Kamis, 23 Desember 2021

SANG LOGOS MENJADIKAN HIDUP KITA BERSAMA SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

Dalam filsafat ada yang disebut aliran Skeptisisme. Kaum Skeptis menegaskan bahwa manusia dengan akal budinya terbatas, mereka menyebut dirinya Skeptikoi, artinya penyidik atau penyelidik. Kaum skeptis bersih kukuh bahwa sang Begawan filsafat, Socrates adalah sosok skeptis pertama karena ia jujur mengenai betapa sedikit pengetahuannya dan pengetahuan orang lain.

 

Adalah Pyrrho dari Elis merupakan orang pertama penggagas aliran skeptis ini. Ia hidup sezaman dengan Epicurus sang tokoh Stoik. Aliran Stoik inilah yang cukup berpengaruh pada zaman Perjanjian Baru. 

 

Ketika kembali ke Yunani, Pyrrho memperkenalkan “doktrin ketidak-mengertian dan pentingnya untuk tidak terburu-buru dalam menilai.” Pyrrho dan para muridnya mengatakan bahwa kita tidak akan pernah tahu percis atau secara mutlak sesuatu itu benar atau tidak. Misalnya, kita tahu rasa madu itu manis, tetapi kita tidak pernah tahu apakah rasanya memang manis, sesuai rasa aslinya begitu, atau manis itu hanya menurut kita. Mungkin rasanya berbeda lagi, katakanlah kalau dikecap oleh orang sakit atau spesies lain. 

 

Sementara Epicurus dan kelompoknya menyatakan bahwa mereka terang-terangan mengklaim mampu menilai bukan dari penampilan dan opini, melainkan benar-benar “tahu” yang sebenarnya. Akhirnya, mereka bahkan mengklaim tahu realitas ilahi, seolah akal manusia bisa tahu apa yang terlintas dalam benak Tuhan - atau apakah memang Tuhan itu ada.

 

Tentu saja kaum Skeptis prihatin. Mereka berkilah bahwa ajaran atau dogmatis seperti semacam ini yang menjadi penyebab utama penderitaan emosional. Kita langsung menarik kesimpulan, terlalu percaya pada prinsip kita dan ini menyebabkan dua ekstrim: tertekan atau euphoria. Kita yakin bahwa Tuhan berada di pihak kita dan dengan begitu maka tidak akan ada masalah; atau kita yakin jagat raya menentang kita dan tidak pernah akan ada yang beres.

 

Di antara dua pertempuran pemikiran inilah Yohanes memperkenalkan Sang Logos yang berinkarnasi sebagai Manusia. Benar, bahwa banyak hal yang kita tidak mengerti tentang karya Allah dalam Kristus yang unik ini. Percisnya seperti apa inkarnasi itu dan kronologi sesungguhnya seperti apa, kita tidak pernah tahu. Misteri Ilahi! Pada pihak lain, sama seperti kaum Stoik, kita menjadi yakin ketika menyelami, mengalami pengalaman esistensial bersama dengan Sang Kalam yang menjadi Insani itu.

 

Dalam bahasa lugas, Ibrani bertutur, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi,…” (Ibrani 1:1). Ada upaya Yang Ilahi untuk menjalin komunikasi dengan ciptaan-Nya. Berulang kali, pelbagai cara dan banyak nabi yang diutus. Bayangkan, Allah tidak hanya sekali, dua kali. Berkali-kali! Bukan hanya verbal atau pernyataan lisan, melainkan banyak cara. Peristiwa alam, bencana, alat peraga. Ada Hosea yang harus memperagakan bahwa umat Allah itu seperti perempuan sundal yang harus diraih, dinikahi oleh sang nabi. Ini untuk menggambarkan bagaimana Allah yang kudus itu mau kembali menjalin relasi dengan manusia yang cemar. Ada Yeremia yang harus pergi ke tukang periuk. Di sini Allah hendak menjelaskan bahwa Dia adalah Allah yang menjadikan dan membentuk manusia. Masih banyak lagi yang lain. Namun, toh tampaknya manusia tidak mengerti juga! Apakah Allah menyerah? Tidak!

 

“…maka pada zaman akhir ini ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang Ia telah tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”(Ibrani 1:2).

