Jumat, 01 Oktober 2021

KELUARGA YANG HIDUP DALAM NILAI PENGURBANAN KRISTUS

Apakah yang dimaksud dengan “nilai”, value? Nilai, erat kaitannya dengan “harga” meskipun tidak sepenuhnya sama. Jika harga biasanya dihubungkan dengan uang, misalnya: “Berapa harga telur ayam satu kilo?” Nilai lebih menekankan manfaat dan makna dari sesuatu yang dijadikan prinsip hidup lalu diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari. Secara filosofis, nilai adalah suatu keyakinan mengenai perilaku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.

 

Nilai apa yang dapat kita peroleh dari hidup, perilaku dan pelayanan Yesus? Pasti jawabannya beragam. Tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Para murid Yesus melihat dari sudut pandang bahwa Yesus adalah seorang Mesias yang dinantikan kedatangan-Nya. Karya mukjizat dan kuasa ajaran-Nya mengkonfirmasi itu. Mereka bangga menjadi pengikut “orang hebat”, maka tidak mengherankan jika mereka berlomba menjadi yang terdepan, ternama, dan paling besar di antara yang lain. Sebaliknya, mereka sulit menerima perkataan Yesus yang mengingatkan mereka bahwa diri-Nya akan menuju Yerusalem untuk menggenapi kehendak Bapa: dihina, direndahkan, mati dan menderita. Mengurbankan diri demi penebusan umat manusia! Kita masih ingat bagaimana Petrus menarik dan menegur Yesus. Kita masih ingat juga ketika para murid berebut posisi terdepan, dan kita masih ingat bagaimana Yohanes melarang seorang yang bukan pengikut Yesus mengusir setan dalam nama Yesus!

 

Perjalanan menuju Yerusalem bagi Yesus bukanlah perjalanan menuju puncak kejayaan sebagai seorang raja penakluk. Bukan juga seperti para imam besar terdahulu. Sebab imam besar biasanya memakai pakai kebesaran imam dan mengurbankan di luar dirinya, yakni hewan kurban untuk penghapusan dosa. Yesus adalah imam besar yang mengurbankan diri-Nya sendiri untuk menebus umat manusia. Inilah yang sulit dilihat oleh para murid kendati mereka tidak buta secara fisik. Inilah juga yang sulit dilihat oleh umat kristiani masa kini. Kita sulit menerima, apalagi menerapkan nilai pengurbanan Yesus sebagai prinsidan gaya hidup kita. Akibatnya, kita gagal menjadi teladan di tengah keluarga: oleh karena kebanyakan kita enggan berkurban. Kita lebih senang diperhatikan, dilayani, dan disambut ketimbang sebaliknya!

 

Dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, Yesus dan para murid-Nya tiba di Yerikho, kota yang terletak kira-kira 24 km sebelah timur laut Yerusalem, di lembah Yordan. Dari sinilah orang akan mulai naik ke Yerusalem sebelum Paskah (Markus 14:1). Mereka meninggalkan Yerikho diiringi orang banyak yang hendak berziarah ke Yerusalem dan menyertai Yesus. Menjelang Paskah, jalan menuju Yerusalem sangat ramai oleh para peziarah. Bagi para pengemis, jalanan ini sangat strategis untuk mengulurkan tangan, memohon belas kasihan kepada para peziarah itu.

 

Bartimeus seorang pengemis buta terselip di atara para pengemis lainnya. Anak Timeus ini duduk mengemis di pinggir jalan. Ia mendengar dari orang yang lewat bahwa Yesus orang Nazaret akan berjalan melewati jalan di depannya. Masyarakat menyebutnya Yesus dari Nazaret, bukan Yesus Baryusuf. Yesus dari Nazaret telah menjadi nama yang tersohor oleh karena banyak perkara yang telah dilakukan-Nya membuat orang tercengang kagum! Barang kali Bartimeus juga telah lama mendengar perbincangan orang tentang ketenaran Yesus dari Nazaret itu.

