Jumat, 13 Agustus 2021

MAKANAN DAN MINUMAN SEJATI

James B Smith, seorang pendeta muda melawat seorang yang benar-benar memintanya untuk dikunjungi. Enam hari berturut-turut James menjadi teman diskusinya. Pada hari terakhir terungkaplah bahwa Ben Jacobs merasakan kehidupannya selama ini hampa dan apa yang ia cari sama sekali tidak punya makna bagi kehidupannya.

 

“Saya lahir pada 1910,” Ben memulai membuka kehidupan pribadinya, “Saya sudah berpenghasilan satu juta dolar sejak 1935. Pada waktu itu saya baru berusia 25 tahun. Ketika berusia 40 tahun, saya adalah orang terkaya di negara bagian saya. Para politikus ingin bertemu dengan saya. Saya berbohong, mencurangi dan mencuri dari siapa pun yang saya bisa. Motto hidup saya sederhana: ambil semua dari yang kamu bisa, dari siapa pun yang kamu bisa. Saya mengumpulkan kekayaan, dan semua orang kagum dengan saya. Saya punya kekuasaan pada waktu itu. Saya memiliki 2000 pekerja, dan mereka semua menghormati atau takut dengan saya. Semua yang saya pedulikan adalah uang. Saya memiliki tiga istri, mereka semua meninggalkan saya karena mereka tidak diperhatikan atau karena mereka menangkap basah saya sedang berselingkuh. Saya memiliki seorang putri yang kini berusia empat puluh tahun, namun dia tidak ingin menemui saya. Saya rasa, saya menghancurkan hidup saya sendiri, karena pada saat ini saya tidak punya apa-apa lagi. Oh, iya saya masih punya banyak uang. Saya masih memiliki banyak uang lebih dari yang saya sanggup habiskan. Namun, uang tersebut tidak dapat memberikan kebahagiaan. Saya duduk di sini setiap hari, menunggu kematian!”

 

Tidak ada seorang pun yang mencari kehidupan yang garing, tidak bergairah, membosankan dan tidak bermakna. Kita semua ingin bahagia termasuk Ben Jacobs. Ben mengejar kebahagiaan, sukacita, kedamaian dan kemakmuran, sama seperti yang dilakukan oleh semua orang. Ben punya konsep sendiri untuk menjadi bahagia dan dipuaskan. Sayang, konsepnya itu tidak menolong mencapai tujuan. Ibarat makanan dan minuman, apa yang dimakan tidak mengenyangkannya dan apa yang diminum tidak menghilangkan dahaganya.

 

Lalu, adakah makanan yang benar-benar “mengenyangkan” dan minuman yang benar-benar menghapus “dahaga”? Ada! Yesus pernah menyatakannya, “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yohanes 6:54). 

 

Kata-kata ini rasanya tidak dapat dipercaya. Apa artinya? Bagi orang Israel, daging dan darah seseorang sama dengan pribadi orang itu seutuhnya. Kalau Yesus memisahkan daging dan darah Ia menunjukkan kematian-Nya. Ia datang sebagai Anak Domba Allah yang akan memberikan diri-Nya menjadi korban Paskah. Yesus menawarkan kepada kita suatu relasi baru dengan diri-Nya yang amat pribadi dan begitu dekat. Relasi itu akan membawa kita masuk ke dalam hidup Allah dan memberi makan kepada hidup kita. Relasi ini akan membuat kita tinggal dalam Yesus dan Yesus tinggal dalam diri kita.

 

Membiarkan Yesus tinggal dalam diri kita berarti bahwa kita sudah membersihkan rumah hati kita untuk memberi ruang bagi-Nya sehingga Ia dapat tinggal dalam diri kita. Kita tidak dipenuhi oleh diri kita sendiri, dalam arti: kita tidak dipenuhi oleh keinginan egosentrisme kita sendiri karena kita telah memberi ruang bagi Sang Roti Hidup itu. Bayangkan, jika Anda ditawari makanan yang lezat, namun perut Anda telah terisi dengan makanan, maka sulit bagi perut Anda untuk menampung makanan itu apalagi menikmatinya. Menyantap Roti Hidup, Yesus Kristus, berarti Anda dan saya bersedia memberi ruang hati kita dipenuhi oleh-Nya. Di sinilah kita tidak lagi dipenuhi oleh diri kita sendiri, di sinilah kita bakal menemukan kegembiraan dengan berada dan hidup bersama Yesus.

 

Yesus bukan hanya roti kehidupan bukan saja dengan sabda dan pengajaran-pengajaran-Nya Ia memberikan kita makanan. Ia juga memberikan kehidupan dalam dan melalui pribadi-Nya, kehadiran-Nya yang menjelma; kehadiran dan pengorbanan-Nya yang nyata. Inilah makanan dan minuman istimewa; makanan dan minuman yang sejati, yaitu pribadi-Nya sendiri, darah dan daging-Nya hadir bagi kita. Dia memberikan diri-Nya untuk kita!

