Jumat, 20 Agustus 2021

BERDERAP DALAM PERSEKUTUAN KASIH DAN KARYA

Membaca kalimat tema Minggu ini dalam kaitannya dengan HUT Penyatuan GKI ke-33 mengingatkan kita pada nyanyian himne GKI ciptaan H. Abdi Widhyadi yang terekam dalam NKB 230, “Berderaplah Satu!” Himne ini mengajak kita semua, warga GKI untuk bersatu padu bukan mengangkat senjata, melainkan bahu-membahu memperjuangkan kasih Allah dalam konteks Indonesia.

 

            Kristus adalah Kepala G’reja-Nya

            Roh-Nya pun tetap membimbing umat-Nya.

            Berbarislah utuh, bersatulah teguh,

            hai seluruh Gereja Kristen Indonesia!

 

Berderap adalah kata kerja yang berasal dari kata derap. Berderap dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan yang bukan statis, melainkan dinamis penuh antusias. Berderap dalam persekutuan menandakan bahwa gerak dinamis itu bukan asal-asalan atau mau-maunya sendiri, namun dalam kebersamaan. Kebersamaan yang dimaksud tentu saja bukan dalam arti keseragaman yang mengharuskan segala sesuatunya mesti sama. Bukan! Berderap dalam persekutuan justru mengingatkan kita akan adanya banyak karunia, talenta, ekspresi, latar belakang, suku, budaya dan lain sebagainya menyatu dalam persekutuan indah untuk menghasilkan kasih dan karya nyata dalam konteks keindonesiaan. Persekutuan yang kreatif ini seperti persekutuan Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Ketiga-Nya satu namun punya keunikan, ekspresi dan karya yang berbeda. Ketiga-Nya saling berbagi memberi ruang dan mengisi ruang demi menyatakan kasih-Nya kepada dunia ini.

 

Yesus memasukkan kita ke dalam suatu misteri, rahasia yang akan menjadi jelas ketika kita sudah masuk di dalamnya. Yesus menyatakan kepada kita, bahwa hubungan kita dengan diri-Nya adalah relasi yang saling tinggal “Aku di dalam kamu dan kamu di dalam Aku”. Relasi ini ibarat pokok dan ranting pohon anggur. Ranting hanya dapat berbuah kalau ia tinggal atau menempel terus-menerus dengan pokoknya. Ketika terlepas, ia akan mati lalu dibuang dan dibakar. Yesus memasukkan kita kepada relasi saling tinggal sama seperti diri-Nya dengan Sang Bapa dan Roh Kudus. Hubungan-Nya dengan Bapa akan menjadi sumber hubungan kita dengan Dia, yang satu mengalir dari yang lain. “Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barang siapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yohanes 6:57).

 

Kita dipanggil untuk menjadi seperti Yesus, menjadi sahabat-sahabat-Nya yang terkasih dan dengan demikian menjadi anak-anak Bapa yang terkasih. Makanan yang dimaksudkan oleh Yesus adalah kehadiran-Nya yang nyata dalam diri kita. Di mana ketika Ia menjadi nyata dalam hati kita, maka kita akan sungguh-sungguh menghidupi karya kasih Kristus: cinta-Nya bagi dunia ini! 

 

Ia mengajak kita untuk merasakan lapar dan haus akan kehadiran kasih-Nya yang nyata. Tidak mengherankan kalau orang-orang kemudian bereaksi terhadap Yesus dan berkata, “Ini tidak mungkin! Perkataan ini keras! Ini ide gila! Dan lihatlah sebagian besar dari mereka, termasuk murid-murid-Nya mulai mengundurkan diri.

 

Sekelompok orang yang disebut “banyak dari murid-murid-Nya” ini dibedakan dari kelompok lebih besar, yakni orang-orang Yahudi. Namun, ada juga kelompok kecil, yakni dua belas murid. Jadi yang dimaksud banyak dari murid-murid-Nya mulai mengundurkan diri adalah kelompok yang bukan dua belas murid inti. Banyak dari murid-murid-Nya ini adalah mereka yang telah melihat tanda pemberian roti dan penyataan diri Yesus di atas danau dan mendengar pengajaran-Nya, tetapi mereka tidak lagi dapat menahan perkataan-Nya.

