Selasa, 24 Desember 2019

MENYATAKAN KEMULIAAN ALLAH

Suatu hari, seorang ulama kampung mengundang Nasrudin untuk makan malam di rumahnya. Hari itu, Nasrudin hanya makan sedikit saja. Pikirnya, menyiapkan perut untuk ruang makanan yang lezat! Apa yang terjadi kemudian? Nasrudin kelaparan setibanya di rumah sang ulama. Tak heran jika ia terlihat tidak sabar menanti makanan dihidangkan.

Namun, setelah dua jam, sang ulama belum juga menawarkan makanan kepada Nasrudin. Sebaliknya, ia terus berbicara tanpa henti tentang sejumlah kisah tentang keagamaan. Menit demi menit berlalu, Nasrudin mulai kesal dan akhirnya ia memberanikan diri memotong pembicaraan ulama itu.

“Bolehkah aku bertanya, wahai ulama?” Nasrudin mulai bertanya.
Tentu saja sang ulama gembira, apa yang ia paparkan Panjang lebar ditanggapi Nasrudin. “Apakah gerangan pertanyaanmu, Nasrudin?” Sang ulama bersiap-siap menjawab pertanyaan bernuansa agama itu agar ia bisa meneruskan kisahnya.

“Saya penasaran,” kata Nasrudin, “Apakah orang-orang dalam kisah yang engkau ceritakan itu tidak pernah kelaparan?”

Terbentang jurang lebar antara narasi keagamaan dengan kebutuhan umat, sehingga firman itu tidak membuahkan dan mengubah perilaku umat. Bisa jadi narasi keagamaan itu begitu luhurnya sehingga tidak menyentuh. Narasi itu kehilangan empati terhadap kebutuhan umat. Atau umat yang tidak mau mengerti, seperti Israel yang dikenal dengan sebutan umat yang tegar tengkuk!

Jurang itu perlu jembatan!

Kalau Lukas dan Matius menceritakan asal-usul manusiawi Yesus, Yohanes berbeda. Injil ini diawali bukan dengan hiruk pikuk orang-orang yang harus mencatatkan diri di kota mereka masing-masing atas perintah Kaisar Agustus. Atau kesibukan para Majusi yang hendak melakukan perjalanan jauh demi menyembah Sang Mesias yang baru dilahirkan. Yohanes berbicara mengenai asal-usul ilahi dari Yesus. 

Jauh sebelum orang meributkan prolog Injil Yohanes sebagai saduran dari himne Platonis, kitab Amsal yang ditulis beberapa abad sebelum kelahiran Yesus, berbicara tentang hikmat (baca: firman / logos) Allah.

TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya…
Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, 
sebelum bumi ada.
Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir….
Sebelum gunung-gunung tertanam, aku telah lahir …
Ketika Ia mempersiapkan langit, aku di sana …
Aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan,
setiap hari aku menjadi kesayangan-Nya,
dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya …. (Amsal 8:22-30)

Asal-usul keilahian Yesus menurut Injil Yohanes ini intinya adalah kata Yunani logos yang biasa diterjemahkan dengan Firman atau Sabda. Tidak salah, namun logos mempunyai arti yang lebih luas, tidak hanya menunjuk pada kata yang terucap tetapi juga gagasan dan pikiran yang ada di balik kata yang terucap itu. Firman atau Sabda ini punya daya untuk menciptakan, mengubah dan membarui. Sama seperti ucapan, gagasan dan apa yang ada di balik pikiran kita tidak bisa dipisahkan dari diri kita: Logos, Firman atau Sabda itu pada hakikatnya adalah Allah sendiri.

Logos, Firman atau Sabda itu adalah ”Terang” Ilahi yang hadir di dunia ini. Segala sesuatu diciptakan, dibentuk, dibaharui oleh Firman yang adalah Terang Ilahi, maka segala sesuatu diciptakan oleh Terang Sabda-Nya. Itu artinya, Terang itu tersembunyi tetapi dinyatakan dalam semua ciptaan-Nya. Semua ciptaan itu memancarkan Terang sang pencipta-Nya. Bunga memancarkan keindahan dan harumnya, gunung-gunung memancarkan kekuatannya, kicau burung mengangungkan semarak kemuliaanya, ombak dan badai menandakan kedasyatan-Nya. Dalam setiap ciptaan ada Terang ilahi, namun sering kali manusia tidak menyambut Terang itu!

