Jumat, 01 Oktober 2021

KELUARGA YANG DIRAHMATI ALLAH

Setiap pasangan yang sepakat melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan selalu mendambakan kehidupan keluarga yang berbahagia. Keluarga yang dirahmati Allah. Hanya rahmat Allahlah yang memungkinkan keluarga mengalami kebahagiaan hakiki. Rahmat Allah sebagai sumber kebahagiaan dapat dirasakan dan dialami ketika manusia tunduk dalam kehendak-Nya. Namun, ketika ego masing-masing menjadi tujuan pemuasan diri yang paling utama, alih-alih kebahagiaan keluarga - lebih spesifik lagi hubungan suami dan istri - menjadi disharmonis dan sering kali berujung pada perceraian. 

 

Ketika ego menjadi faktor utama, apa pun dapat dipergunakan sebagai pembenaran, termasuk firman Tuhan. Firman Tuhan bukan menjadi tuntunan yang harus dilakukan setiap hari, namun dijadikan senjata untuk membenarkan ego. Bukankah apa yang dilakukan orang Farisi dan ahli-ahli Taurat mempertontonkan hal itu ketika berusaha mencobai Yesus dengan dalil hukum Taurat!

 

Sejumlah orang Farisi mendengarkan Yesus. Mereka datang bukan karena benar-benar tertarik pada Yesus, melainkan karena mereka tidak menyetujui pertemuan-pertemuan yang bersifat memberi pengajaran itu. Mereka hendak mematikan perhatian massa kepada Yesus dengan jalan menjebak-Nya agar orang banyak menyaksikan dan menghakimi-Nya. Untuk itu mereka mengajukan pertanyaan pancingan, “Apakah seorang suami diperbolehkan (oleh Allah) menceraikan istrinya?” Penulis Injil Markus mencatat dengan tegas bahwa mereka hendak “mencobai” Dia. Untuk itu mereka memanfaatkan ajaran Yesus sendiri: bukankah Ia sudah beberapa kali terus terang menentang pranata surat cerai (Matius 5:31-32)? Maka orang Farisi memancing Yesus agar di ranah yang sensitif ini, Ia mengeluarkan ucapan yang berlawanan dengan hukum Taurat,

 

Semua orang Yahudi yakin bahwa dalam hukum Musa perceraian diperbolehkan; mereka hanya berbeda pendapat mengetahui peraturan yang membatasinya. Sekiranya Yesus menyatakan keberatan terhadap perceraian pada umumnya, Dia dianggap menentang hukum Taurat. Bukan karena mereka semua ingin segera bercerai, tetapi karena, di mata orang banyak, penghapusan surat cerai pada umumnya akan memberi lampu hijau kepada para istri untuk mengabaikan semua kewajiban dan tugas yang berhubungan dengan perkawinan. Jangan kita lupa bahwa banyak pernikahan diatur oleh para orang tua. Pernikahan paksa seperti itu akhirnya dapat berkembang menjadi perkawinan yang baik karena si istri, yang selalu dapat diusir, berupaya sedapat mungkin mendampingi dan menyenangkan suaminya. Dengan demikian, bagi suami pun lebih mudah untuk mencintai istrinya. 

 

Para murid Yesus juga tidak dapat membayangkan perkawinan yang tidak disertai sanksi pengusiran (Matius 19:10). Di pihak lain, sekiranya Yesus mengambil hati orang banyak di sekeliling-Nya, yang mayoritas pria, sehingga Dia memperbolehkan perceraian, Dia mengingkari pengajaran-Nya yang diberikan sebelumnya. Maka jelas pertanyaan itu dipilih dengan saksama untuk menjebak Yesus. Pokok ini sangat sensitif, sehingga tepat untuk menjauhkan orang banyak dari Yesus. Jadi, melalui pertanyaan ini orang Yahudi berpikir, jawaban apa pun yang disampaikan Yesus, Dia dapat dikecam karena Dia anggap sebagai guru yang tidak konsekuen, atau malah murtad. Dengan cara itu, orang Yahudi berharap akan meruntuhkan wibawa Yesus.

 

Yesus menjawab pertanyaan mereka (Markus 10:3-8). Namun, secara khusus Dia menanggapi sikap menolak yang merupakan latar belakang pertanyaan itu. Sebagaimana orang Farisi ingin menghabisi Yesus bersama seluruh pekerjaan-Nya lewat satu pertanyaan, begitu pula Yesus memperlihatkan bahwa pertanyaan yang satu itu mengungkapkan seluruh isi kerohanian mereka. Dalam Markus 10:5, Yesus menyinggung “ketegaran hati” (kekerasan hati) mereka. Ungkapan ini tidak hanya dipakai sehubungan dengan sikap mereka dalam hal-hal di seputar pernikahan dan perceraian. Biasanya ungkapan “tegar hati” mengacu pada penolakan umum terhadap hukum Allah. Dalam Perjanjian Lama sering memakainya sebagai gambaran hati yang tidak bersunat (Ulangan 10:16; Yeremia 4:4). Bila umat tidak mau mendengarkan TUHAN, mereka disebut “berkepala batu” dan “bertegar hati” (Yehezkiel 3:7). Sikap tidak percaya itu sudah ada pada zaman Israel tinggal di gurun pasir yang menyebabkan bangsa itu tidak dapat masuk ke tempat perhentian yang disediakan Allah.

