Hujan yang sama di satu bidang tanah bisa menumbuhkan bulir padi, sayur-mayur dan buah-buahan. Namun, tempat lain justru menumbuhkan ilalang dan onak duri. Hujan yang sama bagi seseorang mendatangkan berkat. Namun, bagi yang lain bencana.
Seorang ibu begitu sayang terhadap putranya. Ia melindunginya sedemikian rupa. Ketika hujan tiba, sang ibu cepat-cepat menyuruh putranya itu masuk ke dalam rumah agar air hujan tidak mengguyurnya. “Ayo Nak, cepat masuk rumah, hujan bisa membuatmu flu!” Rupanya cara pandang si Ibu tertanam dalam diri anaknya. Setiap hari mendung menjelang hujan selalu saja si anak berpikir bahwa ini adalah ancaman, bisa membuatnya sakit. Dan benar saja, setiap kali ia kuyup, kehujanan anak itu menderita flu.
Sebaliknya, ada seorang anak yang dibesarkan dalam kondisi serba kekurangan. Baginya, hujan bukan ancaman. Hujan adalah berkat! Ketika hujan tiba, dengan cekatan ia mengambil dua buah payung, satu yang besar dan satu yang kecil. Yang kecil untuk dirinya dan yang besar ia gunakan sebagai “ojek” payung. Hujan adalah berkat, ia dapat mengais rejeki! Peristiwa yang sama dapat dilihat dari sudut pandang berbeda. Sudut pandang itu terbentuk dari pola pikir dan latar belakang seseorang.
Sebuah pergumulan dapat dilihat dari pelbagai sudut pandang. Ini pun sangat bergantung pada posisi orang yang mengalami dan melihatnya. Dari beragam sudut pandang itu, kalau dikerucutkan dapat menjadi dua, yakni: sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif, pergumulan dan kesulitan hidup dapat menolong seseorang tumbuh menjadi orang yang tangguh, tidak mudah menyerah dan cengeng. Pergumulan dan kesulitan bagaikan orang tua yang sedang menggembleng anaknya. Sebaliknya, cara pandang negatif akan melihat bahwa pergumulan dan kesulitan hidup hayalah penghambat kebahagiaan.
Dalam pelayanan-Nya, kerap kali cara pandang Yesus tentang suatu hal berbeda dengan apa yang dipikirkan para murid-Nya. Demikian pula cara pandang murid yang satu dengan yang lain sering kali tidak sama. Ya, benar sebab mereka ada pribadi-pribadi independent yang terbentuk dari latar belakang berbeda dan punya harapan yang berbeda pula ketika mereka mengikut Yesus.
Kisah Injil yang hari ini kita simak (Yohanes 6:1-21), sarat dengan cara pandang yang berbeda. Orang banyak yang berbondong-bondong ada di sekitar Yesus belum tentu punya motivasi yang sama. Bisa saja di antara mereka ada yang mau menjadi pengikut Yesus, banyak juga yang sekedar ikut-ikutan, beberapa lagi ada yang penasaran apa yang selanjutnya akan dilakukan Yesus. Demikian juga cara pandang para murid terhadap orang banyak. Bisa saja ada yang melihatnya sebagai “aset politik”, Guru mereka sudah banyak diidolakan, berarti sudah banyak pendukung. Namun, bisa jadi ada yang berpikir, ini adalah beban! Bagaimana mengurusi kebutuhan dasar mereka. Terbukti nantinya Filipus mengkalkulasi kebutuhan makan mereka ketika Sang Guru memintanya memberi makan.
Kisah yang diceritakan dalam Injil Yohanes ini terjadi di dekat Danau Galilea. Menurut Jean Vanier, waktunya adalah musim semi yang sangat indah. Ada ribuan bunga-bunga liar dan matahari bersinar lembut dan hangat. Perayaan Paskah sudah dekat. Ini adalah juga musim semi dalam hidup Yesus. Banyak orang berbondong-bondong mengikuti-Nya: “Pastilah Dia ini adalah Mesias. Lihat bagaimana Ia menyembuhkan orang!”
Saat itu adalah juga musim semi bagi para murid. Mungkin mereka mulai merasa bahwa mereka penting. Bukankah mereka ini adalah orang-orang pilihan, pribadi yang hebat? Bukankah mereka adalah orang-orang yang akan ambil bagian dalam kekuasaan bersama Mesias di dalam pemerintahan-Nya yang baru? Mereka pasti gembira dan semangat. Mereka telah memulai mengikut Yesus. Sekarang mereka mulai melihat buah-buah dari kepercayaan mereka.