 

Perkataan manakah yang dimaksud? Sungut-sungut kelompok para murid itu muncul seketika setelah mendengar perkataan Yesus tentang perlunya makan daging diri-Nya untuk memperoleh hidup yang kekal (Yohanes 6:51-58). Namun, kalau perkataan itu yang dimaksud, maka ada kejanggalan dalam jawaban Yesus dalam ayat 63, “Daging sama sekali tidak berguna” ini tidak sejalan dengan perkataan-Nya tentang “makan daging-Ku”.

 

Sebetulnya gerutu murid-murid yang kemudian meninggalkan Yesus sesungguhnya menyangkut perkataan Yesus dalam ayat 48-50 yang menyatakan bahwa Ia adalah roti dari surga. Gerutu mereka mungkin mencerminkan gerutu sejumlah anggota jemaat Yohanes yang sulit menerima ajaran Yesus. Ajaran Yesus dalam Injil Yohanes dengan klaim-Nya yang sangat tinggi bahwa Ia adalah roti dari surga yang memberi hidup kekal, tidak hanya sulit diterima oleh orang Yahudi yang berpegang pada Taurat dan manna yang diberi oleh Musa, tetapi juga oleh sebagian murid Yesus. Mereka ini - dari dulu sampai sekarang - mudah menerima keistimewaan Yesus sebagai Guru, Nabi, dan tokoh Mesianik tetapi lebih sulit mengimani bahwa Ia berasal dari Allah, peran-Nya sebagai Juruselamat dunia, dan keunikan ajaran-Nya yang memberikan hidup kekal. Apalagi bila diminta untuk percaya bahwa Yesus adalah roti hidup dan memberikan semuanya itu melalui kematian-Nya di kayu salib.

 

Hal ini serupa, bagi kebanyakan orang, mereka menginginkan Yesus melakukan hal-hal yang baik bagi dunia: menyembuhkan yang sakit, mengusir setan, dan membuat pelbagai mukjizat. Namun justru sebaliknya, Yesus menghendaki agar para murid-Nyalah yang kelak diutus untuk melakukan karya kasih dalam tindakan konkrit bagi dunia. Yesus mengutus para murid-Nya dengan kekuatan Roh Kudus untuk memberi makan kepada mereka yang miskin dan lapar, berjuang bagi keadilan dan perdamaian, untuk hadir bagi mereka yang kesepian, tertindas dan menderita, untuk menyatakan kepada mereka yang berduka suatu kabar suka cita, mewartakan kepada mereka bahwa mereka dikasihi Allah. Yesus rupanya begitu sedih, karena banyak orang kemudian meninggalkan Dia dan menolak rahasia kasih-Nya.

 

Yesus yang melihat kebingungan kedua belas murid itu berkata, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”

 

Simon menjawab dengan antusias, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

 

Inilah pertama kalinya kita mendengar dari kedua belas rasul yang telah dipilih Yesus, mendirikan yang sekarang kita sebut Gereja. Mungkin karena mereka telah mengalami mukjizat yang dilakukan Yesus untuk mereka sendiri di danau itu, sehingga mereka menemukan kekuatan untuk berderap mengayunkan langkah dan percaya pada kata-kata Yesus.

Pasal 6 dari Injil Yohanes ini sangat menarik. Pasal ini diawali dengan banyak orang berbondong-bondong mengikuti Yesus dan pada penghujung pasal ini berakhir dengan sedih: mulai saat itu, banyak orang mengundurkan diri. Mereka yang mengundurkan diri adalah mereka yang ingin mengikuti Yesus yang berkuasa, Sang pembuat mukjizat, yang akan memperbaiki keadaan. Bukan Yesus yang ingin mengasihi kita dan menjadi sahabat kita, dengan tinggal dalam diri kita. Mereka yang meninggalkan Yesus adalah orang-orang yang tidak mau diberdayakan untuk suatu karya cinta kasih bagi sesama dan dunia ini. Mereka yang mengundurkan diri adalah orang-orang yang tidak mau berderap dalam persekutuan cinta kasih dengan-Nya lalu memberikan diri mereka untuk mencintai dunia ini.