Bahkan Terang itu juga datang dan menyapa umat-Nya melalui para nabi dengan berbagai cara menyampaikan Terang itu, namun mereka tidak menerima-Nya juga. Meski demikian, dunia yang dipenuhi oleh kekerasan dan diliputi kegelapan, Allah yang menerangi dan menciptakan terus berkarya. Allah menyatakan kehendak-Nya, Terang-Nya itu kepada orang-orang kudus, kepada para nabi, selama berabad-abad di seluruh dunia, dengan menunjukkan kepada mereka tentang bagaimana mereka harus hidup. Namun lagi-lagi, manusia tidak menerima Terang itu; tidak mengindahkan-Nya!

“Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yohanes 1:11)

Apakah Allah menyerah?

Tidak!

“Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia, Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kuasa.” (Ibrani 1:1-3)

Selanjutnya cahaya kemuliaan dan gambar wujud Allah itu tinggal di antara kita. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita…” (Yohanes 1:14). Allah yang abadi, pencipta langit dan bumi, menjadi seperti kita: manusia yang lemah dan fana. Ia menjadi bayi yang membutuhkan seorang ibu, dikandung dalam rahimnya, diberi makan oleh susunya, membutuhkan kasihnya dan kasih kehadiran Yusuf sebagai ayah agar dapat hidup dan berkembang sebagai manusia. Ia “tinggal di antara kita” – yang dapat diartikan : “Ia mendirikan kemahnya di antara kita”. Ia menjadi peziarah dan saudara, berjalan melewati padang gurun dunia Bersama dengan kita. Ia menjadi bagian dari sejarah, sambil menunjukkan jalan – yang adalah diri-Nya sendiri – menuju Allah dan damai universal yang sesungguhnya.

Yesus, Sang Firman yang menjadi manusia. Dalam diri-Nya orang melihat Allah yang penuh misteri. Firman itu menyatakan siapa Allah yang sesungguhnya dengan kasat mata. Allah yang dikenal sebagai yang rahmani dan rahimi; dulu para nabi dan orang hanya mengenal konsep dan gagasannya. Melalui Yesus, Firman itu terlihat bagaimana sifat Allah yang rahmani dan rahimi itu karena Yesus memperagakannya. Dulu, para nabi berbicara tentang apa itu pengampunan, di dalam Yesus – ia tidak hanya mengajarkan pengampunan, bahwa orang harus mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali – orang melihat sendiri pengampunan itu seperti apa. Di depan para penganiaya-Nya, di kayu salib, Ia mengatakan, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” Dulu Raja Daud mengatakan, “TUHAN adalah gembalaku yang baik!” Kini orang mendengar dan merasakan bahwa Yesus adalah Gembala yang baik itu!

Firman itu telah menjadi manusia. Yesus menjadi Sabda yang kelihatan dan dengan demikian Ia memuliakan Allah. Dengan jalan hidup-Nya sebagai Terang dunia, Yesus telah menerangi apa yang masih gelap, apa yang masih disangsikan dan kemudian semuanya bermuara untuk memuliakan Sang Bapa. Firman itu tidak kembali dengan sia-sia.

Dengan jalan itulah Allah membangun “jembatan” sehingga tidak ada lagi jurang yang memisahkan ketidakmengertian manusia dengan apa yang Allah kehendaki. Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita harus menerima Terang itu, hanya dengan jalan itu kita diberi-Nya kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Kuasa yang bukan untuk dilayani dan menaklukkan, meliankan untuk menjadi anak-anak yang terus memancarkan Terang itu. Di dunia ini masih begitu banyak tindakan kekerasan, ketidakadilan, keserakahan dan kerakusan. Sama seperti Yesus menghadirkan Terang dan menyatakan kemuliaan Allah (baca: menghidupi Sabda Allah), kita juga dipanggil-Nya untuk melakukan cara itu. Dunia tidak butuh kata-kata, sebagaimana Nasrudin tidak membutuhkan dongeng tentang kisah-kisah agama yang panjang lebar…

Selamat menjadi terang dan menyatakan kemuliaan Allah.
Selamat Natal 2019!

Senin, 23 Desember 2019

KEMULIAAN DALAM KESEDERHANAAN

Injil Lukas mengisahkan kelahiran Sang Mesias bukan di tempat yang selayaknya, apalagi di istana kerajaan. Bukan! Sang Mesias lahir di tengah-tengah rakyat jelata yang sedang mengantri di tengah-tengah sebuah pencacahan jiwa yang dilakukan oleh Kaisar Agustus. Tak pelak lagi, Yesus merupakan bagian dari kejelataan yang marjinal itu. Kelahirannya akrab dengan suara ternak dan gembala serta kaum papa.

