Kamis, 23 September 2021

KITA DAN MEREKA

Sebagai pengikut-pengikut Kristus (baca: Kristen), kita hidup berdampingan dengan pemeluk keyakinan lain. Bahkan dalam statistik, jumlah orang Kristen di negeri ini tergolong minoritas. Ada banyak kelompok lain, yang tidak sama seperti kita. Di antara mereka, banyak yang mengambil sikap curiga, menjaga jarak bahkan sikap bermusuhan. Tak terhitung rasanya kekerasan - baik verbal, maupun fisik - terjadi di negeri ini. Namun, jangan pula kita menutup mata, tidak sedikit kawan-kawan kita yang “berbeda” itu melakukan kebaikan, menjalin persahabatan bahkan seolah tanpa jarak. Ada juga tokoh dunia yang diilhami oleh ajaran dan teladan Yesus. Mahatma Gandhi, nyaris sempurna menerjemahkan khotbah di Bukit dalam kehidupan pribadi maupun perjuangannya dalam membela negara.

 

Kita bisa saja bersyukur ada orang-orang yang meski tidak menyatakan diri sebagai pengikut Kristus tetapi dalam kehidupan mereka mencerminkan ajaran dan sikap Yesus. Namun, ada banyak juga yang menanggapinya dengan sikap picik, sama seperti sikap Yohanes dan tentu saja murid-murid yang lain. Mereka menganggap bahwa karya keselamatan di dalam Kristus sebagai milik dan monopoli mereka. Keselamatan dalam Kristus itu milik gereja. Yohanes dan murid-murid yang lain, begitu pula dengan sebagian besar warga gereja merasa mempunya hak paten dan royalti dari keselamatan dalam Kristus Yesus!

 

Kita mengingat pemberitaan firman minggu lalu yang di dalamnya masih memperdebatkan siapa yang terbesar di antara para murid. Yesus menegur dan mengajar mereka kata-Nya, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Markus 9:35). Tampaknya Yohanes memahami maksud Yesus. Seharusnya para murid tidak mencari kehormatan diri sendiri, tetapi mengutamakan kehendak Allah di dalam Kristus. Meski mengerti, orang yang memahami kata-kata Yesus belum tentu bertobat, sehingga ia mau berbuat sesuai dengan kata-kata yang dipahaminya itu. Hal ini tampak dalam jawaban Yohanes. Dengan menyebut Yesus Guru, Yohanes mengakui keunggulan Yesus. Namun, ia tetap menganggap dirinya dan para murid Yesus itu termasuk golongan yang terbesar. Itulah kesimpulan yang mau tidak mau dapat kita tari dari perkataannya, “Kami melihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” (Markus 9:38)

 

Pemakaian kata “kita” sebagai gabungan Engkau (Yesus) dan kami (para murid) sungguh-sungguh punya maksud. Maksudnya di sini: kalau orang itu tidak menghormati para murid Yesus, bagaimana tindakannya membawa manfaat bagi Yesus? Benar, yang penting nama Yesus. Tetapi nama itu tidak dapat dipisahkan dari golongan murid-murid Yesus. Maka pernyataan Yohanes tetap punya tendensi “siapa yang terbesar”, dalam hal ini ditarik dari pribadi menjadi kelompok. Ia menganggap kelompok merekalah yang terbesar itu karena dekat dengan Yesus yang besar. 

 

Yesus konsisten dengan narasi terdahulu. Ia melarang par murid menghalangi perbuatan seperti itu. Alasannya, “Sebab tidak seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” (Markus 9:39). Tampaknya pemberitahuan Yohanes dan tanggapan Yesus tidak nyambung. Di satu pihak para murid, dalam hal ini diwakili Yohanes, di lain pihak Yesus terus-menerus mendesak para murid agar membenahi diri dan bertobat. Para murid mengkhayal adanya sebuah perarakan keagungan spektakuler menyambut mereka, karena itu perhatian mereka diarahkan pada pertanyaan siapa yang akan berjalan di depan. Tetapi Yesus berbicara mengenai perjalanan penuh penderitaan: di waktu dekat orang akan berubah, mengumpat, mencaci maki, menganiaya dan menyalibkan-Nya.

