Jumat, 17 September 2021

MENYAMBUT DAN BUKAN DISAMBUT

Salah satu hasrat manusia adalah menjadi seorang pembesar atau terkemuka. Betapa tidak, seorang pembesar akan selalu mendapat perlakuan istimewa: pertama dan diutamakan. Kata Yunani protosmenggambarkan dengan tepat status dan perlakuan terhadap seorang pembesar. Protos, berarti “orang-orang terkemuka” (Markus 6:21). Penguasa, bangsawan, orang kaya, dan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat sering kali disebut protos. Protos juga dapat berarti “pertama” dalam arti urutan (pertama, kedua, ketiga, dst). Dengan demikian, orang-orang terkemuka akan selalu didahulukan, dipertamakan. Siapa sih yang tidak ingin menjadi protos? Status dan perlakuan yang istimewa inilah yang mendorong manusia dari segala tempat dan abad berlomba-lomba menjadi orang yang terkemuka.

 

Seorang pembesar atau terkemuka selalu ada tempat, meski harus menyingkirkan tempat orang lain. Di mana dan ke mana pun seorang pembesar akan selalu disambut. Ya, sambutan istimewa! Dalam pola pikir seperti inilah kita maklum kalau para murid pun tidak steril dari keinginan menjadi protos. Maka tidak mudah bagi mereka untuk memahami jalan derita dan pelayanan. Berulang Yesus mengingatkan jalan derita yang harus dilalui-Nya, alih-alih mereka mendengarkan suara-Nya, hasrat diri nyatanya lebih dominan. Bahkan, jika kita mengingat beberapa bulan lalu (dalam Minggu Transfigurasi) ditegaskan oleh suara surgawi sendiri bahwa para murid ini harus mendengarkan suara-Nya. Nyatanya, ketika mereka turun gunung, yang diingat adalah kemuliaan itu sehingga dalam perjalanan mereka bertikai memperebutkan siapa yang paling utama.

 

Yesus seolah mendiamkan pertikaian dalam perjalanan itu. Tetapi sesungguhnya tidak. Ia menggunakan-Nya sebagai bahan ajar. Lalu, sesampainya di rumah itu, Ia memeluk seorang anak kecil sambil mengatakan bahwa, “Barang siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.  Dan barang siapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”(Markus 9:37). Yesus mengajarkan, alih-alih menjadi orang yang disambut, para murid harus menyambut siapa pun, terutama orang-orang yang paling sederhana, hina dan berada di tempat paling akhir.

 

Markus 9:30 mengisahkan perjalanan Yesus melintasi Galilea dengan tidak mau diketahui orang lain. Kemungkinan Yesus mengambil jalan melingkar, melalui ladang-ladang gandum. Apa tujuan Yesus melintasi Galilea itu? Pertanyaan ini timbul dalam hati orang yang tahu bahwa Yesus sedang dalam perjalanan menuju tempat lain. Akan tetapi, Dia tidak mau hal itu diketahui orang. Andai orang-orang tahu bahwa Yesus sedang bepergian ke tujuan baru di luar wilayah Galilea, kemungkinan besar segera mereka akan berbondong-bondong mengikuti-Nya, Yesus sudah populer sebagai pengajar dan penyembuh kala itu.

 

Dalam Yohanes 7: 1-13, mencatat bahwa saudara-saudara Yesus juga ingin supaya Dia mengembangkan kariernya dengan mencari ketenaran di kota besar, Yerusalem. Jelas pemikiran seperti itu keliru. Yesus menuju Yerusalem bukan untuk meningkatkan ketenaran, melainkan perjalanan yang menuju penyerahan dan maut. Itu harus terjadi - demikian pemberitahuan penderitaan yang pertama - dan itu akan terjadi, atas kerelaan Yesus sendiri (demikian pemberitahuan penderitaan yang kedua).

 

Dalam pengajaran-Nya kepada para murid (Markus 9:31), Yesus menjelaskan alasan yang membuat Dia merahasiakan tujuan perjalanan-Nya (meninggalkan Galilea menuju daerah lain) adalah untuk memenuhi ketaatan-Nya kepada Bapa. Ia (Anak Manusia) akan diserahkan ke tangan manusia: mereka akan membunuh Dia. Namun, Dia akan bangkit lagi dari antara orang mati. Maka perjalanan melintasi Galilea itudapat dikatakan perjalanan menuju maut. Karena itu, orang lain jangan sampai mengetahui tujuan perjalanan tersebut. Sebab, kehadiran mereka dapat menjadi penghalang.

