Kamis, 09 September 2021

APA KATAMU TENTANG AKU?

Apa katamu tentang aku? Kalimat tanya ini menginginkan jawaban yang berupa pendapat orang yang ditanya itu tentang dirinya. Sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara, sang kekasih meminta pendapat dari pacarnya tentang dirinya. Sudah dapat diduga akan mengalir dengan deras dari mulutnya puja dan puji. Hal ini, berbeda ketika pertanyaan serupa dilontarkan setelah sepasang suami-istri hidup bersama bertahun-tahun lamanya. Perbedaan itu setidaknya bahwa pendapat kita sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan pengharapan kita. Meski tidak mengabaikan juga pengenalan yang lebih mendalam.

 

Hal senada ditanyakan Yesus kepada para murid-Nya, “Tetapi, apa katamu, siapa Aku ini?”  Inilah kali pertama Yesus menantang murid-murid-Nya untuk menyampaikan pendapat mereka sendiri. Bukan kata orang! Tentu saja setelah sekian lama para murid bersama-sama dengan Yesus: tinggal bersama-Nya, mendengar pengajaran-Nya, dan menyaksikan apa yang diperbuat-Nya, setidaknya mereka punya pendapat sendiri yang tidak sekedar ikut-ikutan kata orang.

 

Petrus tampil dan menjawab, “Engkau adalah Mesias!” Mesias kata lain dari Kristus, berarti “Yang diurapi”. Dalam tradisi Perjanjian Lama, para imam dan raja-raja Israel diurapi dengan minyak (Keluaran 29:7,21; 1 Samuel 10:1). Hanya satu kali dalam Perjanjian Lama, ada nabi yang diurapi, yakni nabi Elisa (1 Raja-raja 19:16). Di luar itu, gelar mesias juga pernah disematkan untuk raja Koresh, raja Persia yang berperan dalam pembebasan orang Israel dari pembuangan di Babel (Yesaya 45:1).

 

Pemahaman mesias dalam Perjanjian baru erat kaitannya pada raja yang akan datang untuk mendirikan kembali kejayaan takhta Daud. Mesias adalah gelar resmi untuk tokoh utama yang dinanti-nantikan oleh orang Yahudi. Pengharapan ini rupanya telah berurat akar tidak terkecuali para murid Yesus. Dalam bingkai inilah Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias. Jelas ini berbeda dari apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Yesus. Yesus sedang menggenapi apa yang dikatakan dinubuatkan oleh nabi Yesaya. Mesias hamba yang menderita! 

 

Ya, Yesus adalah Mesias yang menapakinya dengan jalan menghamba. Ia tidak membuka mulut-Nya terhadap orang-orang yang menganiaya-Nya. Bahkan, dalam bacaan pertama hari ini (Yesaya 50:4-9) ketika Ia dipermalukan “orang-orang yang mencabut janggutku..” Ia diam. Tidak terbayang janggut - pada waktu itu dalam budaya Timur Tengah - yang melambangkan maskulinitas dicabut dan dihilangkan, menjadi tontonan di depan umum; ini sejajar dengan menampar pipi, meludahi dan menodai. Penghinaan!

 

Sikap diamnya sang hamba, di bagian lain sama seperti anak domba yang digiring ke tempat pembantaian untuk disembelih. Ketika diadili dengan tuduhan rekayasa pun tidak ada yang membela-Nya. Sesudah ditahan dan dijatuhi  keputusan yang tidak adil, Ia “diambil” untuk dijatuhi hukuman mati. Dalam kematian pun Sang Hamba masih tetap dihina: Ia dikuburkan di antara orang-orang jahat, sekalipun Ia sama sekali tidak termasuk di antara mereka. Derita yang dialami-Nya itu adalah hukuman yang seharusnya diperuntukan bagi orang-orang yang memberontak kepada Allah. Yesus sedang menapaki jalan itu. Jalan hamba yang menderita!