Di luar dugaan para murid, Yesus sangat memperhatikan kebutuhan semua orang yang mengikuti-Nya. Mereka telah mengikuti-Nya, makan dan minum sabda-Nya. Sekarang hari menjelang sore, tentu mereka lapar. Filipus pasti merasa bahwa Yesus keterlaluan ketika mendengar pertanyaan Yesus tentang membeli makanan untuk mereka semua. Bagaimana mungkin ia dan teman-temannya memberi makan ribuan orang yang ada di hadapan mereka. Sementara uang yang ada padanya hanya dua ratus dinar! Lagi pula roti sebanyak itu siapa yang menjulanya?
Andreas melihat seorang anak kecil yang membawa lima roti dan dua ikan. Namun, itu semua tidak berarti untuk memenuhi kebutuhan ribuan orang. Tunggu dulu, apa yang kemudian dilakukan Yesus? Ternyata Yesus meminta bukan apa yang tidak ada. Yesus juga menggunakan orang-orang sederhana, dalam hal ini seorang anak kecil!
Kisah selanjutnya terjadi sebuah pemandangan indah dan menakjubkan sekaligus manusiawi. Begitu banyak kelompok-kelompok orang, keluarga-keluarga yang duduk dan berbaring di padang rumput itu, percis gambaran Sang Gembala yang membaringkan kawanan dombanya di padang yang berumput hijau! Lalu Yesus mengambil roti itu dan setelah mengucap syukur kepada Bapa Pencipta alam semesta, Ia dan murid-murid-Nya membagikan roti dan ikan itu kepada semua orang, sebanyak yang mereka kehendaki.
Betapa indah makan bersama ini - laki-laki, perempuan, dan anak-anak - makan roti dan ikan sebanyak yang mereka perlukan, lalu mereka beristirahat dengan tenang, duduk dan berbaring di atas rumput sambil memandang danau yang indah, berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil dan bercakap-cakap dengan gembira satu dengan yang lain. Sebersit pengalaman akan surga! Dan Yesus dengan murid-murid-Nya berkeliling dari kelompok sat uke kelompok yang lain, dari pribadi yang satu ke pribadi yang lain untuk melihat apakah setiap orang sudah dilayani dengan baik. Suatu hari yang amat istimewa!
Kini, setelah lebih dari dua ribu tahun kisah ini banyak diperdebatkan, banyak didiskusikan. Mungkin ada di antara kita yang tersenyum sinis: Mukjizat! Seakan-akan itu sebuah kisah di negeri dongeng untuk konsumsi anak-anak. Mungkin kita tertawa dan berkata, “Alangkah hebatnya andai saja Yesus sekarang ini ada di sini, kita tidak harus pergi membeli roti!” Inilah juga yang dikatakan orang banyak ketika mereka berusaha membawa-Nya dengan paksa untuk dijadikan raja.
Mari kita melihat lebih dalam makna dari mukjizat ini. Lewat mukjizat ini Yesus menyatakan Allah yang peduli, Allah yang memberi perhatian kepada kita dan menghendaki adar kita semua dalam keadaan baik; Allah menghendaki agar kita memberi perhatian pada kebaikan kita sendiri. Apakah kita makan dengan baik? Apakah kita istirahat dengan baik? Memberi makan diri sendiri dengan baik? Kisah itu bukan sekedar mukjizat penggandaan makanan, tetapi juga pembentukan dan pengembangan komunitas yang peduli, di mana orang peduli satu sama lain.
Setelah mereka selesai makan, dan setiap orang merasa nyaman dan gembira, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih, supaya tidak ada yang terbuang.” (Yoh.6:12). Mereka mengisi dua belas bakup penuh. Itulah Allah, Ia memberi dengan berlimpah, sebagai tanda bahwa Ia mengasihi kita dengan berlimpah.
Apa artinya mengasihi dengan berlimpah? Tidak hanya berarti memberikan sesuatu melainkan memberikan diri kita sendiri. Yesus memberikan diri seutuhnya kepada kita; Ia mencintai kita secara berlimpah agar kita dapat belajar untuk mencintai sesama secara berlimpah juga. Namun, kita cenderung membatasi diri dan berusaha untuk melindungi diri kita.
Yesus memandang pergumulan, dalam hal ini kesulitan untuk memberi makan ribuan orang sebagai kesempatan untuk menyatakan cinta kasih-Nya. Di hadapan kita banyak orang yang membutuhkan makan, kebutuhan hidup, oksigen, obat-obatan dan tentu saja kasih sayang. Dapatkah kita memandang kenyataan ini seperti Yesus memandang kebutuhan orang banyak pada waktu itu? Lewat kisah mukjizat ini, kita tidak diajarkan untuk main hitung-hitungan, namun menyediakan apa yang ada pada kita. Ibarat anak kecil yang membawa ikan kepada Andreas lalu diserahkan kepada Yesus, sesederhana itu kita dapat meneruskan cinta kasih Allah kepada orang-orang di sekitar kita. Jika cara pandang kita sama seperti cara Yesus memandang realita kebutuhan manusia, niscaya mukjizat itu akan terjadi!
Jakarta, 23 Juli 2021