Pada Perang Dunia II, beberapa pulau kecil di Pasifik menjadi tuan rumah pertempuran paling sengit tantarat-tentara Jepang dan Amerika. Penduduk local yang belum pernah melihat tentara sebelumnya - apalagi jeep dan walkie talkie - menyaksikan kekejaman di luar pondok jerami mereka dengan takjub. Banyak orang dengan seragam aneh mengacungkan tulang ke wajah mereka sambil berbicara. Sementara itu, burung-burung besar berputar-putar di udara, menjatuhkan paket-paket yang melayang turun dengan selembar kain yang mengembang. Paket-paket itu berisi kaleng.
Saat itu hampir tidak ada kejadian lain yang mendekati gambaran surga, selain jatuhnya makanan dari langit. Para tentara membagikan makanan kaleng kepada para penduduk lokal. Tapi tidak ada yang pernah melihat orang-orang asing itu berburu atau mengumpulkan makanan. Jelas mereka telah menjalankan sesuatu hal yang benar. Tetapi bagaimana mereka berhasil memanggil burung-burung kargo itu?
Setelah perang, ketika tentara telah pergi dan penduduk lokal sendiri lagi, sesuatu yang aneh terjadi. Budaya baru muncul di Sebagian besar pulau. Penduduk lokal memotong dan membakar dedaunan di atas bukit dan melingkari wilayah yang baru dibersihkan itu dengan batu. Mereka membangun pesawat - dalam ukuran sebenarnya - dengan menggunakan jerami, dan meletakkannya di landasan buatan. Lalu mereka membuat menara radio dengan bambu, mengukir handphone yang terbuat dari kayu, dan meniru gerakan para tentara yang mereka saksikan selama perang. Mereka menyalakan api untuk meniru lampu sinyal, dan menato kulit mereka menyerupai emblem di seragam tentara. Intinya mereka membangun bandara tiruan, dan menantikan kedatangan burung besar yang telah menurunkan begitu banyak makanan selama perang. Kultus Kargo! Demikian Rolf Dobelli menyebut perilaku penduduk lokal pulau kecil di Pasifik yang berusaha menantikan makanan dari “surga” itu.
Yesus memberi makan ribuan orang! Tanpa didesak oleh murid-murid atau pun melibatkan mereka, Yesus dari diri-Nya sendiri memberi roti, makanan kepada mereka. Ini adalah wujud belas kasihan yang diterjemahkan dalam bentuk tindakan. Dalam tanda pemberian roti itu, Yesus ingin menyatakan siapakah Dia bagi mereka. Bersama orang banyak yang menerima makanan, pembaca Injil dapat melihat sosok Yesus sebagai seorang yang melampaui Nabi Elisa; seorang Nabi seperti yang dinubuatkan oleh Musa yang pernah memberi manna kepada umat Israel dan yang telah naik ke gunung untuk memberi mereka hukum Taurat.
Karena mukjizat-Nya, Yesus disambut sebagai Raja Mesias Israel. Tetapi iman itu tidak memadai. Yesus bukan si pembuat kultus kargo. Ia bukan Mesias Raja Roti! Murid-murid pun belum memahami siapakah Yesus dan apa makna roti serta kelebihannya yang harus mereka kumpulkan dan tidak boleh hilang. Bersama mereka, pembaca masih harus mendengarkan ajaran Yesus dalam kelanjutan setelah Ia memberi makan ribuan orang.
Orang banyak yang kemarin menjunjung Yesus sebagai Nabi dan Raja, sekarang menyapa-Nya sebagai Rabi: Guru. Pertanyaan mereka, kapan Ia datang ke Kapernaum. Sang Guru tidak menjawabnya. Sebaliknya, Ia menegur mereka karena mencari dan mendatangkan-Nya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut mereka. Tidak salah memperhatikan kebutuhan perut. Bukankah Yesus pun sebelumnya memenuhi kebutuhan itu? Namun kali ini, Yesus menegur mereka. Ia menegur mereka oleh karena mereka mencari-Nya dengan motivasi keliru: hanya karena mereka telah makan sampai kenyang dan bukan karena melihat tanda dalam tindakan memberi makan. Mereka belum melihat apa yang sebenarnya di balik tindakan Yesus memberi makan itu. Mereka salah memahami “Nabi yang akan datang” sebagai Raja dunia ini.