 

Yesus adalah roti hidup bukan hanya dalam arti kiasan umum, bahwa perkataan dan pekerjaan-Nya sebagai utusan Bapa memberikan hidup kekal bagi orang yang percaya kepada-Nya, tetapi juga dalam arti khusus, yakni bahwa daging-Nya yang diserahkan di salib dan darah-Nya yang tertumpah di Golgota untuk hidup dunia, benar-benar makanan dan minuman yang perlu diterima dalam perjamuan Tuhan. Dalam Perjamuan Kudus kita selalu diingatkan bahwa kita diberi bagian dalam hidup Yesus, yakni persekutuan dengan tubuh dan darah-Nya. Yesus, Firman Allah yang menjadi manusia (daging), hendaklah diterima sebagai manusia berdarah dan berdaging yang menyerahkan daging dan mencurahkan darah-Nya untuk hidup dunia. Dalam hubungan dengan Yesus yang nyata itu, kita diberi bagian dalam hidup ilahi yang Yesus terima dari Bapa.

 

Yesus ingin membagikan persekutuan yang indah dengan Bapa kepada kita. Sama seperti Ia memperoleh kehidupan dari Bapa (Yoh.6:57) artinya: mengenal Bapa dengan utuh. Ia juga ingin agar setiap orang punya relasi kasih itu dengan utuh. Caranya dengan memakan Roti Hidup itu. Dengan begitu, setiap orang yang menikmatinya akan menjalankan tugas kesaksian dengan baik dan dengan ucapan syukur, bukan sebagai beban. Layaknya seperti Yesus yang diutus oleh Bapa-Nya. Dalam kondisi seperti inilah makanan dan minuman yang diberikan Yesus akan mampu menopang kehidupan kita.

 

Menikmati Roti Hidup dan Air Hidup akan membuat kita hidup tidak untuk diri sendiri. Hidup kita diubah-Nya untuk menjadi berkat bagi banyak orang. Kita akan dipuaskan dan merasa cukup dengan apa yang Tuhan berikan kepada kita. Kita akan bersyukur dan tidak menjadi orang-orang yang selalu “lapar” dan “dahaga” dengan keinginan-keinginan duniawi kita. Dalam hal inilah Roti Hidup itu membuat kita benar-benar hidup sebagai manusia yang adalah gambar Allah. Air Hidup itu akan mengalir dalam diri kita menjadi berkat yang menyegarkan bagi orang-orang yang ada di sekitar kita. Meski dunia memuja kekayaan dan kekuasaan, namun percayalah ketika kita makan makanan dan minum minuman yang sejati kita tidak akan mengalami kehidupan seperti Ben Jakobs dan semua orang yang menggantungkan kebahagiaan pada makanan dan minuman duniawi, yakni harta benda dan kekuasaan.

 

Jakarta, 13 Agustus 2021

Jumat, 06 Agustus 2021

ROTI YANG MENGHIDUPKAN

Roti, mengisyaratkan makanan. Benar untuk konteks kita, roti bukanlah makanan pokok seperti beras atau nasi. Roti lazim disantap sebagai camilan. “Manusia hidup bukan dari roti saja..,” demikian Yesus pernah membuat pernyataan. Artinya, manusia hidup bukan dari makanan jasmani saja, melainkan ada unsur-unsur lain, utamanya Firman Allah. Meskipun begitu, pernyataan Yesus ini menyiratkan bahwa roti atau makanan tetap penting. Ya, penting untuk kelangsungan hidup manusia. Bukankah setiap makhluk hidup membutuhkan makanan? Anda bisa membayangkan andai kata setiap orang tidak lagi perlu makanan dan minuman!

 

Allah, Sang Pencipta kehidupan tentu saja sangat peduli dengan setiap makhluk ciptaan-Nya. Masing-masing ada “menunya” sendiri, ada jam makan dan kapasitas menyantap makanan. Namun, dari semua makhluk, hanya manusialah yang memakan segalanya. Manusia melahap ayam dari telur, daging, kepala, usus, ati, ampela, sampai ceker. Manusia menyantap sapi tidak hanya dagingnya, ini pasti Anda lebih tahu. Manusia melahap sayur, buah, biji-bijian, bahkan sesamanya! Hewan akan berhenti menyantap makanan jika ia telah kenyang. Namun, manusia punya kecenderungan memanjakan kepuasan lidahnya. Akibatnya, ia tidak akan berhenti, walau perut sudah cukup terisi.

 

Dalam hal inilah kita melihat bahwa manusia yang dilengkapi akal budi sering kali tidak bisa mengendalikan keinginannya. Itulah yang membuat manusia terus merasa “lapar” dan akibatnya tak henti-henti berusaha memuaskan dirinya. Bila makanan seperti itu tidak dapat memuaskan kebutuhan manusia, lalu apa yang dapat memenuhinya? Yesus menjawab, “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, Ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” (Yohanes 6:35).