 

Di sini Yesus tidak menyatakan secara umum bahwa semua orang yang mengusir setan dalam nama-Nya akan bersikap tekun, sebaliknya Ia menyebut waktu dan saatnya. Tidak lama lagi kalayak akan mengumpat-Nya (Markus 9:31), maka seharusnya para murid bersyukur karena dalam minggu-minggu yang genting itu akan ada orang yang tetap mengambil sikap bersahabat. Para murid mengkhawatirkan kehormatan mereka. Sebaliknya, Yesus melihat titik terang di jalan kehinaan, via dolorosa itu. Siapa yang bersiap menghadapi saat ia ditinggalkan semua orang, akan menyambut gembira seorang sahabat meskipun dia berbeda, bukan dari kelompok sendiri! Sebaliknya, siapa saja yang mengira bahwa dirinya sedang mempersiapkan kursi-kursi kehormatan malah akan merasa jengkel jika salah seorang sahabat tidak ikut antusias.

 

Yesus tegas menolak sikap eklusivisme, seolah-olah karya-Nya hanya dibatasi oleh sekelompok pengikut-Nya saja. Ia bukan hanya milik sebuah komunitas, aliran, bahkan agama tertentu. Ia hadir dan menyatakan kasih-Nya bagi seluruh umat manusia dan karya keselamatan-Nya dapat diteruskan oleh setiap orang; baik yang menyatakan dirinya sebagai Kristen atau mereka yang diilhami oleh ajaran dan sikap Yesus. Di mana pun seseorang melakukan perbuatan yang diilhami oleh Yesus untuk melakukan perbuatan baik sesungguhnya ia sedang meluhurkan dan memuliakan Yesus. Jangan kita baru menghargai kebaikan “mereka” ketika kemurahannya ditujukan kepada kita sendiri. Tetapi bergembiralah atas setiap tindakan kebaikan mereka kepada siapa pun, lebih-lebih kalau tindakannya itu diilhami oleh Yesus sendiri.

 

Yesus telah mencela sikap eklusivisime yang merupakan latar belakang pertanyaan Yohanes. Kini, Ia juga menjawab langsung pertanyaan mengenai tindakan seseorang yang percaya, tetapi belum menjadi pengikut. “Sesungguhnya barang siapa memberikan kepadamu secangkir air dalam nama-Ku, oleh karena kamu pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya,” (Markus 9:41). Secangkir air jauh kurang nilainya dari pada “mengikut kita”. Tetapi yang penting di sini bukan apa yang diberikan kepada para rasul, melainkan alasan pemberian itu. Asalkan orang mengakui para hamba Kristus sebagai utusan Dia, sekalipun yang memberi mereka secangkir air untuk pelepas dahaga maka orang tersebut tidak akan kehilangan upahnya.

 

Kelihatannya orang yang mengusir setan dalam nama Yesus itu tidak bersikap menghina atau memusuhi para murid. Ia bahkan patuh, ketika para murid melarangnya mengusir setan selama ia belum termasuk dalam kumpulan para murid. Meskipun demikian, Yesus melarang sikap para murid itu. Sebab, orang itu akan tercegah ikut mengumpat Yesus bersama orang banyak. Memang ia tidak mengikut Yesus bersama dengan para murid, tetapi Yesus mengenalnya dan dari jarak yang jauh pun Ia dapat melindunginya, sehingga ia tetap mendapat anugerah Allah.

 

Selain mengajak kita untuk terbuka terhadap karya penyelamatan melalui orang di luar kelompok kita, teks Injil hari ini membuat kita waspada terhadap dosa di dalam kelompok sendiri; gereja. Seorang Kristen pun dapat menjadi batu sandungan hingga menyebabkan sesama umat yang lemah menjadi goncang dan kehilangan imannya. Seorang Kristen juga dapat membuat dirinya jatuh. Untuk mencegahnya, kita diberi pilihan yang lebih baik kendati terasa berat: mengambil tindakan “preventif” yang mungkin menyakitkan tetapi jauh lebih baik dari pada siksaan kekal. Lebih baik berlatih agar akar-akar kejahatan dicabut dalam diri kita dan kita hidup bahagia dalam Kerajaan Allah, dari pada tanpa mencabutnya untuk selama-lamanya terpisah dari Allah.

