Kamis, 08 Oktober 2020

KELUARGA ADALAH KEBUN ANGGUR-NYA

Bahasa seperti apa yang kita kemas ketika hendak berkomunikasi dengan anak atau cucu kita yang masih kecil? Ya, tentu saja bahasa anak-anak. Bukan bahasa orang dewasa! Tujuannya? Jelas, agar anak atau cucu kita mengerti apa yang ingin kita sampaikan. Keluarga yang baik dicirikan dengan kualitas komunikasi yang baik. Komunikasi yang tidak satu arah, tetapi bisa saling mengerti dan memahami. Bukan sebaliknya, hanya mau dimengerti dan dilayani.

 

Allah selalu ingin menjalin komunikasi yang baik dengan umat-Nya. Komunikasi yang dapat dimengerti oleh umat-Nya. Maka jelas, Allah tidak menggunakan bahasa-Nya sendiri, melainkan Ia menggunakan bahasa manusia. Itulah sebabnya, kita banyak menjumpai Allah memakai para hamba-Nya dalam konteks dan bahasa yang mudah dimengerti. Allah menggunakan pelbagai cara agar umat itu memahami kasih dan kehendak-Nya.

 

Melalui Nabi Yesaya, dalam bacaan pertama hari Minggu ini (Yesaya 5;1-7), Allah menggunakan perumpamaan tentang “Kebun Anggur” untuk menegur umat-Nya. Kebun anggur tentu saja tidak asing buat mereka. mereka banyak bekerja di kebun-kebun anggur. Benar, sebagian besar dari mereka tentu saja bukan sebagai pemilik kebun anggur, melainkan sebagai penggarap atau orang-orang upahan. Dengan menggunakan perumpamaan tentang kebun anggur ini mestinya mereka memahami.

 

Allah menceritakan bagaikan seorang yang mempunyai kekasih. Kekasihnya itu mempunyai kebun anggur. Kebun anggur itu dipersiapkan sedemikian rupa, dikelola, digarap, dan dijagai. Sepertinya, yang empunya kebun anggur itu telah melakukan segalanya dengan optimal untuk kebun anggurnya. Tentu saja, pemilik kebun anggur menghendaki agar kebun anggur itu menghasilkan buah yang berkualitas: manis, banyak, dan besar.

 

Alih-alih menghasilkan buah yang berkualitas, kebun anggur itu ternyata menghasilkan buah yang buruk: anggur yang asam! Buah anggur yang asam adalah buah dari sifat bobrok, yang menginjak-injak keadilan dan mengabaikan kebenaran. Buah anggur masam itu juga adalah kemunafikan dalam hidup beragama yang sama sekali tidak berkenan kepada Allah. Di akhri perumpamaan, dijelaskan siapa yang dimaksud dengan kebun anggur itu:

 

“Sebab kebun anggur TUHAN semesta alam ialah kaum Israel, dan orang Yehuda ialah tanaman-tanaman kegemaran-Nya; dinanti-Nya keadilan, tetapi hanya ada kelaliman, dinanti-Nya kebenaran tetapi hanya ada keonaran” (Yesaya 5:7).

 

Tentu saja keadaan ini membuat Allah kesal, kecewa: harus berbuat apa lagi? rupa-rupanya keadaan ini tidak jauh berbeda setelah lima ratus tahun lebih berlangsung. Yesus berhadapan dengan tabiat “kebun anggur” yang sama. Mereka diberikan tanggung jawab, namun nyatanya tidak melakukannya seperti yang Allah kehendaki. Kalau dalam bacaan pertama terungkap bahwa Israel dan Yehuda bagaikan kebun anggur itu sendiri; dalam perumpamaan Yesus, mereka diungkapkan sebagai orang-orang yang dipercayakan menggarap dan bekerja di kebun anggur itu (Matius 21:33-46).

 

Perumpamaan yang disampaikan Yesus ini bisa saja terjadi dalam kenyataan sebenarnya: orang diupah, dimodali, diberi kepercayaan dan nantinya diharapkan menyetor hasilnya. Namun, sikap ingin memiliki, menguasai dan tidak bertanggung jawab membuat para pekerja yang diberikan mandate ini justru ingin mengambil alih dan menguasai. Seolah tak mau menyerah, si empunya modal ini mengirim utusan-utusannya mengingatkan dan menuntut tanggung jawab. Diambaikan bahkan dianiaya. Terakhir ia mengutus anaknya sendiri, namun akhirnya anak itu pun mereka bunuh.

 

Tampaknya semua cara tidak dapat menembus kekerasan dan kebebalan hati mereka terhadap kebenaran. Mereka merasa diri sedang menjaga dan melakukan kebenaran dan tidak perlu menanggapi apa yang diminta oleh tuan tanah itu. Dalam perumpamaan ini jelas, para imam dan orang Farisi yang memusuhi Yesus mengerti apa yang dimaksudkan oleh Yesus melalui perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur itu. Bangsa Yahudi telah membunuh para nabi utusan Allah. Ada yang dilempari batu, digergaji, dibunuh dengan pedang dan sangat menderita. Dan kemudian tidak lama lagi mereka akan membunuh Anak-Nya yang diutus! Tampaknya, semua cara yang dilakukan Allah tidak dapat menembus kekerasan dan kebebalan hati mereka.

