Kamis, 02 Desember 2021

PERSIAPKAN DIRI UNTUK TUHAN

Tersebutlah sebuah kisah di lereng gunung tenang yang selalu di selimuti kabut. Sebuah padepokan dipimpin seorang tua bijak. Murid-muridnya selalu bertambah setiap tahunnya. Sang tua bijak merasa sudah waktunya undur. Posisinya harus diganti oleh penerus yang ia persiapkan. Dari sekian banyak muridnya, ada dua orang yang dinilainya pantas untuk menggantikannya. Dari pengamatannya, kedua orang murid unggulan ini sulit membedakan mana yang terbaik dan pantas menggantikan dirinya.

 

Suatu hari sang tua bijak memanggil kedua murid kesayangannya itu. Ia mengungkapkan sebuah rahasia. Kedua murid itu terkejut ketika guru yang mereka hormati akan undur diri dan mereka harus siap untuk menggantikannya. “Tak usah terkejut, segala sesuatu ada masanya. Aku sudah tua dan tidak mungkin lagi dapat memimpin perguruan kita. Kini, salah satu di antara kalian harus menerima tonggak kepemimpinan. Pada dasarnya kalian berdua layak. Namun, tidak mungkin keduanya memimpin. Kini, aku akan memberikan tugas pada kalian. Perguruan kita semakin berkembang, kita membutuhkan lahan untuk membangun padepokan kita. Nah, besok pagi-pagi buta kalian harus bertanding membersihkan lahan. Kalian harus membuka sedikit hutan, menebang pohon dan meratakan tanahnya. Siapa di antara kalian yang lebih luas menyiapkan lahan, dialah yang akan menjadi penerusku!

 

Sang guru kemudian membuka tempat pusakanya. Ia mengambil sepasang senjata. Dua golok kembar! “Ini, senjata buat kalian. Silakan ambil seorang satu, setelah itu silakan kalian mempersiapkan diri dengan baik!”

 

Setelah masing-masing murid itu mengambil golok, mereka kembali ke pondoknya masing-masing. Murid pertama berpikir: saya harus punya strategi. Saya akan mempersiapkan diri dengan baik. Besok saya membutuhkan tenaga yang besar, maka mala mini setelah makan, saya akan cepat-cepat tidur agar besok bisa bangun dengan stamina prima!

 

Berbeda dari murid pertama, murid kedua menatap golok pemberian sang guru. Ia berpikir: “Ya, golok ini bukan sembarang golok. Pasti guruku merawat, menyimpannya dengan baik. Namun, sudah sekian lama saya tidak melihat guru berlatih dan mengeluarkan golok ini. Pastinya golok ini sudah lama tidak diasah.” Murid ini kemudian mengeluarkan golok dari sarungnya. Dan, benar saja di sana-sini golok itu mulai ada karatnya. Tidak tajam lagi! 

 

Semalaman murid kedua ini mengasah golok. Tidak hanya itu, ia juga mencoba berkali-kali ketajaman golok itu sambil berlatih gerakan-gerakan yang diajarkan sang guru. Setelah merasa cukup, ia pun beristirahat.

 

Pagi-pagi benar mereka berdua menghadap sang guru. “Waktu yang diberikan untuk kalian membersihkan lahan ini adalah sampai menjelang matahari tenggelam. Silakan sekarang dimulai!” Dengan staminanya yang prima, murid pertama mulai memakai goloknya membabat tanaman apa saja yang ada di sekitarnya. Seolah tenaga yang dimilikinya tidak ada habisnya. Menjelang tengah hari, mulailah ia merasakan keletihan. Golok yang digunakannya sulit untuk membabat pohon atau tanaman. Tumpul! Butuh waktu berkali-kali mengayunkan golok untuk menebas sebuah ranting. 

 

Berbeda dengan murid pertama, murid kedua dengan mudahnya mengayunkan golok dan menebas ranting, dahan bahkan pohon. Ia tidak perlu mengayunkan berkali-kali. Cukup dengan sedikit tenaga, karena golok itu tajam sekali maka ranting, dahan dan pohon cepat sekali dibersihkan. Singkat cerita, murid kedua inilah yang kemudian berhasil memenangkan kompetisi tersebut.