 

Jakarta, 23 September 2021

Jumat, 17 September 2021

MENYAMBUT DAN BUKAN DISAMBUT

Salah satu hasrat manusia adalah menjadi seorang pembesar atau terkemuka. Betapa tidak, seorang pembesar akan selalu mendapat perlakuan istimewa: pertama dan diutamakan. Kata Yunani protosmenggambarkan dengan tepat status dan perlakuan terhadap seorang pembesar. Protos, berarti “orang-orang terkemuka” (Markus 6:21). Penguasa, bangsawan, orang kaya, dan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat sering kali disebut protos. Protos juga dapat berarti “pertama” dalam arti urutan (pertama, kedua, ketiga, dst). Dengan demikian, orang-orang terkemuka akan selalu didahulukan, dipertamakan. Siapa sih yang tidak ingin menjadi protos? Status dan perlakuan yang istimewa inilah yang mendorong manusia dari segala tempat dan abad berlomba-lomba menjadi orang yang terkemuka.

 

Seorang pembesar atau terkemuka selalu ada tempat, meski harus menyingkirkan tempat orang lain. Di mana dan ke mana pun seorang pembesar akan selalu disambut. Ya, sambutan istimewa! Dalam pola pikir seperti inilah kita maklum kalau para murid pun tidak steril dari keinginan menjadi protos. Maka tidak mudah bagi mereka untuk memahami jalan derita dan pelayanan. Berulang Yesus mengingatkan jalan derita yang harus dilalui-Nya, alih-alih mereka mendengarkan suara-Nya, hasrat diri nyatanya lebih dominan. Bahkan, jika kita mengingat beberapa bulan lalu (dalam Minggu Transfigurasi) ditegaskan oleh suara surgawi sendiri bahwa para murid ini harus mendengarkan suara-Nya. Nyatanya, ketika mereka turun gunung, yang diingat adalah kemuliaan itu sehingga dalam perjalanan mereka bertikai memperebutkan siapa yang paling utama.

 

Yesus seolah mendiamkan pertikaian dalam perjalanan itu. Tetapi sesungguhnya tidak. Ia menggunakan-Nya sebagai bahan ajar. Lalu, sesampainya di rumah itu, Ia memeluk seorang anak kecil sambil mengatakan bahwa, “Barang siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.  Dan barang siapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”(Markus 9:37). Yesus mengajarkan, alih-alih menjadi orang yang disambut, para murid harus menyambut siapa pun, terutama orang-orang yang paling sederhana, hina dan berada di tempat paling akhir.

 

Markus 9:30 mengisahkan perjalanan Yesus melintasi Galilea dengan tidak mau diketahui orang lain. Kemungkinan Yesus mengambil jalan melingkar, melalui ladang-ladang gandum. Apa tujuan Yesus melintasi Galilea itu? Pertanyaan ini timbul dalam hati orang yang tahu bahwa Yesus sedang dalam perjalanan menuju tempat lain. Akan tetapi, Dia tidak mau hal itu diketahui orang. Andai orang-orang tahu bahwa Yesus sedang bepergian ke tujuan baru di luar wilayah Galilea, kemungkinan besar segera mereka akan berbondong-bondong mengikuti-Nya, Yesus sudah populer sebagai pengajar dan penyembuh kala itu.

 

Dalam Yohanes 7: 1-13, mencatat bahwa saudara-saudara Yesus juga ingin supaya Dia mengembangkan kariernya dengan mencari ketenaran di kota besar, Yerusalem. Jelas pemikiran seperti itu keliru. Yesus menuju Yerusalem bukan untuk meningkatkan ketenaran, melainkan perjalanan yang menuju penyerahan dan maut. Itu harus terjadi - demikian pemberitahuan penderitaan yang pertama - dan itu akan terjadi, atas kerelaan Yesus sendiri (demikian pemberitahuan penderitaan yang kedua).

