Salah satu hasrat manusia adalah menjadi seorang pembesar atau terkemuka. Betapa tidak, seorang pembesar akan selalu mendapat perlakuan istimewa: pertama dan diutamakan. Kata Yunani protosmenggambarkan dengan tepat status dan perlakuan terhadap seorang pembesar. Protos, berarti “orang-orang terkemuka” (Markus 6:21). Penguasa, bangsawan, orang kaya, dan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat sering kali disebut protos. Protos juga dapat berarti “pertama” dalam arti urutan (pertama, kedua, ketiga, dst). Dengan demikian, orang-orang terkemuka akan selalu didahulukan, dipertamakan. Siapa sih yang tidak ingin menjadi protos? Status dan perlakuan yang istimewa inilah yang mendorong manusia dari segala tempat dan abad berlomba-lomba menjadi orang yang terkemuka.
Seorang pembesar atau terkemuka selalu ada tempat, meski harus menyingkirkan tempat orang lain. Di mana dan ke mana pun seorang pembesar akan selalu disambut. Ya, sambutan istimewa! Dalam pola pikir seperti inilah kita maklum kalau para murid pun tidak steril dari keinginan menjadi protos. Maka tidak mudah bagi mereka untuk memahami jalan derita dan pelayanan. Berulang Yesus mengingatkan jalan derita yang harus dilalui-Nya, alih-alih mereka mendengarkan suara-Nya, hasrat diri nyatanya lebih dominan. Bahkan, jika kita mengingat beberapa bulan lalu (dalam Minggu Transfigurasi) ditegaskan oleh suara surgawi sendiri bahwa para murid ini harus mendengarkan suara-Nya. Nyatanya, ketika mereka turun gunung, yang diingat adalah kemuliaan itu sehingga dalam perjalanan mereka bertikai memperebutkan siapa yang paling utama.
Yesus seolah mendiamkan pertikaian dalam perjalanan itu. Tetapi sesungguhnya tidak. Ia menggunakan-Nya sebagai bahan ajar. Lalu, sesampainya di rumah itu, Ia memeluk seorang anak kecil sambil mengatakan bahwa, “Barang siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barang siapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”(Markus 9:37). Yesus mengajarkan, alih-alih menjadi orang yang disambut, para murid harus menyambut siapa pun, terutama orang-orang yang paling sederhana, hina dan berada di tempat paling akhir.
Markus 9:30 mengisahkan perjalanan Yesus melintasi Galilea dengan tidak mau diketahui orang lain. Kemungkinan Yesus mengambil jalan melingkar, melalui ladang-ladang gandum. Apa tujuan Yesus melintasi Galilea itu? Pertanyaan ini timbul dalam hati orang yang tahu bahwa Yesus sedang dalam perjalanan menuju tempat lain. Akan tetapi, Dia tidak mau hal itu diketahui orang. Andai orang-orang tahu bahwa Yesus sedang bepergian ke tujuan baru di luar wilayah Galilea, kemungkinan besar segera mereka akan berbondong-bondong mengikuti-Nya, Yesus sudah populer sebagai pengajar dan penyembuh kala itu.
Dalam Yohanes 7: 1-13, mencatat bahwa saudara-saudara Yesus juga ingin supaya Dia mengembangkan kariernya dengan mencari ketenaran di kota besar, Yerusalem. Jelas pemikiran seperti itu keliru. Yesus menuju Yerusalem bukan untuk meningkatkan ketenaran, melainkan perjalanan yang menuju penyerahan dan maut. Itu harus terjadi - demikian pemberitahuan penderitaan yang pertama - dan itu akan terjadi, atas kerelaan Yesus sendiri (demikian pemberitahuan penderitaan yang kedua).