 

Meski nama Yesus dari Nazaret itu telah populer, namun ternyata orang buta itu memakai sapaan yang sama sekali berbeda dari orang kebanyakan. Bagi Bartimeus, Yesus bukan tokoh yang tenar di kalangan masyarakat, melainkan Dia yang menjadi tempat pengharapan hatinya. “Anak Daud!” demikian nama yang dipakainya. Gelar ini menunjukkan pada silsilah Yesus. Tetapi lebih penting lagi nada mesianis yang langsung nyata. Baginya, Yesus adalah Mesias. Keyakinan itu dinyatakan dengan berseru kepada-Nya seraya menyebut-Nya Anak Daud. Bartimeus memohon Sang Raja mengasihani dirinya. 

 

Orang banyak menghardik pengemis buta yang berteriak-teriak itu. Mereka tidak suka perjalanan bersama Sang Mesias yang akan menuju takhta Daud di Yerusalem itu terhambat. Mereka tidak suka berlama-lama dan dihambat oleh orang-orang jelata yang sering disebut sampah masyarakat.

 

Berbeda dari sikap kebanyakan orang yang terganggu dengan teriakan si pengemis buta, Yesus berhenti untuk memberikan perhatian. Dalam kegelapan yang meliputinya akibat kebutaan, didengarnya langkah kaki orang yang lewat, dan ia berteriak lebih keras lagi, “Anak Daud, kasihanilah aku!” Ternyata, seruan keras itu membuat Yesus berhenti. Sang Anak Daud mengizinkan si pengemis buta datang kepada-Nya. Sekarang sikap orang banyak berubah. Tadinya mereka membentak, menghardik Bartimeus supaya diam, sekarang mereka diam. Yesus meminta seseorang untuk memanggil Bartimeus ke hadapan-Nya. Mengapa Ia meminta orang lain untuk memanggil pengemis buta itu? Apakah Ia tidak bisa melakukan-Nya sendiri? Tentu saja sangat bisa. Namun, Yesus ingin agar orang lain yang bersama-Nya juga mempunyai kepedulian yang sama. Pelajaran ini sangat penting, mengingat sebelumnya para murid berlomba mendapatkan posisi yang paling utama, kini mata mereka diarahkan Yesus menuju orang pinggiran yang mendapat belas kasih dari-Nya. Si buta dan pengemis!

 

Ketika Bartimeus telah sampai di hadapan Yesus, Ia bertanya, "Apa yang kaukehendaki Kuperbuat bagimu?" Yesus memberikan kesempatan buat Bartimeus untuk mengutarakan keinginannya. Pertanyaan yang sama sebelumnya disampaikan kepada Yakobus dan Yohanes yang meminta posisi ternama. Yakobus dan Yohanes ternyata "buta", sebab mereka meminta kedudukan khusus dalam kemuliaan Yesus. Mereka tidak mengerti "jalan" Yesus, via dolorosa, sebagai hamba dan pelayan manusia. Tetapi Bartimeus yang buta secara fisik, justru meminta Yesus apa yang dapat diberikan oleh Anak Daud, yaitu mencelikkan mata, memulihkan pendengaran, mengangkat segala kelemahan manusia (Yesaya 35:4-6). Yesus tahu apa yang dikehendaki oleh Bartimeus, tetapi seperti biasanya, Ia berdialog dengan orang yang hendak disembuhkan-Nya. Ia ingin menguatkan iman, bahkan mendengar suatu pengakuan iman yang tegas.

 

Mendengar pengakuan Bartimeus, Yesus tahu bahwa ia mengandalkan Allah dan sekaligus meyakini kuasa-Nya sebagai penyembuh. Maka segeralah Yesus menyembuhkannya, "Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!" Bartimeus yang bukan rombongan inti dari Yesus lebih paham akan misi-Nya. Ia dikatakan beriman oleh Yesus, itu berarti Bartimeus berhasil menangkap dalam diri Yesus yang tidak dapat ditangkap oleh mata manusia sekalipun secara fisik mereka melihat! Selanjutnya, Bartimeus tidak mengharapkan yang macam-macam. Ia mengikut Yesus! Ia tidak mau duduk di pinggir jalan lagi. Ia tidak mau menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang lain lagi, melainkan hanya pada Yesus.