 

Orang Farisi sama sekali menutup diri terhadap karya dan firman Allah yang disampaikan Yesus. Yesus menggambarkan sikap itu dengan bertolak dari pertanyaan mereka sendiri. Mereka mau memancing dengan pertanyaan yang bertentangan dengan hukum Taurat. Yesus tidak masuk dalam jebakan mereka. Sebaliknya, Yesus menyingkapkan senjata mereka yang tersembunyi, dengan menyuruh mereka menyatakan sendiri apa yang diperintahkan Musa.

 

Bunyi kalimat dalam Markus 10:3 menarik untuk diperhatikan. Cara Yesus merujuk pada perintah Musa memberi kesan seakan perintah itu berdiri di samping kata-kata Yesus sendiri (Apa perintah Musa kepada kamu?”) Perkataan ini mempersiapkan kalimat yang menyusul dalam Markus 10:5, yakni “Kamu memerlukan (yang patut disayangi) perintah sejenis perintah Musa itu”. Orang Farisi tidak dapat begitu saja mengatakan bahwa Musa memerintahkan perceraian sudah tidak terelakkan lagi. Perintah itu mengandung izin bercerai. Tetapi izin itu tersirat, bukan tersurat, bukan perintah nyata. Maka dalam Markus 10:4, mereka menjawab dengan benar, Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai. Sesungguhnya, kedua tindakan itu (menceraikan dan membuat cerai) tidak sebanding. Tetapi dengan pemilihan kata “mengizinkan”, orang dapat menggabungkan keduanya menjadi satu perintah: boleh menceraikan dengan syarat memberi surat cerai. Sesungguhnya tidak bisa ditarik kesimpulan demikian.

 

Yesus membongkar apa yang menjadi mentalitas pertanyaan jebakan itu. Orang suka memakai hukum untuk kepentingan sepihak: kepentingan diri sendiri! “Saya boleh menyuruh pasanganku pergi! Namun sesungguhnya hukum Musa bukan tentang apa yang boleh, melainkan tentang apa yang harus dilakukan kalau orang sudah berkeras hati untuk menceraikan pasangannya. Yang menceraikan pasangannya wajib menyatakan hal itu secara tertulis kepadanya agar nasib mantan pasangannya nanti tidak terkatung-katung. Ia tidak dapat menuntut kembali. Kalau Sebagian masyarakat tidak peka lagi terhadap kehendak Allah mengenai kesatuan perkawinan, dan sudah lazim mempraktikkan perceraian, masyarakat itu memerlukan undang-undang yang mengatur praktik itu, kendati hal itu bukan merupakan kehendak Allah. Tujuannya adalah melindungi hak dari pihak yang lemah.

 

Yesus menghendaki agar kita sebagai pengikut-Nya tidak menggunakan hukum perceraian yang ada bahkan disahkan oleh undang-undang negara kita, sebab itu bukan merupakan kehendak asli Allah. Yesus mengajarkan bagaimana mengatasi kekerasan hati itu untuk menjaga keutuhan perkawinan. Sebab, perceraian bertentangan dengan maksud manusia itu diciptakan, yakni sebagai laki-laki dan perempuan yang dalam perkawinan menjadi satu daging. Kesatuan antara suami dan istri bukan hanya prakarsa manusia berdua tetapi berakar dalam tindakan ciptaan Allah dan merupakan kehendak Allah yang sejati.

 

Jawaban tambahan Yesus kepada para murid-Nya menunjukkan bahwa bagi Yesus tidak ada perbedaan derajat antara suami dan istri. Masyarakat patriakal cenderung menitik beratkan hak suami dan kewajiban istri. Bagi kita sebagai pengikut Kristus perbedaan seperti itu tidak ada. Suami dan istri memiliki hak, kewajiban, dan larangan yang sama. Menyadari dan menghayati kesederajatan suami-istri itu sangat penting dalam usaha mewujudkan kehendak Allah, yakni memelihara keserasian dan kesatuan perkawinan seumur hidup.