 

Bagi para murid (Markus 9:32), perkataan Yesus itu gelap, “mereka tidak mengenal perkataan itu” (harafiah). Para murid buta akan maksud Yesus, kendati Yesus telah menjelaskannya kepada mereka. Kata-kata Yesus, tidak hanya kurang jelas bagi mereka, tetapi juga artinya sama sekali tersembunyi (Lukas 9:45). Jelaslah, bahwa hati manusia perlu dibuka supaya betul-betul mengenal rahasia Injil. Kebutaan para murid ini ditunjukkan dengan sibuk bertikai mengenai siapa yang paling terkemuka. Kita dapat menengarai penyebab kebutaan ini adalah ambisi atau hasrat yang menginginkan mereka menjadi protos.

 

Setelah rombongan Yesus tiba di Kapernaum dan berada di rumah, mungkin rumahnya Simon. Di situ Yesus bertanya, “Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” Pertanyaan inilah yang menjadi titik tolak pengajaran Yesus. Dia berada di Kapernaum untuk yang terakhir kalinya. Maka percakapan ini merupakan acara perpisahan di tempat tinggal sendiri. Yesus tidak datang ke Kapernaum untuk beristirahat. Dia sedang menuju Yerusalem - jalan penderitaan. Bagi Yesus, perjalanan menuju penderitaan-Nya adalah perkara paling utama.

 

Para murid membisu, tidak menjawab pertanyaan Yesus. Mereka tidak berani mengatakan bahwa pertengkaran mereka berkisar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka menyadari bahwa Sang Guru sanggup menyelidiki hati mereka. Tatapan mata dan pertanyaan Yesus sudah cukup menjadi teguran buat mereka bahwa pembicaraan mereka sama sekali di luar realitas Sang Guru.

 

Kini, Yesus “duduk” dan memanggil (phônein) murid-murid-Nya. Kata kerja “memanggil” tidak mengandung arti “memanggil atau mengundang orang menghadiri rapat (proskalein), tetapi memanggil orang dengan menyebut namanya. Undangan pribadi untuk tampil ke depan ini membuat hati mereka berdebar. Siapa di antara para murid yang paling besar? Pada saat pertanyaan itu hendak dibahas secara terbuka, ternyata Simon, Andreas, Yakobus, dan yang lainnya disuruh maju. Apakah kedua belas murid ini yang paling besar di antara semua murid-Nya?

 

Para murid terkejut, sekaligus penuh harap kalau-kalau dirinyalah yang dimaksudkan Yesus. Namun, betapa terkejutnya lagi, ketika Yesus mengatakan, “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaknya ia menjadi yang terakhir dari semua dan pelayan dari semuanya!” Kedua belas murid - dan juga orang-orang lain - ingin disebut sebagai orang yang utama, ingin berdiri di depan. Keinginan inilah yang melahirkan pertikaian para murid di perjalanan. Kalau kita meminjam catatan Yakobus (bacaan II), mereka bertikai karena sibuk memikirkan dan memperjuangkan kepentingan dan hawa nafsunya sendiri, bukan hikmat yang dari atas sehingga melahirkan kekacauan dan pertengkaran. Tetapi kini Yesus memutarbalikkan keinginan itu. Benar, ada tempat terhormat di dekat Yesus, tetapi tempat itu diduduki dia yang bersedia mengambil tempat paling rendah, tempat seorang pelayan yang tidak punya bawahan, yang menjadi “yang terakhir dari semuanya”, karena melayani dan menolong semuanya.

 

Ternyata, Yesus tidak memanggil satu pun dari kedua belas murid-Nya dengan maksud menjawab pertanyaan siapa di antara mereka yang terbesar. Yesus hanya memberi mereka keterangan mengenai jalan yang harus ditempuh untuk menjadi yang terbesar. Tetapi, Yesus tidak berhenti di situ. Ia menunjukkan tokoh terbesar.

