Senin, 23 Desember 2019

KEMULIAAN DALAM KESEDERHANAAN

Injil Lukas mengisahkan kelahiran Sang Mesias bukan di tempat yang selayaknya, apalagi di istana kerajaan. Bukan! Sang Mesias lahir di tengah-tengah rakyat jelata yang sedang mengantri di tengah-tengah sebuah pencacahan jiwa yang dilakukan oleh Kaisar Agustus. Tak pelak lagi, Yesus merupakan bagian dari kejelataan yang marjinal itu. Kelahirannya akrab dengan suara ternak dan gembala serta kaum papa.

Kelahiran Kristus berada dalam sejarah kelam. Umat Allah sedang berada dalam cengkeraman kekuasaan Kaisar Agustus. Agustus sebenarnya bernama Octavianus, nama lengkapnya Gaius Julius Caesar Octavianus. Dia dipandang sebagai kaisar terbesar sepanjang sejarah kekaisaran Romawi. Agustus dimuliakan bagaikan dewa, dia dianggap sebagai juruselamat dunia yang mendatangkan zaman keemasan untuk dunia.

Tentu saja, penulis Injil Lukas dengan sadar menempatkan keduanya berhadapan: Agustus dan Yesus. Seakan-akan Lukas berkisah, “Pada zaman pemerintahan Kaisar Agustus yang dipuja oleh dunia sebagai orang yang sangat mulia, bagaikan dewa dan penyelamat, lahirlah Juruselamat yang sesungguhnya, yakni : Yesus Kristus!

Untuk meneguhkan kemuliaan yang sesungguhnya itu, Allah, melalui malaikat-Nya menyiapkan para saksi. Bukan dari kalangan orang-orang mulia, bukan bangsawan atau kaum intelektual yang terpandang. Mereka para marjinal. Gembala! Para gembala adalah kaum marjinal secara ekonomi dan martabat. Koq bisa? Ya, Allah ingin memakai mereka untuk menyatakan kemuliaan Sang Mesias bukan melulu melalui kekuasaan dan kehormatan yang dipuja dan dikejar manusia! Ternyata bagi Allah siapa pun dapat dipakai-Nya untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Bagi Allah semua manusia adalah mulia!

Tanpa menunggu waktu lama, dengan keyakinan penuh bahwa utusan Tuhan telah berbicara kepada para gembala, mereka cepat-cepat pergi untuk menyambut Sang Mesias itu. Para gembala itu pergi bukan untuk membuktikan kebenaran para malaikat, melainkan mereka pergi untuk menyambut dan menjadi saksi kelahiran Sang Mesias. Terbukti ketika mereka tiba di tempat di mana Yesus dilahirkan, mereka menceritakan apa yang sudah didengar dari malaikat Tuhan. Peran gembala di sini sangat penting. Kelahiran Yesus Kristus diberi makna yang sesungguhnya oleh para gembala itu. Mereka memberi pernyataan yang mencengangkan banyak orang. Dan semua orang yang mendengarkannya heran!

Jika Yesus Kristus, Sang Juruselamat yang sesungguhnya hadir dalam kesederhanaan dan berpihak pada orang-orang miskin, menderita, terabaikan dan cenderung dianggap sampah. Mestinya, gereja yang mengaku sebagai penerus karya Kristus dapat menunjukkan kesederhanaan dan keberpihakan yang sama tanpa harus takut kehilangan kemuliaan. Kemuliaan yang sesungguhnya bukanlah dengan mendirikan mercu suar atau proyek dan program pelayanan yang spektakuler. Melainkan dengan setia meneruskan kasih Tuhan. Gereja harus berani berdiri di barisan paling depan menentang ketidakadilan dan berpihak kepada mereka yang teraniaya.

Gereja adalah Anda dan saya. Kita semua dapat berkarya meneruskan cinta kasih Tuhan kepada dunia ini. Mulailah dari diri kita untuk menyatakan kasih, pengampunan dan damai sejahtera bagi semua orang. Mulailah dari hal-hal kecil yang sederhana yang bisa kita lakukan. Senyum sapa dan berbagi apa pun yang baik merupakan cara kita untuk meneruskan cinta kasih Tuhan. Jangan berpikir nanti saja, mulailah dari sekarang. Sebab, bisa jadi esok atau lusa sudah terlambat. Lakukanlah dengan sukacita, rela dan tanpa pamrih. Jangan takut kehilangan kemuliaan. Yesus Kristus memberi contoh dan teladan: kemuliaan tidak pernah akan hilang meski ditampilkan dalam kesederhanaan sekali pun!