 

Anak Allah, jelas bukan dalam pemahaman anak biologis, melainkan yang menurut Injil Yohanes adalah Sang Firman yang turun menjadi Manusia. Logos! Logos yang dalam pemikiran kelompok Stoik adalah pengertian atau nalar dari semesta. Logos berarti pengetahuan yang sering kali digunakan oleh manusia sebagai senjata untuk menyatakan dan memutlakkan sebuah kebenaran. Sedangkan dalam pemahaman Yahudi, pengetahuan atau Logos itu selalu dikaitkan dengan hikmat. Hikmat itu bukan bersumber dari kekuatan nalar manusia melainkan dari Allah sendiri - mengenai ini kitab Amsal banyak mengungkapkannya. Hanya manusia yang tunduk pada hikmat Allahlah yang dapat menyelami dan memahami karya Allah. Melalui hikmat Allahlah kita mengerti mengapa Sang Firman yang adalah Allah sendiri mau hadir di tengah-tengah dunia dan menyatakan cinta-Nya.

 

Sebagaimana Ibrani mencatat bahwa Allah berulang kali menyapa umat-Nya, terang ilahi itu berulang kali datang dan menggugah manusia. Namun, tepat seperti gambaran umum bahwa umat itu tegar tengkuk. Mereka menolaknya! Kini, terang yang sesungguhnya datang, Logos yang menyatakan Allah segamblang-gamblangnya itu hadir. Mengapa disebut “terang yang sesungguhnya”? Ya, karena dengan kehadiran Yesus, Allah yang abstrak, jauh dan tak terhingga itu kini bisa dirasa, diraba dan dilihat. Dulu orang menyebut nama-Nya saja ngeri, dulu orang menerka-nerka Allah yang pengasih, penyayang, pengampun, berkuasa itu seperti apa. Kini, orang dapat melihat bahwa Allah itu menjadi nyata di dalam Kristus. Yesus Kristus menunjukkan Allah yang mengasihi, mengampuni, merangkul dan berkuasa itu. Tak pelak lagi, Yesuslah Sang Firman yang hidup. Yesuslah Firman yang menjadi Manusia dan diam di antara manusia!

 

Diam (eskenosen) mengingatkan sejarah orang Yahudi ketika berada dalam perjalanan menuju tanah perjanjian. Allah diam bersama mereka. Allah tinggal di tengah-tengah umat-Nya, Ia berkemah bareng dalam perjalanan itu. Dampaknya? Umat terpelihara dan terpimpin menuju arah yang jelas!

 

Sayang, meski segamlang itu Allah menyatakan diri, tetap saja banyak manusia yang menolaknya. Sebaliknya, setiap orang yang menyambut-Nya dalam hal ini percaya, Ia memberikan kuasa (exausia), mirip otoritas, atau hak untuk menjadi anak-anak Allah. Jangan salah mengerti. Kuasa yang dimaksud bukanlah kuasa untuk menaklukkan atau membuat diri hidup dalam kenyamanan yang tiada tara. Bukan! Kuasa itu yang membuat manusia mampu menemukan tujuan hidup semula. Mengembalikan citranya yang rusak kembali kepada gambar Sang Khaliq.

 

Benarkah Sang Logos telah menjadikan hidup kita sebagai anak-anak Allah? Atau - kalau meminjam kelompok skeptis - jangan-jangan ini hanya perasaan dan dogma kita saja! Batu uji dari sebuah kebenaran sebenarnya sederhana. Yesus pernah berkata bahwa pohon dikenal dari buahnya. Baik tidaknya pohon terlihat dari buah yang dihasilkan. Batu uji benar bahwa kita adalah anak-anak Allah di dalam Kristus jelas bukan pengakuan saja. Pengakuan atau ucapan bibir bisa dibuat dan dipoles dengan mudah. 

 

Yang membuktikan benar bahwa kita adalah anak-anak Allah adalah perilaku secara menyeluruh dalam kehidupan kita. Bila Yesus disebut Sang Firman yang hidup, karena dalam hidup-Nya Ia memperagakan dengan utuh Firman dan hakikat Allah, maka kita disebut anak-anak-Nya oleh karena bukan saja menyambut dan percaya bahwa Yesus adalah Sang Firman itu, melainkan juga karena hidup kita dipimpin dan menjalankan Firman itu. Natal hanya relevan sejauh menjadikan Kristus sebagai Sang Firman dan kita menjadi pelakunya.