 

Semua perkawinan dan keluarga ingin diberkati bukan hanya dalam peristiwa pesta dan peneguhan, pemberkatan nikah saja. Kita menginginkan berkat Tuhan itu mengalir sepanjang masa. Kita ingin Tuhan merahmati keluarga kita. Firman Tuhan hari ini mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadikan hak masing-masing kita sebagai hal utama yang harus dipenuhi sehingga apa pun kita pergunakan untuk mendukung hak itu, tanpa kecuali menggunakan firman Tuhan sebagai senjata menekan dan memperdaya pasangan dan anggota keluarga kita. Jelas, hal ini tidak dikehendaki Tuhan. Yesus mengajarkan kepada kita tentang hak dan kewajiban yang sama. Tidak boleh egois! 

 

Tuhan akan senantiasa merahmati keluarga kita apabila setiap anggotanya mengutamakan kehendak Tuhan menjalankan kewajibannya masing-masing dan terus menjaga keutuhan keluarga dengan saling melayani dan mengutamakan kepentingan orang lain.

 

Jakarta, 30 September 2021

Kamis, 23 September 2021

KITA DAN MEREKA

Sebagai pengikut-pengikut Kristus (baca: Kristen), kita hidup berdampingan dengan pemeluk keyakinan lain. Bahkan dalam statistik, jumlah orang Kristen di negeri ini tergolong minoritas. Ada banyak kelompok lain, yang tidak sama seperti kita. Di antara mereka, banyak yang mengambil sikap curiga, menjaga jarak bahkan sikap bermusuhan. Tak terhitung rasanya kekerasan - baik verbal, maupun fisik - terjadi di negeri ini. Namun, jangan pula kita menutup mata, tidak sedikit kawan-kawan kita yang “berbeda” itu melakukan kebaikan, menjalin persahabatan bahkan seolah tanpa jarak. Ada juga tokoh dunia yang diilhami oleh ajaran dan teladan Yesus. Mahatma Gandhi, nyaris sempurna menerjemahkan khotbah di Bukit dalam kehidupan pribadi maupun perjuangannya dalam membela negara.

 

Kita bisa saja bersyukur ada orang-orang yang meski tidak menyatakan diri sebagai pengikut Kristus tetapi dalam kehidupan mereka mencerminkan ajaran dan sikap Yesus. Namun, ada banyak juga yang menanggapinya dengan sikap picik, sama seperti sikap Yohanes dan tentu saja murid-murid yang lain. Mereka menganggap bahwa karya keselamatan di dalam Kristus sebagai milik dan monopoli mereka. Keselamatan dalam Kristus itu milik gereja. Yohanes dan murid-murid yang lain, begitu pula dengan sebagian besar warga gereja merasa mempunya hak paten dan royalti dari keselamatan dalam Kristus Yesus!

 

Kita mengingat pemberitaan firman minggu lalu yang di dalamnya masih memperdebatkan siapa yang terbesar di antara para murid. Yesus menegur dan mengajar mereka kata-Nya, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Markus 9:35). Tampaknya Yohanes memahami maksud Yesus. Seharusnya para murid tidak mencari kehormatan diri sendiri, tetapi mengutamakan kehendak Allah di dalam Kristus. Meski mengerti, orang yang memahami kata-kata Yesus belum tentu bertobat, sehingga ia mau berbuat sesuai dengan kata-kata yang dipahaminya itu. Hal ini tampak dalam jawaban Yohanes. Dengan menyebut Yesus Guru, Yohanes mengakui keunggulan Yesus. Namun, ia tetap menganggap dirinya dan para murid Yesus itu termasuk golongan yang terbesar. Itulah kesimpulan yang mau tidak mau dapat kita tari dari perkataannya, “Kami melihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” (Markus 9:38)

 

Pemakaian kata “kita” sebagai gabungan Engkau (Yesus) dan kami (para murid) sungguh-sungguh punya maksud. Maksudnya di sini: kalau orang itu tidak menghormati para murid Yesus, bagaimana tindakannya membawa manfaat bagi Yesus? Benar, yang penting nama Yesus. Tetapi nama itu tidak dapat dipisahkan dari golongan murid-murid Yesus. Maka pernyataan Yohanes tetap punya tendensi “siapa yang terbesar”, dalam hal ini ditarik dari pribadi menjadi kelompok. Ia menganggap kelompok merekalah yang terbesar itu karena dekat dengan Yesus yang besar. 