 

Keberhasilan erat kaitannya dengan persiapan! Persiapan bukan asal persiapan. Dalam kisah ilustrasi tadi, kedua murid itu mempersiapkan diri. Keduanya tidak menganggap enteng kompetisi yang harus mereka jalani. Namun, persiapan yang cerdaslah yang pada akhirnya membuahkan hasil terbaik. Hal ini juga akan sangat terasa ketika Anda dan saya memasuki dunia usaha, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya. Persiapan yang matang dan cerdas menentukan hasil yang terbaik!

 

“Persiapkan diri untuk Tuhan!” Setelah hampir lima abad di Israel tidak muncul seorang pun nabi. Kini, Yohanes yang meninggalkan padang gurun, pergi ke kawasan sekitar sungai Yordan. Yohanes tampil sebagai pembawa berita. Ia mirip seperti bentara yang menyampaikan kabar penting kepada khalayak. Yohanes tampil di depan publik, ia hadir dalam sejarah manusia: “Dalam tahun kelima belas pemerintahan Kaisar Teberius, ketika Pontius Pilatus menjadi gubernur Yudea, dan Herodes menjadi raja wilayah Galilea, Filipus, saudaranya, raja wilayah Iturea dan Trakhonitis, dan Lisanias raja wilayah Abilene” (Lukas 3:1). 

 

Tidak berbeda seperti nabi-nabi dalam Perjanjian Lama ia menyerukan pertobatan. Injil Lukas tak pelak lagi mengidentikkan Yohanes sebagai sosok yang dahulu dinubuatkan oleh Nabi Yesaya, “…Seperti ada tertulis dalam kitab nubuat-nubuat Yesaya:…” (Lukas 3:4). Yohanes adalah orang yang dipersiapkan Allah untuk menyiapkan kedatangan Tuhan. Pertobatan adalah cara manusia menyiapkan diri menyambut kedatangan Tuhan. Tuhan akan datang kepada umat-Nya yang bertobat. Manusia bertobat bila ia berbalik kepada Allah. Bertobat berarti kembali menjadikan kehendak Allah sebagai arahan utama dalam kehidupannya.  

 

Bila pertobatan merupakan cara kita menyiapkan diri menyambut Tuhan, lalu pertobatan seperti apa?

 

Luruskanlah jalan bagi-Nya…”

Jelaslah apa yang disampaikan Injil Lukas dalam mengutip nubuat Nabi Yesaya bukanlah harafiah. Kata-kata ini simbolik. Jika saja raja yang akan melewati sebuah wilayah, katakanlah padang gurun yang jalannya berkelok-kelok harus diluruskan, maka menyambut kedatangan Mesias itu harus disambut dengan hati yang lurus. Hati yang bengkok menggambarkan kemunafikan, hati yang tidak tulus penuh dengan intrik dan rancangan-rancangan yang jahat. Maka “luruskan jalan bagi-Nya” berarti  pertobatan itu harus dimulai dari membersihkan hati sehingga layak menjadi palungan (tempat kediaman) Sang Mesias yang Mahakudus itu.

 

Lembah ditimbun, gunung… bukit menjadi rata…”

Lembah melambangkan masyarakat kelas rendah atau bisa diartikan apa saja yang sering dinilai tidak berarti. Sedangkan gunung atau bukit melambangkan para tokoh masyarakat, pembesar, pemimpin, orang kaya atau apa saja yang dapat dinilai hebat. Yang “rendah” selalu diremehkan dan ditindas, sedangkan yang “tinggi” selalu disanjung dan diagungkan. Inilah pola penilaian dunia. Menanggapi seruan bertobat dalam hal ini berarti menanggalkan pola pikir dunia dan membuka diri terhadap cara penilaian baru. Bertobat berarti menghargai dan mengangkat derajat siapa pun yang dianggap remeh dan tidak penting, menjadi penting dan dihargai. Bertobat berarti membuang segala kecongkakan dan tinggi hati. Bertobat berarti memanusiakan manusia sebagai gambar Allah; menghargai semua derajat manusia adalah sama!

 

“Yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan…”

Kedua ungkapan ini berhubungan dengan mulus tidaknya jalan yang akan dilalui Tuhan. Jelas yang dimaksud bukan jalanan fisik. Tuhan datang bukan dengan menempuh jalan ini atau jalan itu, melainkan manusia. Manusialah jalan bagi kedatangan Tuhan!