Dalam pengajaran-Nya kepada para murid (Markus 9:31), Yesus menjelaskan alasan yang membuat Dia merahasiakan tujuan perjalanan-Nya (meninggalkan Galilea menuju daerah lain) adalah untuk memenuhi ketaatan-Nya kepada Bapa. Ia (Anak Manusia) akan diserahkan ke tangan manusia: mereka akan membunuh Dia. Namun, Dia akan bangkit lagi dari antara orang mati. Maka perjalanan melintasi Galilea itudapat dikatakan perjalanan menuju maut. Karena itu, orang lain jangan sampai mengetahui tujuan perjalanan tersebut. Sebab, kehadiran mereka dapat menjadi penghalang.
Bagi para murid (Markus 9:32), perkataan Yesus itu gelap, “mereka tidak mengenal perkataan itu” (harafiah). Para murid buta akan maksud Yesus, kendati Yesus telah menjelaskannya kepada mereka. Kata-kata Yesus, tidak hanya kurang jelas bagi mereka, tetapi juga artinya sama sekali tersembunyi (Lukas 9:45). Jelaslah, bahwa hati manusia perlu dibuka supaya betul-betul mengenal rahasia Injil. Kebutaan para murid ini ditunjukkan dengan sibuk bertikai mengenai siapa yang paling terkemuka. Kita dapat menengarai penyebab kebutaan ini adalah ambisi atau hasrat yang menginginkan mereka menjadi protos.
Setelah rombongan Yesus tiba di Kapernaum dan berada di rumah, mungkin rumahnya Simon. Di situ Yesus bertanya, “Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” Pertanyaan inilah yang menjadi titik tolak pengajaran Yesus. Dia berada di Kapernaum untuk yang terakhir kalinya. Maka percakapan ini merupakan acara perpisahan di tempat tinggal sendiri. Yesus tidak datang ke Kapernaum untuk beristirahat. Dia sedang menuju Yerusalem - jalan penderitaan. Bagi Yesus, perjalanan menuju penderitaan-Nya adalah perkara paling utama.
Para murid membisu, tidak menjawab pertanyaan Yesus. Mereka tidak berani mengatakan bahwa pertengkaran mereka berkisar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka menyadari bahwa Sang Guru sanggup menyelidiki hati mereka. Tatapan mata dan pertanyaan Yesus sudah cukup menjadi teguran buat mereka bahwa pembicaraan mereka sama sekali di luar realitas Sang Guru.
Kini, Yesus “duduk” dan memanggil (phônein) murid-murid-Nya. Kata kerja “memanggil” tidak mengandung arti “memanggil atau mengundang orang menghadiri rapat (proskalein), tetapi memanggil orang dengan menyebut namanya. Undangan pribadi untuk tampil ke depan ini membuat hati mereka berdebar. Siapa di antara para murid yang paling besar? Pada saat pertanyaan itu hendak dibahas secara terbuka, ternyata Simon, Andreas, Yakobus, dan yang lainnya disuruh maju. Apakah kedua belas murid ini yang paling besar di antara semua murid-Nya?
Para murid terkejut, sekaligus penuh harap kalau-kalau dirinyalah yang dimaksudkan Yesus. Namun, betapa terkejutnya lagi, ketika Yesus mengatakan, “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaknya ia menjadi yang terakhir dari semua dan pelayan dari semuanya!” Kedua belas murid - dan juga orang-orang lain - ingin disebut sebagai orang yang utama, ingin berdiri di depan. Keinginan inilah yang melahirkan pertikaian para murid di perjalanan. Kalau kita meminjam catatan Yakobus (bacaan II), mereka bertikai karena sibuk memikirkan dan memperjuangkan kepentingan dan hawa nafsunya sendiri, bukan hikmat yang dari atas sehingga melahirkan kekacauan dan pertengkaran. Tetapi kini Yesus memutarbalikkan keinginan itu. Benar, ada tempat terhormat di dekat Yesus, tetapi tempat itu diduduki dia yang bersedia mengambil tempat paling rendah, tempat seorang pelayan yang tidak punya bawahan, yang menjadi “yang terakhir dari semuanya”, karena melayani dan menolong semuanya.