 

“Akulah roti yang turun dari sorga!” Yesus menyatakan diri-Nya di hadapan orang-orang Yahudi. Meskipun Yesus telah membuat mukjizat dengan memberi mereka makan, lalu mereka hendak menjadikan Yesus Raja dan mereka juga meminta-Nya roti dari sorga, tetapi ketika Yesus menyatakan diri-Nya “Akulah roti dari sorga” dengan tegas mereka menolak. Sebab bukan itu yang menurut mereka dapat memuaskan diri mereka! Apalagi mereka tahu asal-usul Yesus sebagai tukang kayu yang meneruskan pekerjaan bapak-Nya, Yusuf. Yang mereka tahu, Yesus bukan dari sorga, melainkan anak Yusuf dan Maria dari Nazaret.

 

Penolakan mereka secara hakiki bukan hanya karena asal-usul-Nya. Toh, sebelumnya Ia sudah banyak mengajar dan menjelaskan kepada mereka dalam pelbagai metode. Tetapi tampaknya keinginan mereka untuk pemuasan diri begitu kuat ketimbang bersedia mendengar dengan sungguh apa yang Yesus katakan. Penolakan mereka terhadap asal-usul sorgawi Yesus dan segala bentuk pengajaran-Nya merupakan pemberontakan terhadap Allah sendiri. Ini percis seperti apa yang dilakukan nenek moyang mereka di padang gurun ketika mereka menerima manna, makanan sorgawi itu. Mereka tetap memberontak, melawan Musa yang dipercayakan Allah untuk memimpin mereka menuju tanah perjanjian.

 

Di hadapan orang Yahudi yang menolak-Nya, Yesus menegaskan kembali bahwa Ia diutus oleh Bapa, dan datang dari Allah untuk menyatakan rahasia Bapa. Dengan percaya kepada-Nya, orang mendapat bagian dalam kehidupan ilahi yang kekal. Hidup kekal itu bukan hanya dipahami kehidupan di seberang kematian; akhirat. Tetapi juga hidup yang sudah diberikan di dunia ini kepada orang yang percaya kepada-Nya sebagai roti kehidupan yang memberi hidup ilahi mulai dari sekarang dan kepenuhannya pada saat kebangkitan.

 

Tès zōès, “roti kehidupan”, yang artinya: “roti yang memberi hidup”, Yesus adalah roti yang memberi hidup atau “makanan” yang menghidupkan! Jelas bukan seperti manna, roti di padang gurun yang memelihara kehidupan jasmani umat Allah dalam pengembaraan mereka. Yesus adalah roti yang menghidupkan, orang yang makan dari roti ini tidak akan mati tetapi hidup selama-lamanya. Yesus yang berasal dari Bapa dan hidup oleh Dia, memberi hidup yang kekal kepada mereka yang makan dari roti itu yang tidak lain adalah diri-Nya sendiri. 

 

“Memakan” roti yang menghidupkan itu, tentu saja merupakan kiasan yang bermakna percaya kepada Yesus sebagai firman yang menyatakan Bapa. Percaya bukan sekedar berucap dan mengangguk, melainkan menghidupi semua apa yang diajarkan dan diteladankan Yesus. Sama seperti kita percaya bahwa rasa lapar dan kebutuhan tubuh kita dapat dipuaskan dengan makan. Sampai di sini, tentu saja makanan tersebut tidak akan membuat lapar menjadi kenyang. Hanya ketika tangan bergerak lalu mulut terbuka dan mengunyah, selanjutnya kita menelannya, barulah makanan itu berfungsi memenuhi kebutuhan tubuh kita. “Memakan” roti yang menghidupkan itu bukan hanya sekedar percaya akan kuasa dan pengajaran Yesus, melainkan kita harus mengambil bagian, menghidupi dan melakukannya, menjadikannya sebagai pedoman dan jalan kehidupan. Barulah roti dari sorga itu benar-benar menghidupkan.

 

Roti itu akan menghidupkan kita dari kematian akibat dosa. Roti itu akan menghentikan kerakusan dan keegoisan yang telah merusak relasi dan menebar kematian. Betapa tidak, orang yang benar-benar menikmati roti sorgawi itu akan percaya dan melakukan apa yang Yesus ajarkan, jelaslah dampaknya akan ada kehidupan harmonis, cinta yang tulus dan damai sejahtera akan tercipta. Bukankah ini kehidupan yang menjadi kebutuhan setiap orang?

 

Roti yang menghidupkan itu menyatakan diri-Nya: Roti itu adalah daging-Nya sendiri. Kanibal? Bukan! Daging-Nya akan diberikan untuk kehidupan dunia ketika Ia ditinggikan di atas kayu salib. “Roti yang akan Kuberikan ialah daging-Ku untuk hidup dunia”. Itulah pengorbanan-Nya. Yesus telah memberikan-Nya, Ia telah menjadi penebusan bagi dunia agar dunia ini dapat hidup dan tidak binasa. Sekarang, roti yang memberikan kehidupan itu telah tersedia, apakah kita akan “memakannya” atau membiarkannya begitu saja?

 

Jakarta 6, Agustus 2021