 

Di tengah kelompok dua belas murid yang ingin menjadi terbesar, Ia menempatkan seorang anak kecil. Dipeluk-Nya anak itu. Bukan tanpa maksud begitu saja Yesus mendudukkan anak-anak kecil ke dalam kedudukan “orang besar”. Mereka (anak-anak kecil) adalah “yang paling kecil” - tubuhnya menunjukkan itu -, mereka juga belum mengerti apa-apa, belum punya kedudukan atau status apa pun. Dengan menempatkan seorang anak kecil di pusat, Yesus hendak menjelaskan perkataan-Nya mengenai “yang terakhir dari semuanya” dan “pelayan dari semuanya”.

 

Dengan menempatkan anak kecil itu di tengah-tengah para murid, Yesus lebih dahulu hendak menunjukkan kepada mereka tempat yang seharusnya mereka pilih, yakni tempat yang paling sederhana, yang paling hina, tempat seorang anak kecil yang belum punya status, belum berarti apa-apa, dan yang menurut pemahaman masyarakat luas belum masuk dalam hitungan. Sambil memeluk anak kecil itu, Yesus mengatakan, “Barang siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku, dan barang siapa menyambut Aku, bukan (hanya) Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”

 

Ucapan ini sulit untuk dipahami, terutama karena mau tidak mau ungkapan “menyambut” dan “dalam nama-Ku” sering dikaitkan dengan perkataan yang Yesus ucapkan pada waktu pengutusan kedua belas rasul (Markus 6:11; Matius 10:14, 40-41; Lukas 9:5; 10:8-10). Maka kita sering kali tertarik untuk menghubungkan perkataan Yesus dalam Markus 9:37 ini dengan cara umat Israel menyambut para murid. Di situ para murid yang mengemban tugas perutusan dari Yesus disambut.

 

Namun, yang menjadi pokok perhatian dalam Markus 9:37, bukan bagaimana para murid disambut atau diperlakukan. Itu yang mereka pikirkan sendiri : bagaimana kita akan disambut, dan siapa yang dinobatkan paling besar? Bukan itu! Sebaliknya, Yesus membelokkan (Jakob Van Bruggen), saya lebih suka memakai kata meluruskan. Jadi dalam hal ini, Yesus meluruskan pikiran dan perhatian mereka. Para murid tidak dipanggil untuk mengatur cara orang menyambut mereka, tetapi merekalah yang harus menyiapkan sambutan terhormat bagi orang lain. Masyarakat tidak harus melayani mereka, tetapi merekalah yang harus melayani masyarakat! Ini sama seperti, sebagaimana para hamba menantikan kedatangan tuan mereka dan sebagaimana para pelayan yang lebih rendah pangkatnya juga menantikan kedatangan anak-anak kecil, begitu pula para murid yang ingin menjadi terbesar harus siap menjadi pelayan bagi semua. Mereka bahkan harus bersedia untuk dalam nama Yesus menyambut (dan mengajar) anak-anak, yang belum punya arti apa-apa. Sama seperti Tuhan tidak merasa hina di depan mata para murid yang ingin terkemuka, begitu pula para murid seharusnya tidak merasa hina menerima dan menyambut siapa saja dalam nama Yesus.

 

Murid-murid Yesus, termasuk kita tidak dipanggil untuk berjalan di muka dan menerima penghormatan, tetapi untuk menyambut orang-orang yang paling kecil sekalipun dan menggendong mereka selaku pelayan. Dengan cara itulah seorang murid menjadi besar dalam kerajaan surga.

 

 

Jakarta, 17 September 2021

Kamis, 09 September 2021

APA KATAMU TENTANG AKU?

Apa katamu tentang aku? Kalimat tanya ini menginginkan jawaban yang berupa pendapat orang yang ditanya itu tentang dirinya. Sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara, sang kekasih meminta pendapat dari pacarnya tentang dirinya. Sudah dapat diduga akan mengalir dengan deras dari mulutnya puja dan puji. Hal ini, berbeda ketika pertanyaan serupa dilontarkan setelah sepasang suami-istri hidup bersama bertahun-tahun lamanya. Perbedaan itu setidaknya bahwa pendapat kita sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan pengharapan kita. Meski tidak mengabaikan juga pengenalan yang lebih mendalam.

