Apakah yang dimaksud dengan “nilai”, value? Nilai, erat kaitannya dengan “harga” meskipun tidak sepenuhnya sama. Jika harga biasanya dihubungkan dengan uang, misalnya: “Berapa harga telur ayam satu kilo?” Nilai lebih menekankan manfaat dan makna dari sesuatu yang dijadikan prinsip hidup lalu diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari. Secara filosofis, nilai adalah suatu keyakinan mengenai perilaku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.
Nilai apa yang dapat kita peroleh dari hidup, perilaku dan pelayanan Yesus? Pasti jawabannya beragam. Tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Para murid Yesus melihat dari sudut pandang bahwa Yesus adalah seorang Mesias yang dinantikan kedatangan-Nya. Karya mukjizat dan kuasa ajaran-Nya mengkonfirmasi itu. Mereka bangga menjadi pengikut “orang hebat”, maka tidak mengherankan jika mereka berlomba menjadi yang terdepan, ternama, dan paling besar di antara yang lain. Sebaliknya, mereka sulit menerima perkataan Yesus yang mengingatkan mereka bahwa diri-Nya akan menuju Yerusalem untuk menggenapi kehendak Bapa: dihina, direndahkan, mati dan menderita. Mengurbankan diri demi penebusan umat manusia! Kita masih ingat bagaimana Petrus menarik dan menegur Yesus. Kita masih ingat juga ketika para murid berebut posisi terdepan, dan kita masih ingat bagaimana Yohanes melarang seorang yang bukan pengikut Yesus mengusir setan dalam nama Yesus!
Perjalanan menuju Yerusalem bagi Yesus bukanlah perjalanan menuju puncak kejayaan sebagai seorang raja penakluk. Bukan juga seperti para imam besar terdahulu. Sebab imam besar biasanya memakai pakai kebesaran imam dan mengurbankan di luar dirinya, yakni hewan kurban untuk penghapusan dosa. Yesus adalah imam besar yang mengurbankan diri-Nya sendiri untuk menebus umat manusia. Inilah yang sulit dilihat oleh para murid kendati mereka tidak buta secara fisik. Inilah juga yang sulit dilihat oleh umat kristiani masa kini. Kita sulit menerima, apalagi menerapkan nilai pengurbanan Yesus sebagai prinsip dan gaya hidup kita. Akibatnya, kita gagal menjadi teladan di tengah keluarga: oleh karena kebanyakan kita enggan berkurban. Kita lebih senang diperhatikan, dilayani, dan disambut ketimbang sebaliknya!
Dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, Yesus dan para murid-Nya tiba di Yerikho, kota yang terletak kira-kira 24 km sebelah timur laut Yerusalem, di lembah Yordan. Dari sinilah orang akan mulai naik ke Yerusalem sebelum Paskah (Markus 14:1). Mereka meninggalkan Yerikho diiringi orang banyak yang hendak berziarah ke Yerusalem dan menyertai Yesus. Menjelang Paskah, jalan menuju Yerusalem sangat ramai oleh para peziarah. Bagi para pengemis, jalanan ini sangat strategis untuk mengulurkan tangan, memohon belas kasihan kepada para peziarah itu.
Bartimeus seorang pengemis buta terselip di atara para pengemis lainnya. Anak Timeus ini duduk mengemis di pinggir jalan. Ia mendengar dari orang yang lewat bahwa Yesus orang Nazaret akan berjalan melewati jalan di depannya. Masyarakat menyebutnya Yesus dari Nazaret, bukan Yesus Baryusuf. Yesus dari Nazaret telah menjadi nama yang tersohor oleh karena banyak perkara yang telah dilakukan-Nya membuat orang tercengang kagum! Barang kali Bartimeus juga telah lama mendengar perbincangan orang tentang ketenaran Yesus dari Nazaret itu.
Meski nama Yesus dari Nazaret itu telah populer, namun ternyata orang buta itu memakai sapaan yang sama sekali berbeda dari orang kebanyakan. Bagi Bartimeus, Yesus bukan tokoh yang tenar di kalangan masyarakat, melainkan Dia yang menjadi tempat pengharapan hatinya. “Anak Daud!” demikian nama yang dipakainya. Gelar ini menunjukkan pada silsilah Yesus. Tetapi lebih penting lagi nada mesianis yang langsung nyata. Baginya, Yesus adalah Mesias. Keyakinan itu dinyatakan dengan berseru kepada-Nya seraya menyebut-Nya Anak Daud. Bartimeus memohon Sang Raja mengasihani dirinya.
