Jumat, 27 Desember 2019

BERDAMAI DENGAN KESULITAN

“Berdamai dengan kesulitan.” Koq kesulitan diajak damai? Bukankah harus dihindari? Pernahkah Anda menghadapi kesulitan yang teramat berat, lalu Anda ingin memilih mati saja? Buat apa hidup, kalau terus-menerus menanggung beban berat!

Selama nafas masih ada, selama itu pula kesulitan akan menghampiri kita, demikian kata pepatah bijak. Bahkan, sejak lahir kita semua sudah teken kontrak dengan apa yang Namanya kesulitan hidup. Ini pula yang terjadi dengan Yesus. Meski Ia disebut Sang Mesias, Anak Allah yang Mahatinggi, tidak luput dari kesulitan. Sejak Ia lahir, nyawa-Nya sudah terancam! Itulah sebabnya malaikat Tuhan meminta Yusuf memboyong Maria dan Anak-Nya mengungsi ke Mesir.

Ada hal menarik ketika kita membaca narasi keluarga kudus yang mengungsi ke Mesir ini. Agustinus Gianto dalam bukunya “Membarui Wajah Manusia”, menyebut ada empat tokoh yakni, Malaikat yang menampakkan diri kepada Yusuf, kemudian Yusuf, lalu “Anak serta ibu-Nya”, dan akhirnya, “Herodes – ayah dan anak”. Mungkin kita heran mengapa Anak dan ibu-Nya menjadi satu tokoh. Di sini kita perlu mengikuti alur cerita Injil Matius dengan cermat dan berusaha memahami maksudnya. Bila kita membaca dari dekat ayat-ayat Matius 2:13,14,20,dan 21, Yesus dan Maria keduanya selalu disebut bersamaan. Mereka tidak dapat dipisahkan. Jadi, Matius menampilkan mereka sebagai satu tokoh dengan dua sisi. Tokoh ini adalah tokoh yang dilindungi oleh daya-daya dari langit dengan cara yang sangat manusiawi, dengan memakai kesahajaan Yusuf!

Kekuatan jahat ditokohkan dengan sosok yang memiliki “dua sisi juga”, yakni Herodes dan anaknya. Namun, kekuatan ini tidak dapat berbuat banyak. Bukan tanpa maksud Matius menggambarkan Herodes, ayah-anak itu sebagai kekuatan gelap yang turun-temurun merusak dan menghancurkan kehadiran Allah di antara manusia. Dengan menyadari hal itu, kita dapat mengerti gerak-gerik kehadiran kekuatan jahat di dunia ini: ia akan hadir terus, memakai kekuasaan dan menungganginya untuk memusuhi kemanusiaan. Tidak penting lagi buat kita sekarang, siapa persisnya yang membadankan kuasa ini. Yang mencolok adalah perkaranya, kegiatannya yang destruktif terhadap kemanusiaan dan keutuhan ciptaan. Kekuatan jahat itu bisa memakai orang ini atau orang itu, Herodes yang dulu atau Arkhelaus, anaknya. Sekarang pun masih terus ada dalam macam-macam bentuknya yang hanya dapat dikenal oleh orang yang jeli mata batinnya seperti Yusuf. 

Kesahajaan Yusuf membuat kekuasaan jahat itu tidak bisa berbuat banyak, walau kuasa mereka tidak dipunahkan. Pada saat yang sama, kesahajaan orang seperti Yusuf itu menjadi kebijaksanaan yang menyelamatkan. Yusuf paham situasi zamannya. Matius menyiratkan dengan cara diam-diam pada ayat 22. Diceritakan, Yusuf mendengar bahwa yang menjadi raja di Yudea ialah anak Herodes, yakni Arkhelaus. Kemudian disebutkan bahwa ia takut kembali ke sana. Dengan segala sisi kemanusiaannya, termasuk rasa takut, Yusuf mampu membaca gerak-gerik kekuasaan yang luar biasa itu. Ia pandai membaca kekuatan jahat itu mengarah. Namun, lebih dari itu, Yusuf mahir mengenal bimbingan ilahi dan menurutinya. Pada Matius 2: 22, tidak lagi diceritakan malaikat yang memberi petunjuk. Hanya disebutkan bahwa Yusuf dinasihati dalam mimpi. Matius seolah hendak menyarankan, kini Yusuf sudah menjadi orang yang peka akan bimbingan dari “atas”. Ia tahu apa yang harus diperbuat.