 

Hal senada ditanyakan Yesus kepada para murid-Nya, “Tetapi, apa katamu, siapa Aku ini?”  Inilah kali pertama Yesus menantang murid-murid-Nya untuk menyampaikan pendapat mereka sendiri. Bukan kata orang! Tentu saja setelah sekian lama para murid bersama-sama dengan Yesus: tinggal bersama-Nya, mendengar pengajaran-Nya, dan menyaksikan apa yang diperbuat-Nya, setidaknya mereka punya pendapat sendiri yang tidak sekedar ikut-ikutan kata orang.

 

Petrus tampil dan menjawab, “Engkau adalah Mesias!” Mesias kata lain dari Kristus, berarti “Yang diurapi”. Dalam tradisi Perjanjian Lama, para imam dan raja-raja Israel diurapi dengan minyak (Keluaran 29:7,21; 1 Samuel 10:1). Hanya satu kali dalam Perjanjian Lama, ada nabi yang diurapi, yakni nabi Elisa (1 Raja-raja 19:16). Di luar itu, gelar mesias juga pernah disematkan untuk raja Koresh, raja Persia yang berperan dalam pembebasan orang Israel dari pembuangan di Babel (Yesaya 45:1).

 

Pemahaman mesias dalam Perjanjian baru erat kaitannya pada raja yang akan datang untuk mendirikan kembali kejayaan takhta Daud. Mesias adalah gelar resmi untuk tokoh utama yang dinanti-nantikan oleh orang Yahudi. Pengharapan ini rupanya telah berurat akar tidak terkecuali para murid Yesus. Dalam bingkai inilah Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias. Jelas ini berbeda dari apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Yesus. Yesus sedang menggenapi apa yang dikatakan dinubuatkan oleh nabi Yesaya. Mesias hamba yang menderita! 

 

Ya, Yesus adalah Mesias yang menapakinya dengan jalan menghamba. Ia tidak membuka mulut-Nya terhadap orang-orang yang menganiaya-Nya. Bahkan, dalam bacaan pertama hari ini (Yesaya 50:4-9) ketika Ia dipermalukan “orang-orang yang mencabut janggutku..” Ia diam. Tidak terbayang janggut - pada waktu itu dalam budaya Timur Tengah - yang melambangkan maskulinitas dicabut dan dihilangkan, menjadi tontonan di depan umum; ini sejajar dengan menampar pipi, meludahi dan menodai. Penghinaan!

 

Sikap diamnya sang hamba, di bagian lain sama seperti anak domba yang digiring ke tempat pembantaian untuk disembelih. Ketika diadili dengan tuduhan rekayasa pun tidak ada yang membela-Nya. Sesudah ditahan dan dijatuhi  keputusan yang tidak adil, Ia “diambil” untuk dijatuhi hukuman mati. Dalam kematian pun Sang Hamba masih tetap dihina: Ia dikuburkan di antara orang-orang jahat, sekalipun Ia sama sekali tidak termasuk di antara mereka. Derita yang dialami-Nya itu adalah hukuman yang seharusnya diperuntukan bagi orang-orang yang memberontak kepada Allah. Yesus sedang menapaki jalan itu. Jalan hamba yang menderita!

 

Jalan Mesias seperti inilah yang hendak Yesus sampaikan kepada orang banyak, khusus para murid-Nya. Namun, respons para murid yang diwakili oleh Petrus berbeda. Petrus - dapat dipastikan para murid yang lain - tidak dapat menerima. Penolakan Petrus disebabkan utamanya karena keinginannya menjadikan Yesus sesuai dengan ambisinya. Bukankah ada banyak di antara kita sama seperti orang banyak yang berbondong-bondong mencari dan mengikut Yesus karena ingin menyaksikan dan menikmati kehebatan-Nya? Bukankah kita juga sama seperti Petrus yang punya ambisi menjadikan Yesus sesuai dengan keinginan kita? Kita tidak rela untuk membiarkan Yesus berkarya sebagaimana Ia sendiri memenuhi kehendak Bapa-Nya. Kita tidak rela membiarkan Dia yang mengendalikan hidup kita, alih-alih kita yang suka mengatur diri-Nya.