Alih-alih Yesus menjawab pertanyaan mereka, Ia mengajak mereka “bekerja” untuk makanan yang tidak akan binasa atau hilang, makanan yang bertahan sampai kepada kehidupan yang kekal. Makanan yang dapat memberi mereka hidup baru dan kekal. Makanan yang bertahan sampai hidup kekal itu diberikan oleh Yesus sebagai Anak Manusia. Gelar Anak Manusia dalam Injil Yohanes menunjuk kepada Yesus, satu-satunya yang telah turun dari surga dan oleh karenanya dapat berkata-kata tentang hal-hal surgawi dan yang akan kembali ke sana. Karena berasal dari Allah dan kembali kepada Allah, Anak Manusia sebagai dalam kehidupan ilahi dan dapat membagikan kehidupan itu kepada orang lain.
Jangan-jangan kita pun mengikut Yesus karena kepentingan sesaat, jasmani: kemudahan pertemanan, bisnis, pekerjaan, akses Pendidikan, kesehatan, kedudukan, dan semacamnya. Kalau ini terjadi, mirip seperti penduduk lokal Pasifik itu. Baik orang yang mengabarkan Injil dengan iming-iming kemudahan atau pun si penerimanya. Tidak salah memberi makan orang, tidak keliru memudahkan usaha dan Pendidikan orang lain. Adalah hal mulia jika kita menolong memulihkan orang-orang yang sakit, begitu pun aksi-aksi sosial lainnya. Namun, tidaklah elok ketika kegiatan-kegiatan kemanusiaan itu semata-mata hanya mengumpulkan orang agar mereka menjadi Kristen! Ingat, Yesus pun menghindar ketika orang banyak ingin menjadikan-Nya “Raja”. Jadi, bukan demikian motivasi dan cara orang untuk meneruskan kasih Kristus.
Yesus mengajak kita bekerja untuk makanan yang bertahan sampai kepada kehidupan kekal. Yesus memaksudkan satu pekerjaan saja yang tak hanya dikehendaki tetapi juga dianugerahkan oleh Allah, yakni percaya kepada Yesus Kristus sebagai utusan Allah, Dia yang datang dari Allah, Dia yang disahkan oleh Bapa untuk menyatakan kasih dan kehendak Bapa kepada dunia. Iman yang demikian akan mengubah hidup kita menjadi baru dan kekal karena Yesus sendiri, firman-Nya dan perbuatan-Nya, menjadi bekal perjalanan hidup kita. Itulah hakikat yang telah dinyatakan Yesus ketika Ia membagikan roti kepada orang banyak dan menyuruh murid-murid-Nya mengumpulkan sisanya agar kelebihannya itu tidak hilang tetapi terpelihara bagi kita.
Makanan jasmani memang penting, namun ada yang lebih penting lagi, yakni Sang Pemberi makanan itu. Maka sudah seharusnya hati kita bukan terarah kepada makanan yang terlihat dan memang mengenyangkan itu, melainkan kepada “Roti Hidup”. Konsekuensinya, hidup tidak akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan makanan jasmani, melainkan mengingat nilai-nilai surgawi yang diberikan oleh Yesus Kristus Sang Roti Hidup itu. Selanjutnya, kita dapat mengendalikan kekhawatiran akan kebutuhan jasmani oleh karena Sang Roti hidup itu menjadi “makanan” buat kita. Bahkan, kita dapat meneruskannya kepada orang-orang di sekitar kita!
Jakarta, 30 Juli 2021