Ternyata, Yesus tidak memanggil satu pun dari kedua belas murid-Nya dengan maksud menjawab pertanyaan siapa di antara mereka yang terbesar. Yesus hanya memberi mereka keterangan mengenai jalan yang harus ditempuh untuk menjadi yang terbesar. Tetapi, Yesus tidak berhenti di situ. Ia menunjukkan tokoh terbesar.
Di tengah kelompok dua belas murid yang ingin menjadi terbesar, Ia menempatkan seorang anak kecil. Dipeluk-Nya anak itu. Bukan tanpa maksud begitu saja Yesus mendudukkan anak-anak kecil ke dalam kedudukan “orang besar”. Mereka (anak-anak kecil) adalah “yang paling kecil” - tubuhnya menunjukkan itu -, mereka juga belum mengerti apa-apa, belum punya kedudukan atau status apa pun. Dengan menempatkan seorang anak kecil di pusat, Yesus hendak menjelaskan perkataan-Nya mengenai “yang terakhir dari semuanya” dan “pelayan dari semuanya”.
Dengan menempatkan anak kecil itu di tengah-tengah para murid, Yesus lebih dahulu hendak menunjukkan kepada mereka tempat yang seharusnya mereka pilih, yakni tempat yang paling sederhana, yang paling hina, tempat seorang anak kecil yang belum punya status, belum berarti apa-apa, dan yang menurut pemahaman masyarakat luas belum masuk dalam hitungan. Sambil memeluk anak kecil itu, Yesus mengatakan, “Barang siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku, dan barang siapa menyambut Aku, bukan (hanya) Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”
Ucapan ini sulit untuk dipahami, terutama karena mau tidak mau ungkapan “menyambut” dan “dalam nama-Ku” sering dikaitkan dengan perkataan yang Yesus ucapkan pada waktu pengutusan kedua belas rasul (Markus 6:11; Matius 10:14, 40-41; Lukas 9:5; 10:8-10). Maka kita sering kali tertarik untuk menghubungkan perkataan Yesus dalam Markus 9:37 ini dengan cara umat Israel menyambut para murid. Di situ para murid yang mengemban tugas perutusan dari Yesus disambut.
Namun, yang menjadi pokok perhatian dalam Markus 9:37, bukan bagaimana para murid disambut atau diperlakukan. Itu yang mereka pikirkan sendiri : bagaimana kita akan disambut, dan siapa yang dinobatkan paling besar? Bukan itu! Sebaliknya, Yesus membelokkan (Jakob Van Bruggen), saya lebih suka memakai kata meluruskan. Jadi dalam hal ini, Yesus meluruskan pikiran dan perhatian mereka. Para murid tidak dipanggil untuk mengatur cara orang menyambut mereka, tetapi merekalah yang harus menyiapkan sambutan terhormat bagi orang lain. Masyarakat tidak harus melayani mereka, tetapi merekalah yang harus melayani masyarakat! Ini sama seperti, sebagaimana para hamba menantikan kedatangan tuan mereka dan sebagaimana para pelayan yang lebih rendah pangkatnya juga menantikan kedatangan anak-anak kecil, begitu pula para murid yang ingin menjadi terbesar harus siap menjadi pelayan bagi semua. Mereka bahkan harus bersedia untuk dalam nama Yesus menyambut (dan mengajar) anak-anak, yang belum punya arti apa-apa. Sama seperti Tuhan tidak merasa hina di depan mata para murid yang ingin terkemuka, begitu pula para murid seharusnya tidak merasa hina menerima dan menyambut siapa saja dalam nama Yesus.
Murid-murid Yesus, termasuk kita tidak dipanggil untuk berjalan di muka dan menerima penghormatan, tetapi untuk menyambut orang-orang yang paling kecil sekalipun dan menggendong mereka selaku pelayan. Dengan cara itulah seorang murid menjadi besar dalam kerajaan surga.
Jakarta, 17 September 2021