Jumat, 30 Juli 2021

HATI YANG TERARAH KEPADA “ROTI HIDUP”

Pada Perang Dunia II, beberapa pulau kecil di Pasifik menjadi tuan rumah pertempuran paling sengit tantarat-tentara Jepang dan Amerika. Penduduk local yang belum pernah melihat tentara sebelumnya - apalagi jeep dan walkie talkie - menyaksikan kekejaman di luar pondok jerami mereka dengan takjub. Banyak orang dengan seragam aneh mengacungkan tulang ke wajah mereka sambil berbicara. Sementara itu, burung-burung besar berputar-putar di udara, menjatuhkan paket-paket yang melayang turun dengan selembar kain yang mengembang. Paket-paket itu berisi kaleng.

 

Saat itu hampir tidak ada kejadian lain yang mendekati gambaran surga, selain jatuhnya makanan dari langit. Para tentara membagikan makanan kaleng kepada para penduduk lokal. Tapi tidak ada yang pernah melihat orang-orang asing itu berburu atau mengumpulkan makanan. Jelas mereka telah menjalankan sesuatu hal yang benar. Tetapi bagaimana mereka berhasil memanggil burung-burung kargo itu?

 

Setelah perang, ketika tentara telah pergi dan penduduk lokal sendiri lagi, sesuatu yang aneh terjadi. Budaya baru muncul di Sebagian besar pulau. Penduduk lokal memotong dan membakar dedaunan di atas bukit dan melingkari wilayah yang baru dibersihkan itu dengan batu. Mereka membangun pesawat - dalam ukuran sebenarnya - dengan menggunakan jerami, dan meletakkannya di landasan buatan. Lalu mereka membuat menara radio dengan bambu, mengukir handphone yang terbuat dari kayu, dan meniru gerakan para tentara yang mereka saksikan selama perang. Mereka menyalakan api untuk meniru lampu sinyal, dan menato kulit mereka menyerupai emblem di seragam tentara. Intinya mereka membangun bandara tiruan, dan menantikan kedatangan burung besar yang telah menurunkan begitu banyak makanan selama perang. Kultus Kargo! Demikian Rolf Dobelli menyebut perilaku penduduk lokal pulau kecil di Pasifik yang berusaha menantikan makanan dari “surga” itu.

 

Yesus memberi makan ribuan orang! Tanpa didesak oleh murid-murid atau pun melibatkan mereka, Yesus dari diri-Nya sendiri memberi roti, makanan kepada mereka. Ini adalah wujud belas kasihan yang diterjemahkan dalam bentuk tindakan. Dalam tanda pemberian roti itu, Yesus ingin menyatakan siapakah Dia bagi mereka. Bersama orang banyak yang menerima makanan, pembaca Injil dapat melihat sosok Yesus sebagai seorang yang melampaui Nabi Elisa; seorang Nabi seperti yang dinubuatkan oleh Musa yang pernah memberi manna kepada umat Israel dan yang telah naik ke gunung untuk memberi mereka hukum Taurat. 

 

Karena mukjizat-Nya, Yesus disambut sebagai Raja Mesias Israel. Tetapi iman itu tidak memadai. Yesus bukan si pembuat kultus kargo. Ia bukan Mesias Raja Roti! Murid-murid pun belum memahami siapakah Yesus dan apa makna roti serta kelebihannya yang harus mereka kumpulkan dan tidak boleh hilang. Bersama mereka, pembaca masih harus mendengarkan ajaran Yesus dalam kelanjutan setelah Ia memberi makan ribuan orang.

 

Orang banyak yang kemarin menjunjung Yesus sebagai Nabi dan Raja, sekarang menyapa-Nya sebagai Rabi: Guru. Pertanyaan mereka, kapan Ia datang ke Kapernaum. Sang Guru tidak menjawabnya. Sebaliknya, Ia menegur mereka karena mencari dan mendatangkan-Nya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut mereka. Tidak salah memperhatikan kebutuhan perut. Bukankah Yesus pun sebelumnya memenuhi kebutuhan itu? Namun kali ini, Yesus menegur mereka. Ia menegur mereka oleh karena mereka mencari-Nya dengan motivasi keliru: hanya karena mereka telah makan sampai kenyang dan bukan karena melihat tanda dalam tindakan memberi makan. Mereka belum melihat apa yang sebenarnya di balik tindakan Yesus memberi makan itu. Mereka salah memahami “Nabi yang akan datang” sebagai Raja dunia ini.

