Jumat, 06 Agustus 2021

ROTI YANG MENGHIDUPKAN

Roti, mengisyaratkan makanan. Benar untuk konteks kita, roti bukanlah makanan pokok seperti beras atau nasi. Roti lazim disantap sebagai camilan. “Manusia hidup bukan dari roti saja..,” demikian Yesus pernah membuat pernyataan. Artinya, manusia hidup bukan dari makanan jasmani saja, melainkan ada unsur-unsur lain, utamanya Firman Allah. Meskipun begitu, pernyataan Yesus ini menyiratkan bahwa roti atau makanan tetap penting. Ya, penting untuk kelangsungan hidup manusia. Bukankah setiap makhluk hidup membutuhkan makanan? Anda bisa membayangkan andai kata setiap orang tidak lagi perlu makanan dan minuman!

 

Allah, Sang Pencipta kehidupan tentu saja sangat peduli dengan setiap makhluk ciptaan-Nya. Masing-masing ada “menunya” sendiri, ada jam makan dan kapasitas menyantap makanan. Namun, dari semua makhluk, hanya manusialah yang memakan segalanya. Manusia melahap ayam dari telur, daging, kepala, usus, ati, ampela, sampai ceker. Manusia menyantap sapi tidak hanya dagingnya, ini pasti Anda lebih tahu. Manusia melahap sayur, buah, biji-bijian, bahkan sesamanya! Hewan akan berhenti menyantap makanan jika ia telah kenyang. Namun, manusia punya kecenderungan memanjakan kepuasan lidahnya. Akibatnya, ia tidak akan berhenti, walau perut sudah cukup terisi.

 

Dalam hal inilah kita melihat bahwa manusia yang dilengkapi akal budi sering kali tidak bisa mengendalikan keinginannya. Itulah yang membuat manusia terus merasa “lapar” dan akibatnya tak henti-henti berusaha memuaskan dirinya. Bila makanan seperti itu tidak dapat memuaskan kebutuhan manusia, lalu apa yang dapat memenuhinya? Yesus menjawab, “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, Ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” (Yohanes 6:35).

 

“Akulah roti yang turun dari sorga!” Yesus menyatakan diri-Nya di hadapan orang-orang Yahudi. Meskipun Yesus telah membuat mukjizat dengan memberi mereka makan, lalu mereka hendak menjadikan Yesus Raja dan mereka juga meminta-Nya roti dari sorga, tetapi ketika Yesus menyatakan diri-Nya “Akulah roti dari sorga” dengan tegas mereka menolak. Sebab bukan itu yang menurut mereka dapat memuaskan diri mereka! Apalagi mereka tahu asal-usul Yesus sebagai tukang kayu yang meneruskan pekerjaan bapak-Nya, Yusuf. Yang mereka tahu, Yesus bukan dari sorga, melainkan anak Yusuf dan Maria dari Nazaret.

 

Penolakan mereka secara hakiki bukan hanya karena asal-usul-Nya. Toh, sebelumnya Ia sudah banyak mengajar dan menjelaskan kepada mereka dalam pelbagai metode. Tetapi tampaknya keinginan mereka untuk pemuasan diri begitu kuat ketimbang bersedia mendengar dengan sungguh apa yang Yesus katakan. Penolakan mereka terhadap asal-usul sorgawi Yesus dan segala bentuk pengajaran-Nya merupakan pemberontakan terhadap Allah sendiri. Ini percis seperti apa yang dilakukan nenek moyang mereka di padang gurun ketika mereka menerima manna, makanan sorgawi itu. Mereka tetap memberontak, melawan Musa yang dipercayakan Allah untuk memimpin mereka menuju tanah perjanjian.

 

Di hadapan orang Yahudi yang menolak-Nya, Yesus menegaskan kembali bahwa Ia diutus oleh Bapa, dan datang dari Allah untuk menyatakan rahasia Bapa. Dengan percaya kepada-Nya, orang mendapat bagian dalam kehidupan ilahi yang kekal. Hidup kekal itu bukan hanya dipahami kehidupan di seberang kematian; akhirat. Tetapi juga hidup yang sudah diberikan di dunia ini kepada orang yang percaya kepada-Nya sebagai roti kehidupan yang memberi hidup ilahi mulai dari sekarang dan kepenuhannya pada saat kebangkitan.

 

Tès zōès, “roti kehidupan”, yang artinya: “roti yang memberi hidup”, Yesus adalah roti yang memberi hidup atau “makanan” yang menghidupkan! Jelas bukan seperti manna, roti di padang gurun yang memelihara kehidupan jasmani umat Allah dalam pengembaraan mereka. Yesus adalah roti yang menghidupkan, orang yang makan dari roti ini tidak akan mati tetapi hidup selama-lamanya. Yesus yang berasal dari Bapa dan hidup oleh Dia, memberi hidup yang kekal kepada mereka yang makan dari roti itu yang tidak lain adalah diri-Nya sendiri. 