 

Bartimeus mengikut Yesus atas kemauannya sendiri, bukan karena dipanggil oleh Yesus. Ia mengikut Yesus dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem dan selanjutnya via dolorosa, jalan sengsara. Penyembuhan mata tidak cukup baginya: ia memanfaatkannya dengan mengikut Yesus dengan pandangannya sendiri. Pada perjalanan menuju salib, dan pada hari Jumat Agung, kepada Yesus yang menderita diarahkan sepasang mata yang khususnya dibuka oleh Yesus untuk melihat peristiwa itu.

 

Kebanyakan kita punya mata yang awas, dapat melihat. Namun, apakah sepasang mata kita melihat seperti Bartimeus yang mengikut Yesus dalam masa-masa akhir hidup pelayanan Yesus? Apakah mata kita tertuju pada penderitaan Yesus yang mendamaikan manusia dengan Allah? Apakah kita melihat dan menjadikan penderitaan dan kurban Yesus sebagai sebuah nilai kehidupan yang tiada tara, sehingga kita mau melepaskan segala sesuatu yang merintanginya? Ataukah kita justru dengan mata yang melihat, kita sedang dibutakan oleh nafsu keserakahan kita?

 

Jakarta 1 Oktober 2021

 

 

 

KELUARGA YANG DIRAHMATI ALLAH

Setiap pasangan yang sepakat melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan selalu mendambakan kehidupan keluarga yang berbahagia. Keluarga yang dirahmati Allah. Hanya rahmat Allahlah yang memungkinkan keluarga mengalami kebahagiaan hakiki. Rahmat Allah sebagai sumber kebahagiaan dapat dirasakan dan dialami ketika manusia tunduk dalam kehendak-Nya. Namun, ketika ego masing-masing menjadi tujuan pemuasan diri yang paling utama, alih-alih kebahagiaan keluarga - lebih spesifik lagi hubungan suami dan istri - menjadi disharmonis dan sering kali berujung pada perceraian. 

 

Ketika ego menjadi faktor utama, apa pun dapat dipergunakan sebagai pembenaran, termasuk firman Tuhan. Firman Tuhan bukan menjadi tuntunan yang harus dilakukan setiap hari, namun dijadikan senjata untuk membenarkan ego. Bukankah apa yang dilakukan orang Farisi dan ahli-ahli Taurat mempertontonkan hal itu ketika berusaha mencobai Yesus dengan dalil hukum Taurat!

 

Sejumlah orang Farisi mendengarkan Yesus. Mereka datang bukan karena benar-benar tertarik pada Yesus, melainkan karena mereka tidak menyetujui pertemuan-pertemuan yang bersifat memberi pengajaran itu. Mereka hendak mematikan perhatian massa kepada Yesus dengan jalan menjebak-Nya agar orang banyak menyaksikan dan menghakimi-Nya. Untuk itu mereka mengajukan pertanyaan pancingan, “Apakah seorang suami diperbolehkan (oleh Allah) menceraikan istrinya?” Penulis Injil Markus mencatat dengan tegas bahwa mereka hendak “mencobai” Dia. Untuk itu mereka memanfaatkan ajaran Yesus sendiri: bukankah Ia sudah beberapa kali terus terang menentang pranata surat cerai (Matius 5:31-32)? Maka orang Farisi memancing Yesus agar di ranah yang sensitif ini, Ia mengeluarkan ucapan yang berlawanan dengan hukum Taurat,

 