 

Alih-alih Yesus menjawab pertanyaan mereka, Ia mengajak mereka “bekerja” untuk makanan yang tidak akan binasa atau hilang, makanan yang bertahan sampai kepada kehidupan yang kekal. Makanan yang dapat memberi mereka hidup baru dan kekal. Makanan yang bertahan sampai hidup kekal itu diberikan oleh Yesus sebagai Anak Manusia. Gelar Anak Manusia dalam Injil Yohanes menunjuk kepada Yesus, satu-satunya yang telah turun dari surga dan oleh karenanya dapat berkata-kata tentang hal-hal surgawi dan yang akan kembali ke sana. Karena berasal dari Allah dan kembali kepada Allah, Anak Manusia sebagai dalam kehidupan ilahi dan dapat membagikan kehidupan itu kepada orang lain.

 

Jangan-jangan kita pun mengikut Yesus karena kepentingan sesaat, jasmani: kemudahan pertemanan, bisnis, pekerjaan, akses Pendidikan, kesehatan, kedudukan, dan semacamnya. Kalau ini terjadi, mirip seperti penduduk lokal Pasifik itu. Baik orang yang mengabarkan Injil dengan iming-iming kemudahan atau pun si penerimanya. Tidak salah memberi makan orang, tidak keliru memudahkan usaha dan Pendidikan orang lain. Adalah hal mulia jika kita menolong memulihkan orang-orang yang sakit, begitu pun aksi-aksi sosial lainnya. Namun,  tidaklah elok ketika kegiatan-kegiatan kemanusiaan itu semata-mata hanya mengumpulkan orang agar mereka menjadi Kristen! Ingat, Yesus pun menghindar ketika orang banyak ingin menjadikan-Nya “Raja”. Jadi, bukan demikian motivasi dan cara orang untuk meneruskan kasih Kristus.

 

Yesus mengajak kita bekerja untuk makanan yang bertahan sampai kepada kehidupan kekal. Yesus memaksudkan satu pekerjaan saja yang tak hanya dikehendaki tetapi juga dianugerahkan oleh Allah, yakni percaya kepada Yesus Kristus sebagai utusan Allah, Dia yang datang dari Allah, Dia yang disahkan oleh Bapa untuk menyatakan kasih dan kehendak Bapa kepada dunia. Iman yang demikian akan mengubah hidup kita menjadi baru dan kekal karena Yesus sendiri, firman-Nya dan perbuatan-Nya, menjadi bekal perjalanan hidup kita. Itulah hakikat yang telah dinyatakan Yesus ketika Ia membagikan roti kepada orang banyak dan menyuruh murid-murid-Nya mengumpulkan sisanya agar kelebihannya itu tidak hilang tetapi terpelihara bagi kita.

 

Makanan jasmani memang penting, namun ada yang lebih penting lagi, yakni Sang Pemberi makanan itu. Maka sudah seharusnya hati kita bukan terarah kepada makanan yang terlihat dan memang mengenyangkan itu, melainkan kepada “Roti Hidup”. Konsekuensinya, hidup tidak akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan makanan jasmani, melainkan mengingat nilai-nilai surgawi yang diberikan oleh Yesus Kristus Sang Roti Hidup itu. Selanjutnya, kita dapat mengendalikan kekhawatiran akan kebutuhan jasmani oleh karena Sang Roti hidup itu menjadi “makanan” buat kita. Bahkan, kita dapat meneruskannya kepada orang-orang di sekitar kita!

 

Jakarta, 30 Juli 2021

Jumat, 23 Juli 2021

MEMANDANG PERGUMULAN DENGAN BENAR

Hujan yang sama di satu bidang tanah bisa menumbuhkan bulir padi, sayur-mayur dan buah-buahan. Namun, tempat lain justru menumbuhkan ilalang dan onak duri. Hujan yang sama bagi seseorang mendatangkan berkat. Namun, bagi yang lain bencana. 

 

Seorang ibu begitu sayang terhadap putranya. Ia melindunginya sedemikian rupa. Ketika hujan tiba, sang ibu cepat-cepat menyuruh putranya itu masuk ke dalam rumah agar air hujan tidak mengguyurnya. “Ayo Nak, cepat masuk rumah, hujan bisa membuatmu flu!” Rupanya cara pandang si Ibu tertanam dalam diri anaknya. Setiap hari mendung menjelang hujan selalu saja si anak berpikir bahwa ini adalah ancaman, bisa membuatnya sakit. Dan benar saja, setiap kali ia kuyup, kehujanan anak itu menderita flu. 