 

“Memakan” roti yang menghidupkan itu, tentu saja merupakan kiasan yang bermakna percaya kepada Yesus sebagai firman yang menyatakan Bapa. Percaya bukan sekedar berucap dan mengangguk, melainkan menghidupi semua apa yang diajarkan dan diteladankan Yesus. Sama seperti kita percaya bahwa rasa lapar dan kebutuhan tubuh kita dapat dipuaskan dengan makan. Sampai di sini, tentu saja makanan tersebut tidak akan membuat lapar menjadi kenyang. Hanya ketika tangan bergerak lalu mulut terbuka dan mengunyah, selanjutnya kita menelannya, barulah makanan itu berfungsi memenuhi kebutuhan tubuh kita. “Memakan” roti yang menghidupkan itu bukan hanya sekedar percaya akan kuasa dan pengajaran Yesus, melainkan kita harus mengambil bagian, menghidupi dan melakukannya, menjadikannya sebagai pedoman dan jalan kehidupan. Barulah roti dari sorga itu benar-benar menghidupkan.

 

Roti itu akan menghidupkan kita dari kematian akibat dosa. Roti itu akan menghentikan kerakusan dan keegoisan yang telah merusak relasi dan menebar kematian. Betapa tidak, orang yang benar-benar menikmati roti sorgawi itu akan percaya dan melakukan apa yang Yesus ajarkan, jelaslah dampaknya akan ada kehidupan harmonis, cinta yang tulus dan damai sejahtera akan tercipta. Bukankah ini kehidupan yang menjadi kebutuhan setiap orang?

 

Roti yang menghidupkan itu menyatakan diri-Nya: Roti itu adalah daging-Nya sendiri. Kanibal? Bukan! Daging-Nya akan diberikan untuk kehidupan dunia ketika Ia ditinggikan di atas kayu salib. “Roti yang akan Kuberikan ialah daging-Ku untuk hidup dunia”. Itulah pengorbanan-Nya. Yesus telah memberikan-Nya, Ia telah menjadi penebusan bagi dunia agar dunia ini dapat hidup dan tidak binasa. Sekarang, roti yang memberikan kehidupan itu telah tersedia, apakah kita akan “memakannya” atau membiarkannya begitu saja?

 

Jakarta 6, Agustus 2021

Jumat, 30 Juli 2021

HATI YANG TERARAH KEPADA “ROTI HIDUP”

Pada Perang Dunia II, beberapa pulau kecil di Pasifik menjadi tuan rumah pertempuran paling sengit tantarat-tentara Jepang dan Amerika. Penduduk local yang belum pernah melihat tentara sebelumnya - apalagi jeep dan walkie talkie - menyaksikan kekejaman di luar pondok jerami mereka dengan takjub. Banyak orang dengan seragam aneh mengacungkan tulang ke wajah mereka sambil berbicara. Sementara itu, burung-burung besar berputar-putar di udara, menjatuhkan paket-paket yang melayang turun dengan selembar kain yang mengembang. Paket-paket itu berisi kaleng.

 

Saat itu hampir tidak ada kejadian lain yang mendekati gambaran surga, selain jatuhnya makanan dari langit. Para tentara membagikan makanan kaleng kepada para penduduk lokal. Tapi tidak ada yang pernah melihat orang-orang asing itu berburu atau mengumpulkan makanan. Jelas mereka telah menjalankan sesuatu hal yang benar. Tetapi bagaimana mereka berhasil memanggil burung-burung kargo itu?

 

Setelah perang, ketika tentara telah pergi dan penduduk lokal sendiri lagi, sesuatu yang aneh terjadi. Budaya baru muncul di Sebagian besar pulau. Penduduk lokal memotong dan membakar dedaunan di atas bukit dan melingkari wilayah yang baru dibersihkan itu dengan batu. Mereka membangun pesawat - dalam ukuran sebenarnya - dengan menggunakan jerami, dan meletakkannya di landasan buatan. Lalu mereka membuat menara radio dengan bambu, mengukir handphone yang terbuat dari kayu, dan meniru gerakan para tentara yang mereka saksikan selama perang. Mereka menyalakan api untuk meniru lampu sinyal, dan menato kulit mereka menyerupai emblem di seragam tentara. Intinya mereka membangun bandara tiruan, dan menantikan kedatangan burung besar yang telah menurunkan begitu banyak makanan selama perang. Kultus Kargo! Demikian Rolf Dobelli menyebut perilaku penduduk lokal pulau kecil di Pasifik yang berusaha menantikan makanan dari “surga” itu.

 

Yesus memberi makan ribuan orang! Tanpa didesak oleh murid-murid atau pun melibatkan mereka, Yesus dari diri-Nya sendiri memberi roti, makanan kepada mereka. Ini adalah wujud belas kasihan yang diterjemahkan dalam bentuk tindakan. Dalam tanda pemberian roti itu, Yesus ingin menyatakan siapakah Dia bagi mereka. Bersama orang banyak yang menerima makanan, pembaca Injil dapat melihat sosok Yesus sebagai seorang yang melampaui Nabi Elisa; seorang Nabi seperti yang dinubuatkan oleh Musa yang pernah memberi manna kepada umat Israel dan yang telah naik ke gunung untuk memberi mereka hukum Taurat. 