 

Petrus tidak rela kalau Yesus menjadi Mesias yang menderita, ini tidak sesuai dengan konsepnya. Dalam mempertahankan ambisinya itu Petrus bahkan berani menarik Yesus ke samping dan menegur Yesus. “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Markus 8:33). Mengherankan Yesus menyebut Iblis dalam hardikannya terhadap Petrus. Kalimat hardikan ini mengingatkan kita pada peristiwa Yesus dicobai Iblis dalam tahap awal pelayanan-Nya. Dalam Injil Matius, ketika Yesus dicobai dikatakan bahwa Roh membawa-Nya ke padang gurun untuk dicobai Iblis (Matius 4;1). Dalam kisah itu Iblis disebut sebagai pencoba atau penggoda karena memang ia mencobai Yesus.

 

Iblis mencobai atau menggoda Yesus untuk mempergunakan kuasa-Nya demi kepentingan-Nya sendiri. Tetapi Yesus dengan tegas menolaknya. Yesus menghardik Iblis itu. Hari ini kita membaca hardikan yang sama terhadap Petrus. Petrus disebut Iblis bukan karena pada saat itu ia sedang dirasuki oleh Iblis, tetapi oleh karena apa yang dipikirkan dan dikatakannya itu merupakan aksi mencobai atau menggoda Yesus. Petrus mencegah Yesus untuk menempuh jalan sengsara - hal ini bagi Yesus sangat mungkin bahkan mudah! Yesus punya kapasitas untuk itu. Yesus sangat mungkin bisa memenuhi harapan Petrus, namun Ia tidak menggunakannya. 

 

Dengan ulahnya seperti itu, Petrus menjadi seorang pembujuk Yesus. Ia menghasut Yesus untuk tidak mengerjakan ketaatan-Nya terhadap kehendak Bapa. Bukankah hal ini sejajar dengan apa yang dilakukan si Iblis di padang gurun? Yesus menggunakan hardikan yang sama, baik di padang gurun maupun terhadap Petrus. Yesus pun akan menghardik kita, manakala kita menjadikan-Nya sarana pemenuhan ambisi kita!

 

Hardikan Yesus yang begitu keras itu mengungkapkan sikap-Nya terhadap penggoda yang dapat menggagalkan rencana penyelamatan Allah yang sedang dikerjakan-Nya. Kalau saja Yesus menuruti apa yang disarankan Petrus, Ia gagal melakukan kehendak Bapa untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Sebaliknya, bila Ia mau mewujudkan pengharapan orang Yahudi termasuk Petrus, Yesus akan mulia, dielu-elukan sebagai raja yang berkuasa. Ia akan terbebas dari penderitaan, tetapi gagal melakukan kehendak Bapa-Nya. 

 

Menghadapi godaan ini, Yesus berkata, “hupage opiso mou, satana!” LAI menerjemahkannya, “Enyahlah Iblis!” Barangkali lebih tepat, “Pergilah ke belakang-Ku, hai Penggoda!” Kalimat hardikan ini merupakan sebuah perintah keras kepada Petrus untuk mengikuti Yesus di belakang. Ya, sebagai murid posisinya bukan di depan tetapi mengikut di belakang. Petrus harus mengitkuti-Nya termasuk nantinya dalam penderitaan yang harus dijalaninya. Yesus menempatkan Petrus pada posisi yang sebenarnya: bukan ambisinya yang mau mengatur Tuhan, melainkan ia harus mau diatur. Petrus belum memahami benar tentang Mesias yang harus dijalani Yesus. Oleh karena itulah kita bisa memahami kalau Yesus melarang keras Petrus dan murid-murid lainnya memberitakan bahwa Ia mesias. Sebab, Petrus dan teman-temannya harus memahami utuh Mesias seperti apa yang sedang dijalani Yesus. Barulah setelah peristiwa kebangkitan Yesus Petrus dan murid-murid yang lain mengerti tentang Mesias itu.

 

“Apa katamu tentang Aku?” Pertanyaan ini juga ditujukan kepada kita. Tentu saja jawaban yang dikehendaki Yesus bukan sekedar menyenangkan untuk didengar atau mewakili ambisi kita. Jawaban itu harus berangkat dari pemahaman utuh mengenai apa yang dikerjakan Yesus. Jawaban itu seharusnya bukan berakhir dengan hardikan Yesus. Melainkan, pemahaman yang benar akan karya cinta kasih Kristus dan kita berada pada posisi “di belakang-Nya!”

 

Jakarta, 9 September 2021