Kamis, 23 Desember 2021

KELAHIRAN YANG MEMBEBASKAN

Abraham Lincoln mengumumkan, “Saya adalah orang yang paling menderita di dunia!” Saat itu dia telah mengalami dua kali guncangan karena depresi berat. Dalam keadaan tertekan dan menderita, “Seandainya apa yang saya rasakan dibagi-bagikan secara sama rata pada seluruh umat manusia, tidak akan ada satu pun wajah gembira di muka bumi ini. Saya tidak tahu apakah saya akan sembuh - dalam kekalutan saya -  saya meramalkan saya tidak akan sembuh. Saya tidak mungkin tetap dalam kondisi ini. Saya harus mati atau sembuh!”

 

Dalam The Atlantic, Joshua Wolf Shenk menulis artikel tentang “Depresi Besar Lincoln”. Shenk mengungkapkan bagaimana depresi itu memaksa Lincoln memahami hidup lebih dalam. Lincoln ngotot mengakui ketakutan-ketakutannya. Sepanjang rentang usia akhir dua puluhan dan awal tiga puluh tahun, Lincoln semakin menyelami ketakutan-ketakutan itu. Ia merenungkan apa yang menurut Albert Camus satu-satunya pertanyaan serius yang harus dihadapi umat manusia. Takut! 

 

Lincoln harus memutuskan apakah  dia bisa hidup dan menghadapi  penderitaan. Akhirnya dia memutuskan harus hidup. Dalam dirinya ada dorongan kuat yang tidak tertahankan untuk mencapai sesuatu selama hidupnya.

 

Lincoln orang serius. Dia adalah salah satu orang hebat yang paling serius dalam sejarah. Dia menghadapi perang batin dan perang fisik. Hal ini yang memungkinkannya mempunyai pemahaman tentang penderitaan dan membuatnya memiliki empati yang ia tunjukkan saat dia berniat mengubah undang-undang tentang perbudakan. Lincoln mengenang, “Setiap kali saya mendengar seseorang berdebat tentang perbudakan, saya sangat ingin melihat orang itu diperbudak agar tahu rasanya!”

 

Takut! Adalah satu-satunya pertanyaan serius yang harus dihadapi umat manusia, demikian kata Albert Camus. Takut adalah hal serius! Bukankah karena takut seseorang dapat memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Karena takut orang menutup diri dan tidak dapat menggunakan segala potensi di dalam dirinya. Takut juga menjadi penyebab orang bertindak beringas, membunuh dan memangsa sesamanya. Karena takut kelaparan orang bertindak serakah dan tamak. Karena takut tidak dihormati kita bisa menghalalkan segala cara agar dapat tenar dan berkuasa. Ya, takut menjadi persoalan besar bagi kehidupan manusia!

 

“Jangan takut!” Itulah berita utama Natal. Berita Natal merupakan kabar sukacita sebab ia menjawab pertanyaan serius umat manusia, yakni takut! “Jangan takut!”, Berita yang disampaikan malaikat Tuhan kepada para gembala yang dicatat dalam Lukas 2:10 ini adalah juga berita yang sama yang disampaikan Malaikat Gabriel kepada seorang perawan muda di Nazaret, Maria. Tampaknya, dan memang demikian adanya, Tuhan mengerti kebutuhan utama manusia: terbebas dari rasa takut!

 

Natal yang digambarkan Injil Lukas adalah peristiwa sukacita oleh karena Allah menyediakan jawaban sekaligus juga pembebasan manusia dari belenggu ketakutan. Lukas mengisahkan kelahiran Yesus Sang Juruselamat di tengah konteks umat Allah sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja! Umat berada dalam kuasa Kaisar Agustus yang dapat bertindak apa saja terhadap mereka. Hal ini sangat kontras dibandingkan jawaban Tuhan atas kebutuhan utama manusia. Yesus, Sang Mesias lahir dalam kondisi yang sangat sederhana. Jauh dari pesta yang glamor. Allah melakukan sesuatu yang dahsyat namun jauh dari kemewahan dan kemegahan. Berita gembira, bahwa Allah hadir untuk menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa dan membebaskan manusia dari ketakutan disampaikan bukan kepada orang-orang yang dipandang hebat, punya kuasa atau kaya. Berita itu justru disampaikan kepada orang-orang sederhana. Kaum gembala!

 

Berita agung yang disampaikan kepada orang-orang sederhana tetapi tidak kehilangan kemulian-Nya. Kemuliaan Allah melalui malaikat-Nya itu meliputi para gembala yang hidup terpisah karena harus mencari padang rumput hijau untuk domba-domba mereka. Kepada orang-orang sederhana itu malaikat Allah menyampaikan berita, “Jangan takut” sebab seorang pembebas telah lahir: Yesus Kristus, Sang Imanuel, Allah sendiri yang hadir ke dunia melawat umat-Nya.