Selamat menyongsong dan merayakan Natal. Rayakanlah dengan kesederhanaan namun penuh dengan cinta kasih! Tuhan memberkati!

Selamat merayakan Natal 2019

Kamis, 19 Desember 2019

MENGHADAPI PERGUMULAN DENGAN IMAN

Suasana jelang Natal semakin terasa, bahkan sudah banyak di sana-sini orang Kristen merayakan Natal! Kalau saja kita mengikuti proses kelahiran Sang Juruselamat, mungkin saja merayakan Natal tidak semudah seperti sekarang kita merayakannya. Proses kelahiran itu melibatkan manusia, dan manusia yang diajak menghadirkan Sang Imanuel itu tidak serta-merta menerimanya tanpa melalui proses gumul dan juang.

Minggu Adven terakhir tahun A bacaan Injil terambil dari Matius 1 :18 – 25. Bagi komunitas umat Matius dan orang Kristen mula-mula, kelahiran Yesus bukanlah kejadian lumrah. Yesus Kristus dikandung dari Roh Kudus tetapi dilahirkan secara manusiawi oleh Maria dan dibesarkan oleh Yusuf. Injil Matius memberikan keterangan peristiwa yang tidak biasa ini melalui kata-kata malaikat kepada Yusuf melalui mimpi. Semua yang diucapkan malaikat itu merupakan penggenapan nubuat Nabi Yesaya (Yesaya 7:14), yang mengatakan bahwa seorang anak dara akan melahirkan anak laki-laki yang disebut Imanuel, yang artinya “Tuhan menyertai kita”. Sekilas berita ini mengalir begitu mudahnya. Kita jarang sekali memerhatikan pergumulan orang-orang yang menyiapkan kedatangan Sang Imanuel itu.

Dalam Matius 1:18 dan 20 disebutkan bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus sebelum hidup layaknya suami-istri bersama Yusuf. Dalam adat istiadat Yahudi, sejak usia remaja, seorang gadis pada umumnya sudah dipertunangkan dengan calon suaminya jauh-jauh sebelum pernikahan. Pernikahan itu sendiri baru terjadi setelah keduanya siap membangun rumah tangga secara mandiri. Apakah pertunangan dapat dibatalkan? Ya, tentu saja! Ikatan pertunangan dapat dibatalkan dengan alasan-alasan tertentu. Salah satunya ialah bila calon istri didapati mengandung sebelum pernikahan. Menurut hukum adat itu, bakal suami wajib membatalkan ikatan pertunangan tadi.

Setelah pembatalan itu, pihak perempuan akan bebas dari ikatan itu dan dapat diperistri oleh orang lain secara sah. Kendati sudah dibebaskan dari ikatan pertunangan dan boleh diperistri oleh pria lain, namun kenyataannya: siapa yang mau mempersunting perempuan yang hamil di luar nikah? Yusuf, jelas ia mencintai Maria. Dia bisa membayangkan bagaimana nasib Maria kalau pertunangan itu ia batalkan. Di pihak lain, tentu saja Yusuf tahu hukum-hukum yang mengikatnya sebagai orang Yahudi. Dalam kondisi ini Yusuf bergumul!

Dalam pergumulannya, tercermin sikap Yusuf bahwa ia tidak egois. Ia tidak hendak menyusahkan Maria, tapi tetap mau menaati hukum tadi. Maka dari itu, ia bermaksud membatalkan pertunangannya dengan Maria secara “diam-diam”, artinya Yusuf membatalkan pertunangan itu bukan tanpa saksi, tetapi tidak memperkarakannya di muka pengadilan atau tanpa membuat pernyataan macam-macam tentang perkara tersebut. Dengan demikian, pembatalan itu akan sah menurut hukum, tetapi tidak mendatangkan aib bagi Maria.

Perhatikan apa yang dirancangkan Yusuf. Ia berusaha mencari jalan yang terbaik untuk memecahkan pergumulan hubungannya dengan Maria. Yusuf tidak mau gadis yang dicintainya dilecehkan oleh orang banyak lantaran ia hamil di luar pernikahan dengannya. Yusuf juga tidak mau ada hukum-hukum dalam tradisinya yang dilanggar. Itulah usahaoptimal yang dapat dilakukan oleh Yusuf. 

Namun apa yang terjadi sebelum niatnya dilaksanakan? Sesuatu yang luar biasa! Malaikat Tuhan datang menjumpai dan mengatakan kepada Yusuf, “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.” (Matius 1:20). “Mengandung dari Roh Kudus menggemakan berita-berita yang tercantum dalam Perjanjian Lama (Kejadian 18:11; 1Samuel 1) tentang Allah yang menyuburkan rahim perempuan-perempuan mandul. Melalui pernyataan ini, Injil Matius mau menegaskan Allah sendirilah Sang penyebab kehidupan Anak-Nya sebagai manusia. Dengan cara ini terungkap ikatan mendalam antara yang ilahi dengan yang insani.