 

Jalan Mesias seperti inilah yang hendak Yesus sampaikan kepada orang banyak, khusus para murid-Nya. Namun, respons para murid yang diwakili oleh Petrus berbeda. Petrus - dapat dipastikan para murid yang lain - tidak dapat menerima. Penolakan Petrus disebabkan utamanya karena keinginannya menjadikan Yesus sesuai dengan ambisinya. Bukankah ada banyak di antara kita sama seperti orang banyak yang berbondong-bondong mencari dan mengikut Yesus karena ingin menyaksikan dan menikmati kehebatan-Nya? Bukankah kita juga sama seperti Petrus yang punya ambisi menjadikan Yesus sesuai dengan keinginan kita? Kita tidak rela untuk membiarkan Yesus berkarya sebagaimana Ia sendiri memenuhi kehendak Bapa-Nya. Kita tidak rela membiarkan Dia yang mengendalikan hidup kita, alih-alih kita yang suka mengatur diri-Nya.

 

Petrus tidak rela kalau Yesus menjadi Mesias yang menderita, ini tidak sesuai dengan konsepnya. Dalam mempertahankan ambisinya itu Petrus bahkan berani menarik Yesus ke samping dan menegur Yesus. “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Markus 8:33). Mengherankan Yesus menyebut Iblis dalam hardikannya terhadap Petrus. Kalimat hardikan ini mengingatkan kita pada peristiwa Yesus dicobai Iblis dalam tahap awal pelayanan-Nya. Dalam Injil Matius, ketika Yesus dicobai dikatakan bahwa Roh membawa-Nya ke padang gurun untuk dicobai Iblis (Matius 4;1). Dalam kisah itu Iblis disebut sebagai pencoba atau penggoda karena memang ia mencobai Yesus.

 

Iblis mencobai atau menggoda Yesus untuk mempergunakan kuasa-Nya demi kepentingan-Nya sendiri. Tetapi Yesus dengan tegas menolaknya. Yesus menghardik Iblis itu. Hari ini kita membaca hardikan yang sama terhadap Petrus. Petrus disebut Iblis bukan karena pada saat itu ia sedang dirasuki oleh Iblis, tetapi oleh karena apa yang dipikirkan dan dikatakannya itu merupakan aksi mencobai atau menggoda Yesus. Petrus mencegah Yesus untuk menempuh jalan sengsara - hal ini bagi Yesus sangat mungkin bahkan mudah! Yesus punya kapasitas untuk itu. Yesus sangat mungkin bisa memenuhi harapan Petrus, namun Ia tidak menggunakannya. 

 

Dengan ulahnya seperti itu, Petrus menjadi seorang pembujuk Yesus. Ia menghasut Yesus untuk tidak mengerjakan ketaatan-Nya terhadap kehendak Bapa. Bukankah hal ini sejajar dengan apa yang dilakukan si Iblis di padang gurun? Yesus menggunakan hardikan yang sama, baik di padang gurun maupun terhadap Petrus. Yesus pun akan menghardik kita, manakala kita menjadikan-Nya sarana pemenuhan ambisi kita!

 

Hardikan Yesus yang begitu keras itu mengungkapkan sikap-Nya terhadap penggoda yang dapat menggagalkan rencana penyelamatan Allah yang sedang dikerjakan-Nya. Kalau saja Yesus menuruti apa yang disarankan Petrus, Ia gagal melakukan kehendak Bapa untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Sebaliknya, bila Ia mau mewujudkan pengharapan orang Yahudi termasuk Petrus, Yesus akan mulia, dielu-elukan sebagai raja yang berkuasa. Ia akan terbebas dari penderitaan, tetapi gagal melakukan kehendak Bapa-Nya. 

 

Menghadapi godaan ini, Yesus berkata, “hupage opiso mou, satana!” LAI menerjemahkannya, “Enyahlah Iblis!” Barangkali lebih tepat, “Pergilah ke belakang-Ku, hai Penggoda!” Kalimat hardikan ini merupakan sebuah perintah keras kepada Petrus untuk mengikuti Yesus di belakang. Ya, sebagai murid posisinya bukan di depan tetapi mengikut di belakang. Petrus harus mengitkuti-Nya termasuk nantinya dalam penderitaan yang harus dijalaninya. Yesus menempatkan Petrus pada posisi yang sebenarnya: bukan ambisinya yang mau mengatur Tuhan, melainkan ia harus mau diatur. Petrus belum memahami benar tentang Mesias yang harus dijalani Yesus. Oleh karena itulah kita bisa memahami kalau Yesus melarang keras Petrus dan murid-murid lainnya memberitakan bahwa Ia mesias. Sebab, Petrus dan teman-temannya harus memahami utuh Mesias seperti apa yang sedang dijalani Yesus. Barulah setelah peristiwa kebangkitan Yesus Petrus dan murid-murid yang lain mengerti tentang Mesias itu.

