Roti, mengisyaratkan makanan. Benar untuk konteks kita, roti bukanlah makanan pokok seperti beras atau nasi. Roti lazim disantap sebagai camilan. “Manusia hidup bukan dari roti saja..,” demikian Yesus pernah membuat pernyataan. Artinya, manusia hidup bukan dari makanan jasmani saja, melainkan ada unsur-unsur lain, utamanya Firman Allah. Meskipun begitu, pernyataan Yesus ini menyiratkan bahwa roti atau makanan tetap penting. Ya, penting untuk kelangsungan hidup manusia. Bukankah setiap makhluk hidup membutuhkan makanan? Anda bisa membayangkan andai kata setiap orang tidak lagi perlu makanan dan minuman!
Allah, Sang Pencipta kehidupan tentu saja sangat peduli dengan setiap makhluk ciptaan-Nya. Masing-masing ada “menunya” sendiri, ada jam makan dan kapasitas menyantap makanan. Namun, dari semua makhluk, hanya manusialah yang memakan segalanya. Manusia melahap ayam dari telur, daging, kepala, usus, ati, ampela, sampai ceker. Manusia menyantap sapi tidak hanya dagingnya, ini pasti Anda lebih tahu. Manusia melahap sayur, buah, biji-bijian, bahkan sesamanya! Hewan akan berhenti menyantap makanan jika ia telah kenyang. Namun, manusia punya kecenderungan memanjakan kepuasan lidahnya. Akibatnya, ia tidak akan berhenti, walau perut sudah cukup terisi.
Dalam hal inilah kita melihat bahwa manusia yang dilengkapi akal budi sering kali tidak bisa mengendalikan keinginannya. Itulah yang membuat manusia terus merasa “lapar” dan akibatnya tak henti-henti berusaha memuaskan dirinya. Bila makanan seperti itu tidak dapat memuaskan kebutuhan manusia, lalu apa yang dapat memenuhinya? Yesus menjawab, “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, Ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” (Yohanes 6:35).
“Akulah roti yang turun dari sorga!” Yesus menyatakan diri-Nya di hadapan orang-orang Yahudi. Meskipun Yesus telah membuat mukjizat dengan memberi mereka makan, lalu mereka hendak menjadikan Yesus Raja dan mereka juga meminta-Nya roti dari sorga, tetapi ketika Yesus menyatakan diri-Nya “Akulah roti dari sorga” dengan tegas mereka menolak. Sebab bukan itu yang menurut mereka dapat memuaskan diri mereka! Apalagi mereka tahu asal-usul Yesus sebagai tukang kayu yang meneruskan pekerjaan bapak-Nya, Yusuf. Yang mereka tahu, Yesus bukan dari sorga, melainkan anak Yusuf dan Maria dari Nazaret.
Penolakan mereka secara hakiki bukan hanya karena asal-usul-Nya. Toh, sebelumnya Ia sudah banyak mengajar dan menjelaskan kepada mereka dalam pelbagai metode. Tetapi tampaknya keinginan mereka untuk pemuasan diri begitu kuat ketimbang bersedia mendengar dengan sungguh apa yang Yesus katakan. Penolakan mereka terhadap asal-usul sorgawi Yesus dan segala bentuk pengajaran-Nya merupakan pemberontakan terhadap Allah sendiri. Ini percis seperti apa yang dilakukan nenek moyang mereka di padang gurun ketika mereka menerima manna, makanan sorgawi itu. Mereka tetap memberontak, melawan Musa yang dipercayakan Allah untuk memimpin mereka menuju tanah perjanjian.
Di hadapan orang Yahudi yang menolak-Nya, Yesus menegaskan kembali bahwa Ia diutus oleh Bapa, dan datang dari Allah untuk menyatakan rahasia Bapa. Dengan percaya kepada-Nya, orang mendapat bagian dalam kehidupan ilahi yang kekal. Hidup kekal itu bukan hanya dipahami kehidupan di seberang kematian; akhirat. Tetapi juga hidup yang sudah diberikan di dunia ini kepada orang yang percaya kepada-Nya sebagai roti kehidupan yang memberi hidup ilahi mulai dari sekarang dan kepenuhannya pada saat kebangkitan.
Tès zōès, “roti kehidupan”, yang artinya: “roti yang memberi hidup”, Yesus adalah roti yang memberi hidup atau “makanan” yang menghidupkan! Jelas bukan seperti manna, roti di padang gurun yang memelihara kehidupan jasmani umat Allah dalam pengembaraan mereka. Yesus adalah roti yang menghidupkan, orang yang makan dari roti ini tidak akan mati tetapi hidup selama-lamanya. Yesus yang berasal dari Bapa dan hidup oleh Dia, memberi hidup yang kekal kepada mereka yang makan dari roti itu yang tidak lain adalah diri-Nya sendiri.
“Memakan” roti yang menghidupkan itu, tentu saja merupakan kiasan yang bermakna percaya kepada Yesus sebagai firman yang menyatakan Bapa. Percaya bukan sekedar berucap dan mengangguk, melainkan menghidupi semua apa yang diajarkan dan diteladankan Yesus. Sama seperti kita percaya bahwa rasa lapar dan kebutuhan tubuh kita dapat dipuaskan dengan makan. Sampai di sini, tentu saja makanan tersebut tidak akan membuat lapar menjadi kenyang. Hanya ketika tangan bergerak lalu mulut terbuka dan mengunyah, selanjutnya kita menelannya, barulah makanan itu berfungsi memenuhi kebutuhan tubuh kita. “Memakan” roti yang menghidupkan itu bukan hanya sekedar percaya akan kuasa dan pengajaran Yesus, melainkan kita harus mengambil bagian, menghidupi dan melakukannya, menjadikannya sebagai pedoman dan jalan kehidupan. Barulah roti dari sorga itu benar-benar menghidupkan.
Roti itu akan menghidupkan kita dari kematian akibat dosa. Roti itu akan menghentikan kerakusan dan keegoisan yang telah merusak relasi dan menebar kematian. Betapa tidak, orang yang benar-benar menikmati roti sorgawi itu akan percaya dan melakukan apa yang Yesus ajarkan, jelaslah dampaknya akan ada kehidupan harmonis, cinta yang tulus dan damai sejahtera akan tercipta. Bukankah ini kehidupan yang menjadi kebutuhan setiap orang?
Roti yang menghidupkan itu menyatakan diri-Nya: Roti itu adalah daging-Nya sendiri. Kanibal? Bukan! Daging-Nya akan diberikan untuk kehidupan dunia ketika Ia ditinggikan di atas kayu salib. “Roti yang akan Kuberikan ialah daging-Ku untuk hidup dunia”. Itulah pengorbanan-Nya. Yesus telah memberikan-Nya, Ia telah menjadi penebusan bagi dunia agar dunia ini dapat hidup dan tidak binasa. Sekarang, roti yang memberikan kehidupan itu telah tersedia, apakah kita akan “memakannya” atau membiarkannya begitu saja?
Jakarta 6, Agustus 2021