Pernyataan malaikat Tuhan ini merupakan jalan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Yusuf. Barangkali juga jalan yang sulit dimengerti dan diterima. Bayangkan, Yusuf, semenjak pertunangannya dengan Maria, ia harus menjaga dan merawat mimpi-mimpi indahnya membangun keluarga kecil. Ia akan bekerja sebagai tukang kayu, Maria tentunya sebagai ibu rumah tangga akan merawat anak, mengurusi rumah dan menjadi curahan kasih sayangnya. Namun, kini kenyataan menjadi lain ketika ia harus berhadapan dengan rancangan Yang Ilahi. Yusuf harus merelakan impiannya dengan keyakinan bahwa rencana Allah pasti lebih baik dari apa yang ia rancangkan. Tugasnya akan tetap ada: Ia menjadi suami dari Maria dan ayah dari Yesus. Sebagai seorang ayah, ia bertanggung jawab anak yang dilahirkan oleh Maria itu akan dimasukkan dalam garis keturunannya: Ya, garis keturunan Raja Daud. Sebagai ayah pula, ia yang nantinya akan memberi nama kepada bayi yang dilahirkan Maria.

Kelahiran Yesus memenuhi janji Allah yang tercatat dalam Yesaya 7:14. Janji itu diberikan kepada Raja Ahaz. Ahaz diuji, kalau ia mempunyai iman yang sungguh terhadap Allah, ia akan melihat kekuatan Allah yang menyelamatkan umat-Nya. Keselamatan itu akan menjadi nyata ketika ada seorang anak dara mengandung dan melahirkan anak yang dinamai Imanuel. Namun, sayang Ahaz dikenal sebagai raja Yehuda yang membuat Allah murka. Ahaz bukanlah raja yang taat dan setia apalagi beriman teguh kepada Allah, maka dalam hidupnya Imanuel – dalam arti yang sesungguhnya – tidak pernah ia lihat dan rasakan. Sebaliknya Yusuf, barangkali adalah “Ahaz” yang berikutnya, ia melihat, mengalami bahkan terlibat langsung dalam pemenuhan janji Allah itu. Yusuf sejak semula dikatakan “seorang yang tulus hati”, ia seorang yang benar dan saleh. Tentu saja tidak berhenti di situ, Yusuf juga orang yang bergumul dan setia pada kehendak Allah. Dengan ketaatannya itulah Yusuf dipakai Allah untuk menjadi salah seorang yang terlibat dalam kelahiran Sang Mesias!

Sangat mungkin pada hari ini kita sedang menghadapi pergumulan yang tidak mudah. Kita mencari jalan keluar yang terbaik menurut kaidah-kaidah hukum positif dan ketentuan-ketentuan agama yang kita pandang sebagai kebenaran. Namun, bisa saja kita tetap tidak menemukan jalan keluarnya!

John Henry Newman, seorang teolog Inggris abad 19 pernah mengalami pergumulan berat ketika diperhadapkan pada tugas panggilannya baik sebagai teolog maupun pemimpin umat. Dalam pergumulannya ia menulis syair terkenal yang amat indah “Lead kindly light” (Bimbinglah daku wahai cahaya). Newman dimampukan untuk bertahan dan menemukan pilihan hidupnya karena ia membiarkan diri dipimpin oleh “cahaya”.

Dalam pergumulan dan dalam gelapnya jalan kehidupan, kita sering memohon kepada Allah untuk menerangi hati kita agar mampu melihat jalan yang dikehendaki-Nya; kita memohon terang kepada Allah untuk dapat melihat pilihan-pilihan kita dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi kita harus realistis. Mungkin kita tidak akan pernah diberikan cahaya yang terang benderang, mungkin bukan seperti Yusuf di tengah kegalauannya segera hadir malaikat Tuhan yang menyatakan jalan yang harus diambilnya. Namun, setidaknya kita hanya perlu sedikit saja terang, agar kita dapat terus melangkah. Dan untuk itu, di sinilah iman kita berperan! Iman seperti Yusuf, tidak hanya berpusat pada pementingan diri, melainkan iman yang mampu melihat rencana Allah buat banyak orang. Iman yang tidak ada niatan untuk menyakiti sesama. Iman yang mengerjakan apa yang baik. Iman seperti ini hanya dapat terjadi jika hati dan pikiran kita mau dan terbuka untuk diterangi cahaya ilahi!

Jakarta, Adven ke-4 Tahun A 2019