tentu saja kaum Skeptis prihatin. Mereka berkilah bahwa ajaran atau dogmatis seperti semacam ini yang menjadi penyebab utama penderitaan emosional. Kita langsung menarik kesimpulan, terlalu percaya pada prinsip kita dan ini menyebabkan dua ekstrim: tertekan atau euphoria. Kita yakin bahwa Tuhan berada di pihak kita dan dengan begitu maka tidak akan ada masalah; atau kita yakin jagat raya menentang kita dan tidak pernah akan ada yang beres.
Di antara dua pertempuran pemikiran inilah Yohanes memperkenalkan Sang Logos yang berinkarnasi sebagai Manusia. Benar, bahwa banyak hal yang kita tidak mengerti tentang karya Allah dalam Kristus yang unik ini. Percisnya seperti apa inkarnasi itu dan kronologi sesungguhnya seperti apa, kita tidak pernah tahu. Misteri Ilahi! Pada pihak lain, sama seperti kaum Stoik, kita menjadi yakin ketika menyelami, mengalami pengalaman esistensial bersama dengan Sang Kalam yang menjadi Insani itu.
Dalam bahasa lugas, Ibrani bertutur, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi,…” (Ibrani 1:1). Ada upaya Yang Ilahi untuk menjalin komunikasi dengan ciptaan-Nya. Berulang kali, pelbagai cara dan banyak nabi yang diutus. Bayangkan, Allah tidak hanya sekali, dua kali. Berkali-kali! Bukan hanya verbal atau pernyataan lisan, melainkan banyak cara. Peristiwa alam, bencana, alat peraga. Ada Hosea yang harus memperagakan bahwa umat Allah itu seperti perempuan sundal yang harus diraih, dinikahi oleh sang nabi. Ini untuk menggambarkan bagaimana Allah yang kudus itu mau kembali menjalin relasi dengan manusia yang cemar. Ada Yeremia yang harus pergi ke tukang periuk. Di sini Allah hendak menjelaskan bahwa Dia adalah Allah yang menjadikan dan membentuk manusia. Masih banyak lagi yang lain. Namun, toh tampaknya manusia tidak mengerti juga! Apakah Allah menyerah? Tidak!
“…maka pada zaman akhir ini ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang Ia telah tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”(Ibrani 1:2).
Anak Allah, jelas bukan dalam pemahaman anak biologis, melainkan yang menurut Injil Yohanes adalah Sang Firman yang turun menjadi Manusia. Logos! Logos yang dalam pemikiran kelompok Stoik adalah pengertian atau nalar dari semesta. Logos berarti pengetahuan yang sering kali digunakan oleh manusia sebagai senjata untuk menyatakan dan memutlakkan sebuah kebenaran. Sedangkan dalam pemahaman Yahudi, pengetahuan atau Logos itu selalu dikaitkan dengan hikmat. Hikmat itu bukan bersumber dari kekuatan nalar manusia melainkan dari Allah sendiri - mengenai ini kitab Amsal banyak mengungkapkannya. Hanya manusia yang tunduk pada hikmat Allahlah yang dapat menyelami dan memahami karya Allah. Melalui hikmat Allahlah kita mengerti mengapa Sang Firman yang adalah Allah sendiri mau hadir di tengah-tengah dunia dan menyatakan cinta-Nya.
Sebagaimana Ibrani mencatat bahwa Allah berulang kali menyapa umat-Nya, terang ilahi itu berulang kali datang dan menggugah manusia. Namun, tepat seperti gambaran umum bahwa umat itu tegar tengkuk. Mereka menolaknya! Kini, terang yang sesungguhnya datang, Logos yang menyatakan Allah segamblang-gamblangnya itu hadir. Mengapa disebut “terang yang sesungguhnya”? Ya, karena dengan kehadiran Yesus, Allah yang abstrak, jauh dan tak terhingga itu kini bisa dirasa, diraba dan dilihat. Dulu orang menyebut nama-Nya saja ngeri, dulu orang menerka-nerka Allah yang pengasih, penyayang, pengampun, berkuasa itu seperti apa. Kini, orang dapat melihat bahwa Allah itu menjadi nyata di dalam Kristus. Yesus Kristus menunjukkan Allah yang mengasihi, mengampuni, merangkul dan berkuasa itu. Tak pelak lagi, Yesuslah Sang Firman yang hidup. Yesuslah Firman yang menjadi Manusia dan diam di antara manusia!
Diam (eskenosen) mengingatkan sejarah orang Yahudi ketika berada dalam perjalanan menuju tanah perjanjian. Allah diam bersama mereka. Allah tinggal di tengah-tengah umat-Nya, Ia berkemah bareng dalam perjalanan itu. Dampaknya? Umat terpelihara dan terpimpin menuju arah yang jelas!
Sayang, meski segamlang itu Allah menyatakan diri, tetap saja banyak manusia yang menolaknya. Sebaliknya, setiap orang yang menyambut-Nya dalam hal ini percaya, Ia memberikan kuasa (exausia), mirip otoritas, atau hak untuk menjadi anak-anak Allah. Jangan salah mengerti. Kuasa yang dimaksud bukanlah kuasa untuk menaklukkan atau membuat diri hidup dalam kenyamanan yang tiada tara. Bukan! Kuasa itu yang membuat manusia mampu menemukan tujuan hidup semula. Mengembalikan citranya yang rusak kembali kepada gambar Sang Khaliq.
Benarkah Sang Logos telah menjadikan hidup kita sebagai anak-anak Allah? Atau - kalau meminjam kelompok skeptis - jangan-jangan ini hanya perasaan dan dogma kita saja! Batu uji dari sebuah kebenaran sebenarnya sederhana. Yesus pernah berkata bahwa pohon dikenal dari buahnya. Baik tidaknya pohon terlihat dari buah yang dihasilkan. Batu uji benar bahwa kita adalah anak-anak Allah di dalam Kristus jelas bukan pengakuan saja. Pengakuan atau ucapan bibir bisa dibuat dan dipoles dengan mudah.
Yang membuktikan benar bahwa kita adalah anak-anak Allah adalah perilaku secara menyeluruh dalam kehidupan kita. Bila Yesus disebut Sang Firman yang hidup, karena dalam hidup-Nya Ia memperagakan dengan utuh Firman dan hakikat Allah, maka kita disebut anak-anak-Nya oleh karena bukan saja menyambut dan percaya bahwa Yesus adalah Sang Firman itu, melainkan juga karena hidup kita dipimpin dan menjalankan Firman itu. Natal hanya relevan sejauh menjadikan Kristus sebagai Sang Firman dan kita menjadi pelakunya.
Jakarta, Natal II tahun C 2021