Dari sudut pandang tertentu, Yusuf ditampilkan sebagai tokoh ideal yang kehadirannya untuk memudahkan orang memahami cara Tuhan melindungi “Anak dan ibu-Nya”. Namun, bila dibaca dengan minat untuk mengerti kemanusiaan, sambil merasa-rasakan apa yang dialami Yusuf, akan tampil seorang tokoh Yusuf yang sungguh nyata, yang berhasil menjalani liku-liku kehidupan dengan bimbingan ilahi menghindari jatuh ke dalam pengaruh dan kekuasaan jahat. Yusuf adalah orang yang peka terhadap suara ilahi yang berpijak di bumi dan berhasil mengatasi pelbagai kesulitan.

Belajar dari Yusuf, kunci menghadapi kesulitan sangat sederhana: peka terhadap bimbingan Tuhan, mampu membaca tantangan, tidak mengabaikan rasa kemanusiaan termasuk rasa takut dan yang paling penting adalah mengerjakan petunjuk ilahi! Mungkin kita akan protes: Yusuf tokoh yang sudah disiapkan Allah untuk menjaga misi Allah. Enak buat Yusuf, malaikat langsung ngomong, nah kalau kita, mana ada malaikat mau datang? Ya, benar mungkin faktanya begitu. Namun, bukankah setiap anak-anak Tuhan disiapkan bukan untuk menjadi pecundang dalam menghadapi masalah? Setiap anak Tuhan disiapkan untuk menjadi pemenang dan menjadi berkat buat sesamanya! Bukankah juga setiap saat Tuhan menghadirkan para malaikatnya di sekitar kita? Tugas utama malaikat Tuhan bukan membentangkan sayapnya atau kemilau cahayanya. Bukan! Tetapi menyampaikan petunjuk dan maksud Allah. Bukankah ada banyak “malaikat” Tuhan yang memberikan petunjuk di sekitar kita? Ia bisa hadir lewat teman, bawahan, orang tua, anak, saudara, bahkan orang yang kita benci sekalipun! Malaikat Tuhan bisa hadir dalam ciptaan-Nya, melalui peristiwa-peristiwa kehidupan, melalui mimbar dan perenungan firman. Jadi, yakinlah bahwa Tuhan memberi bimbingan yang sama kepada kita, agar kita mampu berdamai dengan kesulitan!

Kembali kepada cerita kesulitan yang membuat orang bisa frustasi dan bunuh diri. Suatu hari, Norman Vincent Peale, penulis buku yang menjadi best seller “You Can If You Think You Can kedatangan seorang pria yang memohon nasihat darinya. Laki-laki itu mengeluh karena ia sudah bosan menjalani kehidupan dengan pelbagai masalah di dalamnya. Ia berencana untuk melakukan bunuh diri agar bisa keluar dari kejenuhan hidupnya itu.

“Tampaknya itu sebuah jalan keluar yang menarik, tetapi saya punya saran. Begini, bagaimana jika sebelum kamu melakukan bunuh diri, kamu mencoba mengikuti nasihat saya agar kamu tidak mati sia-sia,” pinta Peale.

“Baiklah, saya akan turuti kata-kata Anda untuk terakhir kalinya,” jawab pemuda itu.