 

Dalam pengajaran-Nya kepada para murid (Markus 9:31), Yesus menjelaskan alasan yang membuat Dia merahasiakan tujuan perjalanan-Nya (meninggalkan Galilea menuju daerah lain) adalah untuk memenuhi ketaatan-Nya kepada Bapa. Ia (Anak Manusia) akan diserahkan ke tangan manusia: mereka akan membunuh Dia. Namun, Dia akan bangkit lagi dari antara orang mati. Maka perjalanan melintasi Galilea itudapat dikatakan perjalanan menuju maut. Karena itu, orang lain jangan sampai mengetahui tujuan perjalanan tersebut. Sebab, kehadiran mereka dapat menjadi penghalang.

 

Bagi para murid (Markus 9:32), perkataan Yesus itu gelap, “mereka tidak mengenal perkataan itu” (harafiah). Para murid buta akan maksud Yesus, kendati Yesus telah menjelaskannya kepada mereka. Kata-kata Yesus, tidak hanya kurang jelas bagi mereka, tetapi juga artinya sama sekali tersembunyi (Lukas 9:45). Jelaslah, bahwa hati manusia perlu dibuka supaya betul-betul mengenal rahasia Injil. Kebutaan para murid ini ditunjukkan dengan sibuk bertikai mengenai siapa yang paling terkemuka. Kita dapat menengarai penyebab kebutaan ini adalah ambisi atau hasrat yang menginginkan mereka menjadi protos.

 

Setelah rombongan Yesus tiba di Kapernaum dan berada di rumah, mungkin rumahnya Simon. Di situ Yesus bertanya, “Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” Pertanyaan inilah yang menjadi titik tolak pengajaran Yesus. Dia berada di Kapernaum untuk yang terakhir kalinya. Maka percakapan ini merupakan acara perpisahan di tempat tinggal sendiri. Yesus tidak datang ke Kapernaum untuk beristirahat. Dia sedang menuju Yerusalem - jalan penderitaan. Bagi Yesus, perjalanan menuju penderitaan-Nya adalah perkara paling utama.

 

Para murid membisu, tidak menjawab pertanyaan Yesus. Mereka tidak berani mengatakan bahwa pertengkaran mereka berkisar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka menyadari bahwa Sang Guru sanggup menyelidiki hati mereka. Tatapan mata dan pertanyaan Yesus sudah cukup menjadi teguran buat mereka bahwa pembicaraan mereka sama sekali di luar realitas Sang Guru.

 

Kini, Yesus “duduk” dan memanggil (phônein) murid-murid-Nya. Kata kerja “memanggil” tidak mengandung arti “memanggil atau mengundang orang menghadiri rapat (proskalein), tetapi memanggil orang dengan menyebut namanya. Undangan pribadi untuk tampil ke depan ini membuat hati mereka berdebar. Siapa di antara para murid yang paling besar? Pada saat pertanyaan itu hendak dibahas secara terbuka, ternyata Simon, Andreas, Yakobus, dan yang lainnya disuruh maju. Apakah kedua belas murid ini yang paling besar di antara semua murid-Nya?

 

Para murid terkejut, sekaligus penuh harap kalau-kalau dirinyalah yang dimaksudkan Yesus. Namun, betapa terkejutnya lagi, ketika Yesus mengatakan, “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaknya ia menjadi yang terakhir dari semua dan pelayan dari semuanya!” Kedua belas murid - dan juga orang-orang lain - ingin disebut sebagai orang yang utama, ingin berdiri di depan. Keinginan inilah yang melahirkan pertikaian para murid di perjalanan. Kalau kita meminjam catatan Yakobus (bacaan II), mereka bertikai karena sibuk memikirkan dan memperjuangkan kepentingan dan hawa nafsunya sendiri, bukan hikmat yang dari atas sehingga melahirkan kekacauan dan pertengkaran. Tetapi kini Yesus memutarbalikkan keinginan itu. Benar, ada tempat terhormat di dekat Yesus, tetapi tempat itu diduduki dia yang bersedia mengambil tempat paling rendah, tempat seorang pelayan yang tidak punya bawahan, yang menjadi “yang terakhir dari semuanya”, karena melayani dan menolong semuanya.