 

Malaikat itu menyatakan sebuah tanda. Tanda yang menunjukkan kelahiran Sang Mesias bukanlah sebuah tanda dahsyat atau kemegahan dan kebesaran. Bukan! Tanda itu sederhana, sangat biasa: sebuah palungan! Benda inilah yang dipakai Allah untuk menjadi bukti bagi para gembala akan kebenaran dari berita yang disampaikan oleh malaikat sebelumnya. Para gembala ini tidak hanya mempunyai kesempatan istimewa, mereka pun menyatakan kesaksian bahwa benar, bayi yang berada di palungan itulah Sang Mesias! Melihat Sang Mesias, tidak hanya dibebaskan dari ketakutan, namun mereka kemudian kembali dengan sukacita dan memuliakan Allah.

 

Sejak dari awal pesan Natal bukanlah pesan tentang kemewahan, kemegahan dan pesta. Bukan itu! Pesan Natal adalah berita kebahagiaan dan damai sejahtera. Natal adalah berita sukacita sebab Allah melawat umat-Nya dan memberikan jawaban atas persoalan serius dan masalah utama kebutuhan manusia: mengatasi rasa takut!  

 

Natal adalah kesederhanaan yang menyapa dan mendatangi orang-orang sederhana bahkan yang sering disepelekan. Natal adalah berita untuk kita: Allah yang berkenan menjumpai kita. Allah yang memberikan jawaban dan membebaskan kita dari cengkeraman kuat rasa takut. Natal tidak perlu dirayakan dengan kemewahan, kalau dulu tandanya adalah palungan, kini tandanya adalah hati kita yang sudah disiapkan untuk menjadi palungan-Nya agar Kristus lahir dalam hati kita. Natal adalah hati kita yang sudah dibebaskan dari ketakutan dan kuasa dosa.

 

Selanjutnya, kita orang-orang yang sederhana sama seperti para gembala dapat menjadi saksi tentang cinta kasih Allah melalui Kristus. Saksi bukan dengan hal-hal yang megah dan mewah, cukup dengan kesederhanaan hidup kita yang mau menjadi berkat bagi sesama. Mungkin juga sama seperti para gembala setelah mereka berjumpa dengan Sang Mesias, mereka tidak kaya raya. Mereka kembali menjadi gembala. Namun, gembala yang bersukacita dan memuliakan Allah; gembala yang dibebaskan dari rasa takut.

 

Abraham Lincoln masih terus bergumul dengan ketakutannya, namun ia memilih untuk tetap hidup. Ya, hidup yang bermanfaat dan bermartabat, penuh empati membela orang-orang lemah. Para budak! Bisa jadi, kehidupan kita setelah berjumpa dengan Sang Mesias juga biasa-biasa saja. Tidak mendadak menjadi orang kaya atau penguasa, atau sembuh dari sakit penyakit. Namun, satu hal yang harus kita Yakini bahwa Sang Mesias itu adalah jawaban Allah atas persoalan serius hidup kita: dosa dan ketakutan. 

 

Perjumpaan dengan Sang Mesias akan memampukan kita untuk meneruskan ziarah hidup ini dengan tidak dibelenggu lagi oleh dosa dan ketakutan. Sehingga, kita dapat berdamai dengan semua orang. Meski hidup sederhana dan pas-pasan, kita tidak akan mencuri atau merampas milik orang lain. Meski ada banyak kesempatan, kita tidak akan memanfaatkannya untuk keuntungan diri sendiri. Meski saat ini kita sedang sakit, kita tidak lagi dicengkeram rasa takut akan kematian.

 

Perjumpaan dengan Sang Mesias akan membuat hidup kita penuh sukacita. Sukacita bukan karena materi atau kekuasaan, melainkan karena Kristus Sang Pembebas itu lahir di hati kita. Sukacita itulah yang kemudian akan meluap menjadi kesaksian dalam seutuhnya kehidupan kita.

 

SELAMAT HARI NATAL, SEMOGA ALLAH DI DALAM KRISTUS MEMBEBASKAN KITA DARI BELENGGU DOSA DAN KETAKUTAN!

 

Jakarta, Natal Pertama tahun C 2021.

 

Kamis, 16 Desember 2021

SUKACITA MENYAMBUT SANG JURUSELAMAT

Sukacita? Benarkah masih tersisa di penghujung penantian ini? Ya, pertanyaan ini mestinya menjadi perenungan yang harus dijawab dengan jujur. Mengapa? Natal tinggal menunggu hitungan hari. Sempat ada sebuah pengharapan. Ibarat nyala lilin di tengah kegelapan. Tampaknya badai segera berlalu. Pandemi Covid-19 mulai terkendali, kasus harian hanya tinggal 100 - 200-an saja. Jelas, lebih banyak kasus malaria atau demam berdarah! Gereja-gereja mulai menyiapkan ibadah tatap muka terbatas. Panitia Natal mulai mendekor gereja dan berlatih paduan suara, drama, kantata, atau konser musik!