 

“Apa katamu tentang Aku?” Pertanyaan ini juga ditujukan kepada kita. Tentu saja jawaban yang dikehendaki Yesus bukan sekedar menyenangkan untuk didengar atau mewakili ambisi kita. Jawaban itu harus berangkat dari pemahaman utuh mengenai apa yang dikerjakan Yesus. Jawaban itu seharusnya bukan berakhir dengan hardikan Yesus. Melainkan, pemahaman yang benar akan karya cinta kasih Kristus dan kita berada pada posisi “di belakang-Nya!”

 

Jakarta, 9 September 2021 

Kamis, 02 September 2021

KETABAHAN DALAM BERHARAP

Pernahkah Anda bertanya, “Mengapa orang yang punya bakat alami sering kali gagal mencapai potensi mereka, sementara orang lain yang tidak terlalu berbakat - biasa-biasa saja - justru bisa menggapai hal-hal yang menakjubkan?”

 

Angela Duckworth - seorang psikolog perintis - dalam bukunya setebal 400 halam lebih, GRIT: The Power of Passion and Perseverance, menunjukkan bahwa rahasia untuk pencapaian yang luar biasa bukanlah bakat, tetapi perpaduan istimewa antara Hasrat (passion) dan kegigihan (perseverance) yang ia sebut sebagai “ketabahan” (grit).

 

Berdasarkan penelitiannya melalui pelbagai metode, wawancara dengan orang-orang yang berprestasi tinggi, serta pengalamannya sendiri, Duckworth menunjukkan bahwa kecenderungan kita terpaku hanya pada bakat alam, itu salah: dari segi pencapaian, yang lebih penting adalah usaha yang kita lakukan dan reaksi kita terhadap hambatan yang terjadi dalam mencapai sesuatu. Kemudian Duckworth menjelaskan bahwa ketabahan itu bisa dipelajari sekaligus menawarkan rumusan baru bagi keberhasilan baik individu atau pun kesuksesan kolektif.

 

Tingkat ketabahan seseorang akan terlihat ketika ia berhadapan dengan tantangan atau kesulitan. Apakah ia cukup bertahan dan sanggup menghadapinya atau bertekuk lutut sambil mengeluh dan menyalahkan pihak atau orang lain? Paul G Stoltz menyebut daya tahan menghadapi tantangan itu dengan Adversity Quotient (AQ). Menurutnya ada tiga tingkatan kecerdasan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Tingkat pertama, Quiter adalah orang yang berhenti mencapai tujuan ketika kesulitan datang menghampirinya. Dia memutuskan berhenti dan menyerah. 

 

Kelompok kedua, Campers (sifat orang yang berkemah). Kelompok ini punya daya tahan yang sedang-sedang saja. Mereka puas dengan pencapaian yang selama ini diperolehnya. Kelompok ini tidak menyukai tantangan. Ibarat pendaki yang di tengah perjalanan enggan meneruskan mencapai puncak karena mereka lihat ada banyak kesulitan yang harus dilalui. Mereka memilih memasang tenda dan cukup berkemah di lereng gungung.

 

Kelompok terakhir adalah Climbers, sifat seorang pendaki gunung sejati. Climbers  adalah orang-orang yang memiliki AQ tinggi dengan kemampuan dan kecerdasannya untuk dapat menghadapi kesulitan. Mereka menjadikan kesulitan itu sebagai kesempatan merahi sesuatu yang bernilai tinggi.