“Bayangkan bahwa hidupmu tinggal sehari lagi. Besok malam, ketika kamu akan tidur, anggaplah malam itu adalah malam terakhir kamu menikmati tempat tidurmu yang mewah. Besok pagi, ketika kamu bangun tidur, pikirkan apa saja yang akan kamu lakukan dengan waktu yang amat terbatas itu. Bertindaklah seolah-olah hari itu adalah hari terakhir dalam hidupmu. Pergilah ke meja makan, nikmati sarapan pagimu dengan santai, minta menu istimewa yang kamu sukai, dan berbincang-bincang dengan orang-orang terdekatmu, katakanlah apa yang kamu ingin sampaikan sebagai pesan terakhir kepada mereka. Ingat itu hari terakhirmu! Dalam perjalanan menuju kantor, minta sopirmu melewati rute yang tidak biasa, siapa tahu ada hal-hal menarik yang selama ini belum pernah kamu ketahui. Tataplah Gedung-gedung dan pepohonan yang berada di sepanjang jalan itu. Dalam perjalanan ke stasiun, berjalanlah perlahan dan pandanglah baik-baik rumah dan kotamu. Pandanglah tetanggamu untuk yang terakhir kalinya. Di atas kereta, sadarilah bahwa ini adalah yang terakhir kalinya naik kereta ke kota. Lihatlah untuk yang terakhir kalinya hal-hal yang tidak kamu sukai karena kamu segera tidak akan melihatnya lagi.” Peale menjelaskan secara rinci tindakan apa saja yang harus dilakukan pemuda itu sebelum mengakhiri hidupnya. Lelaki itu berjanji melakukan apa yang dinasihatkan kepadanya dan melaporkan hasilnya.

Anak muda itu tidak sabar menunggu hari esok. Dia membayangkan hari-hari itu adalah terakhir baginya. Dalam perjalanan pulang ia memandang ke luar jendela dan tidak membaca surat kabar sore itu. Ia merasa kagum dengan kerlap-kerlip lampu menghiasi kota. Ia merasa perjalanannya sore itu adalah perjalanan yang sangat mengagumkan. Kemudian, di bawah cahaya rembulan dia pulang ke rumahnya. Ia tidak menggunakan kunci seperti biasanya, tetapi mengetuk pintu rumahnya. Ketika pintu dibuka dari dalam, tampak istrinya yang terlihat begitu cantik tersinari lampu teras. Saat itu juga ia memeluk dan mencium istrinya. Ini hari tidak seperti biasa, semua terasa indah!

“Saya langsung memeluk dan memberinya ciuman yang paling mesra di sepanjang hidup kami berdua. Saat itulah dan di situlah saya bertekad untuk meneruskan hidup ini, keesokan harinya, dan pada hari-hari berikutnya selama Tuhan masih menganugerahkan kehidupan buat saya.” Kata lelaki itu pada Peale. Mendengar pengakuan itu, Peale sangat senang. Ternyata nasihat sederhana bisa menyelamatkan nyawa seseorang. 

Bukalah mata, telinga, pikiran dan hati kita. Ada malaikat Tuhan di sekitar kita, masalahnya apakah kita menerima tuntunan dan petunjuknya seperti Yusuf?

Jakarta, 27 Desember 2019

Selasa, 24 Desember 2019

MENYATAKAN KEMULIAAN ALLAH

Suatu hari, seorang ulama kampung mengundang Nasrudin untuk makan malam di rumahnya. Hari itu, Nasrudin hanya makan sedikit saja. Pikirnya, menyiapkan perut untuk ruang makanan yang lezat! Apa yang terjadi kemudian? Nasrudin kelaparan setibanya di rumah sang ulama. Tak heran jika ia terlihat tidak sabar menanti makanan dihidangkan.

Namun, setelah dua jam, sang ulama belum juga menawarkan makanan kepada Nasrudin. Sebaliknya, ia terus berbicara tanpa henti tentang sejumlah kisah tentang keagamaan. Menit demi menit berlalu, Nasrudin mulai kesal dan akhirnya ia memberanikan diri memotong pembicaraan ulama itu.