Kelahiran Kristus berada dalam sejarah kelam. Umat Allah sedang berada dalam cengkeraman kekuasaan Kaisar Agustus. Agustus sebenarnya bernama Octavianus, nama lengkapnya Gaius Julius Caesar Octavianus. Dia dipandang sebagai kaisar terbesar sepanjang sejarah kekaisaran Romawi. Agustus dimuliakan bagaikan dewa, dia dianggap sebagai juruselamat dunia yang mendatangkan zaman keemasan untuk dunia.

Tentu saja, penulis Injil Lukas dengan sadar menempatkan keduanya berhadapan: Agustus dan Yesus. Seakan-akan Lukas berkisah, “Pada zaman pemerintahan Kaisar Agustus yang dipuja oleh dunia sebagai orang yang sangat mulia, bagaikan dewa dan penyelamat, lahirlah Juruselamat yang sesungguhnya, yakni : Yesus Kristus!

Untuk meneguhkan kemuliaan yang sesungguhnya itu, Allah, melalui malaikat-Nya menyiapkan para saksi. Bukan dari kalangan orang-orang mulia, bukan bangsawan atau kaum intelektual yang terpandang. Mereka para marjinal. Gembala! Para gembala adalah kaum marjinal secara ekonomi dan martabat. Koq bisa? Ya, Allah ingin memakai mereka untuk menyatakan kemuliaan Sang Mesias bukan melulu melalui kekuasaan dan kehormatan yang dipuja dan dikejar manusia! Ternyata bagi Allah siapa pun dapat dipakai-Nya untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Bagi Allah semua manusia adalah mulia!

Tanpa menunggu waktu lama, dengan keyakinan penuh bahwa utusan Tuhan telah berbicara kepada para gembala, mereka cepat-cepat pergi untuk menyambut Sang Mesias itu. Para gembala itu pergi bukan untuk membuktikan kebenaran para malaikat, melainkan mereka pergi untuk menyambut dan menjadi saksi kelahiran Sang Mesias. Terbukti ketika mereka tiba di tempat di mana Yesus dilahirkan, mereka menceritakan apa yang sudah didengar dari malaikat Tuhan. Peran gembala di sini sangat penting. Kelahiran Yesus Kristus diberi makna yang sesungguhnya oleh para gembala itu. Mereka memberi pernyataan yang mencengangkan banyak orang. Dan semua orang yang mendengarkannya heran!

Jika Yesus Kristus, Sang Juruselamat yang sesungguhnya hadir dalam kesederhanaan dan berpihak pada orang-orang miskin, menderita, terabaikan dan cenderung dianggap sampah. Mestinya, gereja yang mengaku sebagai penerus karya Kristus dapat menunjukkan kesederhanaan dan keberpihakan yang sama tanpa harus takut kehilangan kemuliaan. Kemuliaan yang sesungguhnya bukanlah dengan mendirikan mercu suar atau proyek dan program pelayanan yang spektakuler. Melainkan dengan setia meneruskan kasih Tuhan. Gereja harus berani berdiri di barisan paling depan menentang ketidakadilan dan berpihak kepada mereka yang teraniaya.

Gereja adalah Anda dan saya. Kita semua dapat berkarya meneruskan cinta kasih Tuhan kepada dunia ini. Mulailah dari diri kita untuk menyatakan kasih, pengampunan dan damai sejahtera bagi semua orang. Mulailah dari hal-hal kecil yang sederhana yang bisa kita lakukan. Senyum sapa dan berbagi apa pun yang baik merupakan cara kita untuk meneruskan cinta kasih Tuhan. Jangan berpikir nanti saja, mulailah dari sekarang. Sebab, bisa jadi esok atau lusa sudah terlambat. Lakukanlah dengan sukacita, rela dan tanpa pamrih. Jangan takut kehilangan kemuliaan. Yesus Kristus memberi contoh dan teladan: kemuliaan tidak pernah akan hilang meski ditampilkan dalam kesederhanaan sekali pun!

Selamat menyongsong dan merayakan Natal. Rayakanlah dengan kesederhanaan namun penuh dengan cinta kasih! Tuhan memberkati!

Selamat merayakan Natal 2019