 

Jika kita amati apa yang dikemukakan oleh Duckworth dan Stoltz bukan hanya terjadi di dunia science, bisnis, pendidikan, entrepreuner dan sejenisnya. Namun, bisa kita jumpai dalam kehidupan iman atau spiritualitas kita. Ada kelompok orang yang mulanya antusias menyambut mendengar firman Tuhan. Ia yakin sekali dengan imannya bahwa Tuhan mengasihi dan memanggilnya dalam ladang pelayanan. Namun, ketika tantangan menghadangnya, ada orang mempertanyakan dan mengkritik pelayanannya atau keinginan dalam doanya tidak terjawab, ia memilih untuk berhenti. Ya, bukan hanya berhenti dari pelayanan tetapi juga dari keanggotaan gereja bahkan memilih meninggalkan Tuhan! 

 

Ketabahan dan pengharapan adalah hal yang penting dalam kehidupan iman, bahkan ia merupakan ekspresi iman itu sendiri. Dalam bacaan pertama minggu ini, kita melihat sang nabi harus terus mengingatkan Israel untuk tidak berhenti dalam ketabahan dan berharap. Pembuangan memang menyakitkan namun ketika mereka mampu bertahan, mereka akan melihat pemulihan itu bakal terjadi. Sebentar lagi mereka akan melihat pemulihan itu terjadi. Yang diminta Sang Nabi hanya satu, bahwa umat TUHAN itu jangan tawar hati (Yes.35:4). Hal ini sangat berbeda kalau dibandingkan dengan perempuan Siro-Fenesia (bacaan ketiga). Kita dapat menemukan gambar ketabahan yang begitu baik ketika ia memerjuangkan pemulihan bagi anaknya. 

 

Tradisi teologi kita menyimpulkan bahwa pembuangan Israel ke Babel adalah bagian hukuman dari Allah. Padahal tidak serta-merta Allah menjatuhkan penghukuman. Pasti ada sebabnya. Dan, sebelum memberikan penghukuman itu, Allah melalui para nabi-Nya memberikan peringatan. Berulang kali peringatan itu tidak digubris dan akhirnya malapetaka itu tiba. Penghukuman Allah berlangsung, mereka hidup dalam pembuangan. Meski demikian, melalui para nabi-Nya – termasuk Yesaya – tidak hanya menyampaikan kabar duka; penghukuman. Tetapi juga kabar baik, yakni pemulihan. Hanya saja umat diajak untuk terus tabah menantikan zaman pemulihan itu.

 

Yesaya 35: 4-7 berada dalam konteks berita pemulihan. Sang Nabi berseru kepada mereka yang tidak hanya cemas dan tawar hati, melainkan juga putus asa bahkan lemah, lesu tiada pengharapan! Jika kita baca, ayat 5-10 merupakan puncak berita kenabian yang memandang ke masa depan orang-orang beriman. Pesan ini jelas-jelas memberikan penghiburan, harapan dan kesukaan yang unik dan luar biasa. Oleh karena itu sering para pakar menyimpulkan bahwa bagian ini merupakan penutup dari Yesaya I, yang pada intinya berita kabar baik (Injil) yang dapat membangkitkan iman dan harapan yang gemilang bagi umat yang sedang dalam penderitaan dalam konteks zamannya. Dari pihak umat hanya diminta adanya iman yang teguh, jangan bimbang dan takut serta terus tabah menanti pembebasan dan pelepasan dari belenggu penderitaan itu.

 

Tanda-tanda dari pemulihan itu menunjuk pada pemulihan yang nyata. Pertama-tama disebutkan kelepasan bagi golongan orang-orang dengan kelemahan fisik permanen dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi secara normal. Mereka diwakili oleh orang-orang buta, tuli, lumpuh dan bisu. Kelemahan-kelemahan fisik seperti itu menunjukkan keadaan manusia yang tidak berdaya sama sekali, selain hanya merindukan belas kasihan orang atau pihak lain. Kelepasan dari kelemahan fisik ini dipandang penting sekali. Mengapa? Ya, tentu saja karena mereka tidak bisa bergerak dengan leluasa. Pastilah untuk pemulihan itu Israel menanti dan berharap. Namun, seberapa tabah mereka hidup dalam pengharapan itu jelaslah ini merupakan perkara yang lain.