 

Jakarta, Natal II tahun C 2021

KELAHIRAN YANG MEMBEBASKAN

Abraham Lincoln mengumumkan, “Saya adalah orang yang paling menderita di dunia!” Saat itu dia telah mengalami dua kali guncangan karena depresi berat. Dalam keadaan tertekan dan menderita, “Seandainya apa yang saya rasakan dibagi-bagikan secara sama rata pada seluruh umat manusia, tidak akan ada satu pun wajah gembira di muka bumi ini. Saya tidak tahu apakah saya akan sembuh - dalam kekalutan saya -  saya meramalkan saya tidak akan sembuh. Saya tidak mungkin tetap dalam kondisi ini. Saya harus mati atau sembuh!”

 

Dalam The Atlantic, Joshua Wolf Shenk menulis artikel tentang “Depresi Besar Lincoln”. Shenk mengungkapkan bagaimana depresi itu memaksa Lincoln memahami hidup lebih dalam. Lincoln ngotot mengakui ketakutan-ketakutannya. Sepanjang rentang usia akhir dua puluhan dan awal tiga puluh tahun, Lincoln semakin menyelami ketakutan-ketakutan itu. Ia merenungkan apa yang menurut Albert Camus satu-satunya pertanyaan serius yang harus dihadapi umat manusia. Takut! 

 

Lincoln harus memutuskan apakah  dia bisa hidup dan menghadapi  penderitaan. Akhirnya dia memutuskan harus hidup. Dalam dirinya ada dorongan kuat yang tidak tertahankan untuk mencapai sesuatu selama hidupnya.

 

Lincoln orang serius. Dia adalah salah satu orang hebat yang paling serius dalam sejarah. Dia menghadapi perang batin dan perang fisik. Hal ini yang memungkinkannya mempunyai pemahaman tentang penderitaan dan membuatnya memiliki empati yang ia tunjukkan saat dia berniat mengubah undang-undang tentang perbudakan. Lincoln mengenang, “Setiap kali saya mendengar seseorang berdebat tentang perbudakan, saya sangat ingin melihat orang itu diperbudak agar tahu rasanya!”

 

Takut! Adalah satu-satunya pertanyaan serius yang harus dihadapi umat manusia, demikian kata Albert Camus. Takut adalah hal serius! Bukankah karena takut seseorang dapat memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Karena takut orang menutup diri dan tidak dapat menggunakan segala potensi di dalam dirinya. Takut juga menjadi penyebab orang bertindak beringas, membunuh dan memangsa sesamanya. Karena takut kelaparan orang bertindak serakah dan tamak. Karena takut tidak dihormati kita bisa menghalalkan segala cara agar dapat tenar dan berkuasa. Ya, takut menjadi persoalan besar bagi kehidupan manusia!

 

“Jangan takut!” Itulah berita utama Natal. Berita Natal merupakan kabar sukacita sebab ia menjawab pertanyaan serius umat manusia, yakni takut! “Jangan takut!”, Berita yang disampaikan malaikat Tuhan kepada para gembala yang dicatat dalam Lukas 2:10 ini adalah juga berita yang sama yang disampaikan Malaikat Gabriel kepada seorang perawan muda di Nazaret, Maria. Tampaknya, dan memang demikian adanya, Tuhan mengerti kebutuhan utama manusia: terbebas dari rasa takut!

 

Natal yang digambarkan Injil Lukas adalah peristiwa sukacita oleh karena Allah menyediakan jawaban sekaligus juga pembebasan manusia dari belenggu ketakutan. Lukas mengisahkan kelahiran Yesus Sang Juruselamat di tengah konteks umat Allah sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja! Umat berada dalam kuasa Kaisar Agustus yang dapat bertindak apa saja terhadap mereka. Hal ini sangat kontras dibandingkan jawaban Tuhan atas kebutuhan utama manusia. Yesus, Sang Mesias lahir dalam kondisi yang sangat sederhana. Jauh dari pesta yang glamor. Allah melakukan sesuatu yang dahsyat namun jauh dari kemewahan dan kemegahan. Berita gembira, bahwa Allah hadir untuk menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa dan membebaskan manusia dari ketakutan disampaikan bukan kepada orang-orang yang dipandang hebat, punya kuasa atau kaya. Berita itu justru disampaikan kepada orang-orang sederhana. Kaum gembala!

 

Berita agung yang disampaikan kepada orang-orang sederhana tetapi tidak kehilangan kemulian-Nya. Kemuliaan Allah melalui malaikat-Nya itu meliputi para gembala yang hidup terpisah karena harus mencari padang rumput hijau untuk domba-domba mereka. Kepada orang-orang sederhana itu malaikat Allah menyampaikan berita, “Jangan takut” sebab seorang pembebas telah lahir: Yesus Kristus, Sang Imanuel, Allah sendiri yang hadir ke dunia melawat umat-Nya.