 

Ternyata, Yesus tidak memanggil satu pun dari kedua belas murid-Nya dengan maksud menjawab pertanyaan siapa di antara mereka yang terbesar. Yesus hanya memberi mereka keterangan mengenai jalan yang harus ditempuh untuk menjadi yang terbesar. Tetapi, Yesus tidak berhenti di situ. Ia menunjukkan tokoh terbesar.

 

Di tengah kelompok dua belas murid yang ingin menjadi terbesar, Ia menempatkan seorang anak kecil. Dipeluk-Nya anak itu. Bukan tanpa maksud begitu saja Yesus mendudukkan anak-anak kecil ke dalam kedudukan “orang besar”. Mereka (anak-anak kecil) adalah “yang paling kecil” - tubuhnya menunjukkan itu -, mereka juga belum mengerti apa-apa, belum punya kedudukan atau status apa pun. Dengan menempatkan seorang anak kecil di pusat, Yesus hendak menjelaskan perkataan-Nya mengenai “yang terakhir dari semuanya” dan “pelayan dari semuanya”.

 

Dengan menempatkan anak kecil itu di tengah-tengah para murid, Yesus lebih dahulu hendak menunjukkan kepada mereka tempat yang seharusnya mereka pilih, yakni tempat yang paling sederhana, yang paling hina, tempat seorang anak kecil yang belum punya status, belum berarti apa-apa, dan yang menurut pemahaman masyarakat luas belum masuk dalam hitungan. Sambil memeluk anak kecil itu, Yesus mengatakan, “Barang siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku, dan barang siapa menyambut Aku, bukan (hanya) Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”

 

Ucapan ini sulit untuk dipahami, terutama karena mau tidak mau ungkapan “menyambut” dan “dalam nama-Ku” sering dikaitkan dengan perkataan yang Yesus ucapkan pada waktu pengutusan kedua belas rasul (Markus 6:11; Matius 10:14, 40-41; Lukas 9:5; 10:8-10). Maka kita sering kali tertarik untuk menghubungkan perkataan Yesus dalam Markus 9:37 ini dengan cara umat Israel menyambut para murid. Di situ para murid yang mengemban tugas perutusan dari Yesus disambut.

 

Namun, yang menjadi pokok perhatian dalam Markus 9:37, bukan bagaimana para murid disambut atau diperlakukan. Itu yang mereka pikirkan sendiri : bagaimana kita akan disambut, dan siapa yang dinobatkan paling besar? Bukan itu! Sebaliknya, Yesus membelokkan (Jakob Van Bruggen), saya lebih suka memakai kata meluruskan. Jadi dalam hal ini, Yesus meluruskan pikiran dan perhatian mereka. Para murid tidak dipanggil untuk mengatur cara orang menyambut mereka, tetapi merekalah yang harus menyiapkan sambutan terhormat bagi orang lain. Masyarakat tidak harus melayani mereka, tetapi merekalah yang harus melayani masyarakat! Ini sama seperti, sebagaimana para hamba menantikan kedatangan tuan mereka dan sebagaimana para pelayan yang lebih rendah pangkatnya juga menantikan kedatangan anak-anak kecil, begitu pula para murid yang ingin menjadi terbesar harus siap menjadi pelayan bagi semua. Mereka bahkan harus bersedia untuk dalam nama Yesus menyambut (dan mengajar) anak-anak, yang belum punya arti apa-apa. Sama seperti Tuhan tidak merasa hina di depan mata para murid yang ingin terkemuka, begitu pula para murid seharusnya tidak merasa hina menerima dan menyambut siapa saja dalam nama Yesus.

 

Murid-murid Yesus, termasuk kita tidak dipanggil untuk berjalan di muka dan menerima penghormatan, tetapi untuk menyambut orang-orang yang paling kecil sekalipun dan menggendong mereka selaku pelayan. Dengan cara itulah seorang murid menjadi besar dalam kerajaan surga.

 

 

Jakarta, 17 September 2021