Orang banyak menghardik pengemis buta yang berteriak-teriak itu. Mereka tidak suka perjalanan bersama Sang Mesias yang akan menuju takhta Daud di Yerusalem itu terhambat. Mereka tidak suka berlama-lama dan dihambat oleh orang-orang jelata yang sering disebut sampah masyarakat.
Berbeda dari sikap kebanyakan orang yang terganggu dengan teriakan si pengemis buta, Yesus berhenti untuk memberikan perhatian. Dalam kegelapan yang meliputinya akibat kebutaan, didengarnya langkah kaki orang yang lewat, dan ia berteriak lebih keras lagi, “Anak Daud, kasihanilah aku!” Ternyata, seruan keras itu membuat Yesus berhenti. Sang Anak Daud mengizinkan si pengemis buta datang kepada-Nya. Sekarang sikap orang banyak berubah. Tadinya mereka membentak, menghardik Bartimeus supaya diam, sekarang mereka diam. Yesus meminta seseorang untuk memanggil Bartimeus ke hadapan-Nya. Mengapa Ia meminta orang lain untuk memanggil pengemis buta itu? Apakah Ia tidak bisa melakukan-Nya sendiri? Tentu saja sangat bisa. Namun, Yesus ingin agar orang lain yang bersama-Nya juga mempunyai kepedulian yang sama. Pelajaran ini sangat penting, mengingat sebelumnya para murid berlomba mendapatkan posisi yang paling utama, kini mata mereka diarahkan Yesus menuju orang pinggiran yang mendapat belas kasih dari-Nya. Si buta dan pengemis!
Ketika Bartimeus telah sampai di hadapan Yesus, Ia bertanya, "Apa yang kaukehendaki Kuperbuat bagimu?" Yesus memberikan kesempatan buat Bartimeus untuk mengutarakan keinginannya. Pertanyaan yang sama sebelumnya disampaikan kepada Yakobus dan Yohanes yang meminta posisi ternama. Yakobus dan Yohanes ternyata "buta", sebab mereka meminta kedudukan khusus dalam kemuliaan Yesus. Mereka tidak mengerti "jalan" Yesus, via dolorosa, sebagai hamba dan pelayan manusia. Tetapi Bartimeus yang buta secara fisik, justru meminta Yesus apa yang dapat diberikan oleh Anak Daud, yaitu mencelikkan mata, memulihkan pendengaran, mengangkat segala kelemahan manusia (Yesaya 35:4-6). Yesus tahu apa yang dikehendaki oleh Bartimeus, tetapi seperti biasanya, Ia berdialog dengan orang yang hendak disembuhkan-Nya. Ia ingin menguatkan iman, bahkan mendengar suatu pengakuan iman yang tegas.
Mendengar pengakuan Bartimeus, Yesus tahu bahwa ia mengandalkan Allah dan sekaligus meyakini kuasa-Nya sebagai penyembuh. Maka segeralah Yesus menyembuhkannya, "Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!" Bartimeus yang bukan rombongan inti dari Yesus lebih paham akan misi-Nya. Ia dikatakan beriman oleh Yesus, itu berarti Bartimeus berhasil menangkap dalam diri Yesus yang tidak dapat ditangkap oleh mata manusia sekalipun secara fisik mereka melihat! Selanjutnya, Bartimeus tidak mengharapkan yang macam-macam. Ia mengikut Yesus! Ia tidak mau duduk di pinggir jalan lagi. Ia tidak mau menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang lain lagi, melainkan hanya pada Yesus.
Bartimeus mengikut Yesus atas kemauannya sendiri, bukan karena dipanggil oleh Yesus. Ia mengikut Yesus dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem dan selanjutnya via dolorosa, jalan sengsara. Penyembuhan mata tidak cukup baginya: ia memanfaatkannya dengan mengikut Yesus dengan pandangannya sendiri. Pada perjalanan menuju salib, dan pada hari Jumat Agung, kepada Yesus yang menderita diarahkan sepasang mata yang khususnya dibuka oleh Yesus untuk melihat peristiwa itu.
Kebanyakan kita punya mata yang awas, dapat melihat. Namun, apakah sepasang mata kita melihat seperti Bartimeus yang mengikut Yesus dalam masa-masa akhir hidup pelayanan Yesus? Apakah mata kita tertuju pada penderitaan Yesus yang mendamaikan manusia dengan Allah? Apakah kita melihat dan menjadikan penderitaan dan kurban Yesus sebagai sebuah nilai kehidupan yang tiada tara, sehingga kita mau melepaskan segala sesuatu yang merintanginya? Ataukah kita justru dengan mata yang melihat, kita sedang dibutakan oleh nafsu keserakahan kita?
Jakarta 1 Oktober 2021