 

Suasana kembali tak menentu. Keputusan pemerintah tentang pembatasan sosial berubah-ubah. Karantina kembali dilakukan malah lebih ketat bagi mereka yang telah bepergian ke luar negeri. Omicron, mulai menggila! Pembatasan-pembatasan di berbagai negara kembali diperketat. Sektor pariwisata yang digadang-gadang akan kembali mengangkat pemulihan ekonomi terpaksa gigit jari pasalnya, para pelancong enggan menghabiskan waktu dan uang lebih banyak untuk membayar karantina di hotel. Belum lagi cuaca belakangan yang kurang bersahabat: banjir, rob air laut sehingga menimbulkan bencana hidrometeorologi. Belakangan menyusul bencana vulkanologi. Semeru erupsi! Dan yang terbaru adalah gempa di wilayah NTT dan kepulauan Slayar.

 

Sukacita? Mungkinkah kita menyambut Natal, kelahiran-Nya dengan sukacita sementara kondisi sekitar kita atau bahkan kita sendiri sedang dalam keadaan memprihatinkan?

 

Seorang perempuan hamil muda berjalan dari Galilea menuju pegunungan Yehuda dekat Yerusalem. Sulit dibayangkan! Jalanan terjal, ancaman bahaya penyamun, belum lagi bekal dan tetek bengek yang harus disiapkan untuk perjalanan empat hari! Adalah Maria, perempuan hamil muda itu. Di tengah kesulitan dan keterbatasannya ia berusaha mengunjungi sanaknya, Elisabet. Kitab suci bungkam tentang seberapa pentingnya Maria mengunjungi sanaknya itu. Meski dalam Lukas 1:36, Malaikat Tuhan memberitahu bahwa Elisabet, sanaknya itu sedang mengandung, namun itu bukan perintah bagi dirinya supaya mengunjungi Elisabet. Para penafsir tradisional menangkapnya sebagai isyarat kasih sosial yang bergejolak dalam hati Maria setelah mendapat kabar bahwa sanaknya yang mandul dan sudah lanjut usia itu - ini merupakan aib bagi komunitas Yahudi - sekarang sedang mengandung. 

 

Sebagaimana Injil Lukas bungkam tentang alasan sesungguhnya Maria mengunjungi Elisabet, kisah kunjungan ini juga minim informasi tentang situasi perjalanan dan letak geografis yang sesungguhnya. Meski demikian, yang harus dibaca dengan cermat dari kisah ini adalah tentang Kabar Baik dari Allah dan karya-Nya. Yang perlu dicari ialah bukan “apa yang pernah terjadi”, bagaimana kronologinya. Bukan! Tetapi, apa maksud kisah ini, tepatnya: Apa yang hendak disampaikan penulis Injil Lukas kepada umat Kristen pada zaman itu?

 

Dikisahkan, Maria bergegas menuju sebuah kota di pegunungan. Menurut kisah ini, Maria pergi sendirian. Tidak bersama dengan Yusuf. Injil Lukas tidak menceritakan perjalanan Maria. ia malah tidak menyebut nama kota yang dituju Maria. Lukas memang tidak mau menyibukkan perhatian pembaca dengan perjalanan Maria. Dengan menyebut pegunungan Yudea, maka orang segera mengerti bahwa perjalanan ini cukup jauh dari Galilea tempat tinggal Maria.

 

Sesampainya di rumah Elisabet, Maria menyampaikan salam. Salam adalah tanda kasih. Di zaman dulu, salam bukanlah tanda formalitas belaka, melainkan penganugerahan damai sejahtera. Salam yang diucapkan Maria, walau isinya biasa saja namun merupakan sabda karunia kuasa Allah. Dampaknya? Janin dalam rahim Elisabet melakukan suatu gerakan mendadak dan kuat (melonjak), yang bisa dimaknai  sebagai tanggapan datangnya Roh Kudus kepada Yohanes sebelum ia dilahirkan dan sebagai pertanda relasi antara Yohanes dengan Yesus yang sedang dikandung Maria. Allah tidak hanya menggunakan bahasa lisan. Ia dapat menggunakan bahasa tubuh! Di zaman dulu, gerakan-gerakan aneh dalam janin dijadikan sebagai pertanda mengenai masa depan dari jabang bayi. Kejadian 25:22, ini tentang Esau dan Yakub “bertolak-tolakan di dalam rahim” Ribka, dan hal ini diartikan sebagai gambaran perselisihan mereka di kemudian hari.