 

Sebaliknya, ada  seorang anak yang dibesarkan dalam kondisi serba kekurangan. Baginya, hujan bukan ancaman. Hujan adalah berkat! Ketika hujan tiba, dengan cekatan ia mengambil dua buah payung, satu yang besar dan satu yang kecil. Yang kecil untuk dirinya dan yang besar ia gunakan sebagai “ojek” payung. Hujan adalah berkat, ia dapat mengais rejeki! Peristiwa yang sama dapat dilihat dari sudut pandang berbeda. Sudut pandang itu terbentuk dari pola pikir dan latar belakang seseorang.

 

Sebuah pergumulan dapat dilihat dari pelbagai sudut pandang. Ini pun sangat bergantung pada posisi orang yang mengalami dan melihatnya. Dari beragam sudut pandang itu, kalau dikerucutkan dapat menjadi dua, yakni: sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif, pergumulan dan kesulitan hidup dapat menolong seseorang tumbuh menjadi orang yang tangguh, tidak mudah menyerah dan cengeng. Pergumulan dan kesulitan bagaikan orang tua yang sedang menggembleng anaknya. Sebaliknya, cara pandang negatif akan melihat bahwa pergumulan dan kesulitan hidup hayalah penghambat kebahagiaan.

 

Dalam pelayanan-Nya, kerap kali cara pandang Yesus tentang suatu hal berbeda dengan apa yang dipikirkan para murid-Nya. Demikian pula cara pandang murid yang satu dengan yang lain sering kali tidak sama. Ya, benar sebab mereka ada pribadi-pribadi independent yang terbentuk dari latar belakang berbeda dan punya harapan yang berbeda pula ketika mereka mengikut Yesus.

 

Kisah Injil yang hari ini kita simak (Yohanes 6:1-21), sarat dengan cara pandang yang berbeda. Orang banyak yang berbondong-bondong ada di sekitar Yesus belum tentu punya motivasi yang sama. Bisa saja di antara mereka ada yang mau menjadi pengikut Yesus, banyak juga yang sekedar ikut-ikutan, beberapa lagi ada yang penasaran apa yang selanjutnya akan dilakukan Yesus. Demikian juga cara pandang para murid terhadap orang banyak. Bisa saja ada yang melihatnya sebagai “aset politik”, Guru mereka sudah banyak diidolakan, berarti sudah banyak pendukung. Namun, bisa jadi ada yang berpikir, ini adalah beban! Bagaimana mengurusi kebutuhan dasar mereka. Terbukti nantinya Filipus mengkalkulasi kebutuhan makan mereka ketika Sang Guru memintanya memberi makan.

 

Kisah yang diceritakan dalam Injil Yohanes ini terjadi di dekat Danau Galilea. Menurut Jean Vanier, waktunya adalah musim semi yang sangat indah. Ada ribuan bunga-bunga liar dan matahari bersinar lembut dan hangat. Perayaan Paskah sudah dekat. Ini adalah juga musim semi dalam hidup Yesus. Banyak orang berbondong-bondong mengikuti-Nya: “Pastilah Dia ini adalah Mesias. Lihat bagaimana Ia menyembuhkan orang!”

 

Saat itu adalah juga musim semi bagi para murid. Mungkin mereka mulai merasa bahwa mereka penting. Bukankah mereka ini adalah orang-orang pilihan, pribadi yang hebat? Bukankah mereka adalah orang-orang yang akan ambil bagian dalam kekuasaan bersama Mesias di dalam pemerintahan-Nya yang baru? Mereka pasti gembira dan semangat. Mereka telah memulai mengikut Yesus. Sekarang mereka mulai melihat buah-buah dari kepercayaan mereka.

 

Di luar dugaan para murid, Yesus sangat memperhatikan kebutuhan semua orang yang mengikuti-Nya. Mereka telah mengikuti-Nya, makan dan minum sabda-Nya. Sekarang hari menjelang sore, tentu mereka lapar. Filipus pasti merasa bahwa Yesus keterlaluan ketika mendengar pertanyaan Yesus tentang membeli makanan untuk mereka semua. Bagaimana mungkin ia dan teman-temannya memberi makan ribuan orang yang ada di hadapan mereka. Sementara uang yang ada padanya hanya dua ratus dinar! Lagi pula roti sebanyak itu siapa yang menjulanya?