 

Kisah seputar kebun anggur kebanyakan diungkap dalam Alkitab bernada sumbang. Baik kebun anggur itu sendiri maupun penggarap-penggrap kebun anggur merupakan gambaran yang tidak sedap didengar. Kisah kebun anggur adalah kisah kegagalan umat dalam merespon kebaikan Allah. Kisah kegagalan dalam bertanggung jawab atas mandate yang Tuhan berikan.

 

Kebun anggur adalah komunitas umat Tuhan. Komunitas terkecil umat Tuhan adalah keluarga. Dan keluarga kita pun bisa bercermin dari kisah-kisah kebun anggur Tuhan itu. Apa yang terjadi dalam keluarga kita? Apakah berhasil menghasilkan “buah yang manis”? yang diharapkan Tuhan? Buah yang manis dalam arti menghadirkan Tuhan dan Kerajaan-Nya di tengah-tengah keluarga. Buah yang manis dalam arti semua merasakan kasih sayang; setiap anggota mengalami cinta kasih Tuhan itu melalui anggota keluarga yang lain. Ada penerimaan dan pengampunan, dimengerti dan diperlakukan sama seperti diri kita ingin diperlakukan. Dan akhirnya melalui keluarga-keluarga kita Tuhan dimuliakan. Keluarga menghasilkan buah anggur yang baik; bukan yang asam atau pahit!

 

Mungkinkah setiap keluarga kita menjadi kebun anggur-Nya yang baik? Tentu saja sangat mungkin. Kita dapat menjadi kebun anggur Tuhan yang baik dengan cara tidak ada yang memonopoli kebenaran; tidak ada yang terus-menerus menuntut untuk dilayani. Dalam keluargalah mestinya kita belajar menghargai, belajar demokrasi, belajar melayani dan belajar memperlakukan sesama dengan baik.

 

Marilah kita rayakan bulan keluarga tahun ini dengan segala keterbatasannya untuk menata ulang keluarga kita. Untuk membentuk keluarga sesuai dengan apa yang Tuhan ingini. Dan tentu saja sesuai dengan tema kita, untuk menjai kebun anggur-Nya yang menghasilkan buah yang berkualitas!

 

Jakarta, 2 Oktober 2020

KELUARGA SEHATI

Kenduri atau pesta dalam budaya Timur erat kaitannya dengan keluarga, tak terkecuali pesta pernikahan. Lihatlah dalam pelbagai budaya dan adat istiadat di Nusantara kita ini. Tidak ada sebuah pesta pernikahan yang terpisah dari keluarga. Yang menikah bukan hanya pasangan: laki-laki dan perempuan yang sepakat mengikat janji setia, tetapi lebih dari itu. Kini kedua pihak keluarga menjadi satu keluarga besar. Pesta ini pun dirayakan, dinikmati dengan mengundang banyak orang. Orang-orang yang diundang itu tidak hanya diajak untuk bersukacita menikmati hidangan, melainkan diajak untuk bersilahturahmi dan diminta doa restu. Mereka datang diminta untuk sehati mendukung keluarga baru, pasangan mempelai itu.

 

Dapat dibayangkan kalau yang empunya hajat itu adalah seorang pembesar atau raja. Betapa meriah dan luar biasanya pesta yang digelar. Bisa saja pesta itu berlangsung berhari-hari. Pastilah dalam sukacitanya, raja akan menyajikan hidangan-hidangan kerajaan yang terbaik. Acara-acara hiburan yang paling meriah. Tujuannya jelas, raja ingin mengajak rakyatnya bersama-sama larut dalam kegembiraan. Raja mengundangrakyatnya sebagai keluarga untuk ikut serta dalam sukacitanya. Namun, sayangnya dalam kisah perumpamaan yang dipakai Yesus untuk menggambarkan tentang Kerajaan Allah keadaan ideal tidak terjadi(Matius 22:1-14). Alih-alih para undangan menyambut dengan sukacita, mereka mengabaikan, menolak bahkan membunuh utusan yang menyampaikan undangan itu.

 

Perumpamaan tentang perjamuan kawin ini merupakan perumpamaan ketiga dalam polemik Yesus dengan ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Perumpamaan Yesus kali ini bercerita tentang seorang raja yang mengundang banyak tamu untuk pesta pernikahan anaknya. Namun, dengan pelbagai alasan orang-orang yang diundang itu tidak mau datang. Raja mengutus para utusannya sekali lagi untuk mengatakan bahwa hidangan telah disiapkan: lembu-lembu jantang dan ternak piaraannya telah disembelih. Tetapi para undangan tetap bergeming: tidak mau datang! Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang pergi ke ladang, mengurus usahanya, bahkan ada yang menangkap utusan raja itu lalu membunuhnya.