 

Karena mukjizat-Nya, Yesus disambut sebagai Raja Mesias Israel. Tetapi iman itu tidak memadai. Yesus bukan si pembuat kultus kargo. Ia bukan Mesias Raja Roti! Murid-murid pun belum memahami siapakah Yesus dan apa makna roti serta kelebihannya yang harus mereka kumpulkan dan tidak boleh hilang. Bersama mereka, pembaca masih harus mendengarkan ajaran Yesus dalam kelanjutan setelah Ia memberi makan ribuan orang.

 

Orang banyak yang kemarin menjunjung Yesus sebagai Nabi dan Raja, sekarang menyapa-Nya sebagai Rabi: Guru. Pertanyaan mereka, kapan Ia datang ke Kapernaum. Sang Guru tidak menjawabnya. Sebaliknya, Ia menegur mereka karena mencari dan mendatangkan-Nya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut mereka. Tidak salah memperhatikan kebutuhan perut. Bukankah Yesus pun sebelumnya memenuhi kebutuhan itu? Namun kali ini, Yesus menegur mereka. Ia menegur mereka oleh karena mereka mencari-Nya dengan motivasi keliru: hanya karena mereka telah makan sampai kenyang dan bukan karena melihat tanda dalam tindakan memberi makan. Mereka belum melihat apa yang sebenarnya di balik tindakan Yesus memberi makan itu. Mereka salah memahami “Nabi yang akan datang” sebagai Raja dunia ini.

 

Alih-alih Yesus menjawab pertanyaan mereka, Ia mengajak mereka “bekerja” untuk makanan yang tidak akan binasa atau hilang, makanan yang bertahan sampai kepada kehidupan yang kekal. Makanan yang dapat memberi mereka hidup baru dan kekal. Makanan yang bertahan sampai hidup kekal itu diberikan oleh Yesus sebagai Anak Manusia. Gelar Anak Manusia dalam Injil Yohanes menunjuk kepada Yesus, satu-satunya yang telah turun dari surga dan oleh karenanya dapat berkata-kata tentang hal-hal surgawi dan yang akan kembali ke sana. Karena berasal dari Allah dan kembali kepada Allah, Anak Manusia sebagai dalam kehidupan ilahi dan dapat membagikan kehidupan itu kepada orang lain.

 

Jangan-jangan kita pun mengikut Yesus karena kepentingan sesaat, jasmani: kemudahan pertemanan, bisnis, pekerjaan, akses Pendidikan, kesehatan, kedudukan, dan semacamnya. Kalau ini terjadi, mirip seperti penduduk lokal Pasifik itu. Baik orang yang mengabarkan Injil dengan iming-iming kemudahan atau pun si penerimanya. Tidak salah memberi makan orang, tidak keliru memudahkan usaha dan Pendidikan orang lain. Adalah hal mulia jika kita menolong memulihkan orang-orang yang sakit, begitu pun aksi-aksi sosial lainnya. Namun,  tidaklah elok ketika kegiatan-kegiatan kemanusiaan itu semata-mata hanya mengumpulkan orang agar mereka menjadi Kristen! Ingat, Yesus pun menghindar ketika orang banyak ingin menjadikan-Nya “Raja”. Jadi, bukan demikian motivasi dan cara orang untuk meneruskan kasih Kristus.

 

Yesus mengajak kita bekerja untuk makanan yang bertahan sampai kepada kehidupan kekal. Yesus memaksudkan satu pekerjaan saja yang tak hanya dikehendaki tetapi juga dianugerahkan oleh Allah, yakni percaya kepada Yesus Kristus sebagai utusan Allah, Dia yang datang dari Allah, Dia yang disahkan oleh Bapa untuk menyatakan kasih dan kehendak Bapa kepada dunia. Iman yang demikian akan mengubah hidup kita menjadi baru dan kekal karena Yesus sendiri, firman-Nya dan perbuatan-Nya, menjadi bekal perjalanan hidup kita. Itulah hakikat yang telah dinyatakan Yesus ketika Ia membagikan roti kepada orang banyak dan menyuruh murid-murid-Nya mengumpulkan sisanya agar kelebihannya itu tidak hilang tetapi terpelihara bagi kita.

 

Makanan jasmani memang penting, namun ada yang lebih penting lagi, yakni Sang Pemberi makanan itu. Maka sudah seharusnya hati kita bukan terarah kepada makanan yang terlihat dan memang mengenyangkan itu, melainkan kepada “Roti Hidup”. Konsekuensinya, hidup tidak akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan makanan jasmani, melainkan mengingat nilai-nilai surgawi yang diberikan oleh Yesus Kristus Sang Roti Hidup itu. Selanjutnya, kita dapat mengendalikan kekhawatiran akan kebutuhan jasmani oleh karena Sang Roti hidup itu menjadi “makanan” buat kita. Bahkan, kita dapat meneruskannya kepada orang-orang di sekitar kita!

 

Jakarta, 30 Juli 2021