Semua orang Yahudi yakin bahwa dalam hukum Musa perceraian diperbolehkan; mereka hanya berbeda pendapat mengetahui peraturan yang membatasinya. Sekiranya Yesus menyatakan keberatan terhadap perceraian pada umumnya, Dia dianggap menentang hukum Taurat. Bukan karena mereka semua ingin segera bercerai, tetapi karena, di mata orang banyak, penghapusan surat cerai pada umumnya akan memberi lampu hijau kepada para istri untuk mengabaikan semua kewajiban dan tugas yang berhubungan dengan perkawinan. Jangan kita lupa bahwa banyak pernikahan diatur oleh para orang tua. Pernikahan paksa seperti itu akhirnya dapat berkembang menjadi perkawinan yang baik karena si istri, yang selalu dapat diusir, berupaya sedapat mungkin mendampingi dan menyenangkan suaminya. Dengan demikian, bagi suami pun lebih mudah untuk mencintai istrinya. 

 

Para murid Yesus juga tidak dapat membayangkan perkawinan yang tidak disertai sanksi pengusiran (Matius 19:10). Di pihak lain, sekiranya Yesus mengambil hati orang banyak di sekeliling-Nya, yang mayoritas pria, sehingga Dia memperbolehkan perceraian, Dia mengingkari pengajaran-Nya yang diberikan sebelumnya. Maka jelas pertanyaan itu dipilih dengan saksama untuk menjebak Yesus. Pokok ini sangat sensitif, sehingga tepat untuk menjauhkan orang banyak dari Yesus. Jadi, melalui pertanyaan ini orang Yahudi berpikir, jawaban apa pun yang disampaikan Yesus, Dia dapat dikecam karena Dia anggap sebagai guru yang tidak konsekuen, atau malah murtad. Dengan cara itu, orang Yahudi berharap akan meruntuhkan wibawa Yesus.

 

Yesus menjawab pertanyaan mereka (Markus 10:3-8). Namun, secara khusus Dia menanggapi sikap menolak yang merupakan latar belakang pertanyaan itu. Sebagaimana orang Farisi ingin menghabisi Yesus bersama seluruh pekerjaan-Nya lewat satu pertanyaan, begitu pula Yesus memperlihatkan bahwa pertanyaan yang satu itu mengungkapkan seluruh isi kerohanian mereka. Dalam Markus 10:5, Yesus menyinggung “ketegaran hati” (kekerasan hati) mereka. Ungkapan ini tidak hanya dipakai sehubungan dengan sikap mereka dalam hal-hal di seputar pernikahan dan perceraian. Biasanya ungkapan “tegar hati” mengacu pada penolakan umum terhadap hukum Allah. Dalam Perjanjian Lama sering memakainya sebagai gambaran hati yang tidak bersunat (Ulangan 10:16; Yeremia 4:4). Bila umat tidak mau mendengarkan TUHAN, mereka disebut “berkepala batu” dan “bertegar hati” (Yehezkiel 3:7). Sikap tidak percaya itu sudah ada pada zaman Israel tinggal di gurun pasir yang menyebabkan bangsa itu tidak dapat masuk ke tempat perhentian yang disediakan Allah.

 

Orang Farisi sama sekali menutup diri terhadap karya dan firman Allah yang disampaikan Yesus. Yesus menggambarkan sikap itu dengan bertolak dari pertanyaan mereka sendiri. Mereka mau memancing dengan pertanyaan yang bertentangan dengan hukum Taurat. Yesus tidak masuk dalam jebakan mereka. Sebaliknya, Yesus menyingkapkan senjata mereka yang tersembunyi, dengan menyuruh mereka menyatakan sendiri apa yang diperintahkan Musa.