“Bolehkah aku bertanya, wahai ulama?” Nasrudin mulai bertanya.
Tentu saja sang ulama gembira, apa yang ia paparkan Panjang lebar ditanggapi Nasrudin. “Apakah gerangan pertanyaanmu, Nasrudin?” Sang ulama bersiap-siap menjawab pertanyaan bernuansa agama itu agar ia bisa meneruskan kisahnya.

“Saya penasaran,” kata Nasrudin, “Apakah orang-orang dalam kisah yang engkau ceritakan itu tidak pernah kelaparan?”

Terbentang jurang lebar antara narasi keagamaan dengan kebutuhan umat, sehingga firman itu tidak membuahkan dan mengubah perilaku umat. Bisa jadi narasi keagamaan itu begitu luhurnya sehingga tidak menyentuh. Narasi itu kehilangan empati terhadap kebutuhan umat. Atau umat yang tidak mau mengerti, seperti Israel yang dikenal dengan sebutan umat yang tegar tengkuk!

Jurang itu perlu jembatan!

Kalau Lukas dan Matius menceritakan asal-usul manusiawi Yesus, Yohanes berbeda. Injil ini diawali bukan dengan hiruk pikuk orang-orang yang harus mencatatkan diri di kota mereka masing-masing atas perintah Kaisar Agustus. Atau kesibukan para Majusi yang hendak melakukan perjalanan jauh demi menyembah Sang Mesias yang baru dilahirkan. Yohanes berbicara mengenai asal-usul ilahi dari Yesus. 

Jauh sebelum orang meributkan prolog Injil Yohanes sebagai saduran dari himne Platonis, kitab Amsal yang ditulis beberapa abad sebelum kelahiran Yesus, berbicara tentang hikmat (baca: firman / logos) Allah.

TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya…
Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, 
sebelum bumi ada.
Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir….
Sebelum gunung-gunung tertanam, aku telah lahir …
Ketika Ia mempersiapkan langit, aku di sana …
Aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan,
setiap hari aku menjadi kesayangan-Nya,
dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya …. (Amsal 8:22-30)

Asal-usul keilahian Yesus menurut Injil Yohanes ini intinya adalah kata Yunani logos yang biasa diterjemahkan dengan Firman atau Sabda. Tidak salah, namun logos mempunyai arti yang lebih luas, tidak hanya menunjuk pada kata yang terucap tetapi juga gagasan dan pikiran yang ada di balik kata yang terucap itu. Firman atau Sabda ini punya daya untuk menciptakan, mengubah dan membarui. Sama seperti ucapan, gagasan dan apa yang ada di balik pikiran kita tidak bisa dipisahkan dari diri kita: Logos, Firman atau Sabda itu pada hakikatnya adalah Allah sendiri.

Logos, Firman atau Sabda itu adalah ”Terang” Ilahi yang hadir di dunia ini. Segala sesuatu diciptakan, dibentuk, dibaharui oleh Firman yang adalah Terang Ilahi, maka segala sesuatu diciptakan oleh Terang Sabda-Nya. Itu artinya, Terang itu tersembunyi tetapi dinyatakan dalam semua ciptaan-Nya. Semua ciptaan itu memancarkan Terang sang pencipta-Nya. Bunga memancarkan keindahan dan harumnya, gunung-gunung memancarkan kekuatannya, kicau burung mengangungkan semarak kemuliaanya, ombak dan badai menandakan kedasyatan-Nya. Dalam setiap ciptaan ada Terang ilahi, namun sering kali manusia tidak menyambut Terang itu!