 

Sebagai orang yang punya relasi dekat dengan Tuhan, Elisabet peka mengartikan hal-hal biasa, dalam hal ini salam yang diucapkan Maria dan gerakan bayi dalam rahimnya sebagai tanda kehadiran Allah yang berkarya dan akan terus berkarya melalui anak yang akan keluar dari rahimnya. Kemampuan demikian dimiliki oleh orang yang dipakai Roh Kudus sebagai sarana-Nya serta orang tersebut menanggapi dengan positif panggilan itu. Elisabet sepenuh-penuhnya terarah kepada Allah. Ia dipakai oleh Allah untuk bernubuat, atau tepatnya berbicara atas nama anak yang masih dalam kandungannya. Dalam kata-kata sambutannya terhadap Maria, Elisabet mewakili Yohanes yang belum lahir itu.

 

Elisabet menyebut Maria sebagai perempuan yang mempunyai andil luar biasa dalam pembebasan umat manusia lewat buah kandungannya yang ternyata adalah seorang Pembawa Damai. Sehingga Maria disebut sebagai perempuan yang paling diberkati Allah. Maria disebut berbahagia karena ia dikaruniai Allah. Karunia ilahi ini memang tidak tampak dalam berkat secara lahiriah: kekayaan, kuasa dan status sosial tinggi. Kata yang digunakan Elisabet adalah makaria yang artinya seperti yang dipakai dalam Mazmur 1:1, 2:12, 83:4, 93:12. Kebahagiaan-kebahagiaan seperti itu adalah kebahagiaan hakiki yang melampaui batas-bataskegembiraan sesaat karena orang mendapatkan harta benda atau kedudukan tinggi di masyarakat.

 

Manusia sungguh-sungguh terberkati, bukan bila ia sejahtera secara materi. Manusia bersukacita bukan ketika ia hidup dalam kemewahan dan kenyamanan. Manusia terberkati ketika Allah dapat berkarya dalam dirinya secara leluasa. Sebab karya Allah itu akan berhasil dengan baik, apabila manusia memberikan diri seutuhnya bagi rencana dan kehendak Allah. Elisabet dan Maria adalah orang yang terberkati itu. Elisabet dan Maria adalah perempuan-perempuan yang berbahagia. Mereka menyambut karya Tuhan dengan sukacita!

 

Yang terpenting dari bacaan Injil Minggu Adven ke-IV ini adalah bukan soal kronologi, letak geografis, dan bagaimana perjalanan Maria itu berlangsung. Bukan! Melainkan, pertemuan kedua ibu yang sedang hamil itu - dalam pelbagai kesulitan yang harus mereka terima - supaya mereka mengungkapkan puji-pujian terhadap Allah yang mau berkarya dalam hidup mereka yang sederhana.

 

Benar, hari-hari belakangan ini ada banyak alasan untuk kita menahan sukacita. Ada banyak peristiwa yang mengharu-biru sehingga menyesakkan dada kita. Lihatlah, Maria dan Elisabet juga tidak bebas dari hiruk pikuk beban yang harus mereka tanggung. Kalau kita telisik lebih ke belakang lagi; kedua perempuan ini mengalami pergumulan tidak mudah. Elisabet yang mandul tentu sudah kenyang dengan cibiran dan ucapan sinis para kerabat dan tetangganya. Maria yang bergumul tentang masa depan hidup pernikahan dengan Yusuf dan bagaimana harus memberi penjelasan tentang kehamilannya bagi kerabat dan sanak saudaranya. Pergumulan-pergumulan itu mereka letakkan dalam kerangka Tuhan yang berkarya dalam kehidupan mereka dan mereka rela melepaskan apa yang menjadi mimpi-mimpi mereka. Di situlah mereka menemukan kebahagiaan, sukacita sejati!

 

Sukacita menyambut Sang Juruselamat pada saat-saat sulit seperti ini bukanlah sebuah kalimat utopis. Ini sungguh realistis. Bukankah justru di tengah-tengah ketiadaan pengharapan kita harus menjadi alat di tangan Tuhan untuk mendatangkan harapan? Bukankah justru di tengah-tengah kegamangan hidup yang sumir ini, kita harus menghadirkan pengharapan yang bersumber pada Allah sendiri. Bukankah di tengah keadaan keos dan konflik, kita harus mampu menghadirkan damai? Nah, ketika kita mampu menjadi alat di tangan-Nya, maka sama seperti Elisabet dan Maria kita akan menjadi orang-orang yang terberkatimakaria. Berbahagia, dan bersukacita!

 

 

Jakarta, Minggu Adven IV tahun C, 2021