 

Pada saat ini, sebagai gereja, marilah kita berefleksi: Apakah kita merupakan bagian dari kelompok yang berbondong-bondong dan kemudian mengundurkan diri? Ataukah kita bagian dari pernyataan Simon, yakni yang sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus Kristus adalah yang kudus dari Allah dan siap diutus dalam derap yang sama untuk menyatakan cinta kasih dalam karya nyata?

 

Selamat Ulang Tahun GKI ke-33

 

Jakarta, 20 Agustus 2021

Jumat, 13 Agustus 2021

MAKANAN DAN MINUMAN SEJATI

James B Smith, seorang pendeta muda melawat seorang yang benar-benar memintanya untuk dikunjungi. Enam hari berturut-turut James menjadi teman diskusinya. Pada hari terakhir terungkaplah bahwa Ben Jacobs merasakan kehidupannya selama ini hampa dan apa yang ia cari sama sekali tidak punya makna bagi kehidupannya.

 

“Saya lahir pada 1910,” Ben memulai membuka kehidupan pribadinya, “Saya sudah berpenghasilan satu juta dolar sejak 1935. Pada waktu itu saya baru berusia 25 tahun. Ketika berusia 40 tahun, saya adalah orang terkaya di negara bagian saya. Para politikus ingin bertemu dengan saya. Saya berbohong, mencurangi dan mencuri dari siapa pun yang saya bisa. Motto hidup saya sederhana: ambil semua dari yang kamu bisa, dari siapa pun yang kamu bisa. Saya mengumpulkan kekayaan, dan semua orang kagum dengan saya. Saya punya kekuasaan pada waktu itu. Saya memiliki 2000 pekerja, dan mereka semua menghormati atau takut dengan saya. Semua yang saya pedulikan adalah uang. Saya memiliki tiga istri, mereka semua meninggalkan saya karena mereka tidak diperhatikan atau karena mereka menangkap basah saya sedang berselingkuh. Saya memiliki seorang putri yang kini berusia empat puluh tahun, namun dia tidak ingin menemui saya. Saya rasa, saya menghancurkan hidup saya sendiri, karena pada saat ini saya tidak punya apa-apa lagi. Oh, iya saya masih punya banyak uang. Saya masih memiliki banyak uang lebih dari yang saya sanggup habiskan. Namun, uang tersebut tidak dapat memberikan kebahagiaan. Saya duduk di sini setiap hari, menunggu kematian!”

 

Tidak ada seorang pun yang mencari kehidupan yang garing, tidak bergairah, membosankan dan tidak bermakna. Kita semua ingin bahagia termasuk Ben Jacobs. Ben mengejar kebahagiaan, sukacita, kedamaian dan kemakmuran, sama seperti yang dilakukan oleh semua orang. Ben punya konsep sendiri untuk menjadi bahagia dan dipuaskan. Sayang, konsepnya itu tidak menolong mencapai tujuan. Ibarat makanan dan minuman, apa yang dimakan tidak mengenyangkannya dan apa yang diminum tidak menghilangkan dahaganya.

 

Lalu, adakah makanan yang benar-benar “mengenyangkan” dan minuman yang benar-benar menghapus “dahaga”? Ada! Yesus pernah menyatakannya, “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yohanes 6:54). 

 

Kata-kata ini rasanya tidak dapat dipercaya. Apa artinya? Bagi orang Israel, daging dan darah seseorang sama dengan pribadi orang itu seutuhnya. Kalau Yesus memisahkan daging dan darah Ia menunjukkan kematian-Nya. Ia datang sebagai Anak Domba Allah yang akan memberikan diri-Nya menjadi korban Paskah. Yesus menawarkan kepada kita suatu relasi baru dengan diri-Nya yang amat pribadi dan begitu dekat. Relasi itu akan membawa kita masuk ke dalam hidup Allah dan memberi makan kepada hidup kita. Relasi ini akan membuat kita tinggal dalam Yesus dan Yesus tinggal dalam diri kita.