 

Relatif lama kurun waktu yang dijalani Israel kalau kita menghubungkan pewartaan Sang Nabi dengan penggenapannya melalui apa yang dilakukan oleh Yesus. Ada rentang waktu sekitar tujuh abad antara zaman Raja Ahas atau Hizkia di mana Sang Nabi bernubuat sampai kepada Yesus. Ya, tentu saja dalam kurun waktu yang panjang itu, Allah dengan pelbagai cara menghibur dan menguatkan.

 

Penggenapan pemulihan itu terjadi dalam karya Yesus. Mengapa kita yakin bahwa nubuat Nabi Yesaya ini sepenuhnya dinyatakan di dalam Yesus? Ya, karena kita melihat Yesus mengerjakan pemulihan itu dengan detil. Ia menyembuhkan banyak orang dengan kelemahan fisik yang pada zaman-Nya sulit untuk dikembalikan pada kondisi normal: buta dicelikkan, orang lumpuh berjalan, bisu dan tuli dibebaskan. Lengkap! Maka tidaklah mengherankan kalau karya-Nya dinanti banyak orang. Namun, meski demikian ada kelompok-kelompok Yahudi tidak bisa menerima-Nya. Alih-alih bersyukur atas penggenapan zaman baru yang sedang terjadi, mereka sibuk mencari celah untuk menolak dan menyingkirkan-Nya.

 

Yesus pergi ke daerah Tirus tepat setelah terjadi perdebatan sengit dengan sekelompok orang Farisi tentang adat istiadat Yahudi. Hengkangnya Yesus ke Tirus yang notabene daerah non-Yahudi dan di sana Ia menemukan seorang perempuan dengan keteguhan iman yang luar biasa.  Momen ini seolah mau mengkonfirmasi kebenaran ajaran-Nya bahwa bukan dengan menaati sejumlah peraturan seseorang itu disebut lebih saleh atau lebih beriman dan bisa mengatur keberpihakan Allah. Tidak! Melainkan seberapa teguhnya dia percaya dan mewujudkannya dalam sebuah tindakan. Hal ini ditampilkan dalam drama perjumpaan Yesus dengan seorang ibu yang berjuang agar anaknya yang kerasukan setan dapat dipulihkan oleh Yesus.

 

Semula Yesus berharap bahwa kedatangan-Nya ke Tirus tidak diketahui oleh banyak orang. Namun ternyata keberadaan-nya di sana tidak dapat dirahasiakan. Yesus menjadi seorang Guru dan penyembuh yang terkenal, bahkan sampai ke negeri “asing”. Berita kedatangan itu segera tersebar ke seluruh penjuru kota.  Di antara orang yang mendengar kedatangan-Nya, ada seorang perempuan Yunani keturunan Siro-Fenesia. Ini artinya, si perempuan itu tidak berkebangsaan Yunani, tetapi berkebudayaan Yunani. Anak perempuannya menderita akibat kerasukan roh jahat. 

 

Begitu mendengar kedatangan Yesus, Sang Ibu bergegas menemui-Nya. Sudah dapat diduga, ia telah banyak mendengar “kehebatan” Yesus sebagai seorang penyembuh. Tentu saja ia datang dengan penuh pengharapan bahwa Yesus akan menyembuhkan anaknya dengan mengusir roh jahat itu.

 

Apa yang terjadi ketika Sang Ibu ini menyampaikan pengharapannya? Yesus justru menjawabnya, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Terdengar kasar dan cenderung menolak. Apa arti sebenarnya dari ungkapan ini? Apakah Yesus benar-benar menghina perempuan itu dengan menyebutnya anjing? Apakah Dia benar-benar seperti kebanyakan orang-orang Yehudi yang memilah bahwa orang-orang di luar komunitas mereka sebagai orang-orang yang najis?

 

Bagi orang Yahudi, anjing termasuk binatang najis. Mereka tidakakan membiarkan anjing masuk ke rumahnya dan berbaring di bawah meja makan, sementara ia dan anak-anaknya sedang makan. Kalimat jawaban yang dilontarkan Yesus jelas tidak diambil dari konteks apalagi kebiasaan orang Yahudi, sebab pastilah mereka tidak akan makan sementara di dekatnya ada seekor anjing. Yesus seringkali menggunakan pengalaman atau tepatnya konteks budaya dari orang yang sedang diajak bicara dengan-Nya. 