 

Bila manusia adalah jalan bagi kedatangan Tuhan; bila Anda dan saya adalah jalan bagi orang lain melihat datangnya Tuhan maka betapa kita harus “lurus” dan “rata”. Manusia yang perilakunya “berliku-liku” atau “berlekuk-lekuk” akan membuat Tuhan tidak mau lewat. Manusia yang banyak akal “bulus”, penuh ambisi, dan munafik tidak mungkin menjadi sarana untuk orang lain melihat kedatangan-Nya! Kebengkokan tidak hanya menyangkut kehidupan moralitas saja, melainkan keseluruhan hidup manusia. Bertobat dalam hal ini berarti membenahi segala sesuatu yang menyangkut kebusukan hati kita.

 

Dengan pertobatanlah kita menyiapkan kedatangan Tuhan. Melalui pertobatanlah maka “semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan…” (Lukas 3:6)

 

Jakarta, Adven ke-2 Tahun C, 2021

 

Kamis, 25 November 2021

BERJAGA-JAGA DAN BERDOALAH

Tanpa terasa waktu terus bergulir. Minggu kemarin satu tahun gerejawi telah berlalu di akhiri dengan Minggu Kristus Raja. Seluruh rangkaian tahun liturgi berujung pada pengakuan Yesus Raja! Kini kita mengawali tahun baru. Ya, tahun baru gerejawi yang diawali dengan masa Adven. Penantian!

 

Tahun baru gerejawi kali ini adalah tahun C, hal ini menandakan bawa bacaan Injil sepanjang tahun ke depan akan banyak diwarnai dengan Injil Lukas dan tentunya di sana-sini akan diselingi oleh Injil Yohanes, karena dalam tahun gereja tidak dikenal tahun D. 

 

Adven dikenal sebagai masa penantian. Ya, bukan hanya penantian menyiapkan Natal; kelahiran Tuhan Yesus itu di mana gereja membentuk panitia Natal dan mulai menyibukkan diri dengan pelbagai persiapan acara-acara Natal yang terkadang menyisakan ketidak-puasan dan perselisihan lantaran banyaknya ide yang tidak tertampung. Adven mestinya menyadarkan kita bahwa melalui momen persiapan Natal ini kita diajak untuk menantikan kedatangan-Nya kembali. Peristiwa kedatangan-Nya kembali itu sering kali dikaitkan dengan akhir zaman!

 

Dalam masa penantian kedatangan-Nya kembali, kita diajak untuk tidak berdiam diri, atau meratapi tentang penderitaan, ketidak-adilan, dan mencocok-cocokkan situasi zaman lalu mengambil kesimpulan tentang kapan peristiwa itu terjadi. Bukan itu yang seharusnya dilakukan oleh orang percaya! Dalam masa-masa penantian ini, kita justru diajak untuk berjaga-jaga dan berdoa. Atau tepatnya berjaga-jaga dengan tekun berdoa!

 

Siapa pun tergelitik untuk mencari tahu kapan terjadinya dan apa tanda-tanda akhir zaman itu. Injil memberi ruang untuk keingintahuan manusia tentang yang satu ini. Bahkan Yesus sendiri berbicara tentang tanda-tanda zaman itu. Yesus mengatakan, “Dan akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang, dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelora laut.” (Lukas 21:25). Lukas mencatat peringatan Yesus tentang tanda-tanda dahsyat di langit: matahari, bulan, dan bintang-bintang. Tidak hanya itu, di bumi juga akan ada tanda-tanda kedahsyatan bencana, yaitu perang, gempa bumi, kelaparan dan peristiwa-peristiwa yang mengerikan. 

 

Dalam sastra apokaliptik, tanda-tanda kosmis dan pelbagai malapetaka menjadi semacam “dekorasi klasik” gambaran penghakiman terakhir. Tanda-tanda itu sering kali disampaikan oleh para nabi yang memikirkan kemenangan kuasa Allah atas bala tentara dewa-dewa yang disembah oleh bangsa Asyur dan Babel. Ilustrasi ini dipergunakan untuk menggambarkan intervensi definitif Allah dalam dunia ini demi menghancurkan kejahatan secara tuntas (bandingkan Roma 8:19-22 dan Wahyu 21:1-8).