Bahkan Terang itu juga datang dan menyapa umat-Nya melalui para nabi dengan berbagai cara menyampaikan Terang itu, namun mereka tidak menerima-Nya juga. Meski demikian, dunia yang dipenuhi oleh kekerasan dan diliputi kegelapan, Allah yang menerangi dan menciptakan terus berkarya. Allah menyatakan kehendak-Nya, Terang-Nya itu kepada orang-orang kudus, kepada para nabi, selama berabad-abad di seluruh dunia, dengan menunjukkan kepada mereka tentang bagaimana mereka harus hidup. Namun lagi-lagi, manusia tidak menerima Terang itu; tidak mengindahkan-Nya!

“Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yohanes 1:11)

Apakah Allah menyerah?

Tidak!

“Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia, Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kuasa.” (Ibrani 1:1-3)

Selanjutnya cahaya kemuliaan dan gambar wujud Allah itu tinggal di antara kita. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita…” (Yohanes 1:14). Allah yang abadi, pencipta langit dan bumi, menjadi seperti kita: manusia yang lemah dan fana. Ia menjadi bayi yang membutuhkan seorang ibu, dikandung dalam rahimnya, diberi makan oleh susunya, membutuhkan kasihnya dan kasih kehadiran Yusuf sebagai ayah agar dapat hidup dan berkembang sebagai manusia. Ia “tinggal di antara kita” – yang dapat diartikan : “Ia mendirikan kemahnya di antara kita”. Ia menjadi peziarah dan saudara, berjalan melewati padang gurun dunia Bersama dengan kita. Ia menjadi bagian dari sejarah, sambil menunjukkan jalan – yang adalah diri-Nya sendiri – menuju Allah dan damai universal yang sesungguhnya.

Yesus, Sang Firman yang menjadi manusia. Dalam diri-Nya orang melihat Allah yang penuh misteri. Firman itu menyatakan siapa Allah yang sesungguhnya dengan kasat mata. Allah yang dikenal sebagai yang rahmani dan rahimi; dulu para nabi dan orang hanya mengenal konsep dan gagasannya. Melalui Yesus, Firman itu terlihat bagaimana sifat Allah yang rahmani dan rahimi itu karena Yesus memperagakannya. Dulu, para nabi berbicara tentang apa itu pengampunan, di dalam Yesus – ia tidak hanya mengajarkan pengampunan, bahwa orang harus mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali – orang melihat sendiri pengampunan itu seperti apa. Di depan para penganiaya-Nya, di kayu salib, Ia mengatakan, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” Dulu Raja Daud mengatakan, “TUHAN adalah gembalaku yang baik!” Kini orang mendengar dan merasakan bahwa Yesus adalah Gembala yang baik itu!

Firman itu telah menjadi manusia. Yesus menjadi Sabda yang kelihatan dan dengan demikian Ia memuliakan Allah. Dengan jalan hidup-Nya sebagai Terang dunia, Yesus telah menerangi apa yang masih gelap, apa yang masih disangsikan dan kemudian semuanya bermuara untuk memuliakan Sang Bapa. Firman itu tidak kembali dengan sia-sia.

Dengan jalan itulah Allah membangun “jembatan” sehingga tidak ada lagi jurang yang memisahkan ketidakmengertian manusia dengan apa yang Allah kehendaki. Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita harus menerima Terang itu, hanya dengan jalan itu kita diberi-Nya kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Kuasa yang bukan untuk dilayani dan menaklukkan, meliankan untuk menjadi anak-anak yang terus memancarkan Terang itu. Di dunia ini masih begitu banyak tindakan kekerasan, ketidakadilan, keserakahan dan kerakusan. Sama seperti Yesus menghadirkan Terang dan menyatakan kemuliaan Allah (baca: menghidupi Sabda Allah), kita juga dipanggil-Nya untuk melakukan cara itu. Dunia tidak butuh kata-kata, sebagaimana Nasrudin tidak membutuhkan dongeng tentang kisah-kisah agama yang panjang lebar…

Selamat menjadi terang dan menyatakan kemuliaan Allah.
Selamat Natal 2019!