 

Bagaimana reaksi raja? Karena penolakan para undangan itu, sang raja memerintahkan agar undangan itu diberikan kepada semua orang yang dijumpai di persimpangan-persimpangan jalan. Para utusan itu menyapa, mengundang mereka; orang jahat maupun orang baik sehingga penuhlah ruang pesta itu.

 

Kiasan perjamuan kawin dengan indah mengungkapkan kebersamaan, kegembiraan, dan damai sejahtera dalam Kerajaan Allah atau tepatnya suka cita Keluarga Besar Kerajaan Allah. Maka cukup mengherankan bahwa ada banyak orang yang diundang justru menolak undangan itu. Orang-orang yang sudah lama disiapkan, pada saat yang menentukan kehilangan perhatian karena tenggelam dalam urusan-urusannya sendiri, yang tentu saja menurut mereka urusan-urusan itu jauh lebih penting ketimbang memenuhi undangan sang raja. Inilah sebuah penggambaran bahwa sering kali kesenangan pribadi membuat orang lupa akan panggilannya untuk merayakan kehidupan bersama yang membahagiakan; bahkan menyebabkan orang akhirnya memusuhi utusan-utusan Allah.

 

Perumpamaan ini juga menggambarkan teguran Yesus terhadap sikap para pemimpin Yahudi yang menolak Yesus. Para pemimpin Yahudi diundang untuk menghadiri pesta perjamuan penyelamatan yang penuh sukacita. Namun, seperti perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur, mereka tidak hanya menolak, melainkan juga berusa menganiaya, menyingkirkan dan membunuh utusan sang tuan. Bahkan akhirnya mereka berusaha dan memang berhasil membunuh anak sang tuan itu.

 

Dalam perumpamaan yang senada ini, karena mereka menolak untuk bersukacita bersama dalam penyelamatan, undangan itu akhirnya berubah menjadi malapetaka bagi mereka. Lalu, undangan itu akhirnya disebarkan untuk semua orang; orang-orang yang kebetulan dijumpai, yang sama sekali tidak pernah menduganya. Orang-orang yang kebetulan dijumpai itu melambangkan sisa umat Yahudi yang terpinggirkan, orang-orang berdosa dan orang-orang yang mereka anggap kafir.  Di sinilah, Allah yang diperkenalkan Yesus adalah Allah yang penuh rakhmat dengan kasih-Nya.

 

Semua orang layak dan pantas menerima rakhmat kasih-Nya, Allah merangkul semua! Namun, tentu saja bukan dengan semau-maunya orang datang ke “pesta perjamuan kawin” itu. Ternyata, sang raja menjumpai ada orang yang tidak mengenakan pakaian pesta. Lalu orang ini ditangkap, diikat dan dicampakkan untuk dihukum. Mengerikan! Ini merupakan gambaran bagi mereka yang telah menerima undangan itu, yakni Injil Kerajaan Sorga. Kepada mereka juga harus waspada dan jangan berpikir bahwa karena dipanggil dan karena telah menanggapi Injil, lalu mereka berpikir pasti akan selamat. Sehingga kehidupan mereka “tidak memakai pakaian pesta”, mereka tidak mengenakan Injil itu sebagai way of life, tidak menghidupi Injil dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain mereka sembrono karena menganggap diri sudah pasti selamat. Akhirnya, justru mereka dicampakan.

 

Tidak cukup seseorang mengakui nama Yesus, tidak cukup seseorang berteriak, “Tuhan-Tuhan” akan diselamatkan. Pengikut Yesus harus terus mengenakan pakaian pesta, artinya melaksanakan karya yang dituntut oleh kebenaran (Matius 7:21). Jadi, waspadalah “orang dalam”, para pengikut Yesus yang asal-asalan pun suatu ketika dapat saja dibuang. 

 

Di sinilah kita perlu punya kesehatian dengan si empunya pesta. Kita yang diundang dalam sukacita Kerajaan Allah, harus berpikir bahwa Allah memanggil kita untuk ada dalam persekutuan dengan-Nya. Layaknya, Bapa kita, Orang Tua kita, kita adalah keluarga besar Kerajaan Allah oleh karena itu mempunyai kesehatian merupakan keniscayaan. Artinya, kita mengerti, memahami apa yang menjadi kehendak-Nya. Dalam hal inilah kita masuk dalam suka cita perjamuan.

 

Keluarga kita adalah cerminan Keluarga Besar Kerajaan Surga. Keluarga yang sehati sepikir dalam mengerjakan apa yang Tuhan kehendaki supaya kelak tidak ada seorang pun dari anggota keluarga kita yang dibuang karena tidak “mengenakan pakaian pesta”. Dalam keluargalah kita belajar untuk saling mengingatkan dan mempraktikkan firman-Nya. Kesehatian keluarga itu tercermin bukan hanya dalam kata yang sepakat. Melainkan setiap anggota keluarga mau melakukan firman itu dalam kehidupan sehari-hari.

 

Jakarta, 8 Oktober 2020