 

Jika Injil Markus dan Matius lebih suka merinci malapetaka-malapetaka kosmis seturut dengan gaya bahasa apokaliptik. Tampaknya penulis Injil Lukas lebih suka menyoroti reaksi umat manusia terhadap malapetaka kosmis dan bencana dahsyat itu. Dengan demikian, kita dapat memahami pola pikir Kitab Suci dan khususnya sikap Yesus sendiri : Drama akhir zaman itu bukan berbicara tentang drama alam atau semesta kosmik, melainkan tentang drama manusia; tentang sikap manusia dalam menghadapinya. Injil Lukas lebih suka menggambarkan reaksi manusia terhadap malapetaka ketimbang gambaran malapetaka itu sendiri.

 

Lukas mengaitkan malapetaka di bumi dengan malapetaka kosmik. Malapetaka itu menimpa semua umat manusia, semua bangsa yang menghuni bumi, bukan hanya orang Israel, bukan hanya umat Allah. Maka semua peristiwa itu dapat diartikan sebagai “penggenapan zaman bangsa-bangsa” (Lukas 21:24). Kepanikan akan menghinggapi semua umat manusia. Bangsa-bangsa akan sadar tentang tibanya saat akhir sejarah. Bangsa-bangsa akan sadar bahwa sesudah semuanya itu akan “terbalik”. Orang-orang benar yang selama ini teraniaya dan sangat menderita, akan diselamatkan Allah.

 

Kedatangan Anak Manusia menjadi peristiwa puncak. Tetapi dalam teks Injil Lukas ini, kedatangan-Nya itu hanya disebut sepintas saja. Berbeda dengan Injil Markus, Lukas bicara tentang “sebuah awan” saja. Ia tidak berbicara tentang “segala” kuasa. Dan yang paling penting, Lukas tidak bicara tentang malaikat-malaikat yang menghimpunkan orang-orang benar. Mengapa? Sebab, bagi Lukas yang penting adalah tanda-tanda yang mendahului kedatangan Anak Manusia itu dan makna yang terkandung dalam peristiwa kedatangan itu, dan sikap manusia dalam menyambut kedatangan itu, yakni: “Apabila semuanya itu terjadi, bangkitlah dan angkatlah kepalamu, sebab pembebasmu telah dekat.” (Lukas 21:28)

 

Menurut catatan Lukas, para pengikut Kristus tidak akan luput dari malapetaka yang mengerikan yang disebut dalam Lukas 21:25-26. Sebab malapetaka itu akan menimpa semua orang. Namun, di tengah-tengah malapetaka dan kepanikan universal itu para pengikut Kristus justru harus bersikap lain. Berbeda! Mengapa? Sebab, semua malapetaka itu seharusnya mereka artikan sebagai tanda-tanda datangnya Sang Pembebas! Pada saat orang-orang mati ketakutan, orang-orang percaya seharusnya penuh pengharapan. Bersukacita!

 

Sebelumnya Lukas mencatat dalam ayat 19, “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.”Orang dapat bertahan kalau ia tidak gampang menyerah terhadap kesulitan demi kesulitan yang menimpa dirinya. Seseorang tidak gampang menyerah kalau di dalam dirinya mempunyai iman, dalam hal ini pengharapan! Nyatanya, ada banyak orang yang sebelum bertubi-tubi mengalami kesulitan justru telah menyerah lebih dahulu. Dalam kesulitan yang bertubi-tubi itu, manusia biasanya menunduk. Ya, menunduk bukan menyembah Allah, tetapi menunduk kalah!

 

Kini, masa “bertahan” itu harus sampai pada kesudahannya. Umat Kristen, pengikut-pengikut Yesus harus mencontoh dan meneladani yang diikutinya. Tidak gampang menyerah. Umat Kristiani dalam kesulitan yang bertubi-tubi harus bertahan: berdiri tegak dan mengangkat kepala. Bukan sombong apalagi congkak, melainkan sebagai tanda tidak menyerah pada keadaan. 