 

Malaikat itu menyatakan sebuah tanda. Tanda yang menunjukkan kelahiran Sang Mesias bukanlah sebuah tanda dahsyat atau kemegahan dan kebesaran. Bukan! Tanda itu sederhana, sangat biasa: sebuah palungan! Benda inilah yang dipakai Allah untuk menjadi bukti bagi para gembala akan kebenaran dari berita yang disampaikan oleh malaikat sebelumnya. Para gembala ini tidak hanya mempunyai kesempatan istimewa, mereka pun menyatakan kesaksian bahwa benar, bayi yang berada di palungan itulah Sang Mesias! Melihat Sang Mesias, tidak hanya dibebaskan dari ketakutan, namun mereka kemudian kembali dengan sukacita dan memuliakan Allah.

 

Sejak dari awal pesan Natal bukanlah pesan tentang kemewahan, kemegahan dan pesta. Bukan itu! Pesan Natal adalah berita kebahagiaan dan damai sejahtera. Natal adalah berita sukacita sebab Allah melawat umat-Nya dan memberikan jawaban atas persoalan serius dan masalah utama kebutuhan manusia: mengatasi rasa takut!  

 

Natal adalah kesederhanaan yang menyapa dan mendatangi orang-orang sederhana bahkan yang sering disepelekan. Natal adalah berita untuk kita: Allah yang berkenan menjumpai kita. Allah yang memberikan jawaban dan membebaskan kita dari cengkeraman kuat rasa takut. Natal tidak perlu dirayakan dengan kemewahan, kalau dulu tandanya adalah palungan, kini tandanya adalah hati kita yang sudah disiapkan untuk menjadi palungan-Nya agar Kristus lahir dalam hati kita. Natal adalah hati kita yang sudah dibebaskan dari ketakutan dan kuasa dosa.

 

Selanjutnya, kita orang-orang yang sederhana sama seperti para gembala dapat menjadi saksi tentang cinta kasih Allah melalui Kristus. Saksi bukan dengan hal-hal yang megah dan mewah, cukup dengan kesederhanaan hidup kita yang mau menjadi berkat bagi sesama. Mungkin juga sama seperti para gembala setelah mereka berjumpa dengan Sang Mesias, mereka tidak kaya raya. Mereka kembali menjadi gembala. Namun, gembala yang bersukacita dan memuliakan Allah; gembala yang dibebaskan dari rasa takut.

 

Abraham Lincoln masih terus bergumul dengan ketakutannya, namun ia memilih untuk tetap hidup. Ya, hidup yang bermanfaat dan bermartabat, penuh empati membela orang-orang lemah. Para budak! Bisa jadi, kehidupan kita setelah berjumpa dengan Sang Mesias juga biasa-biasa saja. Tidak mendadak menjadi orang kaya atau penguasa, atau sembuh dari sakit penyakit. Namun, satu hal yang harus kita Yakini bahwa Sang Mesias itu adalah jawaban Allah atas persoalan serius hidup kita: dosa dan ketakutan. 

 

Perjumpaan dengan Sang Mesias akan memampukan kita untuk meneruskan ziarah hidup ini dengan tidak dibelenggu lagi oleh dosa dan ketakutan. Sehingga, kita dapat berdamai dengan semua orang. Meski hidup sederhana dan pas-pasan, kita tidak akan mencuri atau merampas milik orang lain. Meski ada banyak kesempatan, kita tidak akan memanfaatkannya untuk keuntungan diri sendiri. Meski saat ini kita sedang sakit, kita tidak lagi dicengkeram rasa takut akan kematian.

 

Perjumpaan dengan Sang Mesias akan membuat hidup kita penuh sukacita. Sukacita bukan karena materi atau kekuasaan, melainkan karena Kristus Sang Pembebas itu lahir di hati kita. Sukacita itulah yang kemudian akan meluap menjadi kesaksian dalam seutuhnya kehidupan kita.

 

SELAMAT HARI NATAL, SEMOGA ALLAH DI DALAM KRISTUS MEMBEBASKAN KITA DARI BELENGGU DOSA DAN KETAKUTAN!

 

Jakarta, Natal Pertama tahun C 2021.