 

Bunyi kalimat dalam Markus 10:3 menarik untuk diperhatikan. Cara Yesus merujuk pada perintah Musa memberi kesan seakan perintah itu berdiri di samping kata-kata Yesus sendiri (Apa perintah Musa kepada kamu?”) Perkataan ini mempersiapkan kalimat yang menyusul dalam Markus 10:5, yakni “Kamu memerlukan (yang patut disayangi) perintah sejenis perintah Musa itu”. Orang Farisi tidak dapat begitu saja mengatakan bahwa Musa memerintahkan perceraian sudah tidak terelakkan lagi. Perintah itu mengandung izin bercerai. Tetapi izin itu tersirat, bukan tersurat, bukan perintah nyata. Maka dalam Markus 10:4, mereka menjawab dengan benar, Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai. Sesungguhnya, kedua tindakan itu (menceraikan dan membuat cerai) tidak sebanding. Tetapi dengan pemilihan kata “mengizinkan”, orang dapat menggabungkan keduanya menjadi satu perintah: boleh menceraikan dengan syarat memberi surat cerai. Sesungguhnya tidak bisa ditarik kesimpulan demikian.

 

Yesus membongkar apa yang menjadi mentalitas pertanyaan jebakan itu. Orang suka memakai hukum untuk kepentingan sepihak: kepentingan diri sendiri! “Saya boleh menyuruh pasanganku pergi! Namun sesungguhnya hukum Musa bukan tentang apa yang boleh, melainkan tentang apa yang harus dilakukan kalau orang sudah berkeras hati untuk menceraikan pasangannya. Yang menceraikan pasangannya wajib menyatakan hal itu secara tertulis kepadanya agar nasib mantan pasangannya nanti tidak terkatung-katung. Ia tidak dapat menuntut kembali. Kalau Sebagian masyarakat tidak peka lagi terhadap kehendak Allah mengenai kesatuan perkawinan, dan sudah lazim mempraktikkan perceraian, masyarakat itu memerlukan undang-undang yang mengatur praktik itu, kendati hal itu bukan merupakan kehendak Allah. Tujuannya adalah melindungi hak dari pihak yang lemah.

 

Yesus menghendaki agar kita sebagai pengikut-Nya tidak menggunakan hukum perceraian yang ada bahkan disahkan oleh undang-undang negara kita, sebab itu bukan merupakan kehendak asli Allah. Yesus mengajarkan bagaimana mengatasi kekerasan hati itu untuk menjaga keutuhan perkawinan. Sebab, perceraian bertentangan dengan maksud manusia itu diciptakan, yakni sebagai laki-laki dan perempuan yang dalam perkawinan menjadi satu daging. Kesatuan antara suami dan istri bukan hanya prakarsa manusia berdua tetapi berakar dalam tindakan ciptaan Allah dan merupakan kehendak Allah yang sejati.

 

Jawaban tambahan Yesus kepada para murid-Nya menunjukkan bahwa bagi Yesus tidak ada perbedaan derajat antara suami dan istri. Masyarakat patriakal cenderung menitik beratkan hak suami dan kewajiban istri. Bagi kita sebagai pengikut Kristus perbedaan seperti itu tidak ada. Suami dan istri memiliki hak, kewajiban, dan larangan yang sama. Menyadari dan menghayati kesederajatan suami-istri itu sangat penting dalam usaha mewujudkan kehendak Allah, yakni memelihara keserasian dan kesatuan perkawinan seumur hidup.

 

Semua perkawinan dan keluarga ingin diberkati bukan hanya dalam peristiwa pesta dan peneguhan, pemberkatan nikah saja. Kita menginginkan berkat Tuhan itu mengalir sepanjang masa. Kita ingin Tuhan merahmati keluarga kita. Firman Tuhan hari ini mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadikan hak masing-masing kita sebagai hal utama yang harus dipenuhi sehingga apa pun kita pergunakan untuk mendukung hak itu, tanpa kecuali menggunakan firman Tuhan sebagai senjata menekan dan memperdaya pasangan dan anggota keluarga kita. Jelas, hal ini tidak dikehendaki Tuhan. Yesus mengajarkan kepada kita tentang hak dan kewajiban yang sama. Tidak boleh egois! 

 

Tuhan akan senantiasa merahmati keluarga kita apabila setiap anggotanya mengutamakan kehendak Tuhan menjalankan kewajibannya masing-masing dan terus menjaga keutuhan keluarga dengan saling melayani dan mengutamakan kepentingan orang lain.

 

Jakarta, 30 September 2021