 

Apakah Lukas mengarahkan kata-kata Yesus ini hanya kepada mereka yang kelak akan mengalami saat-saat terakhir; akhir zaman? Jelas tidak! Sebab, sikap bertahan dalam kesengsaraan harus menjadi sikap keseharian dari semua pengikut Kristus. Sikap itu lahir karena pengharapan. Dan sikap itulah yang hendak ditanamkan Lukas dalam hati setiap umat Kristiani ketika ia menegaskan ucapan Yesus, “Tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang” (Lukas 21:18).

Lukas memang tidak mau berbicara kapan sejarah akan berakhir. Tetapi ia dengan penuh keyakinan berbicara tentang perhatian dan perlindungan Allah terhadap umat-Nya. Dan Ia yakin bahwa suatu saat Kerajaan Allah yang sempurna itu datang. Dalam konteks inilah umat Kristiani akan mampu bertahan bila selalu hidup dalam pengharapan. Maka semua cobaan dan penderitaan yang dialami umat Kristiani seharusnya dihadapi dengan sikap “berdiri tegak” dan “mengangkat kepala”.

 

Untuk dapat bertahan dalam pengharapan, di sinilah kita perlu berjaga-jaga. “Jagalah dirimu, supaya jangan dibebani oleh pesta pora dan kemabukan…” (Lukas 21:34). “Beban” yang dimaksud ayat ini adalah terlena atau tidur dalam kenikmatan semu. Penyebab adanya beban itu adalah kelebihan makanan dan minuman, hedonisme serta kecemasan-kecemasan. Kita masih mengingat tentang kisah orang kaya yang bodoh, yang setelah mengumpulkan harta, berkata kepada dirinya, “Ayo, bersantailah, makanlah, minumlah!”, atau perumpamaan tentang orang kaya yang lainnya yang, “tiap-tiap hari berpesta secara mewah” (Lukas 16:19). Atau bisa juga dikaitkan dengan perumpamaan tentang nasib benih yang terhimpit oleh kekhawatiran dan kekayaan dan kenikmatan hidup (Lukas 8:14).

 

Jelas, beban yang dimaksud adalah sesuatu yang secara khusus mengancam orang-orang kaya dan semua orang yang melekat pada harta benda. Inilah salah satu pokok perhatian Injil Lukas bahwa kekayaan dapat menutup mata manusia terhadap nasib kaum miskin. 

 

Berjaga-jagalah! Artinya, jangan tidur; jangan terlena! Berjaga-jaga searti dengan “Sambil berdoa”. Maksudnya, doitu bukan sambilan. Orang Kristen tidak tidur; tidak terlena sebab sejatinya orang Kristen tidak pernah berhenti berdoa (ingat: doa adalah nafas orang percaya. Berhenti berdoa searti berhenti bernafas dan tentunya mati!). Jadi, berjaga secara Kristiani sejajar atau setara dengan berdoa. 

 

Sikap berjaga dengan berdoa akan menghasilkan dua hal yang luar biasa: Pertama, kemampuan untuk luput dari segala yang akan terjadi. Benar, orang Kristen tidak steril dengan bencana dan malapetaka di bumi ini. Namun, sambil melibatkan diri di dalam kedahsyatan bencana itu, orang Kristen seharusnya mampu menguasai kepanikan dan tidak mati ketakutan. Kedua, kemampuan berdiri di hadapan Anak Manusia. Semua bencana harus dapat diartikan oleh umat Tuhan sebagai undangan untuk “mengangkat kepala (ay.28), yakni mengisi diri dengan kekuatan baru. Kekuatan itu satu saja, yaitu pengharapan bahwa Anak Manusia datang bukan sebagai penghukum, melainkan justru sebagai Dia yang melepaskan secara definitif dari kesengsaraan.

 

Jika berkaca pada Injil Matius 25:31-36, Anak manusia datang untuk menghakimi semua bangsa yang terkumpul di hadapan-Nya, Ia akan memisahkan orang-orang benar dari orang-orang jahat. Dengan demikian semua orang sepenuh-penuhnya tergantung dari keputusan Anak Manusia. Lukas justru menegaskan perkataan Yesus bahwa mereka yang dapat berdiri di hadapan Anak Manusia, tidak usah takut apa-apa lagi. Jelaslah satu pesan utama dalam eskatologi Lukas bahwa setiap pengikut Yesus Kristus harus hidup dalam pengharapan dan karenanya tidak perlu takut berhadapan dengan situasi akhir zaman!

 

Jakarta, Adven 1 tahun C 2021