 

Perempuan ini seorang Yunani berkebangsaan Siro-Fenisia. Perumpamaan yang diucapkan Yesus itu diambil dari kebiasaan orang Yunani – bukan Yahudi – yang menganggap anjing bukanlah binatang yang najis, melainkan peliharaan yang biasa ada di dalam rumah. Jadi, perempuan ini tentu saja tidak merasa terhina dan Yesus tidak bermaksud menghinanya.

 

Yesus pernah mengatakan bahwa Ia diutus untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang di antara orang Israel (Matius 15:24). Ia datang pertama-tama untuk orang Israel. Hal ini juga yang menjadi alasan bagi Paulus dalam pewartaannya mencari rumah ibadat orang Yahudi lebih dahulu. Kalau diterima ia mengajar di situ, kalau tidak ia pergi dan mengajar kepada orang-orang bukan Yahudi. Maksud perumpamaan yang Yesus sampaikan kepada Sang Ibu itu ialah: biarlah orang-orang Yahudi dahulu mengalami semua yang diwartakan Yesus, setelah itu barulah bangsa-bangsa yang lain. Masalahnya, apakah perempuan ini memahami soal bahwa Yesus harus datang untuk orang Israel lebih dahulu? Kemungkinan besar tidak! Tetapi kalau bicara soal rumah tangga dan keprihatinan terhadap anak, para ibu adalah ahlinya.

 

Perempuan itu menanggapi perumpamaan Yesus dalam arti praktis, bukan teologis. Ia menjawabnya, “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak” (ay.30). Ia memang menyampaikan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Benar bahwa orang tidak akan mengambil makanan yang disediakan untuk anak-anak dan memberikannya kepada anjing. Jika demikian, anak-anak tidakakan bisa makan, tetapi anjinglah yang akan makan dan kenyang. Hal seperti ini tidak pantas dilakukan; anak-anak yang harus didahulukan ketimbang anjing. Baru setelah mereka kenyang, sisa makanan bisa diberikan kepada anjing-anjing itu. Tetapi anjing di bawah meja memakan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.

 

Walaupun perempuan ini kemungkinan besar tidak memahami perumpamaan Yesus dalam konteks Yahudi, tetapi jelaslah ia menempatkan diri pada posisi “anjing”, dan dalam posisi seperti itu ia tidak merasa terhina. Ia menantikan dengan aktif kalau-kalau ada remah yang dijatuhkan oleh “anak-anak tuannya”. Ia sudah cukup puas menerima remah-remah itu. Remah-remah itu lebih dari cukup untuk memulihkan anaknya yang sedang menderita. Sang Ibu ini menunjukkan bukan hanya ia punya keyakinan dan pengharapan bahwa Yesus sangat mampu memulihkan kondisi anaknya, tetapi juga ia punya daya tahan atau dalam bahasa Paul G Stoltz sebagai Adversity Quotient  yang tinggi. Dampaknya, tidak lekas menyerah!

 

Bagi Yesus perkataan perempuan itu menunjukkan kepercayaan atau iman. Iman yang dinyatakan dalam tindakan yang tidak mudah menyerah. Iman yang menurut Yakobus terlihat dalam tindakan atau perbuatan, karena iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati. Dampaknya, luar biasa. Dasyat! Yesus mengatakan kepadanya bahwa setan telah keluar dari anaknya. Mendengar perkataan Yesus, perempuan itu segera pulang. Ia mendapati anaknya berbaring di tempat tidur dan tidak ada lagi setan yang merasukinya.

 

Bagaimana dengan iman kita? Setangguh ap akita tetap berharap kepada Tuhan khususnya dalam masa pandemik yang belum juga kunjung reda? Tabah, berserah dan terus berharap itulah yang memungkinkan kita dapat melihat secercah cahaya dalam kegelapan atau kehidupan di balik bayang-bayang kematian.



Jakarta, 2 September 2021