 

Yesus konsisten dengan narasi terdahulu. Ia melarang par murid menghalangi perbuatan seperti itu. Alasannya, “Sebab tidak seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” (Markus 9:39). Tampaknya pemberitahuan Yohanes dan tanggapan Yesus tidak nyambung. Di satu pihak para murid, dalam hal ini diwakili Yohanes, di lain pihak Yesus terus-menerus mendesak para murid agar membenahi diri dan bertobat. Para murid mengkhayal adanya sebuah perarakan keagungan spektakuler menyambut mereka, karena itu perhatian mereka diarahkan pada pertanyaan siapa yang akan berjalan di depan. Tetapi Yesus berbicara mengenai perjalanan penuh penderitaan: di waktu dekat orang akan berubah, mengumpat, mencaci maki, menganiaya dan menyalibkan-Nya.

 

Di sini Yesus tidak menyatakan secara umum bahwa semua orang yang mengusir setan dalam nama-Nya akan bersikap tekun, sebaliknya Ia menyebut waktu dan saatnya. Tidak lama lagi kalayak akan mengumpat-Nya (Markus 9:31), maka seharusnya para murid bersyukur karena dalam minggu-minggu yang genting itu akan ada orang yang tetap mengambil sikap bersahabat. Para murid mengkhawatirkan kehormatan mereka. Sebaliknya, Yesus melihat titik terang di jalan kehinaan, via dolorosa itu. Siapa yang bersiap menghadapi saat ia ditinggalkan semua orang, akan menyambut gembira seorang sahabat meskipun dia berbeda, bukan dari kelompok sendiri! Sebaliknya, siapa saja yang mengira bahwa dirinya sedang mempersiapkan kursi-kursi kehormatan malah akan merasa jengkel jika salah seorang sahabat tidak ikut antusias.

 

Yesus tegas menolak sikap eklusivisme, seolah-olah karya-Nya hanya dibatasi oleh sekelompok pengikut-Nya saja. Ia bukan hanya milik sebuah komunitas, aliran, bahkan agama tertentu. Ia hadir dan menyatakan kasih-Nya bagi seluruh umat manusia dan karya keselamatan-Nya dapat diteruskan oleh setiap orang; baik yang menyatakan dirinya sebagai Kristen atau mereka yang diilhami oleh ajaran dan sikap Yesus. Di mana pun seseorang melakukan perbuatan yang diilhami oleh Yesus untuk melakukan perbuatan baik sesungguhnya ia sedang meluhurkan dan memuliakan Yesus. Jangan kita baru menghargai kebaikan “mereka” ketika kemurahannya ditujukan kepada kita sendiri. Tetapi bergembiralah atas setiap tindakan kebaikan mereka kepada siapa pun, lebih-lebih kalau tindakannya itu diilhami oleh Yesus sendiri.

 

Yesus telah mencela sikap eklusivisime yang merupakan latar belakang pertanyaan Yohanes. Kini, Ia juga menjawab langsung pertanyaan mengenai tindakan seseorang yang percaya, tetapi belum menjadi pengikut. “Sesungguhnya barang siapa memberikan kepadamu secangkir air dalam nama-Ku, oleh karena kamu pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya,” (Markus 9:41). Secangkir air jauh kurang nilainya dari pada “mengikut kita”. Tetapi yang penting di sini bukan apa yang diberikan kepada para rasul, melainkan alasan pemberian itu. Asalkan orang mengakui para hamba Kristus sebagai utusan Dia, sekalipun yang memberi mereka secangkir air untuk pelepas dahaga maka orang tersebut tidak akan kehilangan upahnya.

 

Kelihatannya orang yang mengusir setan dalam nama Yesus itu tidak bersikap menghina atau memusuhi para murid. Ia bahkan patuh, ketika para murid melarangnya mengusir setan selama ia belum termasuk dalam kumpulan para murid. Meskipun demikian, Yesus melarang sikap para murid itu. Sebab, orang itu akan tercegah ikut mengumpat Yesus bersama orang banyak. Memang ia tidak mengikut Yesus bersama dengan para murid, tetapi Yesus mengenalnya dan dari jarak yang jauh pun Ia dapat melindunginya, sehingga ia tetap mendapat anugerah Allah.

 

Selain mengajak kita untuk terbuka terhadap karya penyelamatan melalui orang di luar kelompok kita, teks Injil hari ini membuat kita waspada terhadap dosa di dalam kelompok sendiri; gereja. Seorang Kristen pun dapat menjadi batu sandungan hingga menyebabkan sesama umat yang lemah menjadi goncang dan kehilangan imannya. Seorang Kristen juga dapat membuat dirinya jatuh. Untuk mencegahnya, kita diberi pilihan yang lebih baik kendati terasa berat: mengambil tindakan “preventif” yang mungkin menyakitkan tetapi jauh lebih baik dari pada siksaan kekal. Lebih baik berlatih agar akar-akar kejahatan dicabut dalam diri kita dan kita hidup bahagia dalam Kerajaan Allah, dari pada tanpa mencabutnya untuk selama-lamanya terpisah dari Allah.

 

Jakarta, 23 September 2021