 

Membiarkan Yesus tinggal dalam diri kita berarti bahwa kita sudah membersihkan rumah hati kita untuk memberi ruang bagi-Nya sehingga Ia dapat tinggal dalam diri kita. Kita tidak dipenuhi oleh diri kita sendiri, dalam arti: kita tidak dipenuhi oleh keinginan egosentrisme kita sendiri karena kita telah memberi ruang bagi Sang Roti Hidup itu. Bayangkan, jika Anda ditawari makanan yang lezat, namun perut Anda telah terisi dengan makanan, maka sulit bagi perut Anda untuk menampung makanan itu apalagi menikmatinya. Menyantap Roti Hidup, Yesus Kristus, berarti Anda dan saya bersedia memberi ruang hati kita dipenuhi oleh-Nya. Di sinilah kita tidak lagi dipenuhi oleh diri kita sendiri, di sinilah kita bakal menemukan kegembiraan dengan berada dan hidup bersama Yesus.

 

Yesus bukan hanya roti kehidupan bukan saja dengan sabda dan pengajaran-pengajaran-Nya Ia memberikan kita makanan. Ia juga memberikan kehidupan dalam dan melalui pribadi-Nya, kehadiran-Nya yang menjelma; kehadiran dan pengorbanan-Nya yang nyata. Inilah makanan dan minuman istimewa; makanan dan minuman yang sejati, yaitu pribadi-Nya sendiri, darah dan daging-Nya hadir bagi kita. Dia memberikan diri-Nya untuk kita!

 

Yesus adalah roti hidup bukan hanya dalam arti kiasan umum, bahwa perkataan dan pekerjaan-Nya sebagai utusan Bapa memberikan hidup kekal bagi orang yang percaya kepada-Nya, tetapi juga dalam arti khusus, yakni bahwa daging-Nya yang diserahkan di salib dan darah-Nya yang tertumpah di Golgota untuk hidup dunia, benar-benar makanan dan minuman yang perlu diterima dalam perjamuan Tuhan. Dalam Perjamuan Kudus kita selalu diingatkan bahwa kita diberi bagian dalam hidup Yesus, yakni persekutuan dengan tubuh dan darah-Nya. Yesus, Firman Allah yang menjadi manusia (daging), hendaklah diterima sebagai manusia berdarah dan berdaging yang menyerahkan daging dan mencurahkan darah-Nya untuk hidup dunia. Dalam hubungan dengan Yesus yang nyata itu, kita diberi bagian dalam hidup ilahi yang Yesus terima dari Bapa.

 

Yesus ingin membagikan persekutuan yang indah dengan Bapa kepada kita. Sama seperti Ia memperoleh kehidupan dari Bapa (Yoh.6:57) artinya: mengenal Bapa dengan utuh. Ia juga ingin agar setiap orang punya relasi kasih itu dengan utuh. Caranya dengan memakan Roti Hidup itu. Dengan begitu, setiap orang yang menikmatinya akan menjalankan tugas kesaksian dengan baik dan dengan ucapan syukur, bukan sebagai beban. Layaknya seperti Yesus yang diutus oleh Bapa-Nya. Dalam kondisi seperti inilah makanan dan minuman yang diberikan Yesus akan mampu menopang kehidupan kita.

 

Menikmati Roti Hidup dan Air Hidup akan membuat kita hidup tidak untuk diri sendiri. Hidup kita diubah-Nya untuk menjadi berkat bagi banyak orang. Kita akan dipuaskan dan merasa cukup dengan apa yang Tuhan berikan kepada kita. Kita akan bersyukur dan tidak menjadi orang-orang yang selalu “lapar” dan “dahaga” dengan keinginan-keinginan duniawi kita. Dalam hal inilah Roti Hidup itu membuat kita benar-benar hidup sebagai manusia yang adalah gambar Allah. Air Hidup itu akan mengalir dalam diri kita menjadi berkat yang menyegarkan bagi orang-orang yang ada di sekitar kita. Meski dunia memuja kekayaan dan kekuasaan, namun percayalah ketika kita makan makanan dan minum minuman yang sejati kita tidak akan mengalami kehidupan seperti Ben Jakobs dan semua orang yang menggantungkan kebahagiaan pada makanan dan minuman duniawi, yakni harta benda dan kekuasaan.

 

Jakarta, 13 Agustus 2021