 

Andreas melihat seorang anak kecil yang membawa lima roti dan dua ikan. Namun, itu semua tidak berarti untuk memenuhi kebutuhan ribuan orang. Tunggu dulu, apa yang kemudian dilakukan Yesus? Ternyata Yesus meminta bukan apa yang tidak ada. Yesus juga menggunakan orang-orang sederhana, dalam hal ini seorang anak kecil!

 

Kisah selanjutnya terjadi sebuah pemandangan indah dan menakjubkan sekaligus manusiawi. Begitu banyak kelompok-kelompok orang, keluarga-keluarga yang duduk dan berbaring di padang rumput itu, percis gambaran Sang Gembala yang membaringkan kawanan dombanya di padang yang berumput hijau! Lalu Yesus mengambil roti itu dan setelah mengucap syukur kepada Bapa Pencipta alam semesta, Ia dan murid-murid-Nya membagikan roti dan ikan itu kepada semua orang, sebanyak yang mereka kehendaki. 

 

Betapa indah makan bersama ini - laki-laki, perempuan, dan anak-anak - makan roti dan ikan sebanyak yang mereka perlukan, lalu mereka beristirahat dengan tenang, duduk dan berbaring di atas rumput sambil memandang danau yang indah, berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil dan bercakap-cakap dengan gembira satu dengan yang lain. Sebersit pengalaman akan surga! Dan Yesus dengan murid-murid-Nya berkeliling dari kelompok sat uke kelompok yang lain, dari pribadi yang satu ke pribadi yang lain untuk melihat apakah setiap orang sudah dilayani dengan baik. Suatu hari yang amat istimewa!

 

Kini, setelah lebih dari dua ribu tahun kisah ini banyak diperdebatkan, banyak didiskusikan. Mungkin ada di antara kita yang tersenyum sinis: Mukjizat! Seakan-akan itu sebuah kisah di negeri dongeng untuk konsumsi anak-anak. Mungkin kita tertawa dan berkata, “Alangkah hebatnya andai saja Yesus sekarang ini ada di sini, kita tidak harus pergi membeli roti!” Inilah juga yang dikatakan orang banyak ketika mereka berusaha membawa-Nya dengan paksa untuk dijadikan raja.

 

Mari kita melihat lebih dalam makna dari mukjizat ini. Lewat mukjizat ini Yesus menyatakan Allah yang peduli, Allah yang memberi perhatian kepada kita dan menghendaki adar kita semua dalam keadaan baik; Allah menghendaki agar kita memberi perhatian pada kebaikan kita sendiri. Apakah kita makan dengan baik? Apakah kita istirahat dengan baik? Memberi makan diri sendiri dengan baik? Kisah itu bukan sekedar mukjizat penggandaan makanan, tetapi juga pembentukan dan pengembangan komunitas yang peduli, di mana orang peduli satu sama lain.

 

Setelah mereka selesai makan, dan setiap orang merasa nyaman dan gembira, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih, supaya tidak ada yang terbuang.” (Yoh.6:12). Mereka mengisi dua belas bakup penuh. Itulah Allah, Ia memberi dengan berlimpah, sebagai tanda bahwa Ia mengasihi kita dengan berlimpah.

 

Apa artinya mengasihi dengan berlimpah? Tidak hanya berarti memberikan sesuatu melainkan memberikan diri kita sendiri. Yesus memberikan diri seutuhnya kepada kita; Ia mencintai kita secara berlimpah agar kita dapat belajar untuk mencintai sesama secara berlimpah juga. Namun, kita cenderung membatasi diri dan berusaha untuk melindungi diri kita. 

 

Yesus memandang pergumulan, dalam hal ini kesulitan untuk memberi makan ribuan orang sebagai kesempatan untuk menyatakan cinta kasih-Nya. Di hadapan kita banyak orang yang membutuhkan makan, kebutuhan hidup, oksigen, obat-obatan dan tentu saja kasih sayang. Dapatkah kita memandang kenyataan ini seperti Yesus memandang kebutuhan orang banyak pada waktu itu? Lewat kisah mukjizat ini, kita tidak diajarkan untuk main hitung-hitungan, namun menyediakan apa yang ada pada kita. Ibarat anak kecil yang membawa ikan kepada Andreas lalu diserahkan kepada Yesus, sesederhana itu kita dapat meneruskan cinta kasih Allah kepada orang-orang di sekitar kita. Jika cara pandang kita sama seperti cara Yesus memandang realita kebutuhan manusia, niscaya mukjizat itu akan terjadi! 

 

 

Jakarta, 23 Juli 2021